Malam tiba.
"Laperr..." gumam Selin sambil mengelus perutnya. Dia letih dan akhirnya berhenti menangis. Dia tidak tahu sedang berada di pelosok mana. Semuanya terlihat sama. Cuma pepohonan saja yang memenuhi pemandangannya.

"Mama... Selin takut. Di sini gelap. Badan Selin juga pegel-pegel," ucapnya. Kini cewek itu bersandar di salah satu pohon. Ia benar-benar lelah. Haus, lapar, dan ketakutan. Wajahnya memucat.
"Apa mungkin ini akhir dari kehidupan gue ya? Kira-kira mereka nyari gue nggak sih? Ya Allah. Tolongin Selin. Selin nggak mau mati di sini." Selin mengusap air matanya yang kembali turun. "Ankaa pasti nyariin gue. Kalo Dena? Ck, dia pasti seneng liat gue begi
"Azeekk, canon merk terbaru!!" seru Ankaa sambil meninju udara. Usai Selin memberitahu bahwa ia dan Sadena resmi berpacaran. "PJ-nya jangan lupa ya, Na." Kehebohan Ankaa itu sukses memancing puluhan pasang mata yang berada di bis ini berbisik-bisik dengan tampang kecewa. Sedangkan Selin tersipu malu karenanya. "Berisik monyet!" imbuh Sadena yang membawa tas jinjing milik Selin. Ya, hari ini camping mereka selesai dan diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Ankaa menepuk pundak sahabatnya itu. "Yaelah, santai bro kayak di pantai. Hahaha. Akhirnya, doa gue terkabul Ya Allah. Selin sama Sadena jadian! Alhamdulillah." "Apa? Jadian?! Siapa yang jadian?!" pekik Sadava yang baru saja menaiki bis ini bersama Marsha. Kedua manusia itu kebingungan dan berjalan mendekati Ankaa. "Dena, Dav. Jadian sama Selin," jawab Ankaa dengan semangat 45 membuat Sadena yang baru saja dud
Selin kekenyangan habis makan dua porsi martabak. Hasilnya, perut cewek itu terasa kembung dan Selin pun bersendawa berulang kali. "Aduh, jadi pengen boker," lirih cewek itu sambil menghentikan langkah. Membuat Sadena menengok ketika mendapati Selin tidak berada di sampingnya. Rupanya tertinggal jauh di belakang. Sadena pun menghampiri. "Kenapa?" Selin menatap wajah Sadena sebentar, dia nyengir lucu. "Kekenyangan." "Terus?" "Jadi pengen boker," jawab Selin tanpa malu. Detik selanjutnya Sadena memutar bola mata jengah. "Kirain kenapa lo. Yaudah, mau gue temenin?" tawar cowok itu. Selin membulatkan mata. Dia jadi malu. Masa pacar sendiri diminta nemenin boker sih. "Hah?! Nggak usah deh. Kan udah bel." "Jadi lo tahan? Entar ke boker di celana. Bikin malu," sanggah Sadena. Selin menggeleng cepat. Ia menggaruk
"Denaaa." Teriakan itu terdengar ketika Sadena baru saja menapakan kakinya di area parkiran. Dengan jarak sekitar 6 langkah, Sadena mengulum senyum melihat Selin berlari kecil dan mendekatinya. "Kok lama?" Selin mendongak dan menatap wajah Sadena. Bibirnya manyun. Ia sebal karena nyaris sepuluh menit menunggu. Sadena mencubit gemas sebelah pipi cewek berjaket pink itu. "Sorry. Gue harus ke ruang eskul voli dulu buat mendata pendaftaran," jawab Sadena. "Lo ikut voli juga, kan?" Selin mengangguk cepat. "Kenapa kamu yang mendata?" "Karena gue ketuanya.""Jadi situ ketua voli?" ulang Selin kurang yakin."Nggak jelas uc
"Semua manusia di dunia ini pendosa, Bun. Nggak ada yang suci. Termasuk aku."--Sadava.  🌺🌺🌺 "Ayo ambil," ucap Sadena. Mengulurkan sebuah balon berwarna pink pada Selin. Tadi cowok itu izin sebentar dan ternyata hanya membeli benda ini?  "Buat aku?" "Iyalah. Masa gue kasih ke cewek sono. Ikhlas lo?" Yang dimaksud Sadena adalah cewek bertubuh gempal yang berusaha menyebrang jalan. Selin menggeleng pelan dan terkikik ke
Sweety❤: Al, aku sama Sadava malam ini mau jagain Marsha, jadi nginap di rumahnya. Kamu tidur sendiri ya😁 Love you, by 😚 Langkah Aldevan terhenti di undakan tangga tepat setelah membaca pesan istrinya itu. Rahangnya nyaris jatuh dan bahunya meluruh. Menggeleng sambil mendengus geli, Aldevan pasrah dan mengirimkan balasan. Aldevan: Iya. Besok pulang ya yang jaga diri kamu baik-baik. Love you too😚 Aldevan pun kembali melanjutkan langkahnya. Sempat tadi berpikiran menolak memberi izin. Tapi ia berubah pikiran. Mery berhak memberikan perhatiannya pada Marsha. Bukannya Aldevan tidak memiliki rasa prihatin pada gadis itu, namun karena kesibukannya Aldevan jadi jarang mengobrol atau sekedar bertemu. Sebagai gantinya, Aldevan sering mengirimkan kebutuhan pokok ke rumah Marsha. Bugh Terdengar bunyi pukul
Kepulan asap rokok mengudara. Berasal dari seorang pria berambut gimbal yang duduk bersandar di tembok ruangan. Jona, pria itu menyunggikan senyum remeh sesaat Zoe berjalan melewatinya demi mengambil handuk putih yang tersampir di sandaran kursi. Mereka kini berada di gedung tua, tempat biasa Zoe dan Sadena bertanding. "Puas latihan lo?" tanya Jona. Zoe mendelik sinis. "Nggak ada kata puas sebelum gue berhasil ngalahin Dena." "Hahaha." Jona tertawa meremehkan. "Dena nggak akan pernah bisa dikalahin, Man." "Bengset." Gerakan Zoe menyeka keringat di lehernya berhenti. Ia mengernyit kesal. "Lo ngedukung gue apa nggak sih?"
Marsha melayani setiap pembeli di kafe ini dengan ramah, hal itu membuatnya disegani banyak pembeli juga. Terutama Tasya--ibunya Ankaa, sebagai pemilik kafe ia merasa sangat beruntung mempunyai pegawai seperti Marsha. Meskipun awalnya Tasya bingung bagaimana ia harus menerima pegawai yang bahkan belum lulus SMA. Namun setelah Mery menceritakan kronologis kenalnya dia dengan cewek itu. Tasya pun luluh, ia prihatin keadaan Marsha dan tanpa pikir panjang lagi langsung menerima cewek itu sebagai waitress di kafenya.  "Marsha sini," panggil Tasya dan Marsha langsung menghampiri wanita itu. "Kamu anterin mocca ini ke meja nomor dua puluh ya," pintanya sambil mengulurkan nampan berisi secangkir mocca dingin. Marsha mengangguk dan tersenyum. Ia menerima itu dan dengan hati-hati menaruhnya di meja nomor 20 yang ditempati seorang wanita. "Se
Kamu itu seperti pelangi, penuh warna, membuat hidupku tak tabu lagi.🌺🌺🌺 Zoe. Nama yang sedari tadi berputar di benak Marsha. Ia mencoba mengingat siapa pria itu tapi hasilnya nihil. Sungguh, Marsha bingung sekali saat ini. Siapa Zoe? Darimana pria itu tahu namanya? Dan pria itu bilang, mereka pernah berteman tapi sejak kapan? Memikirkannya membuat Marsha pusing, sebab itu, ketika angkot yang ia tumpangi berhenti di depan rumahnya, Marsha bergegas turun lalu membayar. Selanjutnya, gadis itu buru-buru memasuki rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. "Zoe. Namanya bagus tapi bikin aku takut." --Sadena--