Selamat membaca 🥰
Sontak ucapan lelaki yang menjabat direktur utama tersebut membuat kedua bola mata Kanaya, pun si sekretaris membulat sempurna.Bima kembali masuk keruangannya dan menutup pintu rapat tanpa menoleh kepada Kanaya. Keberadaannya pun sama sekali tidak dianggap ada bak demit saja."Ini semua gara-gara Bu Kanaya," tuduh sekretaris dengan mata berembun, lalu pergi meninggalkannya.Kalau saja Kanaya bukan istri Elang, mungkin si sekretaris sudah mengajaknya duel Jambak.Kanaya dibuat melongo dengan kejadian ini. Memang selama ini dia belum kenal secara langsung dengan Bima. Meskipun ia adalah sahabat dari suaminya. Elang juga selama ini belum pernah menceritakan kalau Bima itu tipe orang yang songong dan arogan. Padahal dengan alasan kalau Bima sahabat Elang, seharusnya ia bisa lebih mudah untuk berbicara.Melihat Bigbos sepert itu, pupus sudah harapan Kanaya untuk berbicara empat mata. Padahal tadinya ia ingin menyampaikan keberatannya perihal Elang yang selalu ditugaskan ke Bandung setiap bulan. Senekat itu? Ya, kalau sudah menyangkut kelanggengan rumah tangga, Kanaya yang kalem akan berubah. Malah cenderung gegabah.Sementara didalam ruangan, Bima menekan tombol yang akan membuat suara dari luar tak terdengar. Begitu juga sebaliknya. Tanpa disadari sudut bibir Bima terangkat sedikit saat mengingat nama Kanaya. Segera ia kembali ke tumpukan berkas di atas meja yang minta diperiksa. Ia memang tampak selalu tenang dan dingin dengan mimik datarnya.Di luar ruangan Kanaya uring-uringan kepikiran suaminya yang entah sampai kapan akan terus ditugaskan setiap bulan ke Bandung. Belum lagi satu masalah bertambah dengan dialihkannya Si sekretaris ke bagian lain."Mbak, saya minta maaf. Saya tidak tahu kalau akan berdampak seperti ini," sesal Kanaya."Tidak ada gunanya, Bu. Padahal jabatan ini adalah jabatan yang saya banggakan dan pertahankan dengan segala cara selama ini. Gajinya juga lumayan untuk saya yang seorang janda beranak dua. Tapi sekarang ...." Kalimatnya terhenti oleh isakan. Kini si Sekretaris menangis meratapi nasibnya yang malang. Sungguh ia tak pernah membayangkan kalau hari seperti ini akan datang menghampiri."Mbak, sabar ya!" Hanya itu yang bisa Kanaya katakan saat ini."Sabar?" Si Sekretaris terlonjak dengan kesalnya. "Saya tidak mau tahu, Bu Kanaya harus bertanggung jawab. Kembalikan posisi sekretaris saya!" tukasnya kemudian.Sekarang masalah Kanaya menjadi tambah runyam. Ia kebingungan, sebab kalau minta tolong Elang untuk membujuk sahabatnya Bima, suaminya itu pasti mempertanyakan Kenapa hal ini bisa terjadi Anda tanya Mana mungkin Kanaya berterus terang perihal dirinya yang ingin menemui big boss. Elang pasti akan marah setelah mengetahui alasan Kanaya. Belum lagi suaminya itu pasti akan menjadi lebih berhati-hati kalau memang iya telah selingkuh.Kanaya mencoba berpikir tenang. Sepertinya mau tidak mau Kanaya harus menyelesaikan masalah ini sendiri. Bagaimanapun dia tidak bisa abai dengan si Sekretaris yang minta pertanggung jawaban."Baiklah, saya akan berusaha mengembalikan jabatan kamu." Janji itu tercetus begitu saja."Saya akan tunggu kabar baiknya," sahut si sekretaris dengan mata tajam menyorot kepada Kanaya.**Setelah minta seseorang untuk mencari tahu kegiatan Bima di luar, akhirnya Kanaya menyusun rencana. Ia akan buat keadaan seolah tak sengaja bertemu."Bu, lapor. Ternyata sabtu ini Pak Bima membatalkan jadwal main golf-nya," ucap seseorang yang ditugaskan Kanaya untuk memata-matai melalui sambungan telepon."Ya, kamu cari tahu kegiatan lainnya yang sekiranya saya bisa menemui dia.""Siap."Sambungan diakhiri. Baru saja layar gawai Kanaya menggelap, persekian detik kemudian menyala kembali dengan ID caller 'myhusband' minta diangkat."Hallo, Mas.""Ay, sedang apa istriku yang cantik bagai Dewi?""Ish!" desis Kanaya sebal setiap kali suaminya menyebutkan nama Dewi. Akan tetapi Elang malah senang menggoda."Ay, kangen," rengek Elang manja."Kalau kangen, pulang!""Ih ketus banget, Sayang. Iya maunya secepatnya pulang, tapi Big boss malah minta aku selesaikan urusan lain. Jadi ....""Enggak jadi pulang?""Iya. Aku pulang besok pagi," nada Elang terdengar sangat menyesal.Saat mendengar kabar dari suaminya, seketika darah tersirap ke kepala. Bagaimana bisa ia tidak jadi pulang? Seperti bulan lalu. Padahal besok Minggu pagi sudah ada janji lagi dengan anak-anaknya. Ini alasan Elang saja yang ingin malam mingguan di Bandung atau memang murni perintah Big boss yang songong itu? Entahlah. Kanaya harus menyelidikinya.Eumm, tapi ada baiknya juga sih, Elang enggak pulang. Dengan begitu ia bisa leluasa cari cara untuk bisa bertemu Bima. Batin Kanaya."Ok, enggak apa-apa." Akhirnya jawab Kanaya setelah terdiam sejenak."Serius enggak apa-apa? Tapi awas lho, nanti pas pulang aku enggak dikasih jatah." Elang memastikan kalau istrinya benar-benar tidak marah."Iya. Soal jatah aman," jawab Kanaya asal yang penting suaminya diam."Sip kalau begitu. Sudah dulu ya, Ay! Aku mau kembali meeting. Salam buat anak-anak. Nanti aku bawakan oleh-oleh banyak." Elang terdengar lega dan semangat."Ya, baik-baik di sana.""Iya, Ay. Mmuaah.""Mmuah juga."**Sore hari Kanaya masih asik nge-gym di rumahnya. Tubuhnya yang sintal sudah bersimbah keringat. Kalau ada yang dipikirkan, olahraga memang selalu menjadi pelarian Kanaya."Mah," panggil Anna seraya menaiki anak tangga."Iya, Sayang. Mama di sini," sahut Kanaya dari ruang gym di lantai 2."Mama ngapain sih, jam segini olah raga Mulu?" tanya Anna setelah menghampiri.Ia memerhatikan Kanaya yang sedang mempertahankan posisi plank dengan pergelangan tangan di bawah bahu dan jari kaki dimasukkan ke dalam. Kanaya memastikan tubuhnya berada dalam garis lurus dari kepala hingga kaki."Ini namanya Plank reach, Ann.""Gunanya buat apa?""Bisa membantu mengencangkan dan memperbesar ukuran pay*dara.""Ya ampun, Mah. Pay*dara Mama itu udah besar.""Ann, wanita itu harus rajin-rajin jaga keindahan tubuhnya. Kamu juga harus rutin berolahraga. Masa kalah sama Alya?""Ah, olahraga bikin keringetan. Aku enggak suka," tukasnya."Ekhm. Serah deh. Oya, kamu tadi ada apa cari Mama?""Itu, ponsel Mama bunyi terus.""Oh, iya."Kanaya gegas mengakhiri kegiatan olahraganya. Ia menyambar handuk kecil untuk melap keringat. Lekas ia menuruni tangga untuk mengambil ponselnya yang tadi ia letakkan di meja depan Tv.Setelah ponsel di genggaman, ia menelepon balik nomer yang sedari tadi berusaha memanggilnya. Kanaya berpindah tempat, agar tak ada orang yang menguping obrolannya di telpon."Ya, ada apa?" tanya Kanaya kepada seseorang yang ditugaskan mencari tahu kelima nama kontak Dewi yang ada di ponsel Elang."Bu, silahkan cek. Saya sudah kirimkan dokumen yang Ibu minta. Kecuali kontak yang bernama Dewi Sandra.""Lho, kenapa dengan nama itu?""Itu ternyata Dewi Sandra seorang artis. Pak Elang pernah menghubunginya saat terlibat kerja sama untuk iklan produk perusahaan. Jadi sudah dipastikan nama Dewi Sandra aman," terangnya yakin."Oh. Ya sudah. Saya akan periksa dulu."Sambungan pun terputus. Kanaya tak sabar dan wajahnya terasa memanas akibat hormon adrenalin juga kortisol yang meningkat. Dibukanya file dokumen berisi biodata nama empat Dewi lengkap foto diri.Pertama, Dewi A. A kependekan dari Asinan, usia 35 tahun, alamatnya Bogor. Profesi tukang asinan. Elang pernah dua kali menghubungi untuk memesan asinan Bogor buatannya saat diadakan meeting di kota hujan itu. Asinannya sangat cocok di lidah Elang. Kesimpulan, Elang hanya pelanggan asinan Bogor Dewi A. Foto wajah yang tak pernah skincare-an terlampir.Kedua, Dewi Kusuma. Usia 25 tahun, salah satu karyawan HRD di tempat Elang bekerja. Hubungannya hanya sebatas kepentingan kerja. Elang hanya tercatat pernah melakukan satu panggilan dengannya. Foto Dewi terlampir tersenyum lebar saat dirangkul suaminya. Catatan, mereka pengantin baru.Ketiga, Dewi O.G. Kependekan dari office girl, usia 20 tahun Elang sengaja menyimpan kontak Dewi karena sering minta dibersihkan ruang kerjanya. Hasil kerja Dewi sangat memuaskan. Sangat bersih dan teliti saat bekerja. Elang suka memberi uang tip sebagai ucapan terima kasih. Karena tahu gaji seorang office girl tidaklah seberapa. Sementara Dewi punya ibu yang sakit-sakitan dan membutuhkan biaya tak sedikit. Hal ini membuat Elang iba. Jadi hubungannya hanya sebatas atasan yang peduli kepada karyawan bawahnya. Foto kurus hitam Dewi terlampir.Keempat, berati yang terakhir. Dewi L. Nama lengkapnya Dewi Lingga Sari, usia 23 tahun, baru lulus kuliah. Anak dari salah satu kenalan baik Elang di Bandung. Ayah Dewi meminta Elang, agar bisa memasukkan anaknya bekerja di perusahaan. Foto gadis berkulit putih langsat dengan wajah tirus berlesum pipi terlampir. Good looking Dewi L. sukses membuat dada Kanaya bergemuruh. Terlebih alamatnya di Bandung.Apa ini sebuah titik terang? Ikuti terus kisahnya.***Jangan lupa dukungannya kalau kalian suka. Terima kasih.Setelah mendapat laporan kalau Bima Anggara sedang malam mingguan di sebuah club ternama ibu kota, Kanaya gegas bersiap. Ia akan mengunjungi club yang sama. Bagaimanapun Kanaya harus bisa berbicara langsung kepada Big boss yang arogan itu. Detak jantung Kanaya tak biasa. Sebab, ini adalah pengalaman pertamanya memasuki tempat hiburan malam seperti club. Mungkin sebagian orang tidak percaya jika mengetahui salah satu konglemerat ibu kota masih asing dengan tempat seperti itu. Akan tetapi, inilah faktanya. Sewaktu muda, jiwanya sama dengan anak muda lainnya. Ingin bersenang-senang di tempat hiburan malam, tetapi sang ibu sambung tak pernah mengizinkan. Kanaya memilih patuh. Selepas menikah, suaminya pun tak pernah mengizinkan ia mengenal gemerlap malam dan Kanaya lagi-lagi memilih patuh. “Mas, maafkan aku. Tapi aku harus menemui bosmu,” gumam Kanaya. Begitu masuk ke dalam club, cahaya remang menyambutnya. Beberapa orang tengah asik dengan alunan musik yang Dj mainkan. Sebagian lainnya
Tangan Kanaya malah menggantung di lehernya hingga kepala big boss tertarik. Wajah mereka kini dalam keadaan sangat dekat. Bahkan ujung hidung keduanya yang mancung telah beradu. “Astaga!” Bima sadar kalau yang di hadapannya adalah istri Elang. Ia lekas mendorong Kanaya hingga tersandar ke kursinya lagi. “Aw,” ringis Kanaya kesakitan. Karena kepalanya sedikit terbentur kaca jendela.Untung saja tadi di club, Bima belum sempat minum banyak. Sehingga kesadaran dan akal sehatnya masih normal. Coba kalau enggak, mungkin sudah dilahap apa yang menempelinya barusan. “Anda mabuk.” “Eh, gue enggak mabuk. Dasar Bos rese! So’ berkuasa. Apa susahnya sih, tidak mengirim Elang lagi ke Bandung. Lu enggak tahu bagaimana rasanya diselingkuhi oleh pasangan. Rasanya sakit banget tahu. Makanya cepet lu kawin, biar bisa ngerasain rasanya cemburu dan dikhianati. Eh, gue lupa. Kata orang kan, lu gay. Mana mungkin mau kawin. Hahaha ….” Kanaya terbahak. Persekian detik kemudian ocehannya berhenti. Ia sepe
Kanaya gegas bersiap-siap dan pamit kepada kedua putrinya. Namun ia tidak bilang akan ke Bandung, hanya izin ada urusan penting bersama teman.“Ya, Mama …,” keluh Alya.“Iya, hari minggu menyebalkan. Papa enggak ada, Mama juga ikut-ikutan enggak ada,” protes Anna.“Dasar orang dewasa! Dikit-dikit ada urusan penting. Emang anaknya enggak penting apa?” Alya mencebik.“Uh Sayang … I am sorry, please!”“Tahu ah,” ketusnya.Kanaya tidak punya banyak waktu untuk membujuk anak-anak. Ia memutuskan tetap pergi, meski bibir mereka mengerucut.“Kak, aku kok ngerasa akhir-akhir ini Mama aneh.” Alya berujar setelah mamanya berlalu.“Iya, sama.”“Ada apa, ya?”“Entah,” sahut Anna malas. Ia kembali memainkan game di ponselnya. Kapan lagi bisa sebebas ini main ponsel, kalau bukan saat mamanya tidak ada di rumah.** Sebenarnya ini untuk pertama Kanaya membawa mobil sendiri ke Bandung. Ada rasa was-was dan panik dalam dirinya. Akan tetapi rasa penasaran akan sosok Dewi juga bra yang diliha
Kanaya secepatnya mendapat pertolongan. Ia dilarikan ke Rumah Sakit terdekat. Tenaga medis yang sangat kompeten dan berpengalaman menanganinya dengan baik.Elang yang baru saja mendapat kabar kecelakaan istrinya langsung melesat pulang ke Ibu kota. Rasa khawatir dan panik memenuhi rongga dada. Sangat sesak sekali.Sesampainya di Rumah Sakit, ia langsung berlari menuju ruang inap VVIP. Kanaya dalam keadaan sadar sudah terbaring lemah dengan selang infus. “Ay, kamu tidak kenapa-kenapa kan?” tanyanya cemas memburu seraya menciumi Kanaya. Air matanya juga mengalir tanpa malu walaupun disaksikan dokter dan perawat. “Mana yang luka, Ay? Mana yang sakit?” todong Elang kemudian.Kanaya tidak merespon. Pandangannya hanya lurus ke depan.“Syukurlah, Nyonya Kanaya tidak mengalami luka yang serius. Sedikit robek di lengan kanan, kami sudah menjahitnya,” tutur dokter.“Kalau kepalanya, Dok?” tanya Elang seraya menyentuh memar di dahi Kanaya.“Ia. Itu memar akibat benturan dan Nyonya Kanaya mende
“Mah, maksudnya apa suami laknat?” tanya Anna.“Oh, itu anu ….” Kanaya mengusap tengkuk. “Barusan teman Mama telpon dan curhat kalau suaminya menikah lagi diam-diam,” jelasnya mengada-ngada.“Syukurlah.”“Kok, syukurlah?”“Maksud aku, syukurlah ternyata bukan mengumpat kepada Papa.”“Ya, bukan dong! Oya, kamu nyusul Mama ada apa?”“Aku mau pamit sekolah, Mah. Habisnya Mama lama di kamar, katanya bentar tadi.”“Oh maaf, Sayang. Mama lupa saking antengnya dengar curhatan teman.”“Iya, Mah. Kalau begitu aku mau berangkat sekarang.”“Yuk, Mama antar sampai depan.”Di depan Alya sudah menunggu tak sabar karena takut kesiangan masuk sekolah. Setelah anak-anak mencium punggung tangan kedua orang tuanya, mereka gegas naik mobil. Mang Ujang, masih sopir pribadi keluarga langsung mengantar.“Ay, kalau begitu aku juga berangkat kerja dulu.”Seperti biasa Kanaya mendapat satu kecupan di dahi dan elusan di pucuk kepala.**Untuk mengusir penat, Kanaya mengajak sahabatnya, Meta untuk nongkrong di s
Dret … daun pintu terbuka. Sosok tinggi 175 cm masuk pelan dengan dengan segelas susu hangat. Bibirnya tak luput dari senyuman tipis.Gadis berpiyama satin yang sedang duduk di tepi ranjang repleks terlonjak. “Elang?”“Minumlah! Agar kamu rileks,” ujarnya seakan mengerti bagaimana perasaan Si Gadis yang bercampur aduk tak menentu.“Te-terima kasih,” ucpanya gugup. Lalu meneguk sedikit demi sedikit susu hangat tersebut hingga tandas.Elang duduk di tepi ranjang setelah mengambil alih gelas bekas susu. “Maaf.” Ia berujar seraya meraih tangan gadis yang tadi pagi telah sah menjadi istrinya. “Dingin sekali,” sambungnya.Si Gadis itu bernama Kanaya Putri Larasati. Larasati adalah nama almarhumah ibunya. Ia hanya menunduk tidak berani menatap kedua netra Elang yang dalam bak telaga. “A-aku ….” Susah sekali bagi Kanaya untuk mengucapkan sepatah kata.Ia sama sekali tidak mengenal sosok lelaki yang ada di hadapannya. Ia hanya tahu Elang anak salah stau kolega Sang Ayah. Perjodohan ini s
Tentu saja yang dituju Kanaya bukanlah rumah seorang teman seperti apa yang telah diucapkan bibirnya. Melainkan sebuah tempat yang ia pikir tidak akan ada satu pun orang yang mengenalinya. Tempat salah yang akan membuatnya euphoria dan melupakan sejenak kepedihannya.Kanaya melangkah pelan memasuki tempat dengan lantai dansa berukuran besar di tengah-tengah. Ruangan bernuansa gelap yang hanya bermodalkan lampu sorot berputar-putar dan lampu ambience yang menempel di dinding. Gendang telinganya dipaksa menikmati alunan musik disko yang dibawakan disjoki melalui sistem PA.Sebenarnya ia tak suka, ini bukanlah gaya Kanaya. Seperti memasuki sebuah club malam waktu itu, kali ini juga untuk pertama ia memasuki diskotek. Namun, kakinya tetap masuk lebih dalam mencoba keluar dari zona nyaman untuk mencari kesenangan. Pikirannya sungguh kacau. Kanaya masih syok dengan yang terjadi pada rumah tangganya. Butuh waktu untuk mencerna kenyataan pahit yang baru saja ia telan.“Hai cantik,” goda sala
Setan berefhoria sebab Bima menyambut bibir ranum milik Kanaya. Keduanya tenggelam dalam cumb* menyesatkan. Meski Kanaya menganggap yang dihadapannya itu Elang, nyatanya Bima tetap menikmati setiap panggutan. Persekian detik panggutan pun terlepas.“Maafkan saya.”“Kamu tidak akan aku maafkan, Mas!”“Jangan seperti ini lagi, jangan jadi wanita bodoh! Selesaikan masalahmu.”“Brengs*k!” Kanaya mendorong tubuh Bima. Ia langsung membuka pintu mobil dan jalan sempoyongan memasuki rumah.Dahlan, sekuriti yang membukakan pintu pagar hanya mengerutkan dahi. Ia merasa aneh dengan prilaku majikannya. Namun sama sekali tidak berani bertanya atau menegur. Begitupun dengan Darmi yang membukakan pintu rumah. Ia hanya curiga kalau majikannya ini tengah menghadapi masalah. Anak-anak tentu saja masih dalam keadaan tidur dan terbuai mimpi. Kanaya lagi-lagi bisa melenggang dengan aman. Elang bahkan belum pulang juga. Kanaya langsung masuk kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan shower. Perlahan
SSN 75Semua berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya setelah melewati rasa perih pengkhianatan Kanaya bisa menemukan kebahagiaan lagi. Bersama Bima, ia merasa hidup berjalan normal. Meski yang namanya rumah tangga tidak lepas dari ujian. Hanya saja, selama ujian itu bukan kehadiran wanita lain, Kanaya akan selalu sanggup menjalaninya."Happy birthday to you, happy birthday Narain "Lagu ulang tahun mengantarkan Narain untuk meniup lilin dengan angka 5. Ya, buah hati Bima dan Kanaya tidak terasa sudah berusia lima tahun. Acara ulang tahun diselenggarakan sederhana. Hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat saja."Ayo sekarang potong kuenya!" Ucap Anna.Kanaya lekas membantu memotongkan."Suapan pertama buat siapa, Dek?" tanya Alya."Buat Ayah.""Kok, nggak buat mama dulu?""Ayah dulu. Mama itu suka celewet, kadang galak.""Ih, kok Rain gitu sama mama," protes Kanaya."Haha ...." Orang-orang malah nertawain Kanaya."Anak ayah yang Soleh, kue pertama harus buat mama ya. Soalnya mama lah
“Iya istriku, katakan saja hal apa yang sudah membuatmu marah, agar saya bisa memeprbaikinya.” “Ok. Pertama kamu kegatelan sama cewek muda waktu di taman. Alya sudah cerita semuanya. Bahkan kamu mau kasih nomer kan sama tuh cewek? Untung saja kamu enggak hapal. Coba kalau hapal, pasti sudah berkirim pesan sekarang juga.” “Cinta, kamu cemburu?” “Ini bukan perkara cemburu, Bim. Kamu sudah jelas suka dengan daun muda,” sengit Kanaya. “Eh Cinta, dengarkan dulu. Siapa bilang saya tidak hapal nomer Hp sendiri? Ya hapalah. Untuk apa coba saya pura-pura bilang enggak hapal? Itu karena saya sangat menjaga hati. Lagian buat apa juga tertarik sama bocah? Cantikan mama-nya Narain lah.” “Ehm … udah jangan bohong. Ngaku saja!” Bima pun menyebutkan nomer Hp-nya dan benar saja dia hapal, malah sangat hapal. Berarti alasan bilang tidak hapal memang karena tidak mau saja kasih nomer kepada cewek itu. “Gimana, masih mau bilang saya kegatelan? Emang benar sih, saya tuh udah gatel banget. Yang di ba
SSN-73Setelah mencoba mengingat, Bima tak kunjung menemukan kesalahannya sendiri. Pria kadang memang tidak peka.“Aduh, mama kalian tuh emang suka mendadak kayak gitu. Ayah jadi bingung.”“Ayo susul mama, Yah!” saran Alya.“Iya nanti saja. Sekarang tanggung, Ayah laper.”Mereka kembali melanjutkan aktifitas sarapannya dan tak lama Alya yang memang sudah sarapan sejak tadi merasa kenyang.“Aku dah selesai. Duluan ya Kak, Yah,” izin Alya.“Sayang tunggu, Ayah boleh minta tolong?”“Apa itu?”“Bawain sarapan buat mama. Mama pasti masih lapar. Kan tadi berhenti gara-gara marah sama ayah.”“Ok.”Alya segera membawa sepiring sarapan dan mencari mamanya. Ternyata Kanaya sedang duduk di balkon lantai dua.“Hey Mah.”“Bawa apa Sayang?”“Sarapan. Kata ayah, Mama harus sarapan banyak. Kan netein adek Narain.”“Terima kasih, Sayang.”Kanaya yang memang lapar langsung mengambil alih piring dari tangan Alya. Alya ikut menemani dengan duduk di samping mamanya.“Mah, tadi waktu jogging
Setelah baby Narain terbangun oleh suara bebek mainan, ia enggan terlelap lagi. Kanaya sampai terus nguap-nguap dan matanya berair menahan ngantuk.“Ya, udah tidur saja.”“Kan Narain belum bobo.”“Tidak apa-apa, biar saya yang jagain. Mungkin ia juga kangen, pengen gadang sama ayahnya.”“Enggak ah, aku juga mau di sini saja nemenin kamu.”Bima terus mengajak main anaknya. Sesekali ia pun menguap, tetapi terus ditahannya. Bima gegas membuat secangkir kopi untuk mengusir rasa kantuknya. Sekembali membuat kopi, rupanya Kanaya yang menunggu Narain sudah tertidur.“Mamanya sudah bobo ya? Tunggu, ayah minum dulu kopinya. Eum ….” Bima menghirup aromanya. Lalu ia seruput sedikit demi sedikit. Perlahan kantuknya pun hilang.Narain sama sekali tak rewel. Ia begitu asik bermain malam-malam bersama sang ayah. Tak terasa jarum jam sudah menunjuk angka 12. Berbagai nyanyian, solawat, doa-doa, tepuk-tepuk sampai ngoceh apa aja Bima lakuin agar si Buah hati tidur kembali. Usahanya tidak sia-s
Kanaya sulit terpejam. Ia terus menatap suami yang sudah terlelap kurang dari dua jam lamanya. Suami yang ditatap menggeliat. Kanaya menoleh pada jam yang nongkrong di meja samping bed. “Jam 00.00?” gumamnya. Biasanya di jam ini, Bima akan terbangun untuk buang air kecil. Mendadak Kanaya ingin memberi sedikit pelajaran dengan mengerjainya. Ia buru-buru bersembunyi di walk-in closet. “Ya ….” Terdengar Bima memanggil. Tidak lama terdengar juga langkahnya yang ke sana ke mari mencari. Lalu langkahnya kian menjauh dari ruang kamar. Kanaya keluar dari walk-in closet pelan-pelan. Ia mengintip dan mengendap seperti maling untuk menyaksikan kepanikan Bima di luar kamar. Tampak Bima berlari-lari kecil dari ruang ke ruang lainnya. Kanaya cekikikan sendiri sambil ditangkupnya mulut agar tidak kelepasan tertawa. Suaminya terdengar berteriak, untung saja anak-anak tidak terbangun. Lalu menyalakan semua lampu penerangan, terlihat napasnya terengah-engah. Raut penyesalan tampak jelas tergambar.
Bima menjemput Anna pulang sekolah. Sepanjang perjalanan ada yang dirasakan berbeda dalam diri Anna. Tak seperti biasanya mengoceh dan bercerita tentang harinya yang menyenangkan ataupun sebaliknya.“Ann, kamu kenapa?”“Tidak apa-apa.”“Tidak mau cerita sama Ayah?”“Tidak.”Suasana hening kembali sampai tiba di istina mereka. Kanaya sudah menyambut kepulangan putri sululungnya. Sementara Alya sudah lebih dahulu pulang.Anna masuk rumah begitu saja tanpa salam. Bahkan mamanya yang di ambang pintu ia lewati begitu saja. Ia pun langsung naik ke lantai dua dan terdengar membanting pintu kamar. “Bim, kenapa Anna?”“Anna tidak mau cerita.”“Apa Anna punya pacar?” selidik Bima. Meski mereka terbilang akrab, tetapi untuk urusan cinta, Anna enggan membagi kepada ayah sambungnya.“Iya. Dia jadian sama anak yang bernama Rangga itu, lho.”“Oh.”Kanaya sudah paham, walau suaminya hanya bilang ‘oh’, ia pasti akan melakukan sesuatu.“Aku mau temui Anna dulu, ya!”“Iya. Saya juga mau
Bima membawa istri untuk memeriksakan kehamilannya kembali. Sekalian mereka mau konsul tentang rencana babymoon-nya. Hasil pemeriksaan sejauh ini baik-baik saja, tetapi Indra sebagai dokter menyarankan agar mereka berangkat babymoon sekitar dua mingguan lagi. Untuk melihat sejauh mana kondisi Kanaya yang baru saja melewati fase mual muntah. Selagi ada waktu dua minggu, pasangan suami istri tersebut mempersiapkan segalanya. Mereka juga membujuk Anna dan Alya agar mau ditinggal selama seminggu. Bukan hal yang mudah tentunya, mengingat putri-putri Kanaya tidak pernah ditinggal lama. Akhirnya mereka semua mencapai mupakat setelah berdiskusi alot. Anna dan Alya mengizinkan hanya untuk lima hari. Destinasinya hanya Lombok, tidak boleh keliling ke tempat lain. Karena kalau keliling, mereka harus ikut turut serta. Setiap hari mereka juga harus video call untuk saling mengabari. Selama Bima dan Kanaya pergi, Mira juga diminta untuk menginap.** Wirawan sudah terlihat sangat sehat dan s
Depresi Kamila tidak kunjung membaik. Mira memasukkannya ke Rumah Sakit Jiwa karena kewalahan. Di rumah sakit, keadaan Kamila lebih terkontrol dan stabil. Sesekali ia mengunjungi Kanaya dan cucu-cucunya.“Nay, kenapa kamu jadi malas mandi begini sih?”“Enggak tahu, Bu. Rasanya mual kalau masuk kamar mandi itu.”“Padahal dulu waktu hamil Alya, kamu tuh rajin banget mandi. Sampai sehari lima kali, lho.”“Oh iya, hehe.”“Iya, Bu. Naya malas mandi tuh. Deket-deket saya juga, dia tidak mau,” timbrung Bima yang baru muncul.“Emang begitu Nak Bima bawaan orang hamil itu beda-beda. Yang sabar ya!”“Iya, Bu. Pasti.”“Tahu ah, kamu acara ngadu segala sama ibu,” ketus Kanaya.“Ya tak apa-apa Nay. Ibu malah senang kalau Nak Bima itu bisa akrab sama ibu. Lagian kamu juga aneh, justru lagi hamil itu harus deket-deket sama suami. Kamu juga dulu waktu hamil Anna, nempel banget sama suami. Sampai suamimu kamu larang masuk kantor. Jauh sedikit saja, kamu merajuk,” tutur Mira panjang tanpa sada
“Wah selamat, bentar lagi jadi dady, nih.”“Ngapain gue ganti nama jadi Dedi?”“Haha, enggak lucu lu!”“Engga lucu, ketawa.”“Haha … aduh Nyonya Anggara terima kasih banget karena Anda, hidup sahabat saya jadi berwarna. Padahal dulu hidupnya lempeng aja, mana bisa dia guyon.”“Begitulah. Waktu pertama kali bertemu juga, dia itu songong dan arogan.”“Eit, malah gunjingin suami,” seloroh Bima.“Hehe,” kekeh Kanaya.“Jadi beneran kan istri gue hamil?” ulang Bima memastikan lagi.“Beneran lah, masih aja lu nanya.”“Ya Tuhan, terima kasih.”Bima menangkup kedua pipi istri dengan gemas dan menghujaninya dengan kecupan.“Eh, eh, tolong kondisikan Pak Bima Anggara. Istri saya kebetulan lagi di LN, masih lama pulangnya,” sewot Indra.“Itu derita lu.”“Tega bener.”“Oya Dok, soal hubungan badan di trisemester pertama ini bagaimana?” tanya Kanaya.“Berhubung keadaan ibu dan janin sehat, jadi masih bisa dilakukan. Amanlah. Malah bisa menambah booster buat ibunya.”“Nambah booste