Puas menjelajah Lampion Park selama hampir satu jam, Selin mengeluh ngantuk pada Sadena. Cowok itu pun memutuskan mengakhiri kencan mereka.
"Lo tunggu di sini dulu, gue beli mineral sebentar, oke?"
Selin mengangguk sekilas lalu memejamkan mata. Cewek itu terlihat mengantuk sekali.
Sadena pun menutup pintu mobil kemudian buru-buru menuju penjual minuman yang berada tidak jauh dari area parkiran taman. Selesai membeli, Sadena melangkah cepat menuju mobilnya namun, belum masuk parkiran langkahnya dihadang oleh seseorang.
"Eits jangan terburu-buru, bro. Cewek lo aman," kata Jona tersenyu
Begitu bel istirahat berbunyi, Sadena dengan cepat menuju rooftop sekolah, menaiki tangga dan melalui banyak jejeran para siswi yang sedang bersantai. Banyak dari mereka melempar tatapan minat pada Sadena. Namun cowok itu tetap tak peduli, memberikan tatapan datarnya dan terus melangkah, mengabaikan decak kagum yang kerap kali menerobos indera pendengarannya. Demi apa pun, para siswi itu seperti tidak punya harga diri, tanpa malunya melempar siulan pada cowok yang jelas-jelas telah dimiliki. Selin, dia tidak ikut. Meski begitu Sadena telah mengirim pesan permintaan maaf karena mereka tidak jadi makan bersama di kantin hari ini. Beralasan, dia dan Sadava ada urusan. Setibanya di rooftop sekolah, Sadena langsung menyapu pandangan, mencari figur kembarannya, Sadava, cowok itu mengirim pesan bahwa telah menunggu lama. "Dena?" Panggilan dari samping kanan membuat Sadena menoleh, pupil matanya membesar, sebab dia bukan hanya
Sore ini, hujan turun lumayan deras, mengguyur daerah kota Bandung dan sekitarnya. Alhasil, Sadava melarang keras Marsha yang ingin berangkat kerja. Ia meminta pacarnya itu duduk manis di rumahnya saja sembari menunggu hujan reda. "Dava ish! Sakit tau!" kekeh Marsha sambil menurunkan tangan Sadava dari pipinya. Alisnya bertautan, tanda kesal. Sadava nyengir lucu, entah kenapa ia suka sekali memainkan pipi Marsha. Padahal, gadis itu sedang fokus-fokusnya menonton salah satu film Disney dari TV layar lebar di depan mereka. Sadava memaklumi keantusiasan Marsha setiap kali menonton, karena di rumah gadis itu, hanya tersedia TV bekas berukuran kecil, bahkan hampir semua salurannya bersemut. Apalagi saat hujan seperti sekarang, Sadava pernah memergoki Marsha bersedih, terpaksa mematikan TV setelah mencoba semua saluran, layarnya tidak ada yang bersih. "Sha, besok aku beliin TV gede kayak itu yaa," ucap Sadava membuat Marsha m
Ruangan yang gelap gulita menyambut penglihatan gadis itu saat membuka mata, hanya ada sedikit cahaya merembes masuk lewat celah kecil di depan sana. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, mengumpulkan nyawanya, berusaha mengenali tempat dimana sekarang ia berada. Nihil, ruangan ini begitu asing, tidak ada satu pun benda, kosong, semua sisi dindingnya pun hitam. "A-aku dimana?" Kini gadis itu berdiri. Tubuhnya gemetaran. Saat sadar di ruangan ini hanya dia sendiri, gadis itu semakin ketakutan. "Putriku." Sebuah suara mengalihkan atensi gadis itu, cahaya kecil yang merembes di depan sana terlihat membesar. Disusul seorang pria berpakaian serba putih keluar dari baliknya. Umurnya berkisar empat puluh tahunan. "Ka-kamu siapa?" Gadis itu mundur beberapa langkah. Ia takut. Ia tidak mengenal sama sekali pria itu, tapi mengapa dia menyebutnya putriku? "Pergi!" Gadis itu membentak. Mat
Karena kesuksesan adalah milik mereka yang tidak pernah menyerah.🌺🌺🌺 "Sayang," Zoe tiba-tiba datang dan berucap manja. Selin menepuk jidatnya, suasana pasti tambah runyam. "Benerin sikap cewek lo!" tuding Sadena menunjuk wajah Zoe. Tapi pria itu tampak tak peduli, justru menghampiri Laura dan merangkul pinggangnya posesif. "Kamu ngapain hm? Dia ngeganggu kamu?" Laura kontan menatap wajah Zoe di sampingnya, ia menggeleng pelan sambil tersenyum licik. Satu tangannya mengeratkan rengkuhan Zoe ke pinggangnya. "Nggak kok, yang. Aku cuma ngajak dia kenalan aja. Siapa tau kita cocok jadi temen, 'kan? Tapi bener kata kamu, dia belum apa-apa udah sombong duluan." "Tai! Mulut lo munafik!" sambar Sadena melotot tajam. Laura tersenyum kemenangan. "Salah gue ngomong fakta?"
"PAPA!" Marsha terbangun dengan air mata yang bercucuran, terduduk sambil mengatur napasnya yang terengah. Tubuhnya gemetaran. Ia tidak mengerti mimpi semacam apa yang menganggu tidurnya barusan. Mimpi yang benar-benar membuatnya merasa kembali kehilangan. Marsha menyapu peluh di sekitar pelipisnya, lalu menjambak sebentar rambutnya dengan kedua tangan, ia frustasi, Marsha menekuk lututnya seraya menahan isakan. "Papa..." Di satu sisi ia mensyukuri mimpi itu datang karena ia dapat melihat wajah sang papa namun, di sisi lain ia menyesal karena bagian akhirnya sang papa kembali pergi meninggalkannya. Mimpi yang terasa begitu nyata, bahagia, sedih dan kecewa sekaligus. Marsha terisak kecil bersama penerangan kamar yang remang-remang. "Hiks, papa..." Mendengar isakan tersebut membuat cowok yang tidur di sofa terjaga. Sadava mengucek-ngucek sebentar matanya, mengumpulkan kesadarannya. Lalu
Sejatinya, di dunia ini nggak ada manusia yang selalu jahat dan nggak ada manusia yang selalu baik.-Sadena-🌺🌺🌺 Walau tubuhnya dibanjiri oleh keringat, Sadena mampu menangkis setiap serangan yang Zoe layangkan. Meski sesekali, cowok itu lengah dan berakhir mundur beberapa langkah--setelah pukulan Zoe mengenai beberapa bagian tubuhnya. Sorak-sorai penonton tak luput mengiringi setiap detik pertandingan, huru-hara suara teriakan mereka menggemakan nama Sadena. Selin jelas mendengarnya. Itu mengapa Selin yakin pertandingan ini akan segera berakhir oleh Sadena yang memperoleh kemenangan. Bukannya Selin terlalu optimis. Memang itu sebuah keharusan bukan? Menyaksikan Sadena mencegat semua serangan Zoe sudah membuatnya sedikit tenang. Maka karenanya, Selin menarik senyum tipis ketika melihat Sadena berhasil membuat Zoe tersungkur untuk pertama kali
Menyukaimu seperti mengendalikan sebuah perahu, jika salah arah, maka aku akan tersesat di luasnya lautan angan. Tanpa kepastian.-Selindya-🌺🌺🌺 Flashback, 4 years ago. Sore itu, taman kota Bandung ramai dengan para pengunjung yang didominasi oleh anak-anak dan Selin adalah satunya. Ya, Selin kecil tengah jalan-jalan ke sini ditemani oleh Kevin dan Raya. Mereka datang dari Jakarta lalu menginap selama beberapa hari di rumah kakek-nenek yang merupakan ayah-ibu dari Kevin dan Raya secara bergantian. Semata demi melepas rindu selepas lama tak bertemu. Itu karena pekerjaan Kevin yang mendesak mereka tinggal di hiruk pikuknya kota Jakarta selama bertahun-tahun. Dan hari ini, guna menghabiskan sisa waktu di Bandung mereka memilih mengunjungi taman kota. Mata Selin menjelajah sekitar sambil menjilat es krimnya, sat
Sadena kini telah ditangani oleh pihak medis yang bertugas, namun pikiran Selin tetap kalut dan seringkali terlintas hal-hal negatif. Air mata cewek itu pun semakin menjadi kala setengah jam berlalu Sadena belum sadarkan diri.  "Cepat bangun Dena," katanya sendu. Mengusap punggung tangan Sadena yang berbalut kasa. Cowok itu terbaring lemah di brankar. Matanya terpejam rapat dan wajahnya seperti memucat. Sekarang mereka berada di ruangan rawat khusus petarung. Namanya saja ruang rawat, padahal di tempat pengap ini tidak ada hal yang terlalu berguna untuk pengobatan. Selain kasa, obat merah, sebuah sofa coklat, dua brankar, dan dua kursi kayu. Selin yang duduk di kursi kayu itu menghela napas. Menatap dengan sedih lebam di bagian perut, rahang, tangan dan pipi Sadena. "Maafin aku Dena. Ini semua gara-gara aku." Rasa bersalah terus saja membayangi piki
Selin mengunyah dengan lahap sosis bakar di mulutnya hingga pipi perempuan itu membulat, ia menyengir menatap Sadena, pria itu terkekeh geli menatap wajahnya.Sadena membelikan banyak sekali makanan, bukan hanya sosis bakar, tapi juga es krim serta permen manis. Dan yang Selin tak habis pikir, sosis bakar, es krim dan permen manis tersebut masih sama merknya seperti yang pernah Sadena belikan dulu untuknya saat mereka SMA. Pedagang sosis bakar tersebut bahkan masih mengingat Sadena saking seringnya dulu mereka datang ke taman ini lalu jajan sosis bakar beliau.Jika saja Sadena tidak melanjutkan studinya ke Amerika, mungkin di masa kuliah, mereka akan menambah kenangan di sini.Melihat Sadena tidak makan, hanya duduk di samping sembari mengusap-ngusap kepalanya, Selin pun menawarkan sosis bakarnya pada pria itu."Dena mau?" kebiasaan Selin, apa pun yang dimakan selalu di tawarkan padanya. Apalagi, Selin termasuk perempuan yang tidak
Pagi menyapa seperti biasa, bedanya hari ini hari libur, jadi Sadena berencana mengajak Selin jalan-jalan. Bukan cuma Selin, ia juga berniat mengajak Mou. Kasihan Sadena melihat bocah itu beberapa minggu ini hanya berdiam diri di rumah. Mery dan Aldevan sibuk, mungkin karena itu mereka tidak punya waktu mengajak Mou jalan-jalan, begitu pula dengan Ken.Mou bilang Ken sering curhat dia bosan berada di rumah. Oleh karenanya, Sadena juga mengajak Ken agar Mou punya teman bermain.Mou mengenakan sweater berwarna pink dan rok selutut, gadis kecil itu tampak sangat gemas mengenakan pakaian seperti itu. Ah, dia salah, ada lagi yang lebih menggemaskan, yaitu istrinya yang baru saja selesai bersiap lalu keluar dari kamar. Selin, memakai warna sweater yang sama dengan Mou. Mereka sangat kompak."Apa gue harus pakai yang pink-pink juga nih?" batin Sadena tertawa. Ia duduk di sofa menunggu kedua bidadarinya selesai bersiap.Mou turun dari tang
Selin mengeluari kamar kecil dengan perasaan lega. Sebab ia baru saja berhasil lancar buang air besar setelah berhari-hari mengalami sembelit. Perempuan itu lantas menjatuhkan dirinya di atas kasur sembari mengelus-ngelus perutnya yang rata.Entah kenapa tingkah Selin itu menarik perhatian Sadena yang tadinya asik berkutat di depan laptop mengerjakan tugas kantor, sekarang malah tersenyum menatap Selin lalu mengusap rambut istrinya."Habis boker?" tanya Sadena. Selin menyengir malu-malu."Hehe, iya. Dari kemarin aku sembelit makanya tadi pas keluarnya lancar aku lega bangett," jawabnya. Sadena mengacak gemas rambut Selin. Ya, setelah menikah, istrinya itu semakin terlihat menggemaskan."Udah minum susu?" Sadena bertanya lagi, membuat Selin menepuk jidatnya."Oh iya lupa, aku bikin dulu ya." Selin sudah hendak turun dari kasur, namun Sadena menahan pergelangannya."Enggak usah kamu diisi aja, biar aku yang
Sadava menyantap dengan lahap hidangan makan siang yang dibawakan oleh Marsha, bahkan sudut bibir laki-laki itu jadi belepotan.Marsha lantas dibuat gemas melihat tingkah calon suaminya itu, dia pun mengambil selehai tisu basah dan menyeka sudut bibir Sadava yang comot oleh sambal. Empunya langsung tergelak, Sadava menyengir lebar menampilkan gigi putihnya yang terdapat sisa cabai, alhasil tawa Marsha meledak memenuhi ruangan."Ih Dava lucu banget sih, di gigi kamu ada cabai tau!" ledek Marsha, Sadava hanya terkekeh ringan tanpa dosa.Sudah berapa tahun dia menjalin hubungan bersama perempuan itu, jadi untuk apa malu? Justru Sadava pikir hal ini bagus karena dia bisa membuat Marsha tertawa. Kalau bisa, ia akan setiap hari bertingkah konyol agar Calon istrinya itu selalu tersenyum."Masakanmu enak banget, By. Besok bawain yang ini lagi yaa," pinta Sadava sembari mencomot sisa-sisa sambal di jarinya seperti anak kecil.M
Takdir, tidak ada yang bisa mengubah takdir yang digariskan oleh Tuhan untuk makhluknya.Semua bisa terjadi tanpa kita duga sebelumnya, apalagi kita tebak.Seseorang yang dulu bersikap sangat buruk bisa berubah baik atas kehendak Tuhan, kita contohkan saja laki-laki bernama Zoe Navvare yang sedang sibuk berkutat dengan laptop di hadapannya.Dulu, dia adalah sosok jahat yang ditakuti semua orang, penuh dendam, serta pribadi yang suka berkelahi. Tapi sekarang dia berbeda, dia sudah berubah menjadi orang baik yang disegani semua orang, pekerja keras, ramah, penyayang, juga taat beribadah.Meski label "Penjahat" pernah melekat pada laki-laki itu, namun seiring waktu berjalan, tahun demi tahun berlalu, Zoe mendapatkan hidayah dan menebus kesalahannya dulu.Sekarang dia telah sukses menjalankan perusahaan bernama Gemilang Angkasa milik mendiang ayahnya Bella. Setahun berjalan, perusahaan yang dikabarkan akan bangkrut i
Hari ini Selin mendapati suatu kebenaran yang tak pernah ia duga sebelumnya. Bahwa Zoe telah banyak berubah setelah keluar dari penjara.Bella adalah orang yang membuktikan semua perubahan itu pada Selin. Meski belum melihatnya secara langsung, Selin sudah yakin Zoe banyak berubah karena gadis itu.Hidayah memang datang tanpa pandang bulu, seburuk apa pun seseorang, dia pantas mendapatkan pengampunan dan berhak mengubah perilakunya menjadi lebih baik.Maka sehabis menyiapkan sarapan dan mengerjakan pekerjaan rumah, Selin bergegas berkunjung ke rumah Marsha, dia ingin menceritakan kejadian ini pada calon adik iparnya itu.Mengetuk pintu rumah Marsha, Selin disambutlangsung oleh Tuan rumah. Marsha saat itu masih mengenakan pakaian tidur."Selin?" kejutnya. Marsha tersenyum segera membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Selin masuk. Dia dituntun menuju sofa. Dan for your Information saja, rumah Marsha sekarang lebih besar dan nyaman
Memang benar kata orang menjadi seorang istri susah-susah gampang, harus bangun pagi, memasak untuk keluarga, mencuci pakaian ditambah mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Terlebih, jika seorang perempuan ini adalah wanita karir sebab dia harus pandai mengatur waktu antara keluarga dan karirnya.Selin termasuk dalam kategori wanita karir tersebut, namun di kurun waktu beberapa hari ini menjadi seorang istri ia belum kesulitan sama sekali mengatur pekerjaan rumah dan pekerjaannya di butik. Hal itu karena ia didukung penuh oleh kedua mertuanya yang sangat menyayanginya. Mery dan Aldevan, mereka selalu membantu Selin sekecil apa pun kesulitan yang perempuan itu dapatkan.Seperti memasak misalnya. Meskipun Selin lahir dari keluarga yang berkecukupan, dalam hal mengenali bahan masakan ia masih kurang. Bukan tidak bisa, tapi Selin belum menguasai beberapa resep rumahan.Jadi, pagi ini dia meminta Mery membuatkan daftar bahan say
Sinar mentari pagi menyusup masuk dari celah gorden, membuat kedua insan yang masih bergelung dalam selimut itu mulai terjaga.Sadena mengerjapkan matanya berulang kali demi mengumpulkan kesadarannya, kala nyawanya sudah penuh, barulah laki-laki tampan itu bangun dan menggeliat sebentar. Menengok ke samping, Sadena terkekeh geli melihat Selin yang masih tidur nyenyak seolah dunia ini tidak pernah pagi.Imut sekali, Sadena tidak pernah bosan memandangi wajah istrinya itu sejak mereka SMA.Sikap jahilnya pun muncul ketika Selin menggeliat lalu menyamping menghadapnya, Sadena menyingkirkan rambut yang menutupi wajah perempuan itu kemudian mengecup pelan pipinya. Sadena tidak mau Selin ikutan terjaga.Sadena ikut berbaring mensejajarkan wajahnya dengan wajah perempuan itu, disatukannya hidung mereka hingga Sadena dapat merasakan hembusan napas Selin yang teratur.Tidak ia pungkiri memang ada bau-bau khas orang tidur, tapi
Dua minggu usai menggelar acara lamaran dan akad nikah, Selin dan Sadena akhirnya melangsungkan resepsi pernikahan mereka yang bertempat di hotel berbintang di tengah kota. Semuanya dipersiapkan dengan mewah dan matang oleh tim wedding yang dipilih sendiri oleh Selin.Tema resepsi mereka adalah Vintage yang menonjolkan gemerlap tahun 20-an. Mereka sengaja mengusung tema ini agar terkesan lebih berbeda dari pernikahan biasanya. Karena bertema Vintage, maka semua dekorasi kental akan warna putih serta pastel. Menambah kesan kagum, elegan nan mewah bagi para tamu yang hadir. Selain turut menyanjung betapa cantik dan tampannya sang calon mempelai, mereka pun memuji betapa indahnya dekorasi resepsi.Sadena dan Selin berdiri di atas pelaminan untuk menyalimi semua para tamu dengan senyum bahagianya, Selin menerima doa dan ucapan selamat dari mereka semua.Betapa bahagianya perempuan itu, meski demikian rasa lelah mulai menyapa tubuhnya.Ketika tak ada lagi tamu