Ruangan yang gelap gulita menyambut penglihatan gadis itu saat membuka mata, hanya ada sedikit cahaya merembes masuk lewat celah kecil di depan sana. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, mengumpulkan nyawanya, berusaha mengenali tempat dimana sekarang ia berada.
Nihil, ruangan ini begitu asing, tidak ada satu pun benda, kosong, semua sisi dindingnya pun hitam.
"A-aku dimana?" Kini gadis itu berdiri. Tubuhnya gemetaran. Saat sadar di ruangan ini hanya dia sendiri, gadis itu semakin ketakutan.
"Putriku." Sebuah suara mengalihkan atensi gadis itu, cahaya kecil yang merembes di depan sana terlihat membesar. Disusul seorang pria berpakaian serba putih keluar dari baliknya. Umurnya berkisar empat puluh tahunan.
"Ka-kamu siapa?" Gadis itu mundur beberapa langkah. Ia takut. Ia tidak mengenal sama sekali pria itu, tapi mengapa dia menyebutnya putriku?
"Pergi!" Gadis itu membentak. Mat
Karena kesuksesan adalah milik mereka yang tidak pernah menyerah.🌺🌺🌺 "Sayang," Zoe tiba-tiba datang dan berucap manja. Selin menepuk jidatnya, suasana pasti tambah runyam. "Benerin sikap cewek lo!" tuding Sadena menunjuk wajah Zoe. Tapi pria itu tampak tak peduli, justru menghampiri Laura dan merangkul pinggangnya posesif. "Kamu ngapain hm? Dia ngeganggu kamu?" Laura kontan menatap wajah Zoe di sampingnya, ia menggeleng pelan sambil tersenyum licik. Satu tangannya mengeratkan rengkuhan Zoe ke pinggangnya. "Nggak kok, yang. Aku cuma ngajak dia kenalan aja. Siapa tau kita cocok jadi temen, 'kan? Tapi bener kata kamu, dia belum apa-apa udah sombong duluan." "Tai! Mulut lo munafik!" sambar Sadena melotot tajam. Laura tersenyum kemenangan. "Salah gue ngomong fakta?"
"PAPA!" Marsha terbangun dengan air mata yang bercucuran, terduduk sambil mengatur napasnya yang terengah. Tubuhnya gemetaran. Ia tidak mengerti mimpi semacam apa yang menganggu tidurnya barusan. Mimpi yang benar-benar membuatnya merasa kembali kehilangan. Marsha menyapu peluh di sekitar pelipisnya, lalu menjambak sebentar rambutnya dengan kedua tangan, ia frustasi, Marsha menekuk lututnya seraya menahan isakan. "Papa..." Di satu sisi ia mensyukuri mimpi itu datang karena ia dapat melihat wajah sang papa namun, di sisi lain ia menyesal karena bagian akhirnya sang papa kembali pergi meninggalkannya. Mimpi yang terasa begitu nyata, bahagia, sedih dan kecewa sekaligus. Marsha terisak kecil bersama penerangan kamar yang remang-remang. "Hiks, papa..." Mendengar isakan tersebut membuat cowok yang tidur di sofa terjaga. Sadava mengucek-ngucek sebentar matanya, mengumpulkan kesadarannya. Lalu
Sejatinya, di dunia ini nggak ada manusia yang selalu jahat dan nggak ada manusia yang selalu baik.-Sadena-🌺🌺🌺 Walau tubuhnya dibanjiri oleh keringat, Sadena mampu menangkis setiap serangan yang Zoe layangkan. Meski sesekali, cowok itu lengah dan berakhir mundur beberapa langkah--setelah pukulan Zoe mengenai beberapa bagian tubuhnya. Sorak-sorai penonton tak luput mengiringi setiap detik pertandingan, huru-hara suara teriakan mereka menggemakan nama Sadena. Selin jelas mendengarnya. Itu mengapa Selin yakin pertandingan ini akan segera berakhir oleh Sadena yang memperoleh kemenangan. Bukannya Selin terlalu optimis. Memang itu sebuah keharusan bukan? Menyaksikan Sadena mencegat semua serangan Zoe sudah membuatnya sedikit tenang. Maka karenanya, Selin menarik senyum tipis ketika melihat Sadena berhasil membuat Zoe tersungkur untuk pertama kali
Menyukaimu seperti mengendalikan sebuah perahu, jika salah arah, maka aku akan tersesat di luasnya lautan angan. Tanpa kepastian.-Selindya-🌺🌺🌺 Flashback, 4 years ago. Sore itu, taman kota Bandung ramai dengan para pengunjung yang didominasi oleh anak-anak dan Selin adalah satunya. Ya, Selin kecil tengah jalan-jalan ke sini ditemani oleh Kevin dan Raya. Mereka datang dari Jakarta lalu menginap selama beberapa hari di rumah kakek-nenek yang merupakan ayah-ibu dari Kevin dan Raya secara bergantian. Semata demi melepas rindu selepas lama tak bertemu. Itu karena pekerjaan Kevin yang mendesak mereka tinggal di hiruk pikuknya kota Jakarta selama bertahun-tahun. Dan hari ini, guna menghabiskan sisa waktu di Bandung mereka memilih mengunjungi taman kota. Mata Selin menjelajah sekitar sambil menjilat es krimnya, sat
Sadena kini telah ditangani oleh pihak medis yang bertugas, namun pikiran Selin tetap kalut dan seringkali terlintas hal-hal negatif. Air mata cewek itu pun semakin menjadi kala setengah jam berlalu Sadena belum sadarkan diri.  "Cepat bangun Dena," katanya sendu. Mengusap punggung tangan Sadena yang berbalut kasa. Cowok itu terbaring lemah di brankar. Matanya terpejam rapat dan wajahnya seperti memucat. Sekarang mereka berada di ruangan rawat khusus petarung. Namanya saja ruang rawat, padahal di tempat pengap ini tidak ada hal yang terlalu berguna untuk pengobatan. Selain kasa, obat merah, sebuah sofa coklat, dua brankar, dan dua kursi kayu. Selin yang duduk di kursi kayu itu menghela napas. Menatap dengan sedih lebam di bagian perut, rahang, tangan dan pipi Sadena. "Maafin aku Dena. Ini semua gara-gara aku." Rasa bersalah terus saja membayangi piki
Rasa kecewa itu ada, karena manusia berharap terlalu tinggi. -Sadena-🌺🌺🌺 Dena 😺: Gue hari ini absen, jaga diri lo baik-baik terus pergi ke toilet jangan sendiri. Oke? Baru saja memijaki lobby sekolah dan membuka gawainya Selin langsung disuguhi chat dari Sadena. Ia mengulas senyum pasrah lalu mengirimkan balasan. Selin: Iya. Dena makan obatnya yang teratur juga ya. Aku nanti sore jenguk kok. Get will soon Dena😇💝 Setelah itu Selin menyimpan kembali gawainya ke saku rok. Sedikit merasa keberatan tapi apa boleh buat? Sadena perlu istirahat. Toh, karenanya juga cowok itu harus berjuang mati-matian. Dan entahlah, Selin masih merasa bersalah. Maka Selin menggeleng cepat, ia memilih melanjutkan langkah. "Oi Tuan Putri Dena!!" Namun suara it
Entah berapa lama sudah ia terbaring di ranjang UKS. Lalu saat membuka mata Selin menemukan sekitarnya sepi dan tidak ada satupun manusia disini.  "Duh." Cewek itu merintih sembari memegangi kepalanya. Selin perlahan bangun meski ada rasa sedikit pusing. Selin pun mencoba mengingat apa yang mengakibatkan dirinya berakhir ke sini. Oh ya, tadi ia dihukum dan kemudian... "Ah nggak ingat," gerutu Selin. Bibirnya mengerucut sebal. Selang sekon dari ambang pintu terdengar seruan seseorang. "Cakep nih tuan putri Dena bangun!" Itu Ankaa yang datang bersama Marsha. Wajah keduanya ceria lain dengan Selin yang mengernyit penuh tanya. "Emang tadi aku kenapa?" "Pingsanlah, lo nggak ingat?" tanya Ankaa. Dan saat itu juga ia langsung memberitahu Sadena. Marsha mengangguki. Ia duduk di bibir ra
Semoga luka yang kita terima hari ini, berganti oleh bahagia di esok hari.🌺🌺🌺 Sudah semacam tradisi, jika Jona berhasil menyelesaikan tugas yang Zoe perintahkan maka mereka selalu merayakan sebuah pesta kecil-kecilan. Seperti saat ini, keduanya tanpa merasa berdosa saling bertos ria lalu menenggak sebotol minuman. Tak sungkan sekaligus, Zoe mengajak kelima teman petarungnya berfoya-foya. Pria itu memang kelihatan miskin, tapi nyatanya tidak. Zoe memiliki banyak uang dari hasil bermain judi. Meletakkan botolnya ke meja, Zoe menghampiri Jona yang nyaris tepar di sofa seberang. Oleh teman-temannya yang lain, rumah pria itu disulap jadi tempat karaoke malam. "Sepuluh juta, kurang?" ucapnya sembari menyodorkan amplop tebal. Jona mengangkat sedikit kepalanya dan merampas amplop itu cepat. "Ya jelaslah, pelit banget