"Sayang, Ahmad nangis, kamu di mana?" panggil Hendra, tetapi tidak ada jawaban.Hendra yang masih mengenakan sarung, baru selesai menunaikan kewajiban dua rakaat menghampiri anaknya, lalu mengulurkan tangan. Mencoba menenangkan."Anak Ayah kenapa nangis, hm? Cari Ibu, ya?"Anak berusia tiga tahun itu mengangguk dengan polosnya. Sudah menjadi kebiasaan Ahmad jika bangun tidur tidak mendapati Laila di sampingnya, anak itu akan menangis. Meski begitu sebenarnya Ahmad tidak terlalu dekat pada Laila, hanya saat bangun tidur saja anak lelaki itu mencari ibunya."Jangan nangis lagi, kita cari Ibu."Perlahan tangisan meredah, hanya tinggal sesenggukan serta bekas air mata yang membasahi pipi. Segera Hendra menghapus bekas air mata itu sambil tersenyum. Sembari menggendong anaknya Hendra mencari sang istri ke dapur. Biasanya sehabis subuh Laila berada di sana."Sayang! Laila ...."Wanita yang mengenakan daster dengan rambut di ikat cepol sedang beradu dengan peralatan dapur. Penampilannya sema
"Mana nomor teleponnya?" tanya Hendra sembari mengulurkan tangan."Ada." Laila mencari di saku gamis, seingatnya tadi dia letakkan di sana."Mas nggak perlu minta tanggung jawab, lagian aku juga salah kurang hati-hati.""Nggak, cuma mau lihat aja nomornya," ujar Hendra memberi alasan. Sebenarnya ada sedikit rasa cemburu di hati. Dia minta kertas itu untuk di buang, bukan untuk minta pertanggung jawaban. Jika sekadar membawa Laila ke rumah sakit Hendra sangat mampu, tidak perlu bantuan orang lain. Hanya saja sedikit kekhawatiran melihat begitu antusiasnya Laila bercerita tentang laki-laki lain yang baru saja di temui. Takut jika sang istri kembali berhianat. Namun, pikiran itu segera di tepisnya.Sumber masalah berawal dari pikiran yang tidak positif. Tubuh akan mensugesti diri untuk melakukan apa yang dipikirkan. Begitu pun Hendra sebisa mungkin berpikir positif. Jangan sampai rasa curiga itu menimbulkan masalah dan menjadi kenyataan."Kok, nggak ada ya, Mas." Laila berpikir sejenak.
Duduk sembari terus melihat kertas yang terkena getaran mesin cuci. Hampir saja kertas itu jatuh, dengan sigap Laila mengambilnya.Berulang kali dibaca nomor yang tertera di kertas itu hingga akhirnya Laila mengambil ponsel dan mencatat nomor tersebut. Meski ragu, dia mencoba melakukan panggilan.Tersambung, tetapi segera di matikan. Tiba-tiba saja rasa takut hinggap di hati. Namun, rasa penasaran semakin kuat, memaksa Laila untuk kembali menghubungi nomor itu. Apalagi bayang-bayang senyum manis sang sopir melekat di pikirannya. Lagi-lagi telepon Laila matikan. Di putar-putar benda kecil yang tidak bisa lepas darinya. Benda yang diam-diam sering dia gunakan untuk beselancar di dunia maya saat suaminya sudah tertidur. Pasalnya, Laila sudah di larang agar tidak terlalu sering menggunakan ponsel. Itu salah satu cara yang Hendra lakukan sebagai hukuman untuk sang istri, selain mengganti sim card-nya. Namun, nyatanya wanita itu belum juga jera, selama ini berhubungan dengan teman-temannya
Sedikit gugup, tetapi Laila cepat mengatasinya."Kayaknya kamu salah denger, deh. Kalau kamu denger udah pasti aku juga denger, Mas. Yuk ah, ke kamar kasian Ahmad sendirian.""Jangan nuduh aku yang enggak-enggak. Selama ini aku udah berubah, loh," omel Laila sembari terus berjalan.Setengah terpaksa Hendra mengikuti Laila yang lebih dulu jalan di depannya, sesekali lelaki itu masih melihat ke arah dapur yang terhubung langsung dengan ruang cuci. "Mas, ayo ah. Aku takut loh, kamu kayak gini." Bibir Laila mengerucut, kesal.Untuk menutupi kesalahan Laila berucap demikian. Seolah-olah Hendra salah dengar, padahal dirinya pun mendengar suara ponsel berbunyi. Sudah bisa di pastikan suara itu berasal dari ponselnya. Namun, untuk mengakui kesalahannya dia tidak siap. Melihat istrinya kesal, Hendra cepat menghampiri."Maaf Sayang, kayaknya memang Mas salah denger. Maaf udah nuduh kamu yang enggak-enggak."Akhirnya Hendra menyimpulkan jika memang dirinya yang salah mendengar. Apa lagi melih
"Ya ....""Selamat pagi wanita cantik yang jauh di sana," ucap Arman bermaksud menggoda.Tentu saja Laila langsung terkikik geli. Pujian itu terasa lucu, tetapi saat mendengarnya terselip rasa bahagia. Seketika mood wanita itu kembali membaik, padahal sempat kesal karena ibu mertuanya."Selamat pagi. Aku nggak cantik loh, biasa aja." Laila merendah."Pertama ketemu aku udah terpesona, sungguh terpesona ...." Arman menirukan sebuah lagu yang sedang tren. Tawa Laila semakin jadi hingga matanya berair."Kalau aku di dekat kamu pasti bakal lebih terpesona lagi. Denger suara ketawanya aja udah bisa bayangin gimana cantiknya." Arman terus melancarkan serangan yaitu rayuan maut untuk membuat lawannya tersipu malu.Jelas saja, Laila menggigit bibir bawahnya karena terlalu bahagia. "Gombal banget kamu tuh."Sembari terus mengobrol Laila duduk di tepi ranjang, mengurungkan niatnya untuk bersiap. Sebentar lagi, Hendra pasti akan menunggu. Pikirnya.Tadi malam Laila terpaksa mengambil ponselnya d
"Mau kamu yang beli atau Hendra sama aja. Terima kasih, Nduk."Setelah mengatakan itu Bu Tari meninggalkan Laila untuk mengambil mangkuk. Sementara Laila mencibikkan bibir, tidak suka. Saat melewati ruang jahit Bu Tari melihat suaminya tampak serius bergelut dengan jarum dan benang."Pak, ada bubur dari Laila. Makan dulu yuk.""Laila udah datang, Buk?""Udah, itu di depan sama Ahmad."Senyum di bibir Pak Tono mengembang, lalu dengan semangat lelaki paruh baya itu menenteng gamis buatannya. Gamis berwarna krem berbahan katun premium. "Untuk siapa itu, Pak?"Untuk Laila. Kemarin ada kain berlebih jadi dari pada mubazir Bapak jahit untuk Laila satu, untuk Santi satu. Semoga Laila suka ya, Buk."Bu Tari mengangguk, lalu mengambil mangkuk dan menyusul sang suami yang sudah lebih dulu ke depan."Kok, modelnya jelek banget Pak. Aku nggak mau pakai itu, ah." Bu Tari mematung mendengar ucapan Laila. Hatinya sedih, Laila tidak bisa menghargai pemberian suaminya. Meski dari kain sisa penjuala
"Hai ...." Laila melambaikan tangan, sementara dia masih duduk di atas motor."Udah nunggu lama?"Laila menggeleng seraya tersenyum manis. Lelaki yang mengenakan kaos putih di padukan dengan celana jeans serta topi yang melekat di kepalanya sangat-sangat membuat Laila terpesona. Meski, cuma seorang supir. Namun, mampu menggetarkan hati. Ya, lelaki itu adalah Arman, lelaki yang baru saja di kenal, tetapi sudah sangat akrab. Rasa canggung pun tidak ada lagi. Hanya ada rasa saling mengagumi dalam hati. "Yuk kita pergi, jangan di sini.""Ke mana, Mas?" Laila mengernyit heran.Tanpa memberi jawaban, lelaki itu meminta Laila menggeser duduknya agar dia yang mengendarai motor. Bagai kerbau di cucuk hidungnya, Laila menurut tanpa banyak protes. Mereka bertemu di dekat pasar, tempat di mana pertama kali bertemu, sesuai janji keduanya. Kini, motor di kendarai dengan santai sembari menikmati suasana pagi menjelang siang. Namun, perhatian Laila teralihkan saat motor yang Arman kendarai menuju p
Wanita itu jalan mengendap-endap menuju depan rumah kontrakan. Langkah demi langkah dengan sangat hati-hati melewati selokan yang airnya telah menghitam. Beberapa kali dirinya hampir berteriak karena banyak binatang menggelikan lewat di bawah kakinya."Iss, Mas Arman mau banget deh, tinggal di tempat ini."Laila menggerutu seraya memperhatikan langkahnya. Dirinya jadi berpikir dua kali ingin menjalin kasih dengan lelaki itu. Baru saja hendak melangkah ke depan samar-samar dia mendengar seseorang bicara. Tidak salah lagi, suaranya berasal dari dalam rumah Arman. Lekas Laila menempelkan telinga di dinding yang terbuat dari papan."Nggak ada apa-apa di rumah kita, Sayang. Aku pulang cuma mau istirahat dari pasar capek banget.""Kalau nggak ada apa-apa kenapa di kunci pintunya?""Mas takut ada maling, istriku ...."Deg!Jantung Laila bagai di hujam batu besar mendengar kalimat terakhir dari Arman. Istri? Ternyata Arman telah memiliki istri. Laila geram merasa di bohongi, tetapi wanita i