Rangga menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Tampak seorang wanita paruh baya memasang wajah penasaran berdiri tepat di belakangnya.“Ibu,” Rangga menundukkan wajahnya ke lantai kemudian Ibu Rangga melangkah dan duduk di ranjang kamar itu.“Ibu tanya sekali lagi, apakah kamu masih mencintai Desya?”Rangga terdiam, benaknya berantakan entah apa yang ia rasakan saat ini.“Tidak, Rangga hanya mencintai Irma, lagipula Irma sedang mengandung anak Rangga, cucu Ibu, dan sebentar lagi kami akan menikah bukan?”Rangga mencoba tersenyum lebar meskipun hatinya sedang tak karuan entah apa yang tiba-tiba saja mengganggunya.“Baguslah kalau begitu, Ibu hanya ingin berpesan jangan kamu ingat-ingat lagi kenanganmu dengan wanita mandul itu, fokuskan pada keluarga barumu nanti, oh ya ibu minta di transfer lima puluh juta.”“Hah? Untuk apa Bu? Kemarin baru Rangga transfer tiga puluh juta apakah sudah habis?”“Ibu mau DP untuk vendor make up, catering, dan beberapa keperluan untuk pernikahan ka
“Bu Ratih?” Dilan juga terkejut dengan keberadaan Ibu Ratih di rumah itu.“Mari Dok, Silahkan duduk. Ada perlu apa ya dok?”“Saya kesini mau bantu Desya mengemasi barang-barangnya.”“Desya? Sebentar, Dokter kenal dengan mantan menantu saya?” Bu Ratih tampak kembingunhan dengan kebetulan yang terjadi.“Oh Ibu ini ibunya Mas Rangga?”“Iya, dokter ini siapa ya Desya? Atau pacar barunya Desya?”Dilan tertawa kecil lalu menjelaskan diri dengan Bu Ratih.“Saya ini anaknya Pak Rehan, dan Desya ini adik angkat saya,”“Apa? Kamu anaknya Rehan?”Bu Ratih masih tampak syok kemudian Desya yang mendengar gemuruh langsung keluar dari kamar pembantu dan menanyakan apa yang terjadi.“Ada apa ini?” ucap Desya heran.“Tidak ada apa-apa Sya, jadi Bu Ratih ini beberapa hari lalu sempat bertemu saya. Saat beliau pingsan karena serangan jantung ringan. Lalu saya menolongnya.”“Oh, begitu.” ucap Desya cuek lalu masuk kembali untuk merapikan baju-bajunya.Bu Ratih tampak bingung, entah apa yang akan dia ucap
“Desya …”Dilan mendekat lagi, wajahnya tampak serius. Desya hanya bisa melihatnya dengan rasa gugup akankah lelaki itu akan menyatakan cintanya?. Sore hari yang membingungkan. Dilan duduk berjongkok di bawah Desya. Dengan bunga mawar merah ditangannya kemudian memandang lekat wajah wanita itu. Dan,“Des …” Bu Ratna yang baru datang memanggil Desya. Sontak mereka berdua gugup dan salah tingkah. Bu Ratna mengernyitkan dahinya lalu tersenyum curiga.“Bu, Desya memetik bunga mawar Ibu, lihatlah.”adu Dilan pada Ibunya, yang sebenarnya hanyalah sebuah cara untuk mengalihkan perhatian Ibunya terhadap apa yang telah ia lihat barusan.Bu Ratna memandang bunga mawar yang Mekar sempurna di pangkuan Desya lalu mendekatinya.“Benar Desya?” tanya Bu Ratna dengan wajah serius. Desya sangat takut bahwa Bu Ratna akan memarahinya, karena bunga mawar ini adalah tanaman kesayangannya.“Tidak Bu,” ucap Desya gugup.“Dilan bilang kamu yang memetiknya, kamu tahu kan ini bunga kesayangan Ibu. Ibu marah seka
“Sebenarnya kenapa Irma?” tanya Rangga penasaran.“Aku sudah berhenti bekerja.” Wanita itu memasang wajah manja seperti biasa. Penuh harap bahwa Rangga akan memakluminya. “Loh kenapa, apakah kamu mau jadi pengangguran seperti Desya?”Rangga menjadi kesal. Rupanya Irma memilih untuk berhenti bekerja karena ingin menjadi ibu rumah tangga, merawat anaknya sepenuh hati dan penuh waktu bersama Rangga dengan menikmati uang hasil rampasannya.“Apa aku berbuat kesalahan?” Rangga terdiam, ia melirik perut wanita itu yang sudah mulai berisi, wajahnya tembem dan terlihat bajunya sudah meletet karena perubahan berat badannya yang naik drastis selama kehamilan.“Kenapa kau diam Mas?”“Tidak, terserah kamu kalau mau berhenti. Oh ya aku berangkat kerja dulu ya,” Rangga lalu berdiri dan hendak meninggalkan Irma sendirian tanpa ritual cinta seperti saat masih bersama Desya.Irma menyodorkan tangan kanannya kepada Rangga untuk bersalaman. Terlihat Rangga yang begitu cuek dan banyak pikiran itu meneri
“Sebenarnya?” Agung mengernyitkan dahinya penasaran.Dilan tak mungkin mengatakan bahwa ia yah tega meninggalkan Desya bekerja. Ia ingin selalu berada di dekat Desya agar ia bisa menjaganya.“Sebenarnya saya lupa, saya ingin beli roti di kedai anda untuk ibu saya, ia sangat menyukai roti.”Dilan mencoba mencari alasan.“Oh, itu saya kira ada apa, ya sudah mari ikut saya ke kafe.”Agung mengajak Dilan berjalan ke kafe samping apotek. Dilan melihat seisi ruangan yang begitu aestetik. Membuat setiap mood yang datang menjadi bagus. Harum vanila dan kopi yang menjadi aroma terapi pagi itu cukup menggoda perut.Agung membawakan dua bungkus bag Kerta berisikan penuh roti dengan berbagai rasa. “Ini untuk Ibu Ratna, sampaikan salam saya untuk Pak Rehan dan ibumu ya.”“Berapa ini?”“Tak usah, ini saya berikan cuma-cuma untuk mereka.”“Tapi…”“Sudahlah, tak usah membayarnya ya.”Dilan merasa tak enak hati namun Dilan harus menerimanya dan mengucapkan terima kasih kepada Agung sebelum ia pergi.
“Permisi Pak Rangga, maaf sudah ditunggu di ruang meeting oleh beberapa investor.”Seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris Rangga masuk dengan terburu-buru.“Oh ya saya akan kesana.”“Aku ikut,” serbu Irma membuat Rangga merasa Irma hanya akan mengganggu saja.“Untuk apa? sudah kamu tunggu disini saja!” Dengan langkah yang terburu-buru Rangga menuju ke ruang meeting membawa beberapa berkas bersama sekretarisnya, Ana.“Wanita itu cukup cantik, lirikannya tak biasa terhadap calon suamiku, pasti dia ini pelakor,” gumam Irma dengan mendekapkan tangannya.“Tidak bisa dibiarkan. Aku harus masuk ke ruangan itu, aku tak bisa biarkan Mas Rangga bersama sekretaris centil itu.”Irma membenarkan bajunya dan bercermin pada layar ponselnya untuk memastikan ia cukup rapi untuk bertemu beberapa orang.“Oke, bisa kita mulai presentasinya ya,”Ucap Rangga di depan layar yang dipantulkan oleh proyektor dan terlihat memegang spidol hitam untuk menulis di papan tulis berwarna putih itu.Beberapa l
“Mas, buka.” Pintu mobil dikunci oleh Dilan, sehingga Desya tak bisa keluar.“Yang benar saja. Saya bisa di marahin habis-habisan oleh Bapak dan Ibu jika membuatkanmu keluar, ada-ada saja kau,”Dilan akhirnya membuka mulutnya. Membuat Desya tersenyum kemudian duduk kembali pada posisinya semula.“Nah begitu dong rese, kalau tidak seperti itu bukan Mas Dilan namanya.” seru Desya membuat Dilan menjadi tersenyum dan akhirnya rasa kesalnya menjadi cair dan tidak memasang wajah jutek lagi seperti tadi.*****“Hei, anak-anak Ibu sudah pulang. Bagaimana Desya pekerjaanmu di hari pertama ini?” Bu Ratna menyambut hangat Desya dan Dilan.“Menyenangkan sekali Bu, Desya mendapat pengalaman dan tantangan baru.” ungkap Desya semangat.Terlihat Rangga hanya diam dan duduk di ruang tamu dengan kunci mobil yang masih ia genggam.Melihat Ibu dan anak perempuannya melepas kerinduan setelah seharian tidak bertemu.“Wah, pasti kamu dapat teman-teman yang menyenangkan, saya dengar Agung juga membuka kedai
“Irma?” Rangga mengernyitkan dahi memikirkan wanita yang baru saja pergi dengan lelaki bertato itu. “Apa mungkin wanita itu Irma? Ku sama sekali tak melihat wajahnya. Tapi, ia sedang hamil dan rambutnya persis seperti Irma,”“Sudah Pak,” ucap seorang Ibu penjual bensin.“Terima kasih,” Rangga memberikan uang satu lembar ratusan ribu kemudian pergi, tanpa ia menghiraukan penjual yang berteriak kembalian kepadanya.Dengan langkah yang mulai lemas, dan hati yang mulai cemas, Rangga akhirnya sampai di lokasi mobilnya berada. Ia segera memasukan bahan bakar itu ke dalamnya tak peduli banyak yang berceceran keluar karena tak ada corong. Bergegas Rangga menyalakan mobilnya dan menuju rumah Irma.“See you, mmmuach!” seorang lelaki dengan tato di tangan kanannya mengucapkan selamat tinggal dengan kecupan mesra di bibir Irma. Benar, wanita yang Rangga lihat keluar Bar bersama seorang lelaki bertato itu adalah Irma.“Cepatlah pergi sebelum calon suamiku datang!” ucap Irma dengan nada yang lema
Desya terpaku tak percaya lelaki yang ada di hadapannya adalah Dilan. Ia segera menjauhkan duduknya dan tampak sungkan pada lelaki itu.“Terima kasih cappuccino nya,” ucap Dilan Desya mengangguk lirih, ia bahkan tak bisa menoleh untuk melihat Dilan.“Kau kenapa Desya?” Dilan menaruh Cappuccinonya.Desya hanya terdiam.“Sya,” panggilnya lagi. Kali ini tangannya menyentuh tangan Desya yang dingin karena gugup.“Aku tidak apa-apa.” ucap Desya cepat.“Lalu kenapa kau pergi?”“Aku hanya tak ingin merepotkan kalian, kalian sudah terlalu baik.”“Tidak, kau pasti punya alasan lain.”Desya terdiam lagi, memang ia memiliki alasan lain yaitu kepercayaannya terhadap Dilan yang rusak hingga selalu menerka-nerka apa yang terjadi.Desya menarik tangannya yang mulai hangat dari Dilan.“Aku harus pergi,” Desya berdiri namun Dilan menarik lengannya.“Tunggu! Kau harus bilang kau ini kenapa ? Dan dimana tempat tinggalmu sekarang biar saya antar.”“Sudah aku bilang aku tak mau merepotkan kalian lagi. Men
“Desya?” Dilan turun dari mobilnya kemudian berjalan menuju ke lobi Apotek.Dilan mencoba untuk tidak melepas pandangannya dari wanita itu. Namun setelah ia semakin dekat, justru Dilan sudah tak melihatnya lagi. Dilan terus masuk menerobos beberapa karyawan yang lewat diantaranya. Namun ia tak menemukan Desya. Ataukah Dilan salah lihat? Entahlah,Dilan juga tak menemukan Agung disana, ia bertanya pada seseorang yang hendak keluar.“Mas, Pak Agungnya ada?”“Oh Pak Agung sudah pulang dari siang Pak,”“Begitu ya? Dia pulang sendiri atau dengan siapa?”“Wah kalau itu saya kurang tahu Pak,”“Oh ya kalau Bu Desya ada?”Lelaki itu celingukan mencari dimana Desya.“Biasanya Bu Desya pulang bareng kita sih, tapi dari tadi saya juga tidak melihatnya.”“Ya sudah Mas. Makasih ya,”Dilan menghela nafasnya, ia kembali ke mobilnya. Rasanya hampir putus asa ia mencari Desya. Ia menyalakan mesin mobil dan kemudian pergi. Di sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan Desya. Bahkan sampai sekarang nom
“Sya, Desya…..” teriak Bu Ratna sembari berlarian kesana kemari, menyusuri setiap sudut rumah mencari Desya.“Bu, Ada apa?” tanya Pak Rehan.“Desya tidak ada di rumah Pak,” Bu Ratna panik.“Apa? Ibu sudah cari di luar? Di lantai atas?”“Sudah Pak, tapi tidak ada. Tunggu,”Bu Ratna kembali ke kamar Desya ia membuka lemari pakaian Desya sudah kosong, ia menunduk dan terduduk lemas di ranjang. Pan Rehan ikut masuk ke dalam kamar itu. “Bu?” ucapnya lalu memungut secarik kertas yang tergeletak di atas meja.Pak Rehan, Bu Ratna…..Maaf Desya tidak berbicara terlebih dahulu jika Desya akan pergi. Desya tidak ingin kalian menahan Desya.Tapi Desya janji, suatu saat Desya pasti akan kembali jika semua kebenaran itu sudah terungkap.Yang terpenting adalah sekarang kalian baik-baik saja, Desya sangat berterima kasih atas semua bantuan dan kebaikan-kebaikan kalian yang sangat berarti bagi Desya.Desya hanya pergi untuk mencari kebahagiaan Desya sendiri, tanpa harus merepotkan kalian terus menerus
“Mas Dilan, bagaimana kabarmu?” Wajah Desya menahan cemburu yang berkecamuk. Wanita itu, wanita hamil yang sedang bersama calon suaminya. Panggilan video itu tiba-tiba dimatiin oleh Desya seketika setelah Desya melihat ada Chika disana bersama Dilan.Dilan mencoba menelpon Desya berkali-kali namun Desya terlanjur kecewa. Entah semuanya benar atau tidak. Tapi kehadiran sosok Chika membuat Desya tak nyaman dan ingin bertengkar. “Sya, kamu kenapa?” terdengar suara Bu Ratna dari belakangnya. Membelai rambut panjang Desya dengan lembut. Desya yang menyadarinya langsung memeluknya erat menumpahkan air mata dan rasa sesaknya.“Bu…”Mata Desya berkaca, Bu Ratna tampak bingung, namun perlahan Bu Ratna mencoba mengetahui apa yang membuat Desya menjadi sesedih itu.“Ceritakan pada Ibu,”Desya mengusap air matanya, ia menghela nafas dan mencoba menenangkan pikirannya.“Bu, Desya mau tanya. Ibu percaya dengan Mas Dilan?”“Maksud kamu apa Sya?”Desya terdiam sejenak, ia merasa ragu bercerita dan
“Rio?” Agung bergumam kecil, Desya merasa ia juga mengenali wajah itu. Lelaki yang pernah memperhatikannya di Caffe sebelah apotek. Desya dan Agung saling melempar tatapan heran bercampur penasaran. Apakah lelaki itu adalah orang yang sama dengan apa yang mereka pikirkan?Terlihat mereka telah selesai melepas rindu, Rio duduk di kurai pengemudi lalu dadar bahwa kaca mobil belum ia tutup. Kemudian ia sesegera mungkin menutupnya dan pergi melesat jauh dari tempat itu. Tak mau tinggal diam, Agung mengikutinya dari belakang. “Pak, untuk apa mengikuti mereka?” “Saya tahu lelaki itu, dia seperti …”“Rio?” timpa Desya,“Kamu juga mengenal Rio?”Desya mengangguk cepat, ia menceritakan kejadian saat tengah makan di Kafe bahwa lelaki itu terus memperhatikannya dan saat itu ia sedang melakukan panggilan video dengan Dilan yang akhirnya Dilan memberitahu Desya untuk segera menjauh dari Rio.“Betul, saya yakin dia itu Rio saya tak salah lihat.”Desya mulai berpikir keras, kenapa istri mantan sua
“Dilan?” Agung terlihat bingung dengan tatapan Desya padanya namun memanggilnya dengan nama Dilan.“Oh, maaf.” Desya tersadar dari lamunannya, ia begitu merindukan sosok Dilan hingga ia lupa dengan siapa ia di taman itu sekarang.“Kau merindukan Dilan ya?” Agung melempar pandangannya ke arah sungai.Desya hanya tersenyum, ia bercerita pada Agung bagaimana Dilan selalu menurutinya untuk berkunjung ke tempat itu. Desya terus saja tersenyum jika mengingat tingkah konyol Dilan padanya.“Tapi Desya, ada sesuatu yang ingin ku katakan.”Desya tiba-tiba serius, ia menatap Agung penasaran. Apa gerangan yang akan Agung katakan padanya.“Apa itu Pak?”Bibir Agung bergetar, ia tak kuasa membuka mulutnya karena yang akan ia lontarkan mungkin saja akan menyakiti Desya.“Sebenarnya….”Desya meyakinkan Agung untuk mengatakannya dengan menatapnya lebih dalam dari sebelumnya.Agung terlihat gugup, sepertinya ia tak sanggup mengatakan ham itu pada Desya.“Sebenarnya saya ingin bertanya siapa lelaki baru
“Saya beri kamu waktu 7x24 jam untuk memikirkannya,” Agung berdiri kemudian beranjak pergi dari ruangannya.Desya bingung, ia bahkan tak memiliki modal yang besar. Keinginannya untuk terus berbisnis semakin tinggi. “Mungkin aku harus beritahu Mas Dilan,” Desya bergumam, ia mencoba mengetik pesan untuk calon suaminya yang masih berada di Liar Negeri.“Semoga Mas Dilan mendukungku, aku tahu ia sering cemburu dengan Pak Agung. Namun ini menyangkut cita-cita dan masa depanku.” Desya meminum segelas air putih yang ada di mejanya. Ia merasa lebih tertantang dan lebih semangat. Ia sangat mau mengiyakan tawaran Agung namun yang ia khawatirkan ia tak bisa menjaga amanah yang Agung titipkan yang berupa investasi itu.“Tapi aku harus yakin dan optimis, aku pasti akan berhasil dan membungkam mulut mereka yang sudah membuatku menderita bahkan selalu mengejekku! Terima kasih Rangga, Irma, kalian berdua membuatku lebih semangat untuk sukses kembali.”Tak lama, Dilan menelponnya. Menanyakan tentang
“Habiskan makananmu lalu kembali ke tempatmu sekarang,”Desya mengernyitkan dahinya, ia tak tahu maksud Dilan yang tiba-tiba saja menyuruhnya untuk pergi.“Kenapa Mas?”“Nanti saya ceritakan,”Desya membayar makanan di kasir ia berjalan melewati seorang lelaki yang selalu saja menatapnya penuh nafsu itu. Desya juga merasa aneh dan risih. Ia mempercepat langkahnya kemudian sampai di ruangannya dengan nafas yang memburu.“Desya, kau sudah sampai di ruanganmu?”Dilan masih melakukan panggilan video dengan Desya. Desya tersenyum, ia melihat raut wajah tak biasa dari Dilan.“Kau kenapa Mas?” tanya Desya.“Kenapa kau tertawa? Dengar saya, lelaki itu pacarnya Chika.”Desya membulatkan matanya seolah tak percaya namun memang kelihatannya lelaki itu cukup nakal.“Kau serius?”“Apakah aku terlihat seperti pelawak?”“Iya Mas, aku percaya. Kenapa kau jadi sensi seperti ini?”“Pasalnya kau harus menghindarinya Desya, kau bisa saja terancam karena lelaki itu seperti predator.”“Betul Mas, barusan
“Sudah datang Bu, Pak Reymond dan beberap stafnya sudah memasuki ruangan meeting.”“Apa? Astaga! Bagaimana ini? Pak Agung hari ini libur. Tolong bilang ke mereka ya rescedule besok saja.”“Baik Bu,”Lelaki itu pergi untuk menemui Pak Reymond di ruang meeting. Desya nampak gelisah, ia berharap Pak Reymond mau bernegosiasi untuk menjadwalkan ulang pertemuan mereka dengan Pak Agung. Pria itu datang kembali, kini wajahnya nampak sangat tegang. Sepertinya habis dimarahi oleh Reymond.“Maaf Bu Desya, saya sudah coba bujuk Pak Reymond agar dia bisa datang lagi besok tapi mereka tidak mau. Mereka harus meeting sekarang, bagaimana ini Bu?”Desya mematung, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia terdiam tiba-tiba teringat kala dia menjadi seorang CEO di perusahaannya dahulu. Semua tipe klien dia hadapi dengan mudah dan selalu goal.“Oke, tolong susul saya ke ruang meeting ya. Bawa semua berkas yang sudah saya siapkan di meja kerja saya, saya akan bawa laptop ini. Terima kasih,”ucap Desya pad