“Surat gugatan Cerai dan ini adalah surat-surat aset, untuk apa Desya mengambil surat aset ini. Aku harus menelpon Desya!”Rangga terlihat begitu murka. Dengan segera ia mengambil ponselnya dan menelpon Desya.“Halo Desya!” bentak Rangga“Untuk apa kau menelponku!”“Beraninya kamu mengambil surat aset di brankas!”“Itu semua milikku, lalu apa masalahnya?”“Apa kau tak bisa baca? Itu semua atas namaku sendiri.”“Itu karena kamu menggantinya dulu. Oh ya, kalau kau cukup tahu diri, kembalikan itu semua padaku.”“Tidak! Semua atas nama Rangga adalah milik Rangga kau paham itu?”“Sudah aku sangka, kamu tidak akan menyerahkan semua itu. Memang ini kebodohanku, begitu percaya dan seolah rumah tangga kita akan baik-baik saja, aku pikir kamu orang yang berkualitas bisa menjaga kesetiaan dan komitmen, makanya aku menyetujui semua peralihan itu, tapi ternyata kau sendiri yang membuat masalah, membuat noda dalam rumah tangga kita!”Desya mulai merasa sesak di dadanya. Napasnya mulai tak beraturan
Dilan berdiri kemudian dicegah oleh Desya yang duduk di sampingnya.“Tak apa, saya bukan pengecut, mungkin dia memerlukan sesuatu.”Dilan berjalan ke arah Rangga yang sudah siap menghadapi Dilan.“Ada perlu apa?” Dilan bertanya dengan sopan.“Bagaimana kabar lelaki tua itu?”“Siapa yang kau maksud?”“Rehan, apakah dia masih hidup?”“Anda pernah punya orang tua? jadi berpikirlah dahulu sebelum berbicara Mas Rangga!” Dilan mulai kesal dengan ucapan Rangga namun dia harus tetap santai.“Orang tuaku tak seperti ayahmu,”“Oh, setidaknya orang tua saya mendidik saya untuk berbicara sopan dan menjadi pribadi yang tidak kasar apalagi terhadap wanita, oh ya satu lagi. Ayah dan ibu saya tidak pernah membenarkan perselingkuhan. Ingat itu!”Dilan lalu pergi meninggalkan Rangga yang terdiam tanpa kata. Kata-kata Dilan membuat Rangga merasa malu. Dia hanya memandang punggung Dilan pergi dan duduk kembali di sisi Desya. Sedangkan Irma mencoba menenangkan Rangga meskipun sebenarnya dia ikut malu denga
Dilan kemudian memeluk Desya untuk menenangkannya. Desya dengan wajah yang meringis menahan sesak di dadanya. “It’s Okay Desya, tenanglah …” Dilan benar-benar sangat perhatian dengan Desya. Kali ini, Desya merasa lebih tenang dia memejamkan matanya kemudian menarik nafasnya panjang. Dilan yang mengetahui bahwa Desya sudah tak panik kemudian melepas pelukannya dan menatap mata Desya penuh keyakinan agar Desya bisa lebih tenang lagi.“Kamu tidak apa-apa, memang sulit, tapi saya, Ibu, dan Bapak akan selalu ada untuk kamu apapun kondisinya.”Tak terasa air mata Desya menetes membasahi pipinya.“Tak apa, menangislah sepuasnya,” ucap Dilan lembut.Bu Ratna dan Pak Rehan lalu masuk dan memeluk Desya bersamaan. Desya benar-benar merasa sangat disayangi. sedikit demi sedikit dia menjadi lebih tenang dan dadanya sudah tak sesak lagi. Pandangannya sudah mulai jernih dan telinganya sudah bisa mendengar dengan jelas lagi.“Terima kasih semuanya, aku tak tahu bagaimana cara membalas kebaikan kal
Pak Agung menatap Dilan serius, sepertinya Dilan ingin membicarakan sesuatu yang penting.“Silahkan, apa yang ingin Pak Dilan katakan?”“Jadi, sebenarnya Desya belum sepenuhnya sembuh, anda ingat saat saya datang kesini bersama Desya membeli obat untuk dia?”“Ya, ingat” Pak Agung menatap Dilan seksama, “Itu karena mentalnya sedang terguncang, dan pagi tadi dia mengalami gejala yang sama. Saya takut kalau dia bekerja, dia stres, dan akhirnya kambuh lagi.”ucap Dilan khawatir.“Kalau soal itu, Pak Dilan tenang saja. Disini ada saya, dan rekan-rekan yang lainnya. Kami akan briefing agar mereka juga bisa memberi support untuk Desya dan tidak ada yang mengganggunya.”“Kalau memang begitu, saya menjadi lebih tenang. Saya percayakan Desya yah Pak, jaga dia selagi berada disini.”Dilan begitu serius, Pak Agung pun tersenyum seolah ingin mengetahui ada apa sebenarnya antara Dilan dan Desya.“Pak Dokter ini perhatian sekali dengan Mba Desya, ada hubungan spesial ya?” ejek Pak Agung dengan senyu
“Orang hamil boleh makan pedas asalkan dalam batasan wajar, jika berlebihan akan membuat lambung perih dan meningkatkan morning sickenss atau mual. Jadi, jika ibu nya mau makan pedas tidak apa-apa kok. bayi nya tidak akan merasakan pedas seperti yang ibu ini rasakan.” Dilan mencoba menjelaskan dengan Irma dan Rangga yang hanya bengong mendapati Dilan dan Desya yang juga berada di tempat itu.Mata Rangga tersita pada tangan Dilan yang menggenggam erat Desya. Seolah ingin menampiknya namun dirinya juga tengah bersama Irma. Lagipula mereka sudah resmi bercerai.“Tidak usah ceramahi kami. Aku tahu kau seorang Dokter tapi aku tak butuh penjelasanmu. Kami sanggup konsultasi ke Dokter yang lebih hebat kalau kami mau, uang kami banyak!” Rangga mencoba mengejek Dilan dengan tingkah tengilnya yang mengesalkan.Irma dan Desya hanya menyaksikan perdebatan kecil Rangga dan Dilan.“Terserah anda Mas, setidaknya saya sudah memberikan pengertian pada CALON IS..TRI anda yang SEDANG HAMIL bahwa makan p
“Anak kecil,” ucap Dilan seraya mengusap pipi Desya yang penuh dengan sisa cokelat.Desya seolah ingin menjadi batu atau apapun itu asalkan dia bisa menghilang dari pandangan Dilan. Desya merasa sangat malu.(“Oh syukurlah, orang ini tidak menciumku! Aku seperti mau mati rasanya. Melihatnya begitu dekat membuatku tak karuan, tapi aku sangat malu, pasti dia tahu bahwa aku berpikir yang tidak-tidak,”)batin Desya bergejolak, Desya benar-benar ingin berlari.Sementara Dilan hanya tersenyum jahil dan terus mengejek Desya yang cara memakannya masih seperti anak kecil itu.“Ini memang cara makannya seperti ini, kalau makan rapi rasanya beda.” ucap Desya gugup.“Oh ya? Benarkah? Beri aku satu buah,”Dilan mengambil satu buah cemilan dan memakannya seperti Desya memakan itu dengan berantakan. Desya melihatnya dengan menahan tawa.“Kurang berantakan Mas,” Desya menorehkan cokelat cokelat itu di wajah Dilan hingga Dilan benar-benar belepotan. Dilan tak mau diam saja dia juga membalas perbuatan
Rangga menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Tampak seorang wanita paruh baya memasang wajah penasaran berdiri tepat di belakangnya.“Ibu,” Rangga menundukkan wajahnya ke lantai kemudian Ibu Rangga melangkah dan duduk di ranjang kamar itu.“Ibu tanya sekali lagi, apakah kamu masih mencintai Desya?”Rangga terdiam, benaknya berantakan entah apa yang ia rasakan saat ini.“Tidak, Rangga hanya mencintai Irma, lagipula Irma sedang mengandung anak Rangga, cucu Ibu, dan sebentar lagi kami akan menikah bukan?”Rangga mencoba tersenyum lebar meskipun hatinya sedang tak karuan entah apa yang tiba-tiba saja mengganggunya.“Baguslah kalau begitu, Ibu hanya ingin berpesan jangan kamu ingat-ingat lagi kenanganmu dengan wanita mandul itu, fokuskan pada keluarga barumu nanti, oh ya ibu minta di transfer lima puluh juta.”“Hah? Untuk apa Bu? Kemarin baru Rangga transfer tiga puluh juta apakah sudah habis?”“Ibu mau DP untuk vendor make up, catering, dan beberapa keperluan untuk pernikahan ka
“Bu Ratih?” Dilan juga terkejut dengan keberadaan Ibu Ratih di rumah itu.“Mari Dok, Silahkan duduk. Ada perlu apa ya dok?”“Saya kesini mau bantu Desya mengemasi barang-barangnya.”“Desya? Sebentar, Dokter kenal dengan mantan menantu saya?” Bu Ratih tampak kembingunhan dengan kebetulan yang terjadi.“Oh Ibu ini ibunya Mas Rangga?”“Iya, dokter ini siapa ya Desya? Atau pacar barunya Desya?”Dilan tertawa kecil lalu menjelaskan diri dengan Bu Ratih.“Saya ini anaknya Pak Rehan, dan Desya ini adik angkat saya,”“Apa? Kamu anaknya Rehan?”Bu Ratih masih tampak syok kemudian Desya yang mendengar gemuruh langsung keluar dari kamar pembantu dan menanyakan apa yang terjadi.“Ada apa ini?” ucap Desya heran.“Tidak ada apa-apa Sya, jadi Bu Ratih ini beberapa hari lalu sempat bertemu saya. Saat beliau pingsan karena serangan jantung ringan. Lalu saya menolongnya.”“Oh, begitu.” ucap Desya cuek lalu masuk kembali untuk merapikan baju-bajunya.Bu Ratih tampak bingung, entah apa yang akan dia ucap