Marsha melayani setiap pembeli di kafe ini dengan ramah, hal itu membuatnya disegani banyak pembeli juga. Terutama Tasya--ibunya Ankaa, sebagai pemilik kafe ia merasa sangat beruntung mempunyai pegawai seperti Marsha.
Meskipun awalnya Tasya bingung bagaimana ia harus menerima pegawai yang bahkan belum lulus SMA. Namun setelah Mery menceritakan kronologis kenalnya dia dengan cewek itu. Tasya pun luluh, ia prihatin keadaan Marsha dan tanpa pikir panjang lagi langsung menerima cewek itu sebagai waitress di kafenya.

"Kamu anterin mocca ini ke meja nomor dua puluh ya," pintanya sambil mengulurkan nampan berisi secangkir mocca dingin.
Marsha mengangguk dan tersenyum. Ia menerima itu dan dengan hati-hati menaruhnya di meja nomor 20 yang ditempati seorang wanita.
"Se
Kamu itu seperti pelangi, penuh warna, membuat hidupku tak tabu lagi.🌺🌺🌺 Zoe. Nama yang sedari tadi berputar di benak Marsha. Ia mencoba mengingat siapa pria itu tapi hasilnya nihil. Sungguh, Marsha bingung sekali saat ini. Siapa Zoe? Darimana pria itu tahu namanya? Dan pria itu bilang, mereka pernah berteman tapi sejak kapan? Memikirkannya membuat Marsha pusing, sebab itu, ketika angkot yang ia tumpangi berhenti di depan rumahnya, Marsha bergegas turun lalu membayar. Selanjutnya, gadis itu buru-buru memasuki rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. "Zoe. Namanya bagus tapi bikin aku takut." --Sadena-- 
Setiap orang mempunyai cara tersendiri saat mengistimewakan sesuatu yang mereka sayangi.🌺🌺🌺 Jangan berpikir Sadena akan meninggalkan akal sehatnya untuk kurun waktu yang lama. Cowok itu melepaskan pagutan mereka sekitar tiga menit setelahnya. Napas Selin masih terengah-engah. Bahkan, ia tidak ingat kapan Sadena mendudukannya di meja persegi dekat jendela yang terdapat jejeran cat acrylic. Semuanya terjadi sangat cepat. Selin bingung bagaimana harus mencerna kejadian tadi di otaknya.  "Eumm..." Selin menggigit bibir bawahnya sambil menunduk. Di depannya, Sadena berdiri dengan kedua tangan bertumpu pada pinggiran meja. Cowok itu memandangnya. Selin tidak tahu bagaimana ekspresi Sadena sekarang karena ia masih malu sekedar menatap cowok itu sebentar saja. "Dena. Tadi kita itu--
Hari demi hari berlalu. Hubungan Sadena dan Selin semakin erat. Mereka berangkat, pergi ke kantin dan pulang sekolah selalu bersama.Lain halnya untuk Marsha. Selama seminggu ini. Pria bernama Zoe yang pertama kali ia temui di kafe kian hari semakin gencar menganggu dirinya."Dari kemarin mukanya murung terus. Kebanyakan beban hidup apa gimana sih beb? Senyum dongg," ujar Dava menarik kedua sudut bibir Marsha. Jujur saja ekspresi pacarnya itu membuatnya prihatin. "Nah, gini kan makin tambah cantik."Marsha terpaksa tersenyum lebar. "Dava, aku mau ngomong serius sama kamu.""Hah? Serius? Kita masih sekolah, Sha. Nanti ya kalo udah lulus langsung aku seriusin," imbuhnya berkedip jahil. Mengusap turun rambut Marsha, cewek itu menabok lengannya."Ish Dava bukan itu. Kebiasaan banget sih becanda mulu!" omel Marsha."Hahaha. Iya maaf," Sadava tergelak dan mengajak gadis itu dudu
Tidak ada yang satu pun manusia yang bisa dipercaya di dunia ini. Selain Tuhan dan diri kamu sendiri.🌺🌺🌺 "Lo selalu ada buat gue kan? Jangan pernah tinggalin gue ya?" Pertanyaan Sadena membuat Selin tersenyum. Cewek itu menarik tangannya dari genggaman Sadena. Beralih menyentuh sebelah pipi cowok itu. "Iyah. Aku pasti selalu ada buat kamu kok." "Itu hal terbullshit yang pernah gue denger," sahut Sadena, sontak Selin terdiam heran. Sadena mengambil tangan Selin dari pipinya. "Semua orang bisa berjanji, tapi nggak semua orang mampu menepati." Selin melihat pancaran penuh keseriusan di mata Sadena. Ia tertegun menatap cowok itu. "Iya. Aku janji deh. Janji. Tuan putri juga bisa apa tanpa pangerannya? Pangeran juga harus janji selalu jagain tuan putri ya." "Janji," ujar Sadena. "Gue suka diusap rambutnya s
Selesai bersiap Selin menunggu kedatangan Sadena dengan duduk di ruang tamu. Jujur Selin masih sedikit kesal, karena tadi di chat mereka sempat berdebat soal pakaian yang akan ia kenakan. Selin bersikeras mengenakan dress hitam off shouldernya, sementara Sadena melarang keras Selin mengenakan pakaian itu dan mengancam jalan-jalan mereka sebaiknya ditunda saja jika Selin sampai mengenakannya. "Loh, nggak jadi pakai dress hitam?" tanya Raya. Wanita berpiyama biru itu datang dari arah dapur, membawa segelas susu hamil di nampan dan meletakkannya di meja tamu. "Nggak di bolehin Dena," jawab Selin cemberut. "Menurut mama Selin cantik nggak pake baju ini? Rasanya kepanjangan banget."  "Kamu selalu cantik kok," Raya mengambil duduk samping Selin. "Mama malah sependapat sama Dena. Kamu nggak cocok pake dress yang terbuka gitu. Takutnya mengundang tatapan nggak etis dari oran
 Puas menjelajah Lampion Park selama hampir satu jam, Selin mengeluh ngantuk pada Sadena. Cowok itu pun memutuskan mengakhiri kencan mereka. Kini keduanya berjalan menuju parkiran. Setibanya di depan mobil Sadena, Selin dengan mata menahan kantuk mendaratkan pantatnya di kursi samping kemudi usai Sadena membukakan pintu mobil untuknya. "Lo tunggu di sini dulu, gue beli mineral sebentar, oke?" Selin mengangguk sekilas lalu memejamkan mata. Cewek itu terlihat mengantuk sekali. Sadena pun menutup pintu mobil kemudian buru-buru menuju penjual minuman yang berada tidak jauh dari area parkiran taman. Selesai membeli, Sadena melangkah cepat menuju mobilnya namun, belum masuk parkiran langkahnya dihadang oleh seseorang. "Eits jangan terburu-buru, bro. Cewek lo aman," kata Jona tersenyu
Begitu bel istirahat berbunyi, Sadena dengan cepat menuju rooftop sekolah, menaiki tangga dan melalui banyak jejeran para siswi yang sedang bersantai. Banyak dari mereka melempar tatapan minat pada Sadena. Namun cowok itu tetap tak peduli, memberikan tatapan datarnya dan terus melangkah, mengabaikan decak kagum yang kerap kali menerobos indera pendengarannya. Demi apa pun, para siswi itu seperti tidak punya harga diri, tanpa malunya melempar siulan pada cowok yang jelas-jelas telah dimiliki. Selin, dia tidak ikut. Meski begitu Sadena telah mengirim pesan permintaan maaf karena mereka tidak jadi makan bersama di kantin hari ini. Beralasan, dia dan Sadava ada urusan. Setibanya di rooftop sekolah, Sadena langsung menyapu pandangan, mencari figur kembarannya, Sadava, cowok itu mengirim pesan bahwa telah menunggu lama. "Dena?" Panggilan dari samping kanan membuat Sadena menoleh, pupil matanya membesar, sebab dia bukan hanya
Sore ini, hujan turun lumayan deras, mengguyur daerah kota Bandung dan sekitarnya. Alhasil, Sadava melarang keras Marsha yang ingin berangkat kerja. Ia meminta pacarnya itu duduk manis di rumahnya saja sembari menunggu hujan reda. "Dava ish! Sakit tau!" kekeh Marsha sambil menurunkan tangan Sadava dari pipinya. Alisnya bertautan, tanda kesal. Sadava nyengir lucu, entah kenapa ia suka sekali memainkan pipi Marsha. Padahal, gadis itu sedang fokus-fokusnya menonton salah satu film Disney dari TV layar lebar di depan mereka. Sadava memaklumi keantusiasan Marsha setiap kali menonton, karena di rumah gadis itu, hanya tersedia TV bekas berukuran kecil, bahkan hampir semua salurannya bersemut. Apalagi saat hujan seperti sekarang, Sadava pernah memergoki Marsha bersedih, terpaksa mematikan TV setelah mencoba semua saluran, layarnya tidak ada yang bersih. "Sha, besok aku beliin TV gede kayak itu yaa," ucap Sadava membuat Marsha m