Sore yang cerah di hari kamis.
Dan sesuai janji yang ia buat pada Selin, Sadena akhirnya melajukan motornya ke rumah cewek itu.
Senyum tak luntur di wajah yang berbalut helm full face itu sejak berangkat tadi. Terserah. Sebut saja Sadena terlampau bahagia karena berhasil mengajak Selin menghabiskan waktu bersama. Terlepas dari masalah pertandingannya dengan Zoe kemarin.
Selin. Hanya dengan membayangkan wajah imutnya saja membuat hati cowok itu menghangat seketika.
Ya Tuhan, terima kasih sudah menghadirkan cewek mungil itu dalam dunianya. Sadena tidak tahu seberapa muram lagi hidupnya sekarang andai ia tidak bertemu Selin hari itu.
Flashback, 4 Years ago. Cowok itu berjalan membawa dua buah es krim di tangannya. Lalu berhenti di kursi taman dekat air mancur yang ada seorang cewek tengah asik memainkan gelang karet. Ia tersenyum, menjulurkan es krim ke hadapan cewek itu hingga perhatiannya teralih. "Nih buat lo." "Thanks." Cewek itu tersenyum manis menerima. Ya, dia tidak lain adalah Marsha. "Hmm. Seharusnya gue yang berterima kasih karena lo udah bersedia mendengarkan semua curhatan gue." Sadena duduk di sampingnya. Sadena merasa beruntung dipertemukan dengan Marsha hari ini, sebab dengan adanya cewek itu ia dapat mencurahkan semua yang mengganjal hatinya. Tentang keluarganya. Tentang Dian yang selalu menomorsatukan Sadava dari dirinya. Sore itu kedua bocah kembar, Sadava dan Sadena tengah bersepeda bersama di sekitaran komplek rumahnya. Keduanya belum mahir, maka Dia
Kadang yang diam dan tenang justru punya banyak kejutan. "Still call you mine"-Sadena.🌺🌺🌺 "Kenapa harus begini, Sha? Kenapa?! Kenapa lo pernah hadir di kehidupan gue?" Sadena meninju samsak di depannya dengan sekuat tenaga. Ya bagaimana tidak? Amarah sedang mengusai raga dan pikiran cowok itu. Ia benci situasi ini. Dia benci saat bayangan masa lalu itu kembali mengganggunya. Dan kenapa bisa-bisanya Selin pergi sebelum mendengar semua penjelasannya? Ck. Sadena sangat kesal. Rasanya ingin sekali menghancurkan sesuatu tapi akal sehatnya melarang hal itu.
"Pergi! Aku benci sama kamu. Aku nggak sayang Dena lagi! Kamu perusak!" ujar Selin dengan air mata yang bercucuran. Lantas Sadena pelan-pelan melangkah mundur dan menatap kecewa cewek itu. Perusak? Sudah sehina itukah dirinya di mata Selin sampai cewek itu berani mengatainya seperti barusan. Air muka Sadena berubah keruh bercampur sedih, sakitnya ucapan Selin menusuk sampai ke relung hati. Dan percayalah sejak ia kecil, Sadena tidak mau menyakiti perempuan mana pun. Tapi keadaanlah yang merubah semuanya. Memaksanya untuk membenci Marsha. "Seharusnya aku nggak perlu kenal sama kamu," lanjut Selin terisak. "Aku menyesal pernah mengagumi kamu, orang yang aku anggap baik ternyata sejahat itu. Andai aku nggak mengenal kamu, aku nggak bakal me
"Kamu jahat! Kita putus aja sekarang! Kita putus hiks hiks." Bahkan kalimat tersebut masih terngiang di telinga Sadena. Ia tak percaya Selin semudah itu mengatakan kata putus di antara mereka. Sadena benci kalimat itu, dan sejak awal menjalani hubungan dengan Selin Sadena sebisa mungkin menghindari kata 'putus'. Akan tetapi, yang terjadi barusan benar-benar di luar kendalinya. Selin terlalu keras kepala mempercayai ucapan Jona. Pria brengsek itu pengecut. Ketika Sadena mendatanginya di gedung, markas, hingga rumah Zoe, kedua pria sialan itu dengan mudahnya melarikan diri setelah menghasut Selin. Sekarang Sadena berada di ruang lukisnya. Tanpa nafsu makan sedikit pun usai mengganti baju seragam dengan kaos hitam. Ia duduk, menghadap lukisan wajah Selin yang belum sepenuhnya selesai. "Gue sayang sama lo, Sel." gumam Sadena mengusap lukisan pipi Selin, Tatapannya sendu. "Gimana
Kita punya dua pilihan dalam menghadapi masalah, selesaikan atau menyerah.-Sadena- 🌺🌺🌺 Suara gemericik hujan perlahan membasahi bumi, selang menit usai Sadena memarkirkan motornya di samping sebuah gang kecil. Kini cowok itu berada di markas Zoe, tak lain adalah gedung lama tempat terakhir kali mereka bertanding. Menatap sekelilingnya seraya mengendap-ngendap, Sadena memasuki area gedung tersebut. Tampak senyap. Seolah tidak ada satu pun manusia di dalamnya. Juga, sempat Sadena terpikir kalau dua manusia laknat itu tengah mengelabuinya. Tetapi mengingat matahari kian terbenam, Sadena tak mau membuang waktu dengan berpikir banyak. Lantas ia lanjut berlari menuju ruangan dimana Zoe bia
"Gue memang ada benci sama Lo Dav. Tapi lo tetap adik gue. Gue akan melindungi lo semampu gue, shhh," ucap Sadena dalam rengkuhan Sadava sembari menahan perih di bahunya, sebelum cowok itu akhirnya menutup mata. --Sadena-- Isak tangis mengusik keheningan ruang tunggu di luar kamar ICU, setelah Sadena baru saja memasuki ruangan tersebut.  Sadava, Marsha, Selin, beserta Mery dan Aldevan menunggu berselimut rasa cemas. Terutama Mery, wanita itu tak kunjung berhenti menangis sedari tadi. Pun Selin sama khawatirnya, namun ia memilih menangis dalam diam di pelukan Marsha. Sadava, mes
Selin bingung apakah Sadena menyukai bunga atau tidak, namun hari ini ia memberanikan diri membeli sebuket bunga untuk Sadena. Ya walau sampai sekarang cowok itu belum sadarkan diri. Padahal dia sudah rindu sekali.  Sekarang di lorong rumah sakit ini ia berjalan bersama Ankaa dan Vega. Kedua sahabatnya itu sudah tau setelah ia menceritakan semua kejadian kemarin serinci mungkin. Tidak ada satu pun yang terlewatkan, termasuk soal Sadena yang selama ini sering bertanding tinju tanpa sepengatahuan Ankaa. Ankaa pun sempat kaget dan kecewa sebab Sadena tega menyembunyikan hal sebesar itu, tapi Ankaa berusaha mengerti dan memaafkan. "Ankaa kenapa bawa durian?" tanya Selin melirik buah durian di tangan Ankaa. Yang membuatnya geli di sini Ankaa membawa durian itu secara utuh. "Gue pengen bawa buah tangan
Air mata Selin terus mengalir karena Sadena belum kunjung mengingat apa pun. Bahkan sahabat dekatnya Ankaa. Cowok itu sekarang sedang memanggilkan dokter untuk Sadena. Hingga kini Selin setia berdiri di samping ranjang cowok itu. "Dena jangan membuat kita semua takut. Kamu pasti bisa, ayo coba diingat lagi," bujuk Vega. Sadena hanya meneguk ludah sembari menatap kosong ke langit-langit ruangan. Bibirnya sedikit pucat sedangkan ekspresinya benar-benar menunjukkan bahwa cowok itu sedang bingung. Rasanya begitu menyakitkan saat khayalan Sadena bangun dan langsung memeluknya, hilang dalam sekejap. "Jangan dipaksa, Ve. Mungkin Dena memang nggak ingat apa pun," ujar Selin kecewa. Dia memang tidak mau memaksa jika nanti itu hanya menambah pusing kepala Sadena. Kasihan. Cowok itu terlalu banyak terluka. "Aku ikhlas, aku nggak mau membenani Dena." "Sabar ya, Sel. Kita tunggu sampai dokter datang." Vega mengusap pundak gadis itu. Selin mengangguk pelan. "Aku mau ke toilet dulu bentar." J