"Mirip banget sama kamu waktu pas masih bayi, Ndra," ujar Santi seraya terus memandangi bayi mungil yang berada dalam box."Iya, apa lagi hidungnya San, adikmu banget," sahut Bu Tari dengan senyum bahagia menghiasi wajah."Bener, Buk. Masyaallah gantengnya ponakan bude ini." Santi sibuk mencolek pipi gembul anak adiknya itu dan sesekali melantunkan solawat.Ibu dan anak itu tidak hentinya memandang bayi yang baru saja lahir. Mereka tidak beranjak sedikit pun sejak bayi laki-laki itu di masukkan box oleh perawat. Wajah tampannya membuat siapa saja tidak ingin berpaling. Hendra yang tengah duduk di samping brankar Laila, ikut tersenyum bahagia. Dia semakin yakin bahwa anak itu adalah anaknya, hampir seluruh wajah keduanya mirip. Bak pinang di belah dua kata orang.Kemudian Hendra mengalihkan pandangan, kini di pandang wajah ayu istrinya. Mata wanita itu masih terpejam, meski sudah sadar sejak masuk dalam ruang rawat. Katanya tubuh terasa lelah dan Laila mencoba memejamkan mata."Mas pe
Sehabis magrib ruang rawat Laila sudah di penuhi dengan teman-teman Hendra. Ardi juga datang karena mendengar kabar dari Saka.Lelaki yang baru saja menyandang gelar ayah itu tidak beranjak sedikit pun dari sisi istrinya meski ruangan telah ramai. Jika di haruskan dia akan bergantian dengan Bu Tari. Raut cemas tercetak jelas di wajah tampannya. Sebab, Laila tidak henti-hentinya merengek, tetapi saat bertanya pada dokter hal itu biasa terjadi pada orang yang habis melakukan tindakan operasi."Tinggallah Laila. Biar Ibuk yang jaga, temui temen-temenmu, Le.""Iya, Buk." Hendra beranjak."Mas sakit sekali ...." Untuk kesekian kali Laila mengeluh. Meski banyak tamu yang datang, Laila tidak perduli. Semua yang datang menoleh ke arah Laila."Maaf ya, menantu saya nggak tahan sakit," ujar Pak Tono sedikit menahan malu."Ah, iya nggak apa Pak, kami ngerti kok," ujar salah satu temen Hendra."Iya kami nggak masalah," sahut yang lainnya."Semangat ya, Ndra." Hendra yang baru bergabung tersenyum
Kelakuan Bu Hambar semakin jadi setiap harinya. Apalagi kini Santi yang lebih sering datang dari pada Bu Tari, sebab wanita paruh baya itu kesehatannya sedikit menurun. Mungkin kelelahan mengurus Laila selama di rumah sakit. Setelah mengucapkan salam Santi yang baru datang langsung masuk ke dalam rumah. Riuh tawa anak-anak memenuhi ruang tamu, tidak ada satu pun yang menjawab salamnya termasuk Bu Hambar yang tengah bersantai sembari makan cemilan. Tanpa menyapa ibu satu anak itu langsung menuju dapur. Namun, di dekat tangga berpapasan dengan Hendra dan Laila dengan Ahmad dalam gendongan ayahnya."Ndra, udah mau pergi? Tumben cepet biasanya jam sepuluh baru pergi." "Iya, Mbak. Saka nggak bisa ke bengkel karena nggak enak badan katanya. Makanya aku pergi cepat, perlengkapan bengkel juga mau datang hari ini." Pandangan Hendra tetap fokus pada anaknya dan sesekali menciumi pipi gembul yang sangat menggemaskan itu.Santi manggut-manggut."Kamu nggak usah ngantar ke depan, Sayang. Aku per
"Sayang, Ahmad nangis, kamu di mana?" panggil Hendra, tetapi tidak ada jawaban.Hendra yang masih mengenakan sarung, baru selesai menunaikan kewajiban dua rakaat menghampiri anaknya, lalu mengulurkan tangan. Mencoba menenangkan."Anak Ayah kenapa nangis, hm? Cari Ibu, ya?"Anak berusia tiga tahun itu mengangguk dengan polosnya. Sudah menjadi kebiasaan Ahmad jika bangun tidur tidak mendapati Laila di sampingnya, anak itu akan menangis. Meski begitu sebenarnya Ahmad tidak terlalu dekat pada Laila, hanya saat bangun tidur saja anak lelaki itu mencari ibunya."Jangan nangis lagi, kita cari Ibu."Perlahan tangisan meredah, hanya tinggal sesenggukan serta bekas air mata yang membasahi pipi. Segera Hendra menghapus bekas air mata itu sambil tersenyum. Sembari menggendong anaknya Hendra mencari sang istri ke dapur. Biasanya sehabis subuh Laila berada di sana."Sayang! Laila ...."Wanita yang mengenakan daster dengan rambut di ikat cepol sedang beradu dengan peralatan dapur. Penampilannya sema
"Mana nomor teleponnya?" tanya Hendra sembari mengulurkan tangan."Ada." Laila mencari di saku gamis, seingatnya tadi dia letakkan di sana."Mas nggak perlu minta tanggung jawab, lagian aku juga salah kurang hati-hati.""Nggak, cuma mau lihat aja nomornya," ujar Hendra memberi alasan. Sebenarnya ada sedikit rasa cemburu di hati. Dia minta kertas itu untuk di buang, bukan untuk minta pertanggung jawaban. Jika sekadar membawa Laila ke rumah sakit Hendra sangat mampu, tidak perlu bantuan orang lain. Hanya saja sedikit kekhawatiran melihat begitu antusiasnya Laila bercerita tentang laki-laki lain yang baru saja di temui. Takut jika sang istri kembali berhianat. Namun, pikiran itu segera di tepisnya.Sumber masalah berawal dari pikiran yang tidak positif. Tubuh akan mensugesti diri untuk melakukan apa yang dipikirkan. Begitu pun Hendra sebisa mungkin berpikir positif. Jangan sampai rasa curiga itu menimbulkan masalah dan menjadi kenyataan."Kok, nggak ada ya, Mas." Laila berpikir sejenak.
Duduk sembari terus melihat kertas yang terkena getaran mesin cuci. Hampir saja kertas itu jatuh, dengan sigap Laila mengambilnya.Berulang kali dibaca nomor yang tertera di kertas itu hingga akhirnya Laila mengambil ponsel dan mencatat nomor tersebut. Meski ragu, dia mencoba melakukan panggilan.Tersambung, tetapi segera di matikan. Tiba-tiba saja rasa takut hinggap di hati. Namun, rasa penasaran semakin kuat, memaksa Laila untuk kembali menghubungi nomor itu. Apalagi bayang-bayang senyum manis sang sopir melekat di pikirannya. Lagi-lagi telepon Laila matikan. Di putar-putar benda kecil yang tidak bisa lepas darinya. Benda yang diam-diam sering dia gunakan untuk beselancar di dunia maya saat suaminya sudah tertidur. Pasalnya, Laila sudah di larang agar tidak terlalu sering menggunakan ponsel. Itu salah satu cara yang Hendra lakukan sebagai hukuman untuk sang istri, selain mengganti sim card-nya. Namun, nyatanya wanita itu belum juga jera, selama ini berhubungan dengan teman-temannya
Sedikit gugup, tetapi Laila cepat mengatasinya."Kayaknya kamu salah denger, deh. Kalau kamu denger udah pasti aku juga denger, Mas. Yuk ah, ke kamar kasian Ahmad sendirian.""Jangan nuduh aku yang enggak-enggak. Selama ini aku udah berubah, loh," omel Laila sembari terus berjalan.Setengah terpaksa Hendra mengikuti Laila yang lebih dulu jalan di depannya, sesekali lelaki itu masih melihat ke arah dapur yang terhubung langsung dengan ruang cuci. "Mas, ayo ah. Aku takut loh, kamu kayak gini." Bibir Laila mengerucut, kesal.Untuk menutupi kesalahan Laila berucap demikian. Seolah-olah Hendra salah dengar, padahal dirinya pun mendengar suara ponsel berbunyi. Sudah bisa di pastikan suara itu berasal dari ponselnya. Namun, untuk mengakui kesalahannya dia tidak siap. Melihat istrinya kesal, Hendra cepat menghampiri."Maaf Sayang, kayaknya memang Mas salah denger. Maaf udah nuduh kamu yang enggak-enggak."Akhirnya Hendra menyimpulkan jika memang dirinya yang salah mendengar. Apa lagi melih
"Ya ....""Selamat pagi wanita cantik yang jauh di sana," ucap Arman bermaksud menggoda.Tentu saja Laila langsung terkikik geli. Pujian itu terasa lucu, tetapi saat mendengarnya terselip rasa bahagia. Seketika mood wanita itu kembali membaik, padahal sempat kesal karena ibu mertuanya."Selamat pagi. Aku nggak cantik loh, biasa aja." Laila merendah."Pertama ketemu aku udah terpesona, sungguh terpesona ...." Arman menirukan sebuah lagu yang sedang tren. Tawa Laila semakin jadi hingga matanya berair."Kalau aku di dekat kamu pasti bakal lebih terpesona lagi. Denger suara ketawanya aja udah bisa bayangin gimana cantiknya." Arman terus melancarkan serangan yaitu rayuan maut untuk membuat lawannya tersipu malu.Jelas saja, Laila menggigit bibir bawahnya karena terlalu bahagia. "Gombal banget kamu tuh."Sembari terus mengobrol Laila duduk di tepi ranjang, mengurungkan niatnya untuk bersiap. Sebentar lagi, Hendra pasti akan menunggu. Pikirnya.Tadi malam Laila terpaksa mengambil ponselnya d