Biasa bersandiwara Laila tidak canggung lagi menanggapi mertuanya. Walaupun sejak tadi tangan dingin, sedingin es serta tubuh yang mengeluarkan keringat berlebih. Pun hatinya ketar ketir, takut Hendra akan memberitahu perselingkuhannya. Meski begitu dia berusaha setenang mungkin. Namun, melihat wajah Bu Tari biasa saja, malah terkesan khawatir. Akhirnya Laila bisa bernapas lega.Lega sekali, sebab sembutan Bu Tari di luar ekspektasinya."Ayo, Nduk. Ibuk masak banyak hari ini," ujar Bu Tari tampak bahagia sembari menggandeng Laila. Diikuti Hendra dan Saka. Namun, tiba-tiba Bu Tari mengingat kehamilan Laila yang tidak mudah. "Kamu masih mual nggak, Nduk? Ibuk malah sibuk sendiri.""Nggak kok, Buk. Aku nggak mual lagi." Suara Laila lembut sekali. Itu membuat Hendra terperangah, tidak pernah rasanya dia mendengar Laila berbicara selembut itu. Apakah itu bukti Laila telah berubah? Berawal dari ke dua orang tuanya?Pak Tono yang baru datang ikut duduk di teras. Hendra, Saka dan Laila meny
"Siapa pelakunya, Ndra? Apa selingkuhannya Laila?" tanya Saka saat mereka hanya berdua."Entahlah, tapi firasatku bilang begitu. Siapa lagi yang punya masalah selain Laila." Hendra menyandarkan tubuh yang terasa lelah di sandaran kursi.Mereka saat ini berada di taman belakang. Sengaja Saka mengajak ke sini untuk mengintrogasi sahabatnya itu."Lo harus cari dia untuk kasih peringatan, biar nggak ada teror lagi.""Yang penting jangan sampai Bapak sama Ibuk tau dulu. Tapi, pasti aku akan cari dia, buat perhitungan kalau sekali lagi ada kejadian kayak gini. Andai Bapak dan Ibuk tau entah sekecewa apa mereka, bisa-bisa Ibuk sakit kalau tau kelakuan Laila. Beliau terlalu sayang sama menantunya itu," lanjut Hendra."Apa karena ini lo mau pertahankan Laila?"Pertanyaan dari Saka sangat sulit Hendra jawab. Dia hanya menggeleng, tidak tahu."Nanti aku coba bicara sama Laila. Dari kemarin aku sibuk menghindar. Aku laki-laki payah didik istri sendiri aja nggak bisa." Hendra tertawa, miris.Hendr
Hendra menggeser layar ponsel, telepon langsung tersambung."Ada ap-""Hendra maafkan anak Mama, dia memang anak nggak tau diri. Tolong jangan ceraikan Laila, kalau kamu ceraikan dia mau ke mana dalam kondisi hamil begitu. Ikut Mama nggak mungkin, kamu tau sendiri kan kehidupan kami gimana. Tolong mantu Mama yang paling baik maafkan Laila, jangan ceraikan dia. Mama mohon ...."Cerocos Bu Hambar tanpa memperdulikan lawan bicaranya. Dia menangis terisak-isak, suaranya yang kuat membuat Hendra harus sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. Sebab, telinga sedikit berdenging karena suara cempreng Bu Hambar."Hendra kamu dengar Mama kan, Nak?" "Ah, iya dengar, Ma. Hendra udah maafkan Laila."Jawaban singkat dari Hendra membuat wanita di seberang sana tersenyum senang. "Kamu serius kan, Ndra? Orang tuamu juga udah maafkan Laila?""Iya, Ma.""Syukurlah, anak itu memang buat malu. Orang satu kampung tau sampai Mama nggak bisa kerja karena malu." Kembali Bu Hambar menangis tergugu."Kok bisa s
Bagai bunga yang bermekaran di musim semi, itulah yang Hendra rasakan melihat serta merasakan perubahan sikap istrinya. Benar-benar merasa di cintai. Sehingga sampai di bengkel pun Hendra masih saja tersenyum dengan wajah berseri-seri mengingat peristiwa di rumah tadi.Ada rasa yang sulit diartikan kala mengecup kening sang istri untuk pertama kalinya. Apalagi melihat pipi istrinya bersemu merah karena ulahnya, begitu juga saat punggung tangannya di cium dengan takzim oleh sang istri. Sedikit perbedaan yang terjadi pada bos mereka, para pekerja heran. Tidak ada gurat lelah atau wajah murung lagi, yang ada kini senyum menawan. "Wes, ada yang bahagia ini," celetuk Saka yang baru tiba di bengkel."Dia berubah, Ka. Berubah banyak sekali," ucap Hendra diiringi senyum, bahagia."Serius lo? Jadi kalian udah baikkan? Dan lo maafkan dia?"Hendra mengangguk, mantap."Gue kira lo bakal cerai. Ternyata kalian baikkan. Salut gue sama lo, Ndra. Hebat bisa maafkan kasus perselingkuhan Laila." Saka
Setelah kepergian suaminya, wanita yang mengenakan kaos pendek serta celana longgar itu pun membersihkan dapur yang berantakkan karena ulahnya.Kesungguhan Laila berubah tidak hanya ditunjukkan depan sang suami. Kini, setelah Hendra pergi pun Laila membersihkan seluruh penjuru rumah."Ternyata lelah." Dia duduk seraya menyandarkan punggung yang terasa kaku. Brak!Laila tersentak mendengar benda jatuh. Kemudian beranjak seraya menyambar kerudung di kursi, melihat apa yang terjadi. Namun, langkahnya terhenti karena tiba-tiba saja perasaannya jadi tidak nyaman. Apalagi suasana rumah sedang sepi, tidak ada siapa pun membuat Laila begidik ngerih.Kopleks perumahan yang Laila tinggali cukup dekat dengan taman, jadi tidak terlalu banyak rumah. Apalagi pagi begini hampir semua orang sibuk bekerja."Siapa di luar?" teriak Laila, tetapi tidak ada suara apapun.Tidak lama terdengar pula knop pintu di buka paksa dari luar. Laila mundur beberapa langkah, ketakutan. Diambilnya ponsel di saku, mene
Bekas kekacauan yang Doni buat sudah di bersihkan. Pintu yang rusak langsung Hendra ganti dengan yang baru. Dia mewanti-wanti jika tiba-tiba ibunya menyambangi rumah. Sengaja Hendra menutup rapat perihal masalah ini, tidak ingin keluarganya membenci Laila."Ndra, kita harus ke kantor polisi untuk nyerahkan bukti," ucap Saka."Iya, ini masih di salin buktinya." Hendra di depan komputer menunggu semua bukti kejahatan Doni tersalin dalam ponselnya.Saka yang berada di ambang pintu, mendekat ingin melihat seperti apa aksi nekat Doni."Parah tuh laki, nggak nyangka gue dia seberani itu. Bisa pula Laila suka sama tuh orang." Saka menggelengkan kepala melihat dengan jelas aksi nekat Doni yang membawa alat-alat untuk mencongkel pintu serta batu untuk memecahkan kaca. Sebelum masuk perkarangan rumah, Doni terlihat memantau sejak dua hari terakhir.Beruntung Hendra memasang CCTV, niat hanya untuk memantau Laila, tetapi berguna juga jika ada orang berniat jahat."Kamu yang pergi, ya." Hendra me
Lima bulan berlalu begitu saja Hendra masih dengan rutinitas bengkel. Selama itu pula lelaki berkumis tipis itu membangun rasa percaya sang istri. Kini, dia sudah benar-benar memaafkan Laila dan menerima dengan lapang dada anak yang di kandung istrinya. Meski dia tidak tahu anak siapa itu. Yang dia tahu semakin besar kehamilan Laila, semakin besar pula rasa sayang itu pada anak yang terkadang suka bergerak ke kiri dan ke kanan sehingga perut istrinya membesar di satu sisi. Hendra mencurahkan kasih sayang tanpa batas agar Laila tidak pernah berpaling lagi. Dan, bengkel yang di kelolanya berkembang pesat, sudah memiliki satu cabang. Kehidupan Laila pun semakin mewah. Apa yang dia inginkan Hendra akan penuhi.Laila pun sudah tidak lagi memikirkan siapa perempuan yang pernah bersama Hendra, sebab dia yakin dan percaya suaminya tidak akan tega menyakiti dirinya. Apa lagi kasih sayang itu Laila rasakan sendiri. Namun, terkadang wanita itu belum bisa menjaga ucapannya, masih sering menyakit
"Mirip banget sama kamu waktu pas masih bayi, Ndra," ujar Santi seraya terus memandangi bayi mungil yang berada dalam box."Iya, apa lagi hidungnya San, adikmu banget," sahut Bu Tari dengan senyum bahagia menghiasi wajah."Bener, Buk. Masyaallah gantengnya ponakan bude ini." Santi sibuk mencolek pipi gembul anak adiknya itu dan sesekali melantunkan solawat.Ibu dan anak itu tidak hentinya memandang bayi yang baru saja lahir. Mereka tidak beranjak sedikit pun sejak bayi laki-laki itu di masukkan box oleh perawat. Wajah tampannya membuat siapa saja tidak ingin berpaling. Hendra yang tengah duduk di samping brankar Laila, ikut tersenyum bahagia. Dia semakin yakin bahwa anak itu adalah anaknya, hampir seluruh wajah keduanya mirip. Bak pinang di belah dua kata orang.Kemudian Hendra mengalihkan pandangan, kini di pandang wajah ayu istrinya. Mata wanita itu masih terpejam, meski sudah sadar sejak masuk dalam ruang rawat. Katanya tubuh terasa lelah dan Laila mencoba memejamkan mata."Mas pe