Bekas kekacauan yang Doni buat sudah di bersihkan. Pintu yang rusak langsung Hendra ganti dengan yang baru. Dia mewanti-wanti jika tiba-tiba ibunya menyambangi rumah. Sengaja Hendra menutup rapat perihal masalah ini, tidak ingin keluarganya membenci Laila."Ndra, kita harus ke kantor polisi untuk nyerahkan bukti," ucap Saka."Iya, ini masih di salin buktinya." Hendra di depan komputer menunggu semua bukti kejahatan Doni tersalin dalam ponselnya.Saka yang berada di ambang pintu, mendekat ingin melihat seperti apa aksi nekat Doni."Parah tuh laki, nggak nyangka gue dia seberani itu. Bisa pula Laila suka sama tuh orang." Saka menggelengkan kepala melihat dengan jelas aksi nekat Doni yang membawa alat-alat untuk mencongkel pintu serta batu untuk memecahkan kaca. Sebelum masuk perkarangan rumah, Doni terlihat memantau sejak dua hari terakhir.Beruntung Hendra memasang CCTV, niat hanya untuk memantau Laila, tetapi berguna juga jika ada orang berniat jahat."Kamu yang pergi, ya." Hendra me
Lima bulan berlalu begitu saja Hendra masih dengan rutinitas bengkel. Selama itu pula lelaki berkumis tipis itu membangun rasa percaya sang istri. Kini, dia sudah benar-benar memaafkan Laila dan menerima dengan lapang dada anak yang di kandung istrinya. Meski dia tidak tahu anak siapa itu. Yang dia tahu semakin besar kehamilan Laila, semakin besar pula rasa sayang itu pada anak yang terkadang suka bergerak ke kiri dan ke kanan sehingga perut istrinya membesar di satu sisi. Hendra mencurahkan kasih sayang tanpa batas agar Laila tidak pernah berpaling lagi. Dan, bengkel yang di kelolanya berkembang pesat, sudah memiliki satu cabang. Kehidupan Laila pun semakin mewah. Apa yang dia inginkan Hendra akan penuhi.Laila pun sudah tidak lagi memikirkan siapa perempuan yang pernah bersama Hendra, sebab dia yakin dan percaya suaminya tidak akan tega menyakiti dirinya. Apa lagi kasih sayang itu Laila rasakan sendiri. Namun, terkadang wanita itu belum bisa menjaga ucapannya, masih sering menyakit
"Mirip banget sama kamu waktu pas masih bayi, Ndra," ujar Santi seraya terus memandangi bayi mungil yang berada dalam box."Iya, apa lagi hidungnya San, adikmu banget," sahut Bu Tari dengan senyum bahagia menghiasi wajah."Bener, Buk. Masyaallah gantengnya ponakan bude ini." Santi sibuk mencolek pipi gembul anak adiknya itu dan sesekali melantunkan solawat.Ibu dan anak itu tidak hentinya memandang bayi yang baru saja lahir. Mereka tidak beranjak sedikit pun sejak bayi laki-laki itu di masukkan box oleh perawat. Wajah tampannya membuat siapa saja tidak ingin berpaling. Hendra yang tengah duduk di samping brankar Laila, ikut tersenyum bahagia. Dia semakin yakin bahwa anak itu adalah anaknya, hampir seluruh wajah keduanya mirip. Bak pinang di belah dua kata orang.Kemudian Hendra mengalihkan pandangan, kini di pandang wajah ayu istrinya. Mata wanita itu masih terpejam, meski sudah sadar sejak masuk dalam ruang rawat. Katanya tubuh terasa lelah dan Laila mencoba memejamkan mata."Mas pe
Sehabis magrib ruang rawat Laila sudah di penuhi dengan teman-teman Hendra. Ardi juga datang karena mendengar kabar dari Saka.Lelaki yang baru saja menyandang gelar ayah itu tidak beranjak sedikit pun dari sisi istrinya meski ruangan telah ramai. Jika di haruskan dia akan bergantian dengan Bu Tari. Raut cemas tercetak jelas di wajah tampannya. Sebab, Laila tidak henti-hentinya merengek, tetapi saat bertanya pada dokter hal itu biasa terjadi pada orang yang habis melakukan tindakan operasi."Tinggallah Laila. Biar Ibuk yang jaga, temui temen-temenmu, Le.""Iya, Buk." Hendra beranjak."Mas sakit sekali ...." Untuk kesekian kali Laila mengeluh. Meski banyak tamu yang datang, Laila tidak perduli. Semua yang datang menoleh ke arah Laila."Maaf ya, menantu saya nggak tahan sakit," ujar Pak Tono sedikit menahan malu."Ah, iya nggak apa Pak, kami ngerti kok," ujar salah satu temen Hendra."Iya kami nggak masalah," sahut yang lainnya."Semangat ya, Ndra." Hendra yang baru bergabung tersenyum
Kelakuan Bu Hambar semakin jadi setiap harinya. Apalagi kini Santi yang lebih sering datang dari pada Bu Tari, sebab wanita paruh baya itu kesehatannya sedikit menurun. Mungkin kelelahan mengurus Laila selama di rumah sakit. Setelah mengucapkan salam Santi yang baru datang langsung masuk ke dalam rumah. Riuh tawa anak-anak memenuhi ruang tamu, tidak ada satu pun yang menjawab salamnya termasuk Bu Hambar yang tengah bersantai sembari makan cemilan. Tanpa menyapa ibu satu anak itu langsung menuju dapur. Namun, di dekat tangga berpapasan dengan Hendra dan Laila dengan Ahmad dalam gendongan ayahnya."Ndra, udah mau pergi? Tumben cepet biasanya jam sepuluh baru pergi." "Iya, Mbak. Saka nggak bisa ke bengkel karena nggak enak badan katanya. Makanya aku pergi cepat, perlengkapan bengkel juga mau datang hari ini." Pandangan Hendra tetap fokus pada anaknya dan sesekali menciumi pipi gembul yang sangat menggemaskan itu.Santi manggut-manggut."Kamu nggak usah ngantar ke depan, Sayang. Aku per
"Sayang, Ahmad nangis, kamu di mana?" panggil Hendra, tetapi tidak ada jawaban.Hendra yang masih mengenakan sarung, baru selesai menunaikan kewajiban dua rakaat menghampiri anaknya, lalu mengulurkan tangan. Mencoba menenangkan."Anak Ayah kenapa nangis, hm? Cari Ibu, ya?"Anak berusia tiga tahun itu mengangguk dengan polosnya. Sudah menjadi kebiasaan Ahmad jika bangun tidur tidak mendapati Laila di sampingnya, anak itu akan menangis. Meski begitu sebenarnya Ahmad tidak terlalu dekat pada Laila, hanya saat bangun tidur saja anak lelaki itu mencari ibunya."Jangan nangis lagi, kita cari Ibu."Perlahan tangisan meredah, hanya tinggal sesenggukan serta bekas air mata yang membasahi pipi. Segera Hendra menghapus bekas air mata itu sambil tersenyum. Sembari menggendong anaknya Hendra mencari sang istri ke dapur. Biasanya sehabis subuh Laila berada di sana."Sayang! Laila ...."Wanita yang mengenakan daster dengan rambut di ikat cepol sedang beradu dengan peralatan dapur. Penampilannya sema
"Mana nomor teleponnya?" tanya Hendra sembari mengulurkan tangan."Ada." Laila mencari di saku gamis, seingatnya tadi dia letakkan di sana."Mas nggak perlu minta tanggung jawab, lagian aku juga salah kurang hati-hati.""Nggak, cuma mau lihat aja nomornya," ujar Hendra memberi alasan. Sebenarnya ada sedikit rasa cemburu di hati. Dia minta kertas itu untuk di buang, bukan untuk minta pertanggung jawaban. Jika sekadar membawa Laila ke rumah sakit Hendra sangat mampu, tidak perlu bantuan orang lain. Hanya saja sedikit kekhawatiran melihat begitu antusiasnya Laila bercerita tentang laki-laki lain yang baru saja di temui. Takut jika sang istri kembali berhianat. Namun, pikiran itu segera di tepisnya.Sumber masalah berawal dari pikiran yang tidak positif. Tubuh akan mensugesti diri untuk melakukan apa yang dipikirkan. Begitu pun Hendra sebisa mungkin berpikir positif. Jangan sampai rasa curiga itu menimbulkan masalah dan menjadi kenyataan."Kok, nggak ada ya, Mas." Laila berpikir sejenak.
Duduk sembari terus melihat kertas yang terkena getaran mesin cuci. Hampir saja kertas itu jatuh, dengan sigap Laila mengambilnya.Berulang kali dibaca nomor yang tertera di kertas itu hingga akhirnya Laila mengambil ponsel dan mencatat nomor tersebut. Meski ragu, dia mencoba melakukan panggilan.Tersambung, tetapi segera di matikan. Tiba-tiba saja rasa takut hinggap di hati. Namun, rasa penasaran semakin kuat, memaksa Laila untuk kembali menghubungi nomor itu. Apalagi bayang-bayang senyum manis sang sopir melekat di pikirannya. Lagi-lagi telepon Laila matikan. Di putar-putar benda kecil yang tidak bisa lepas darinya. Benda yang diam-diam sering dia gunakan untuk beselancar di dunia maya saat suaminya sudah tertidur. Pasalnya, Laila sudah di larang agar tidak terlalu sering menggunakan ponsel. Itu salah satu cara yang Hendra lakukan sebagai hukuman untuk sang istri, selain mengganti sim card-nya. Namun, nyatanya wanita itu belum juga jera, selama ini berhubungan dengan teman-temannya
"Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil