Sudah lebih dari setengah jam Hendra duduk gelisah di ruang tamu, menunggu Laila pulang, tetapi nampaknya tidak ada tanda-tanda wanita itu akan datang.Hendra menghela napas kasar seraya menyugar rambut. Dirinya sedikit kesal karena entah sudah panggilan ke berapa, tetapi tak juga Laila menjawab teleponnya."Ke mana kamu, La?" Akhirnya terpaksa Hendra meninggalkan rumah untuk kembali bertemu Saka. Nanti akan Hendra tanyakan ke mana perginya sang istri setelah bertemu."Lama amat, di tungguin dari tadi juga." Saka menggerutu kesal, Hendra terlambat datang. "Maaf, maaf. Jadi gimana alat-alat bengkel apa lagi yang harus di beli?""Nggak banyak sih, cuma ya kalau di lengkapi kayak bengkel yang di sini, ya lumayan duitnya."Mereka larut dalam perbincangan untuk pengembangan bengkel cabang yang saat ini Saka kelola. Hendra berencana akan melengkapi bengkel agar bengkelnya semakin dimintai oleh banyak orang.Salah satu setrategi yang Hendra gunakan untuk menarik minat konsumen, selain tenag
"Kamu dari mana, La? Tubuh Laila seakan terpaku mendengar suara bariton khas milik suaminya. Memang dia pulang terlambat. Namun, tidak menyangka lelaki itu mengunggu kedatangannya. Sekilas dilirik jam tangan, baru pukul lima. Biasanya Hendra akan pulang jam setengah enam atau kadang lebih lama lagi. Sepertinya tuhan tidak berpihak padanya. Laila memilin ujung kerudung, tidak tahu akan memberi alasan apa.Ya, Hendra pulang lebih awal karena rasa khawatir yang tak kunjung hilang, tetapi sesampainya di rumah, rumah masih dalam keadaan kosong. Lelaki itu kini duduk menyilangkan kaki di atas sofa. Meski kesal dan marah menguasai hati, tetapi dia masih bisa mengontrol emosi. Agar lebih tenang, dia menyandarkan punggung dan banyak-banyak menghirup oksigen."Kamu dari mana, Sayang?" Suara Hendra terdengar lembut. Namun, di telinga Laila terdengar sangat menakutkan.Wanita itu tahu betul jika saat ini suaminya tengah menahan amarah. Terlihat dari wajah suaminya yang memerah, juga beberapa k
Sudah satu jam yang lalu Hendra pergi bekerja kini tinggallah Laila bersama Ahmad di rumah.Wanita yang masih mengenakan daster sebagai baju kebesarannya itu memilih duduk menonton TV sembari makan cemilan yang di beli beberapa waktu lalu dari pada membersihkan rumah dan mengurus anak.Beginilah Laila jika sang suami bekerja dia akan bersantai ria, tidak perduli keadaan rumah bagai kapal pecah atau anak belum mandi, sungguh Laila tidak perduli. Laila hanya perduli dengan ponsel yang bisa menghubungkan dirinya dengan kekasih haramnya. Ya, hubungan mereka terus berlanjut, tanpa ada rasa takut akan dosa di hati keduanya. Mereka sangat-sangat menikmati kecurangan itu.Dering ponsel mengalihkan matanya dari televisi, lalu melihat dengan ekor mata siapa yang menelepon. Dia berdecak saat tahu siapa yang menelepon."Ahmad ...." panggil Laila dengan suara kuat."Iya, Bu ...." Ahmad berlari dari taman untuk memenuhi panggilan ibunya.Laila langsung menyodorkan ponsel. "Nenekmu."Dengan wajah
"Eh, Ibuk sama Bapak." Alih-alih menjawab pertanyaan suaminya, dia bangkit setelah menguasai diri, lalu menyalami kedua mertuanya dengan senyum menghiasi bibir. Tentu saja senyum itu, terpaksa dilakukan karena merasa tertangkap basah sedang bersantai. "Ayo Buk, Pak kita makan." Hendra membimbing kedua orang tuanya ke meja makan. Namun, Pak Tono menolak karena ingin makan lesehan katanya. Tentu saja Hendra segera menuruti kemauan orang tuanya. Sebab, jarang sekali orang tuanya mau datang. Apalagi sampai makan bersama."Sayang, tolong ambilkan karpet, ya. Nanti kita makan di sini aja."Meski terpaksa, Laila mengambil karpet di gudang."Datang-datang buat susah aja. Kenapa nggak aku tolak aja tadi." Sepanjang membawa karpet tidak henti-hentinya Laila mengomel.Karpet berukuran mini itu sudah terbentang, dengan sigap Bu Tari membuka rantang bawaannya."La, tolong ambilkan wadah," ujar Bu Tari.Cepat Laila mengambil mangkuk serta piring sesuai perintah mertuanya. Tetapi, tiba-tiba Hendra
"Aku nggak mau kamu main-main di belakangku, ya ...." teriak wanita bertubuh tambun itu. Siapa lagi jika bukan istri Arman.Wanita itu meradang kala mendengar suaminya berbicara dengan nada mesrah. Dia yakin dan sangat yakin suaminya berbicara dengan seorang perempuan. Namun, sayangnya dia tidak bisa melihat siapa perempuan itu. Sebab, suaminya cepat menutup layar ponsel."Nggak, Sayang. Aku mana berani khianati kamu." Arman mencoba merayu sang istri. Diraihnya tangan wanita bernama Puja itu, tetapi cepat ditepis."Bohong! Aku denger sendiri itu suara perempuan!""Itu cuma video di toktok, Mami Sayang ...."Masih belum percaya juga, wanita itu meraih ponsel milik suaminya di atas meja. Tentu saja Arman panik. Secepat kilat dia mencegah."Untuk apa, Sayang?" tanya Arman diiringi senyum canggung. Kemudian sedikit paksa merebut kembali ponselnya."Sini aku mau lihat bener cuma video toktok, apa itu cuma alesan kamu. Sini HP-nya!" Melihat wajah istrinya merah padam Arman segera membuka
Selepas asar, Hendra dan Laila menjemput anak mereka di rumah Bu Tari. Tadinya Laila enggan ikut, tetapi karena Hendra memaksa, akhirnya wanita itu ikut. Jalanan cukup padat karena bertepatan jam pulang kerja. Sehingga Hendra mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Sedangkan Laila sedari tadi diam karena masih kesal dengan suaminya yang memaksa untuk ikut. Padahal dia berencana akan menghubungi Arman untuk mengetahui kelanjutan dari usaha yang akan mereka bangun. Dia harus mencari kesempatan lain untuk bisa berkomunikasi dengan Arman, karena tidak mungkin sekarang ini. Bisa-bisa suaminya akan mengetahui segalanya."Oya, pas kamu pergi jalan-jalan sama Ahmad, Mas dapet notif pembayaran di kafe, jumlahnya banyak. Apa kamu makan di sana sampai sebanyak itu?" Hendra memulai obrolan.Sudah lama ingin menanyakan masalah ini, tetapi lupa. Baru hari ini ingat kembali.Laila yang tadi bersandar kini menegakkan tubuhnya. Pertanyaan Hendra yang tiba-tiba membuat sekujur tubuh panas dingin.
"Sayang kita jalan-jalan yuk, selagi Mas nggak ada kerjaan. Tadi Mas udah bilang sama Ahmad, dia setuju," ajak Hendra setelah selesai mandi.Lelaki itu sibuk menggosok-gosok rambut menggunakan handuk. Tingkat ketampanannya semakin terlihat, tetapi sayangnya Laila kurang bersyukur memiliki suami seperti Hendra. Entah apa lagi yang kurang. Penyabar, penyayang dan juga wajah tampan semua Hendra miliki. Perut kotak-kotak Hendra juga punya. Namun, semua itu tidak membuat Laila menjadi istri setia."Kamu aja deh, Mas sama Ahmad, badan aku sakit semua habis beres-beres tadi," ujar Laila yang duduk di atas kasur sembari memijat tangannya.Lekas Hendra menaruh handuknya, lalu mendekat. Tanpa di minta lelaki itu memijat pundak istrinya."Di sini yang sakit?" Laila mengangguk.Kali ini bukan kebohongan yang Laila katakan. Memang benar tubuhnya sakit terutama bagian pundak hingga tangan. Sebab, terlalu buru-buru saat mencari surat tadi, tanpa sengaja lengannya berulang kali terbentur sisi lemari
"Jadi kurangnya gimana, Mas?" Laila sedikit menguatkan suaranya karena saat ini mereka sedang mengendarai motor.Pada akhirnya mereka menerima tawaran Abang Bear dengan bunga yang cukup tinggi. Begitulah namanya juga rentenir, sudah pasti mencari keuntungan untuk menambah pundi-pundi kekayaan.Saat ini uang sepuluh juta sudah berada di tangan, tetapi masih kurang. Laila bingung mau mencari ke mana lagi. Sedangkan Arman tersenyum senang sudah mendapatkan uang itu. Meski kurang setengahnya."Entahlah, Mas pun pusing. Apa kamu nggak punya tabungan?" "Mana ada. Nggak mungkin 'kan aku minta sama suamiku. Bunuh diri itu namanya. Kamu dong usaha cari pinjaman kek, katanya usaha ini untuk berdua, tapi kamu keelihatan santai-santai aja." ucap Laila, ketus.Dari nada bicaranya Arman tahu kekasihnya itu tengah marah."Jangan marah dong, Sayang .... Kamu 'kan tau sendiri kerjaan aku gimana, mau pinjem pun sama siapa? Nanti deh, kita cari solusinya."Laila hanya mendengkus, terlanjur kesal meliha
"Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil