Pagi ini kedua sahabat itu melakukan perjalanan pulang. Libur dadakan telah usai. Kini, saatnya kembali ke rutinitas biasanya.Dan, Hendra pun harus menghadapi Laila untuk memberi keputusan yang memang di tunggu-tunggu semua orang. Liburan itu, membuat hati Hendra jauh lebih baik lagi. Sudah lebih siap untuk menentukan pilihan memaafkan atau berakhir di pengadilan."Gimana udah lebih baik?" tanya Saka."Udah. Memang kalau lagi banyak masalah obatnya cuma satu, liburan sama dekatkan diri sama yang Kuasa," ujar Hendra diiringi senyum."Iya lo bener, Ndra."Selain liburan, Hendra mencoba mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Ibadah malam yang dilakukan dekat alam, membuat semakin khusuk dan menentramkan hati.Tidak ada obrolan lagi, Hendra fokus mengemudi. Dan, Saka berpikir bagaimana caranya memberi tahu Hendra tentang kejailannya. Takut, ada imbas dari perbuatannya. Sebab, tadi malam mendapat teror dari Laila. Pasalnya ponsel Hendra sengaja dinonaktifkan agar tidak ada yang menganggu.
Biasa bersandiwara Laila tidak canggung lagi menanggapi mertuanya. Walaupun sejak tadi tangan dingin, sedingin es serta tubuh yang mengeluarkan keringat berlebih. Pun hatinya ketar ketir, takut Hendra akan memberitahu perselingkuhannya. Meski begitu dia berusaha setenang mungkin. Namun, melihat wajah Bu Tari biasa saja, malah terkesan khawatir. Akhirnya Laila bisa bernapas lega.Lega sekali, sebab sembutan Bu Tari di luar ekspektasinya."Ayo, Nduk. Ibuk masak banyak hari ini," ujar Bu Tari tampak bahagia sembari menggandeng Laila. Diikuti Hendra dan Saka. Namun, tiba-tiba Bu Tari mengingat kehamilan Laila yang tidak mudah. "Kamu masih mual nggak, Nduk? Ibuk malah sibuk sendiri.""Nggak kok, Buk. Aku nggak mual lagi." Suara Laila lembut sekali. Itu membuat Hendra terperangah, tidak pernah rasanya dia mendengar Laila berbicara selembut itu. Apakah itu bukti Laila telah berubah? Berawal dari ke dua orang tuanya?Pak Tono yang baru datang ikut duduk di teras. Hendra, Saka dan Laila meny
"Siapa pelakunya, Ndra? Apa selingkuhannya Laila?" tanya Saka saat mereka hanya berdua."Entahlah, tapi firasatku bilang begitu. Siapa lagi yang punya masalah selain Laila." Hendra menyandarkan tubuh yang terasa lelah di sandaran kursi.Mereka saat ini berada di taman belakang. Sengaja Saka mengajak ke sini untuk mengintrogasi sahabatnya itu."Lo harus cari dia untuk kasih peringatan, biar nggak ada teror lagi.""Yang penting jangan sampai Bapak sama Ibuk tau dulu. Tapi, pasti aku akan cari dia, buat perhitungan kalau sekali lagi ada kejadian kayak gini. Andai Bapak dan Ibuk tau entah sekecewa apa mereka, bisa-bisa Ibuk sakit kalau tau kelakuan Laila. Beliau terlalu sayang sama menantunya itu," lanjut Hendra."Apa karena ini lo mau pertahankan Laila?"Pertanyaan dari Saka sangat sulit Hendra jawab. Dia hanya menggeleng, tidak tahu."Nanti aku coba bicara sama Laila. Dari kemarin aku sibuk menghindar. Aku laki-laki payah didik istri sendiri aja nggak bisa." Hendra tertawa, miris.Hendr
Hendra menggeser layar ponsel, telepon langsung tersambung."Ada ap-""Hendra maafkan anak Mama, dia memang anak nggak tau diri. Tolong jangan ceraikan Laila, kalau kamu ceraikan dia mau ke mana dalam kondisi hamil begitu. Ikut Mama nggak mungkin, kamu tau sendiri kan kehidupan kami gimana. Tolong mantu Mama yang paling baik maafkan Laila, jangan ceraikan dia. Mama mohon ...."Cerocos Bu Hambar tanpa memperdulikan lawan bicaranya. Dia menangis terisak-isak, suaranya yang kuat membuat Hendra harus sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. Sebab, telinga sedikit berdenging karena suara cempreng Bu Hambar."Hendra kamu dengar Mama kan, Nak?" "Ah, iya dengar, Ma. Hendra udah maafkan Laila."Jawaban singkat dari Hendra membuat wanita di seberang sana tersenyum senang. "Kamu serius kan, Ndra? Orang tuamu juga udah maafkan Laila?""Iya, Ma.""Syukurlah, anak itu memang buat malu. Orang satu kampung tau sampai Mama nggak bisa kerja karena malu." Kembali Bu Hambar menangis tergugu."Kok bisa s
Bagai bunga yang bermekaran di musim semi, itulah yang Hendra rasakan melihat serta merasakan perubahan sikap istrinya. Benar-benar merasa di cintai. Sehingga sampai di bengkel pun Hendra masih saja tersenyum dengan wajah berseri-seri mengingat peristiwa di rumah tadi.Ada rasa yang sulit diartikan kala mengecup kening sang istri untuk pertama kalinya. Apalagi melihat pipi istrinya bersemu merah karena ulahnya, begitu juga saat punggung tangannya di cium dengan takzim oleh sang istri. Sedikit perbedaan yang terjadi pada bos mereka, para pekerja heran. Tidak ada gurat lelah atau wajah murung lagi, yang ada kini senyum menawan. "Wes, ada yang bahagia ini," celetuk Saka yang baru tiba di bengkel."Dia berubah, Ka. Berubah banyak sekali," ucap Hendra diiringi senyum, bahagia."Serius lo? Jadi kalian udah baikkan? Dan lo maafkan dia?"Hendra mengangguk, mantap."Gue kira lo bakal cerai. Ternyata kalian baikkan. Salut gue sama lo, Ndra. Hebat bisa maafkan kasus perselingkuhan Laila." Saka
Setelah kepergian suaminya, wanita yang mengenakan kaos pendek serta celana longgar itu pun membersihkan dapur yang berantakkan karena ulahnya.Kesungguhan Laila berubah tidak hanya ditunjukkan depan sang suami. Kini, setelah Hendra pergi pun Laila membersihkan seluruh penjuru rumah."Ternyata lelah." Dia duduk seraya menyandarkan punggung yang terasa kaku. Brak!Laila tersentak mendengar benda jatuh. Kemudian beranjak seraya menyambar kerudung di kursi, melihat apa yang terjadi. Namun, langkahnya terhenti karena tiba-tiba saja perasaannya jadi tidak nyaman. Apalagi suasana rumah sedang sepi, tidak ada siapa pun membuat Laila begidik ngerih.Kopleks perumahan yang Laila tinggali cukup dekat dengan taman, jadi tidak terlalu banyak rumah. Apalagi pagi begini hampir semua orang sibuk bekerja."Siapa di luar?" teriak Laila, tetapi tidak ada suara apapun.Tidak lama terdengar pula knop pintu di buka paksa dari luar. Laila mundur beberapa langkah, ketakutan. Diambilnya ponsel di saku, mene
Bekas kekacauan yang Doni buat sudah di bersihkan. Pintu yang rusak langsung Hendra ganti dengan yang baru. Dia mewanti-wanti jika tiba-tiba ibunya menyambangi rumah. Sengaja Hendra menutup rapat perihal masalah ini, tidak ingin keluarganya membenci Laila."Ndra, kita harus ke kantor polisi untuk nyerahkan bukti," ucap Saka."Iya, ini masih di salin buktinya." Hendra di depan komputer menunggu semua bukti kejahatan Doni tersalin dalam ponselnya.Saka yang berada di ambang pintu, mendekat ingin melihat seperti apa aksi nekat Doni."Parah tuh laki, nggak nyangka gue dia seberani itu. Bisa pula Laila suka sama tuh orang." Saka menggelengkan kepala melihat dengan jelas aksi nekat Doni yang membawa alat-alat untuk mencongkel pintu serta batu untuk memecahkan kaca. Sebelum masuk perkarangan rumah, Doni terlihat memantau sejak dua hari terakhir.Beruntung Hendra memasang CCTV, niat hanya untuk memantau Laila, tetapi berguna juga jika ada orang berniat jahat."Kamu yang pergi, ya." Hendra me
Lima bulan berlalu begitu saja Hendra masih dengan rutinitas bengkel. Selama itu pula lelaki berkumis tipis itu membangun rasa percaya sang istri. Kini, dia sudah benar-benar memaafkan Laila dan menerima dengan lapang dada anak yang di kandung istrinya. Meski dia tidak tahu anak siapa itu. Yang dia tahu semakin besar kehamilan Laila, semakin besar pula rasa sayang itu pada anak yang terkadang suka bergerak ke kiri dan ke kanan sehingga perut istrinya membesar di satu sisi. Hendra mencurahkan kasih sayang tanpa batas agar Laila tidak pernah berpaling lagi. Dan, bengkel yang di kelolanya berkembang pesat, sudah memiliki satu cabang. Kehidupan Laila pun semakin mewah. Apa yang dia inginkan Hendra akan penuhi.Laila pun sudah tidak lagi memikirkan siapa perempuan yang pernah bersama Hendra, sebab dia yakin dan percaya suaminya tidak akan tega menyakiti dirinya. Apa lagi kasih sayang itu Laila rasakan sendiri. Namun, terkadang wanita itu belum bisa menjaga ucapannya, masih sering menyakit
"Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil