Rasa kecewa itu ada, karena manusia berharap terlalu tinggi.
-Sadena-🌺🌺🌺Baru saja memijaki lobby sekolah dan membuka gawainya Selin langsung disuguhi chat dari Sadena. Ia mengulas senyum pasrah lalu mengirimkan balasan.
Selin: Iya. Dena makan obatnya yang teratur juga ya. Aku nanti sore jenguk kok. Get will soon Dena😇💝
Setelah itu Selin menyimpan kembali gawainya ke saku rok. Sedikit merasa keberatan tapi apa boleh buat? Sadena perlu istirahat. Toh, karenanya juga cowok itu harus berjuang mati-matian.
Dan entahlah, Selin masih merasa bersalah.
Maka Selin menggeleng cepat, ia memilih melanjutkan langkah.
"Oi Tuan Putri Dena!!" Namun suara it
Entah berapa lama sudah ia terbaring di ranjang UKS. Lalu saat membuka mata Selin menemukan sekitarnya sepi dan tidak ada satupun manusia disini.  "Duh." Cewek itu merintih sembari memegangi kepalanya. Selin perlahan bangun meski ada rasa sedikit pusing. Selin pun mencoba mengingat apa yang mengakibatkan dirinya berakhir ke sini. Oh ya, tadi ia dihukum dan kemudian... "Ah nggak ingat," gerutu Selin. Bibirnya mengerucut sebal. Selang sekon dari ambang pintu terdengar seruan seseorang. "Cakep nih tuan putri Dena bangun!" Itu Ankaa yang datang bersama Marsha. Wajah keduanya ceria lain dengan Selin yang mengernyit penuh tanya. "Emang tadi aku kenapa?" "Pingsanlah, lo nggak ingat?" tanya Ankaa. Dan saat itu juga ia langsung memberitahu Sadena. Marsha mengangguki. Ia duduk di bibir ra
Semoga luka yang kita terima hari ini, berganti oleh bahagia di esok hari.🌺🌺🌺 Sudah semacam tradisi, jika Jona berhasil menyelesaikan tugas yang Zoe perintahkan maka mereka selalu merayakan sebuah pesta kecil-kecilan. Seperti saat ini, keduanya tanpa merasa berdosa saling bertos ria lalu menenggak sebotol minuman. Tak sungkan sekaligus, Zoe mengajak kelima teman petarungnya berfoya-foya. Pria itu memang kelihatan miskin, tapi nyatanya tidak. Zoe memiliki banyak uang dari hasil bermain judi. Meletakkan botolnya ke meja, Zoe menghampiri Jona yang nyaris tepar di sofa seberang. Oleh teman-temannya yang lain, rumah pria itu disulap jadi tempat karaoke malam. "Sepuluh juta, kurang?" ucapnya sembari menyodorkan amplop tebal. Jona mengangkat sedikit kepalanya dan merampas amplop itu cepat. "Ya jelaslah, pelit banget
Sore yang cerah di hari kamis. Dan sesuai janji yang ia buat pada Selin, Sadena akhirnya melajukan motornya ke rumah cewek itu. Senyum tak luntur di wajah yang berbalut helm full face itu sejak berangkat tadi. Terserah. Sebut saja Sadena terlampau bahagia karena berhasil mengajak Selin menghabiskan waktu bersama. Terlepas dari masalah pertandingannya dengan Zoe kemarin. Selin. Hanya dengan membayangkan wajah imutnya saja membuat hati cowok itu menghangat seketika. Ya Tuhan, terima kasih sudah menghadirkan cewek mungil itu dalam dunianya. Sadena tidak tahu seberapa muram lagi hidupnya sekarang andai ia tidak bertemu Selin hari itu.
Flashback, 4 Years ago. Cowok itu berjalan membawa dua buah es krim di tangannya. Lalu berhenti di kursi taman dekat air mancur yang ada seorang cewek tengah asik memainkan gelang karet. Ia tersenyum, menjulurkan es krim ke hadapan cewek itu hingga perhatiannya teralih. "Nih buat lo." "Thanks." Cewek itu tersenyum manis menerima. Ya, dia tidak lain adalah Marsha. "Hmm. Seharusnya gue yang berterima kasih karena lo udah bersedia mendengarkan semua curhatan gue." Sadena duduk di sampingnya. Sadena merasa beruntung dipertemukan dengan Marsha hari ini, sebab dengan adanya cewek itu ia dapat mencurahkan semua yang mengganjal hatinya. Tentang keluarganya. Tentang Dian yang selalu menomorsatukan Sadava dari dirinya. Sore itu kedua bocah kembar, Sadava dan Sadena tengah bersepeda bersama di sekitaran komplek rumahnya. Keduanya belum mahir, maka Dia
Kadang yang diam dan tenang justru punya banyak kejutan. "Still call you mine"-Sadena.🌺🌺🌺 "Kenapa harus begini, Sha? Kenapa?! Kenapa lo pernah hadir di kehidupan gue?" Sadena meninju samsak di depannya dengan sekuat tenaga. Ya bagaimana tidak? Amarah sedang mengusai raga dan pikiran cowok itu. Ia benci situasi ini. Dia benci saat bayangan masa lalu itu kembali mengganggunya. Dan kenapa bisa-bisanya Selin pergi sebelum mendengar semua penjelasannya? Ck. Sadena sangat kesal. Rasanya ingin sekali menghancurkan sesuatu tapi akal sehatnya melarang hal itu.
"Pergi! Aku benci sama kamu. Aku nggak sayang Dena lagi! Kamu perusak!" ujar Selin dengan air mata yang bercucuran. Lantas Sadena pelan-pelan melangkah mundur dan menatap kecewa cewek itu. Perusak? Sudah sehina itukah dirinya di mata Selin sampai cewek itu berani mengatainya seperti barusan. Air muka Sadena berubah keruh bercampur sedih, sakitnya ucapan Selin menusuk sampai ke relung hati. Dan percayalah sejak ia kecil, Sadena tidak mau menyakiti perempuan mana pun. Tapi keadaanlah yang merubah semuanya. Memaksanya untuk membenci Marsha. "Seharusnya aku nggak perlu kenal sama kamu," lanjut Selin terisak. "Aku menyesal pernah mengagumi kamu, orang yang aku anggap baik ternyata sejahat itu. Andai aku nggak mengenal kamu, aku nggak bakal me
"Kamu jahat! Kita putus aja sekarang! Kita putus hiks hiks." Bahkan kalimat tersebut masih terngiang di telinga Sadena. Ia tak percaya Selin semudah itu mengatakan kata putus di antara mereka. Sadena benci kalimat itu, dan sejak awal menjalani hubungan dengan Selin Sadena sebisa mungkin menghindari kata 'putus'. Akan tetapi, yang terjadi barusan benar-benar di luar kendalinya. Selin terlalu keras kepala mempercayai ucapan Jona. Pria brengsek itu pengecut. Ketika Sadena mendatanginya di gedung, markas, hingga rumah Zoe, kedua pria sialan itu dengan mudahnya melarikan diri setelah menghasut Selin. Sekarang Sadena berada di ruang lukisnya. Tanpa nafsu makan sedikit pun usai mengganti baju seragam dengan kaos hitam. Ia duduk, menghadap lukisan wajah Selin yang belum sepenuhnya selesai. "Gue sayang sama lo, Sel." gumam Sadena mengusap lukisan pipi Selin, Tatapannya sendu. "Gimana
Kita punya dua pilihan dalam menghadapi masalah, selesaikan atau menyerah.-Sadena- 🌺🌺🌺 Suara gemericik hujan perlahan membasahi bumi, selang menit usai Sadena memarkirkan motornya di samping sebuah gang kecil. Kini cowok itu berada di markas Zoe, tak lain adalah gedung lama tempat terakhir kali mereka bertanding. Menatap sekelilingnya seraya mengendap-ngendap, Sadena memasuki area gedung tersebut. Tampak senyap. Seolah tidak ada satu pun manusia di dalamnya. Juga, sempat Sadena terpikir kalau dua manusia laknat itu tengah mengelabuinya. Tetapi mengingat matahari kian terbenam, Sadena tak mau membuang waktu dengan berpikir banyak. Lantas ia lanjut berlari menuju ruangan dimana Zoe bia