Selamat membaca.
Bab 5 Kontak Dewi“Ma-maaf,” sesal Kanaya dengan mata tak kalah melebar dan bersirobok dengan suaminya itu.Beberapa orang yang sedang menghadiri meeting kompak melempar pandang kepada Kanaya yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Gegas Elang beranjak dan membungkukkan badan sebelum ia membawa istri berlalu dari hadapan klien pentingnya. “Ay, ada apa?” tanya Elang dengan raut kesal sekaligus bingung setelah membawa Kanaya menjauh dari ruangan. “Mas sedang meeting?” tanya Kanaya memastikan. “Ya ampun, Ay! Ya iyalah aku sedang meeting. Hal apa yang membawamu sampai ke sini? Kenapa tidak memberitahu? Dan ini lagi. Lihat dirimu!” cecar Elang. Untuk pertama kalinya ia merasa malu dengan kehadiran sang istri. “Aku? Aku kenapa Mas?” desisnya kesal. Terlebih ada amarah yang memang sedang ia tahan. “Penampilanmu.” Kanaya menunduk melihat sandal santai rumah, pakaian yang ia kenakan, hingga memegang rambut cepolnya. “Astaga!” serunya baru tersadar. “Maaf, Mas. Aku buru-buru tadi.” “Iya, ada apa? Sampai kamu begini?” “A-aku …,” ucap Kanaya bingung harus bilang apa. “Pak, maaf.” Tiba-tiba salah seorang pria yang ada di ruang meeting tadi menyusul mereka.“Iya, ada apa?” tanya Elang.“Bu Dewi masih menunggu untuk kelanjutan meetingnya.”“Oh, iya. Saya akan segera ke sana.”“Baik, Pak.” Orang tersebut pun pergi lagi.“Bu Dewi?” Nada Kanaya sedikit menghentak.“Iya. Dia klien yang paling bawel dan menyusahkan,” dengkus Elang. “Oya Ay, aku tidak punya banyak waktu. Cepat ada apa?” sambungnya mendesak.“I-itu Anna sakit, Mas. Badannya panas sekali sampai mengigau,” karang Kanaya asal.Duh, maafkan mama, Sayang. Terpaksa berbohong bilang kamu sakit. Semoga ucapanku ini tidak menjadi kenyataan. Batin Kanaya panik.“Ya Tuhan, Ay. Jadi Anna sakit? Padahal tadi pagi dia baik-baik saja. Tidak biasanya Anna sakit panas sampai mengigau.”“Itu dia, Mas. Makanya aku cemas sekali. Tadi aku telepon, tapi kamu enggak angkat-angkat. Karena takut kenapa-kenapa, aku langsung saja ke sini.”“Iya, sudah tenang ya, Ay! Mas akan bereskan meetingnya secepat mungkin. Sekarang kamu pulang dulu dan panggil dokter segera. Are you ok?”“Iya, Mas. Maaf, aku sudah ganggu meetingnya.”“Tak apa Ay, kalian lebih penting dari apapun di dunia ini,” ungkap Elang sambil memeluk istrinya.Elang pun kembali ke ruang meeting. Di sana sudah menunggu wanita berusia 50 tahunan dengan wajah tak bersahabat. Dialah wanita yang Wulan sebut ‘Bu Dewi’ saat video call Elang dan Kanaya berlangsung.“Lain kali, tolong Anda lebih profesional,” katanya penuh penekanan seakan mengintimidasi.“Baik, Bu.”“Mari kita lanjutkan,” ajak salah seorang yang turut hadir.“Waktu saya habis. Jadwalkan ulang saja!” cetus Dewi dengan mimik datar.“Maaf Bu, prosesnya bisa tertunda lagi kalau tidak diselesaikan sekarang.” Elang keberatan. Terlebih lagi mengatur ulang jadwal meeting dengan Dewi adalah hal yang susah. Sekalinya bisa meeting, mendadak seperti sekarang. Kalau saja bukan orang penting, sudah Elang coret dari daftar kerja sama.“Permisi,” ujar Dewi seraya beranjak tanpa mempedulikan Elang yang menyampaikan keberatannya.“Aish!” desis Elang sebal setelah Dewi keluar dari ruangan.“Sabar, Bos!” ucap bawahannya.Kanaya yang sebenarnya belum keluar dari gedung kerja Elang, diam-diam memerhatikan wanita yang bernama Dewi. Kesan jumawa, tetapi berwibawa serta mampu mengintimidasi lawan bicara, tidaklah mungkin ia wanita simpanan Elang. Begitu juga usia dan penampilannya, sungguh tidak mencerminkan wanita murahan. Justru sebaliknya sangat berkelas.Kini Kanaya bisa bernapas lega dan kembali ke rumah secepatnya. Dia jadi bingung sendiri bagaimana menghadapi suaminya saat pulang nanti? Lantaran tadi ia bilang kalau anaknya, Anna tengah sakit.**Jujur lebih baik, itulah keputusan yang akhirnya Kanaya ambil.“Ay,” panggil Elang sesampai di rumah.“Iya, Mas. Eh, sudah pulang? Tumben enggak ucap salam.” Kanaya menyambut.“Anna mana? Bagaimana keadaannya? Apa kata dokter?” Ia membrondong istrinya dengan pertanyaan.“Tenang dulu, Mas.”“Tenang gimana? Anna mana, Ay?” Elang tampak panik sekali.Tiba-tiba Anna muncul dan berlari. “Papa,” panggilnya manja.“Lho, kok?” dahi Elang ditekuk melihat putri sulungnya tidak terlihat sakit sama sekali. Masih ceria seperti waktu tadi pagi sebelum ia berangkat kerja.“Papa kenapa?”Bukannya menjawab Elang malah mengulurkan telapak tangannya, lalu menyentuh dahi Anna. “Sayang, kamu baik-baik saja?”“Papa aneh,” celetuk Anna.“Ekhm … Ay?” Elang berdeham kemudian matanya menyipit. “Jelaskan!” tegasnya.Kanaya menarik napas panjang saat melihat sorot mata suaminya seperti siap menelan ia hidup-hidup."Ann, Mama ada perlu dulu sama Papa, ya!""Ok, Mam."Anna langsung paham kalau sebagai anak ia harus bisa kasih orang tuanya privasi. Anna segera mengakhiri bermanja-manjanya kepada Elang."Mas, ayok!" ajak Kanaya. Elang pun mengekor sang istri masuk kamar."Jelaskan!" pintanya kembali dengan lantang."Mas, maaf sudah membuatmu cemas. Aku terpaksa berbohong karena takut kamu marah," ujar Kanaya sambil melepaskan jas yang dikenakan Elang."Kamu sudah tahu kan, aku tidak suka sekali jika dibohongi. Ini konyol!""Aku juga tidak suka dibohongi." Kanaya melonggarkan ikatan dasi di leher suaminya."Maksudmu?" Alis Elang terangkat sebelah."Ingat kan waktu hari kemarin? Kamu menyebut nama apa saat bersamaku?" tanyanya dengan penekanan. Hidung Elang mengerut, entah ia lupa atau pura-pura lupa."Ah!" ringisnya, sebab ikatan dasi yang telah longgar ditarik lagi oleh Kanaya hingga mencekik."Sesak?""Uhuk, uhuk." Elang terbatuk. "Ay, ini seperti bukan dirimu," lanjutnya."Aku bisa lebih dari ini. Do you understand?" Tarikannya Kanaya lepaskan tanpa aba-aba membuat tubuh suami terjengkang ke tepi bad.Mata Elang membeliak tak percaya dengan sikap Kanaya yang selama ini selalu lembut dan patuh, mendadak berubah. Suaranya yang lantang minta kejelasan menciut. Sepengecut itukah dia terhadap wanita? Padahal sedari tadi di kantor pasca kedatangan Kanaya, ia begitu kesal. Lantaran meeting pentingnya menjadi kacau. Belum lagi rekan-rekan kantor terus membicarakan penampilan Kanaya yang terlampau rumahan saat datang.Sementara Kanaya merutuki kecerobohannya. Bisa-bisanya ia mempermalukan diri sendiri seperti tadi. Rasa cemburu tidak bisa mengimbangi akal sehatnya. Kemana Kanaya seorang wanita yang brilian? Mungkin selama ini, ia terlalu fokus menikmati peran sebagai seorang istri sekaligus ibu. Hingga ia tenggelam dan pola pikirnya mulai diam di tempat.**"Mana Papa, Kak?""Biasa lagi ada urusan katanya sama Mama.""Kok, enggak temui aku dulu? Emang ada urusan apa?""Udah, kamu jangan kepo!""Dasar orang dewasa, banyak sekali urusannya," dumbel Alya."Begitulah mereka. Kakak takut kalau mama dan papa mulai sering bilang urusan.""Takut kenapa kak?""Kata Devi, awalnya orang tua mereka juga gitu. Urusan yang dimaksud mereka ternyata bertengkar. Kalau udah sering bertengkar, orang tua suka pisah.""Apa? Aku enggak mau mama dan papa pisah!" pekik Alya tiba-tiba.Kemudian ia berlari menuju kamar orang tuanya dan menggedor-gedor pintu. "Pah, Mah," panggilnya dengan suara yang parau karena tangis yang masih ditahannya."Ada apa, Sayang?" tanya Elang setelah membuka pintu."Papa ...." Alya menghambur ke pelukan Elang. Tangisnya pun pecah."Lho, anak Papa kenapa?"Tidak lama Anna datang menyusul. Melihat kelakuan adiknya, ia hanya mencebik dan tangannya bersidekap di dada."Alya, kenapa Ann?" tanya Kanaya."Aku enggak mau Mama dan Papa pisah,” terang Alya."Eum, Ann! Kamu pasti cerita yang tidak-tidak ya? Jangan Suka nakut-nakutin adikmu, ah!" tegur Kanaya."Ih Mama asal tuduh aja. Sebel!" rajuk Anna sambil memutar bola mata malas.Kanaya lupa kalau bicara dengan Anna itu tidak boleh menyudutkan atau seakan menuduh. Karena ia memang tipe sensitive."Maaf, Sayang." Kanaya mencubit gemas pipi Anna.Elang membawa Alya duduk di sofa depan Tv. Kanaya juga Anna mengikuti."Sayang, udah dong nangisnya. Cerita sama Papa ada apa? Kok sampai bicara pisah begitu? Papa serem dengarnya," ucap Elang seraya bergidik ngeri.Alya pun menceritakan apa yang dibicarakan Anna tentang orang tua temannya Devi."Ye, itu kamu aja yang cengeng. Kakak kan cuma cerita doang," sewot Anna."Sayang, Papa dan Mama berbeda dengan orang tua siapa namanya? Oya, Devi. Kami ini tidak mungkin pisah. Papa kalau lagi kerja saja, suka keingetan terus sama Mama," aku Elang."Papa enggak bohong 'kan?" Alya memastikan."Ya Tuhan, sejak kapan Papa suka bohong?" tukas Elang. "Iya kan, Mah?" sambungnya minta dukungan Kanaya."Iya, Sayang. Pokoknya kalian jangan mikir yang macam-macam, ya!"Kedua putri mereka mengangguk kompak. Elang menarik Anna serta istri agar ikut memeluknya seperti Alya."Papa sayang kalian semua." Elang mencium pucuk kepala orang yang berharga dalam hidupnya satu-satu.**Jarum jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Elang masih memandangi punggung istrinya yang membelakangi. Semenjak kejadian salah sebut nama, ada yang berubah pada sikap Kanaya. Ia terkesan mengacuhkan suami saat di atas ranjang."Ay ....""Emm.""Besok kan aku mau ke Bandung, charger aku dulu dong," pintanya penuh kode."Itu chargeran kamu ada di laci," sahut Kanaya dengan posisi yang masih membelakangi."Ekhm, sejak kapan istriku jadi lemot?""Apa kamu bilang?" sentak Kanaya yang langsung berbalik. "Jadi karena istrimu lemot, jadi boleh gitu main enak-enak sama Si Dewi?" Matanya membulat siap menerkam."Aduh, Ay? Kok, Dewi lagi? Kamu segitunya cemburu. Tapi aku senang sih," goda Elang meski jantungnya memacu kencang setiap kali Kanaya mengungkit nama itu."Senang?""Iya, artinya kamu sangat cinta sama suamimu ini. Aku adalah lelaki paling beruntung sudah 15 tahun dicintai wanita sesempurna kamu," pujinya. Meski terdengar gombal, tetapi yang dikatakannya sungguh dari hati terdalam."Ralat. Bukan 15 tahun, 14 tahun,” sergah Kanaya."Iya-iya, 14 tahun."Bukan tanpa sebab, pasalnya Kanaya memang jatuh cinta pada suaminya setelah satu tahun pernikahan berjalan."Sudah ah, ngantuk. Jangan ngajak ngobrol terus!" ujar Kanaya seraya mau membalik badan lagi. Namun, tidak jadi karena Elang dengan cepat menariknya."Ay, mohon jangan menolak," pintanya memelas.Kanaya tampak berpikir beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. Mendapat lampu hijau dari sang istri, Elang langsung mendaratkan bibirnya di tempat yang sensitif.Setelah hampir sejam bergulat, game over. Ada satu sisi di hati Kanaya entah sebelah mana tepatnya, sebuah ketidak relaan.Perasaan apa ini? Batin Kanaya.Sementara Elang setelah keinginannya tersalurkan, langsung beranjak ke dunia mimpi. Dengkur halusnya terdengar begitu pulas seperti bayi.Tung, tung, tung, banyak notif masuk ke ponsel pintar Elang. Untuk pertama kalinya Kanaya merasa sangat penasaran dan ada rasa ingin sekali membuka. Selama ini ia selalu menganggap kalau ponsel adalah sebuah benda yang harus terjaga privasinya. Kecuali meminta izin terlebih dahulu kepada si pemilik.Namun, sekarang berbeda. Benda pipih Elang tak akan lagi ia jaga privasinya. Perlahan dan sangat hati-hati, Kanaya meminjam jari telunjuk suami. Lantaran ponselnya memang diamankan oleh fingerprint.Deg, deg, deg … ritme jantung Kanaya berubah cepat saat suasana berubah menegangkan. Jari telunjuk Elang sudah menempel sempurna dan layar ponsel langsung terbuka.Netra Kanaya tertuju tajam ke sebuah aplikasi chat. Dengan cepat jarinya menyentuh ikon hijau. Tampaklah deretan kontak yang mengirim pesan.“Dewi?!” Mata Kanaya membola sempurna.***"Dewi?!" Mata Kanaya membola.Dibukanya dengan cepat riwayat pesan dari nama tersebut.[Terima kasih] - Dewi O.GHanya sebaris kata itu saja. Bahkan Elang sama sekali tak membalas. "Terima kasih atas apa ya?" gumamnya.Kanaya melanjutkan untuk menjelajahi riwayat chat lainnya. Sama sekali tak ada jejak yang mencurigakan. Kini ia beralih ke riwayat panggilan, tetapi tak ada pula yang mencuri atensinya. Pun dengan isian galeri, hanya foto dirinya beserta anak-anak yang bertebaran.Rasa penasaran Kanaya masih belum berkurang. Ia memeriksa daftar kontak segera. Jarinya lincah scroll deretan nama sampai akhirnya tiba di huruf D."Danu, Dede, Deni, Desi, De--," katanya yang mengabsen daftar kontak dari huruf D berhenti.Mata Kanaya melebar dengan sebelah tangan memegang dada, rasa deg degan semakin menyesakan. Lantaran ada kontak nama Dewi lagi di ponsel suaminya. Entah Dewi siapa? Entah Dewi yang mana?"Dewi A, Dewi Kusuma, Dewi L, Dewi Sandra, dan Dewi O.G."Setelah menyebut satu-satu na
Selamat membaca 🥰Sontak ucapan lelaki yang menjabat direktur utama tersebut membuat kedua bola mata Kanaya, pun si sekretaris membulat sempurna.Bima kembali masuk keruangannya dan menutup pintu rapat tanpa menoleh kepada Kanaya. Keberadaannya pun sama sekali tidak dianggap ada bak demit saja."Ini semua gara-gara Bu Kanaya," tuduh sekretaris dengan mata berembun, lalu pergi meninggalkannya.Kalau saja Kanaya bukan istri Elang, mungkin si sekretaris sudah mengajaknya duel Jambak.Kanaya dibuat melongo dengan kejadian ini. Memang selama ini dia belum kenal secara langsung dengan Bima. Meskipun ia adalah sahabat dari suaminya. Elang juga selama ini belum pernah menceritakan kalau Bima itu tipe orang yang songong dan arogan. Padahal dengan alasan kalau Bima sahabat Elang, seharusnya ia bisa lebih mudah untuk berbicara.Melihat Bigbos sepert itu, pupus sudah harapan Kanaya untuk berbicara empat mata. Padahal tadinya ia ingin menyampaikan keberatannya perihal Elang yang selalu ditugaskan
Setelah mendapat laporan kalau Bima Anggara sedang malam mingguan di sebuah club ternama ibu kota, Kanaya gegas bersiap. Ia akan mengunjungi club yang sama. Bagaimanapun Kanaya harus bisa berbicara langsung kepada Big boss yang arogan itu. Detak jantung Kanaya tak biasa. Sebab, ini adalah pengalaman pertamanya memasuki tempat hiburan malam seperti club. Mungkin sebagian orang tidak percaya jika mengetahui salah satu konglemerat ibu kota masih asing dengan tempat seperti itu. Akan tetapi, inilah faktanya. Sewaktu muda, jiwanya sama dengan anak muda lainnya. Ingin bersenang-senang di tempat hiburan malam, tetapi sang ibu sambung tak pernah mengizinkan. Kanaya memilih patuh. Selepas menikah, suaminya pun tak pernah mengizinkan ia mengenal gemerlap malam dan Kanaya lagi-lagi memilih patuh. “Mas, maafkan aku. Tapi aku harus menemui bosmu,” gumam Kanaya. Begitu masuk ke dalam club, cahaya remang menyambutnya. Beberapa orang tengah asik dengan alunan musik yang Dj mainkan. Sebagian lainnya
Tangan Kanaya malah menggantung di lehernya hingga kepala big boss tertarik. Wajah mereka kini dalam keadaan sangat dekat. Bahkan ujung hidung keduanya yang mancung telah beradu. “Astaga!” Bima sadar kalau yang di hadapannya adalah istri Elang. Ia lekas mendorong Kanaya hingga tersandar ke kursinya lagi. “Aw,” ringis Kanaya kesakitan. Karena kepalanya sedikit terbentur kaca jendela.Untung saja tadi di club, Bima belum sempat minum banyak. Sehingga kesadaran dan akal sehatnya masih normal. Coba kalau enggak, mungkin sudah dilahap apa yang menempelinya barusan. “Anda mabuk.” “Eh, gue enggak mabuk. Dasar Bos rese! So’ berkuasa. Apa susahnya sih, tidak mengirim Elang lagi ke Bandung. Lu enggak tahu bagaimana rasanya diselingkuhi oleh pasangan. Rasanya sakit banget tahu. Makanya cepet lu kawin, biar bisa ngerasain rasanya cemburu dan dikhianati. Eh, gue lupa. Kata orang kan, lu gay. Mana mungkin mau kawin. Hahaha ….” Kanaya terbahak. Persekian detik kemudian ocehannya berhenti. Ia sepe
Kanaya gegas bersiap-siap dan pamit kepada kedua putrinya. Namun ia tidak bilang akan ke Bandung, hanya izin ada urusan penting bersama teman.“Ya, Mama …,” keluh Alya.“Iya, hari minggu menyebalkan. Papa enggak ada, Mama juga ikut-ikutan enggak ada,” protes Anna.“Dasar orang dewasa! Dikit-dikit ada urusan penting. Emang anaknya enggak penting apa?” Alya mencebik.“Uh Sayang … I am sorry, please!”“Tahu ah,” ketusnya.Kanaya tidak punya banyak waktu untuk membujuk anak-anak. Ia memutuskan tetap pergi, meski bibir mereka mengerucut.“Kak, aku kok ngerasa akhir-akhir ini Mama aneh.” Alya berujar setelah mamanya berlalu.“Iya, sama.”“Ada apa, ya?”“Entah,” sahut Anna malas. Ia kembali memainkan game di ponselnya. Kapan lagi bisa sebebas ini main ponsel, kalau bukan saat mamanya tidak ada di rumah.** Sebenarnya ini untuk pertama Kanaya membawa mobil sendiri ke Bandung. Ada rasa was-was dan panik dalam dirinya. Akan tetapi rasa penasaran akan sosok Dewi juga bra yang diliha
Kanaya secepatnya mendapat pertolongan. Ia dilarikan ke Rumah Sakit terdekat. Tenaga medis yang sangat kompeten dan berpengalaman menanganinya dengan baik.Elang yang baru saja mendapat kabar kecelakaan istrinya langsung melesat pulang ke Ibu kota. Rasa khawatir dan panik memenuhi rongga dada. Sangat sesak sekali.Sesampainya di Rumah Sakit, ia langsung berlari menuju ruang inap VVIP. Kanaya dalam keadaan sadar sudah terbaring lemah dengan selang infus. “Ay, kamu tidak kenapa-kenapa kan?” tanyanya cemas memburu seraya menciumi Kanaya. Air matanya juga mengalir tanpa malu walaupun disaksikan dokter dan perawat. “Mana yang luka, Ay? Mana yang sakit?” todong Elang kemudian.Kanaya tidak merespon. Pandangannya hanya lurus ke depan.“Syukurlah, Nyonya Kanaya tidak mengalami luka yang serius. Sedikit robek di lengan kanan, kami sudah menjahitnya,” tutur dokter.“Kalau kepalanya, Dok?” tanya Elang seraya menyentuh memar di dahi Kanaya.“Ia. Itu memar akibat benturan dan Nyonya Kanaya mende
“Mah, maksudnya apa suami laknat?” tanya Anna.“Oh, itu anu ….” Kanaya mengusap tengkuk. “Barusan teman Mama telpon dan curhat kalau suaminya menikah lagi diam-diam,” jelasnya mengada-ngada.“Syukurlah.”“Kok, syukurlah?”“Maksud aku, syukurlah ternyata bukan mengumpat kepada Papa.”“Ya, bukan dong! Oya, kamu nyusul Mama ada apa?”“Aku mau pamit sekolah, Mah. Habisnya Mama lama di kamar, katanya bentar tadi.”“Oh maaf, Sayang. Mama lupa saking antengnya dengar curhatan teman.”“Iya, Mah. Kalau begitu aku mau berangkat sekarang.”“Yuk, Mama antar sampai depan.”Di depan Alya sudah menunggu tak sabar karena takut kesiangan masuk sekolah. Setelah anak-anak mencium punggung tangan kedua orang tuanya, mereka gegas naik mobil. Mang Ujang, masih sopir pribadi keluarga langsung mengantar.“Ay, kalau begitu aku juga berangkat kerja dulu.”Seperti biasa Kanaya mendapat satu kecupan di dahi dan elusan di pucuk kepala.**Untuk mengusir penat, Kanaya mengajak sahabatnya, Meta untuk nongkrong di s
Dret … daun pintu terbuka. Sosok tinggi 175 cm masuk pelan dengan dengan segelas susu hangat. Bibirnya tak luput dari senyuman tipis.Gadis berpiyama satin yang sedang duduk di tepi ranjang repleks terlonjak. “Elang?”“Minumlah! Agar kamu rileks,” ujarnya seakan mengerti bagaimana perasaan Si Gadis yang bercampur aduk tak menentu.“Te-terima kasih,” ucpanya gugup. Lalu meneguk sedikit demi sedikit susu hangat tersebut hingga tandas.Elang duduk di tepi ranjang setelah mengambil alih gelas bekas susu. “Maaf.” Ia berujar seraya meraih tangan gadis yang tadi pagi telah sah menjadi istrinya. “Dingin sekali,” sambungnya.Si Gadis itu bernama Kanaya Putri Larasati. Larasati adalah nama almarhumah ibunya. Ia hanya menunduk tidak berani menatap kedua netra Elang yang dalam bak telaga. “A-aku ….” Susah sekali bagi Kanaya untuk mengucapkan sepatah kata.Ia sama sekali tidak mengenal sosok lelaki yang ada di hadapannya. Ia hanya tahu Elang anak salah stau kolega Sang Ayah. Perjodohan ini s
SSN 75Semua berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya setelah melewati rasa perih pengkhianatan Kanaya bisa menemukan kebahagiaan lagi. Bersama Bima, ia merasa hidup berjalan normal. Meski yang namanya rumah tangga tidak lepas dari ujian. Hanya saja, selama ujian itu bukan kehadiran wanita lain, Kanaya akan selalu sanggup menjalaninya."Happy birthday to you, happy birthday Narain "Lagu ulang tahun mengantarkan Narain untuk meniup lilin dengan angka 5. Ya, buah hati Bima dan Kanaya tidak terasa sudah berusia lima tahun. Acara ulang tahun diselenggarakan sederhana. Hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat saja."Ayo sekarang potong kuenya!" Ucap Anna.Kanaya lekas membantu memotongkan."Suapan pertama buat siapa, Dek?" tanya Alya."Buat Ayah.""Kok, nggak buat mama dulu?""Ayah dulu. Mama itu suka celewet, kadang galak.""Ih, kok Rain gitu sama mama," protes Kanaya."Haha ...." Orang-orang malah nertawain Kanaya."Anak ayah yang Soleh, kue pertama harus buat mama ya. Soalnya mama lah
“Iya istriku, katakan saja hal apa yang sudah membuatmu marah, agar saya bisa memeprbaikinya.” “Ok. Pertama kamu kegatelan sama cewek muda waktu di taman. Alya sudah cerita semuanya. Bahkan kamu mau kasih nomer kan sama tuh cewek? Untung saja kamu enggak hapal. Coba kalau hapal, pasti sudah berkirim pesan sekarang juga.” “Cinta, kamu cemburu?” “Ini bukan perkara cemburu, Bim. Kamu sudah jelas suka dengan daun muda,” sengit Kanaya. “Eh Cinta, dengarkan dulu. Siapa bilang saya tidak hapal nomer Hp sendiri? Ya hapalah. Untuk apa coba saya pura-pura bilang enggak hapal? Itu karena saya sangat menjaga hati. Lagian buat apa juga tertarik sama bocah? Cantikan mama-nya Narain lah.” “Ehm … udah jangan bohong. Ngaku saja!” Bima pun menyebutkan nomer Hp-nya dan benar saja dia hapal, malah sangat hapal. Berarti alasan bilang tidak hapal memang karena tidak mau saja kasih nomer kepada cewek itu. “Gimana, masih mau bilang saya kegatelan? Emang benar sih, saya tuh udah gatel banget. Yang di ba
SSN-73Setelah mencoba mengingat, Bima tak kunjung menemukan kesalahannya sendiri. Pria kadang memang tidak peka.“Aduh, mama kalian tuh emang suka mendadak kayak gitu. Ayah jadi bingung.”“Ayo susul mama, Yah!” saran Alya.“Iya nanti saja. Sekarang tanggung, Ayah laper.”Mereka kembali melanjutkan aktifitas sarapannya dan tak lama Alya yang memang sudah sarapan sejak tadi merasa kenyang.“Aku dah selesai. Duluan ya Kak, Yah,” izin Alya.“Sayang tunggu, Ayah boleh minta tolong?”“Apa itu?”“Bawain sarapan buat mama. Mama pasti masih lapar. Kan tadi berhenti gara-gara marah sama ayah.”“Ok.”Alya segera membawa sepiring sarapan dan mencari mamanya. Ternyata Kanaya sedang duduk di balkon lantai dua.“Hey Mah.”“Bawa apa Sayang?”“Sarapan. Kata ayah, Mama harus sarapan banyak. Kan netein adek Narain.”“Terima kasih, Sayang.”Kanaya yang memang lapar langsung mengambil alih piring dari tangan Alya. Alya ikut menemani dengan duduk di samping mamanya.“Mah, tadi waktu jogging
Setelah baby Narain terbangun oleh suara bebek mainan, ia enggan terlelap lagi. Kanaya sampai terus nguap-nguap dan matanya berair menahan ngantuk.“Ya, udah tidur saja.”“Kan Narain belum bobo.”“Tidak apa-apa, biar saya yang jagain. Mungkin ia juga kangen, pengen gadang sama ayahnya.”“Enggak ah, aku juga mau di sini saja nemenin kamu.”Bima terus mengajak main anaknya. Sesekali ia pun menguap, tetapi terus ditahannya. Bima gegas membuat secangkir kopi untuk mengusir rasa kantuknya. Sekembali membuat kopi, rupanya Kanaya yang menunggu Narain sudah tertidur.“Mamanya sudah bobo ya? Tunggu, ayah minum dulu kopinya. Eum ….” Bima menghirup aromanya. Lalu ia seruput sedikit demi sedikit. Perlahan kantuknya pun hilang.Narain sama sekali tak rewel. Ia begitu asik bermain malam-malam bersama sang ayah. Tak terasa jarum jam sudah menunjuk angka 12. Berbagai nyanyian, solawat, doa-doa, tepuk-tepuk sampai ngoceh apa aja Bima lakuin agar si Buah hati tidur kembali. Usahanya tidak sia-s
Kanaya sulit terpejam. Ia terus menatap suami yang sudah terlelap kurang dari dua jam lamanya. Suami yang ditatap menggeliat. Kanaya menoleh pada jam yang nongkrong di meja samping bed. “Jam 00.00?” gumamnya. Biasanya di jam ini, Bima akan terbangun untuk buang air kecil. Mendadak Kanaya ingin memberi sedikit pelajaran dengan mengerjainya. Ia buru-buru bersembunyi di walk-in closet. “Ya ….” Terdengar Bima memanggil. Tidak lama terdengar juga langkahnya yang ke sana ke mari mencari. Lalu langkahnya kian menjauh dari ruang kamar. Kanaya keluar dari walk-in closet pelan-pelan. Ia mengintip dan mengendap seperti maling untuk menyaksikan kepanikan Bima di luar kamar. Tampak Bima berlari-lari kecil dari ruang ke ruang lainnya. Kanaya cekikikan sendiri sambil ditangkupnya mulut agar tidak kelepasan tertawa. Suaminya terdengar berteriak, untung saja anak-anak tidak terbangun. Lalu menyalakan semua lampu penerangan, terlihat napasnya terengah-engah. Raut penyesalan tampak jelas tergambar.
Bima menjemput Anna pulang sekolah. Sepanjang perjalanan ada yang dirasakan berbeda dalam diri Anna. Tak seperti biasanya mengoceh dan bercerita tentang harinya yang menyenangkan ataupun sebaliknya.“Ann, kamu kenapa?”“Tidak apa-apa.”“Tidak mau cerita sama Ayah?”“Tidak.”Suasana hening kembali sampai tiba di istina mereka. Kanaya sudah menyambut kepulangan putri sululungnya. Sementara Alya sudah lebih dahulu pulang.Anna masuk rumah begitu saja tanpa salam. Bahkan mamanya yang di ambang pintu ia lewati begitu saja. Ia pun langsung naik ke lantai dua dan terdengar membanting pintu kamar. “Bim, kenapa Anna?”“Anna tidak mau cerita.”“Apa Anna punya pacar?” selidik Bima. Meski mereka terbilang akrab, tetapi untuk urusan cinta, Anna enggan membagi kepada ayah sambungnya.“Iya. Dia jadian sama anak yang bernama Rangga itu, lho.”“Oh.”Kanaya sudah paham, walau suaminya hanya bilang ‘oh’, ia pasti akan melakukan sesuatu.“Aku mau temui Anna dulu, ya!”“Iya. Saya juga mau
Bima membawa istri untuk memeriksakan kehamilannya kembali. Sekalian mereka mau konsul tentang rencana babymoon-nya. Hasil pemeriksaan sejauh ini baik-baik saja, tetapi Indra sebagai dokter menyarankan agar mereka berangkat babymoon sekitar dua mingguan lagi. Untuk melihat sejauh mana kondisi Kanaya yang baru saja melewati fase mual muntah. Selagi ada waktu dua minggu, pasangan suami istri tersebut mempersiapkan segalanya. Mereka juga membujuk Anna dan Alya agar mau ditinggal selama seminggu. Bukan hal yang mudah tentunya, mengingat putri-putri Kanaya tidak pernah ditinggal lama. Akhirnya mereka semua mencapai mupakat setelah berdiskusi alot. Anna dan Alya mengizinkan hanya untuk lima hari. Destinasinya hanya Lombok, tidak boleh keliling ke tempat lain. Karena kalau keliling, mereka harus ikut turut serta. Setiap hari mereka juga harus video call untuk saling mengabari. Selama Bima dan Kanaya pergi, Mira juga diminta untuk menginap.** Wirawan sudah terlihat sangat sehat dan s
Depresi Kamila tidak kunjung membaik. Mira memasukkannya ke Rumah Sakit Jiwa karena kewalahan. Di rumah sakit, keadaan Kamila lebih terkontrol dan stabil. Sesekali ia mengunjungi Kanaya dan cucu-cucunya.“Nay, kenapa kamu jadi malas mandi begini sih?”“Enggak tahu, Bu. Rasanya mual kalau masuk kamar mandi itu.”“Padahal dulu waktu hamil Alya, kamu tuh rajin banget mandi. Sampai sehari lima kali, lho.”“Oh iya, hehe.”“Iya, Bu. Naya malas mandi tuh. Deket-deket saya juga, dia tidak mau,” timbrung Bima yang baru muncul.“Emang begitu Nak Bima bawaan orang hamil itu beda-beda. Yang sabar ya!”“Iya, Bu. Pasti.”“Tahu ah, kamu acara ngadu segala sama ibu,” ketus Kanaya.“Ya tak apa-apa Nay. Ibu malah senang kalau Nak Bima itu bisa akrab sama ibu. Lagian kamu juga aneh, justru lagi hamil itu harus deket-deket sama suami. Kamu juga dulu waktu hamil Anna, nempel banget sama suami. Sampai suamimu kamu larang masuk kantor. Jauh sedikit saja, kamu merajuk,” tutur Mira panjang tanpa sada
“Wah selamat, bentar lagi jadi dady, nih.”“Ngapain gue ganti nama jadi Dedi?”“Haha, enggak lucu lu!”“Engga lucu, ketawa.”“Haha … aduh Nyonya Anggara terima kasih banget karena Anda, hidup sahabat saya jadi berwarna. Padahal dulu hidupnya lempeng aja, mana bisa dia guyon.”“Begitulah. Waktu pertama kali bertemu juga, dia itu songong dan arogan.”“Eit, malah gunjingin suami,” seloroh Bima.“Hehe,” kekeh Kanaya.“Jadi beneran kan istri gue hamil?” ulang Bima memastikan lagi.“Beneran lah, masih aja lu nanya.”“Ya Tuhan, terima kasih.”Bima menangkup kedua pipi istri dengan gemas dan menghujaninya dengan kecupan.“Eh, eh, tolong kondisikan Pak Bima Anggara. Istri saya kebetulan lagi di LN, masih lama pulangnya,” sewot Indra.“Itu derita lu.”“Tega bener.”“Oya Dok, soal hubungan badan di trisemester pertama ini bagaimana?” tanya Kanaya.“Berhubung keadaan ibu dan janin sehat, jadi masih bisa dilakukan. Amanlah. Malah bisa menambah booster buat ibunya.”“Nambah booste