"Kami cuma berdua Mbak, lagian aku pergi udah dari pagi, sedangkan Mbak baru ke sini. Jauh loh, jaraknya. Nggak mungkin itu Laila."Santi semakin bingung mendengar penjelasan adiknya. Jelas-jelas dia melihat Laila di bonceng karena menggunakan motor dia mengira itu Hendra. Wanita itu menggelengkan kepala belum percaya."Mbak mungkin salah orang itu," ujar Hendra lagi. Merasa kakaknya salah dalam melihat orang. "Bisa jadi. Tapi ya, Ndra, tadi bajunya itu sama persis sama yang sering Laila pakai. Mukanya juga, dia sempat lihat Mbak, kok."Hendra geleng kepala melihat Santi kekeuh dengan pendapatnya. Istrinya di rumah sedang sakit, mana mungkin pergi keluar. Pikir Hendra.Lantas untuk membuktikan ucapannya, Hendra mencoba menghubungi Laila. Telepon tersambung, tetapi tidak juga di jawab. Hingga timbullah rasa curiga, dia menatap Santi."Nggak di angkat kan? Udah pasti Laila lagi di luar. Entah sama siapa dia pergi itu. Ah, istrimu itu ...." ucap Santi, terdengar emosi mengingat saat Lai
"Ahmad cepat sedikit, Bubu terlambat ini. Kamu itu pakai baju aja lama banget!" teriak Laila sembari berkacak pinggang. Sebab, Ahmad tak kunjung turun. Padahal dia sudah menunggu lama.Hari ini Laila harus segera pergi ke toko emas untuk menjual perhiasannya. Arman tadi menelepon dan mengatakan sudah berada di gudang sudah menyelesaikan bayaran. Sayur yang sudah di pesan akan segera datang, uang hasil penjualan perhiasan itulah yang diguanakan untuk membayar. "Ahmad!" Sekali lagi Laila berteriak memanggil Ahmad, tetapi tidak ada jawaban."Ck, mana anak ini!" Sementara itu, Ahmad yang kesusahan mengenakan bajunya pun sudah berlinang air mata, takut ibunya semakin murka karena dia tidak juga selesai.Anak itu menyerah, dia berjalan menuruni tangga hanya menggunakan celana, menghampiri ibunya."Bu, Amad nggak bisa pakai baju," ujar Ahmad dengan kepala tertunduk dalam, suaranya terdengar bergetar ketakutan."Begini aja nggak bisa! Kata ayahmu, kamu udah bisa semua sendiri. Tapi, ini apa
"Kamu baru pulang, La?"Seketika langkah Laila terhenti saat akan menapaki anak tangga, dia menoleh mendapati sang suami duduk di meja makan. Laila mengerutkan alis, sejak kapan pula suaminya duduk di sana? Dia tidak melihatnya tadi."Eh, kamu udah pulang, Mas?" Dia memang baru saja menginjakkan kaki di rumah setelah menyenangkan diri, tentu saja shoping. Menghabiskan uang hasil jual perhiasan. Di tangannya kini banyak paper bag dengan nama brend terkenal. Sungguh Laila sangat menikmati harinya karena jarang sekali dia bisa melakukan itu. Sebab, sang suami selalu melarang."Untuk apa beli baju dan tas kalau hanya untuk pajangan, La. Semua itu nantinya ada hisabnya." Nasehat yang Hendra katakan kala Laila pulang belanja dan barang-barang tidak di butuhkan memenuhi kamar mereka."Belanja itu sesuai kebutuhan kamu, Mas nggak akan larang, kok," tambah Hendra.Jika sudah begitu Laila hanya bisa diam, tetapi dalam hati menggerutu, kesal. "Kamu belanja?" Pertanyaan dari Hendra menarik Lail
"Hm, Mas cuma ingin kamu tuh, jangan abai sama Ahmad.""Iya aku salah, maafkan aku ya, Mas." Laila tertunduk, lalu air matanya kembali membasahi pipi.Dan, perlahan tangan Hendra merengkuh Laila dalam pelukkan. Amarah yang tadi sempat menguasai diri menguap begitu saja karena dia pikir Laila sudah benar-benar menyesali perbuatannya. Sebab, istrinya kembali meneteskan air mata. Tanpa lelaki itu sadari, Laila tersenyum sinis dalam pelukkan, merasa bangga bisa meluluhkan hati suaminya hanya dengan memasang wajah sedih dan permintaan maaf, yang sebenarnya tidak tulus dari hati.Setelah itu mereka memutuskan untuk tidur karena hari sudah semakin larut. Tepat dini hari Hendra bangun dan tidak mendapati Laila di ranjang. Lelaki itu mengernyitkan dahi. Ke mana istrinya?Kemudian dia beranjak menuju kamar mandi. Niatnya bangun untuk melakukan ibadah malam yaitu salat tahajut. Nanti setelah salat baru dia mencari istrinya. Begitu pikir Hendra."Eh, kamu bangun, Mas?" Laila yang baru memasuki ka
"Memang bener 'kan situ suka bawa laki-laki ke rumah," ucap wanita bergaya sosialita itu dengan tatapan sinis."Tau dari mana? Kalian itu udah tua harusnya diam di rumah banyak beribadah, bukan gosipin orang nggak jelas." Laila tersengut-sungut tidak terima. Walaupun semua benar adanya. Namun, tetap saja tidak terima menjadi bahan gosip.Dadanya naik turun menahan emosi, takut jika semua orang tahu semakin menyulitkan dirinya jika nanti bertemu Arman. Terutama jika kabar itu sampai ke telinga suaminya, tidak tahu kebohongan apa lagi yang akan dia katakan. Salahnya juga beberapa kali mengajak Arman ke rumah. Dia kira karena tinggal di kota serta komplek tempatnya tinggal jarang bertegur sapa tidak akan ada tempat gibah seperti di kampung. Nyatanya mau di mana pun tinggal tetap saja ada tetangga julid suka menggosip. Wanita itu jadi menyesal."Taulah, jangan kira kita nggak pernah tegur sapa terus kita di sini nggak tau kelakuan kamu," balas wanita itu tak kala emosi, melihat Laila seol
Hujan turun sangat deras malam ini, tetapi tidak mengganggu lelaki yang sedang duduk termenung dengan pandangan lurus ke depan. Air hujan yang mengenai kaki tidak di hiraukan. Pikiran melayang kala pertengkaran bersama sang istri tadi."Jelaslah aku nggak akan kayak gitu lagi, tapi kata-kata Mas yang tadi terkesan menyudutkan aku." Laila berbicara dengan suara keras. Sehingga Hendra mengernyitkan alis. Hanya karena dia melarang Laila bertengkar dan mengatakan jika tidak salah kenapa harus marah. Dia rasa tidak ada yang salah dari ucapannya."Kamu kenapa sih, La?""Alah kamu itu nggak percaya sama aku kan? Padahal kamu tau kalau aku udah berubah! Argggh, ingat aku udah berubah, Mas," pekik Laila, kesal karena Hendra seolah menuduh dirinya selingkuh.Semakin Hendra tenang, Laila semakin khawatir jika suaminya tahu sesuatu dan suatu saat akan membalas perbuatannya. Pikiran itu terus mendominasi hingga dia lepas kendali dan memecahkan gelas yang isinya sudah kosong.Prang!Pecahan gelas
"Kenapa lama banget, sih? Aku nunggu udah jamuran tau. Lagi pula aku nggak bisa lama anakku cuma sebentar aku titipkan sama mertua." Arman baru memasuki kamar hotel menghela napas, mendengar Laila mengomel.Terlihat wajahnya masam dengan tangan terlipat di dada."Maaf, Sayang." Hanya itu yang bisa Arman ucapkan, tidak mungkin memberitahu jika dia terlambat karena ponselnya tertinggal dan juga habis menghabiskan waktu bersama istrinya."Huff, di telepon juga kamu diam aja. Dateng-dateng cuma minta maaf." Laila masih belum puas mengungkapkan kekesalannya.Arman mengerutkan alis. Laila menelepon, kapan? Dia tidak merasa ponselnya berdering sejak tadi. Apa jangan-jangan istrinya? Namun, segara di tepis pikiran itu. Tidak mungkin. Melihat Laila masih merajuk, cepat dia memeluk untuk meredahkan amarah kekasihnya itu. Meski pelukkannya di tepis berulang kali, tetapi Arman tidak menyerah begitu saja, dia terus merayu sampai pada akhirnya Laila diam saat kedua tangan lelaki itu melingkar di p
"Tara ...." Bu Hambar memutar tubuhnya. Sepertinya kejutan yang dia berikan cukup membuat Laila terkejut, terbukti saat ini mulut putrinya menganga.Atau terpesona dengan penampilannya yang berubah bergaya sosialita. "Kamu terkejut 'kan? Iya dong," ujar Bu Hambar diiringi tawa."Mak, ngapain di sini?" tanya Laila, masih belum percaya jika ibunya sekarang berada di sini, di rumahnya. "Terus ini baju apa lagi?"Pakaian hitam putih garis-garis, melekat di tubuh Bu Hambar. Sebenarnya tidak ada yang salah, hanya saja wanita itu mengenakan warna senada dari ujung kaki hingga ujung kepala yang tidak tertutup kerudung. Sepatu juga menggunakan warna senada sampai bando pun sama. Tidak ketinggalan emas palsu untuk melengkapi penampilannya itu. Laila tepuk jidat melihatnya. Ibunya sudah seperti zebra cross berjalan."Rindulah sama anak Mama, kamu nggak pernah pulang, sih. Baju ini tren orang kaya. Di kampung ibumu ini paling cantik dan modis." Dengan percaya diri Bu Hambar melangkah memasuki
"Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil