"Kamu jahat! Kita putus aja sekarang! Kita putus hiks hiks."
Bahkan kalimat tersebut masih terngiang di telinga Sadena. Ia tak percaya Selin semudah itu mengatakan kata putus di antara mereka. Sadena benci kalimat itu, dan sejak awal menjalani hubungan dengan Selin Sadena sebisa mungkin menghindari kata 'putus'.
Akan tetapi, yang terjadi barusan benar-benar di luar kendalinya. Selin terlalu keras kepala mempercayai ucapan Jona. Pria brengsek itu pengecut.
Ketika Sadena mendatanginya di gedung, markas, hingga rumah Zoe, kedua pria sialan itu dengan mudahnya melarikan diri setelah menghasut Selin.
Sekarang Sadena berada di ruang lukisnya. Tanpa nafsu makan sedikit pun usai mengganti baju seragam dengan kaos hitam. Ia duduk, menghadap lukisan wajah Selin yang belum sepenuhnya selesai.
"Gue sayang sama lo, Sel." gumam Sadena mengusap lukisan pipi Selin, Tatapannya sendu. "Gimana
Kita punya dua pilihan dalam menghadapi masalah, selesaikan atau menyerah.-Sadena- 🌺🌺🌺 Suara gemericik hujan perlahan membasahi bumi, selang menit usai Sadena memarkirkan motornya di samping sebuah gang kecil. Kini cowok itu berada di markas Zoe, tak lain adalah gedung lama tempat terakhir kali mereka bertanding. Menatap sekelilingnya seraya mengendap-ngendap, Sadena memasuki area gedung tersebut. Tampak senyap. Seolah tidak ada satu pun manusia di dalamnya. Juga, sempat Sadena terpikir kalau dua manusia laknat itu tengah mengelabuinya. Tetapi mengingat matahari kian terbenam, Sadena tak mau membuang waktu dengan berpikir banyak. Lantas ia lanjut berlari menuju ruangan dimana Zoe bia
"Gue memang ada benci sama Lo Dav. Tapi lo tetap adik gue. Gue akan melindungi lo semampu gue, shhh," ucap Sadena dalam rengkuhan Sadava sembari menahan perih di bahunya, sebelum cowok itu akhirnya menutup mata. --Sadena-- Isak tangis mengusik keheningan ruang tunggu di luar kamar ICU, setelah Sadena baru saja memasuki ruangan tersebut.  Sadava, Marsha, Selin, beserta Mery dan Aldevan menunggu berselimut rasa cemas. Terutama Mery, wanita itu tak kunjung berhenti menangis sedari tadi. Pun Selin sama khawatirnya, namun ia memilih menangis dalam diam di pelukan Marsha. Sadava, mes
Selin bingung apakah Sadena menyukai bunga atau tidak, namun hari ini ia memberanikan diri membeli sebuket bunga untuk Sadena. Ya walau sampai sekarang cowok itu belum sadarkan diri. Padahal dia sudah rindu sekali.  Sekarang di lorong rumah sakit ini ia berjalan bersama Ankaa dan Vega. Kedua sahabatnya itu sudah tau setelah ia menceritakan semua kejadian kemarin serinci mungkin. Tidak ada satu pun yang terlewatkan, termasuk soal Sadena yang selama ini sering bertanding tinju tanpa sepengatahuan Ankaa. Ankaa pun sempat kaget dan kecewa sebab Sadena tega menyembunyikan hal sebesar itu, tapi Ankaa berusaha mengerti dan memaafkan. "Ankaa kenapa bawa durian?" tanya Selin melirik buah durian di tangan Ankaa. Yang membuatnya geli di sini Ankaa membawa durian itu secara utuh. "Gue pengen bawa buah tangan
Air mata Selin terus mengalir karena Sadena belum kunjung mengingat apa pun. Bahkan sahabat dekatnya Ankaa. Cowok itu sekarang sedang memanggilkan dokter untuk Sadena. Hingga kini Selin setia berdiri di samping ranjang cowok itu. "Dena jangan membuat kita semua takut. Kamu pasti bisa, ayo coba diingat lagi," bujuk Vega. Sadena hanya meneguk ludah sembari menatap kosong ke langit-langit ruangan. Bibirnya sedikit pucat sedangkan ekspresinya benar-benar menunjukkan bahwa cowok itu sedang bingung. Rasanya begitu menyakitkan saat khayalan Sadena bangun dan langsung memeluknya, hilang dalam sekejap. "Jangan dipaksa, Ve. Mungkin Dena memang nggak ingat apa pun," ujar Selin kecewa. Dia memang tidak mau memaksa jika nanti itu hanya menambah pusing kepala Sadena. Kasihan. Cowok itu terlalu banyak terluka. "Aku ikhlas, aku nggak mau membenani Dena." "Sabar ya, Sel. Kita tunggu sampai dokter datang." Vega mengusap pundak gadis itu. Selin mengangguk pelan. "Aku mau ke toilet dulu bentar." J
Empat tahun berlalu...Seorang laki-laki berkemeja abu melangkah memasuki pintu utama di rumah mewah tiga lantai. Rumah itu tak lain adalah milik keluarganya sendiri, rumah yang sudah belasan tahun menjadi tujuannya pulang setiap hari.Memasuki ruang tamu laki-laki tersebut memandang dengan senyuman sekelilingnya. Foto keluarga masih terpajang, cat yang seakan tak pernah luntur serta harum ruangan yang masih sama seperti dulu, membuat laki-laki tersebut merindukan seluruh penghuni rumah.Ayah, Bunda, kedua adiknya dan satu lagi wanita bertubuh mungil. Dia sangat merindukan kelima figur tersebut.Tapi kemana mereka?"Abangggg!" Tiba-tiba seorang gadis kecil berkepang dengan pita merah turun dari arah tangga memekik. Di belakangnya ada bocah laki-laki. Mereka berumur sekitar lima tahunan."Hai." Laki-laki tersebut membungkuk berhadapan dengan gadis itu. Jika kalian
Puas melepas rindu dengan Selin kini giliran Sadena menemui seluruh keluarganya di ruang tamu.Bergantian Sadena memeluk erat Mery, Aldevan, dan Sadava, tiga orang yang sangat berarti dalam kehidupannya. Mereka begitu bahagia saat melepas rindu dengan Sadena.Bahkan mata Mery sampai berkaca-kaca, ia sangat bersyukur masih diizinkan oleh Tuhan untuk melihat kedua putra kembarnya sesukses sekarang. Sadena berhasil menjadi penerus perusahaan fashion Arcandra, sedangkan Sadava mendirikan bisnis otomotifnya. Laki-laki itu sendiri masih bertahan menjalin hubungan bersama Marsha. Mereka rela menunda pernikahan karena menunggu kedatangan Sadena."Duh my bro, gimana lo sehat kan? Kangen banget gue bangg," ucap Sadava sembari memeluk erat kembarannya. Setelah mendapat telpon dari Mery bahwa Sadena telah pulang, Sadava langsung meninggalkan pekerjaannya."Sehat, Dav. Lo sendiri?" Sadena mengurai pelukan menatap
Ada banyak cara seseorang menunjukan kasih sayang,seperti Sadena misalnya, dia rela meninggalkan setumpuk pekerjaan kantor demi menjaga Selin. Selain itu, dikarenakan Raya dan Kevin belum juga pulang dari Jakarta. Mereka pergi ke sana karena tuntutan pekerjaan Kevin, maka mau tau Raya pun mengikuti suaminya. Dan selama mereka tidak ada, Aldevan dan Mery lah yang menjaga Selin serta adiknya Kenarya. Mereka mempercayakan kedua orang tersebut pada orang tuanya.Sadena mengusap lembut kepala Selin, kekasihnya itu sedang menonton film dan duduk di lantai keramik beralaskan karpet tebal, sementara Sadena berbaring di atas sofa. Kepala Selin sejajar dengan perutnya, maka Sadena dapat dengan mudah mengambil pipi Selin lalu mencubitnya gemas. Mereka berada di ruang keluarga kediaman Selin.Sedangkan Ken sudah tidur duluan di kamar bocah itu."Ish Dena!""Hahaha. Siapa suruh gemesin? Jadi pengen nyubit terus."
Empat tahun yang sangat berarti bagi Marsha. Bagaimana tidak? Selama itu, dia mempelajari banyak hal yang membuatnya menjadi sukses seperti sekarang. Dan di balik kesuksesan itu, ada sebuah keluarga yang menjadi alasan utamanya. Terkhusus, Aldevan dan Mery yang telah berbaik hati memberikan bantuan pendidikan kepadanya. Mereka membiayai kuliahnya, memberi banyak kasih sayang pada Marsha layaknya gadis itu adalah putri kandung mereka. Tak pernah sedikitpun, Marsha merasa dibedakan dari Sadena, Sadava, apalagi Mouretta yang tak lain adalah putri bungsu mereka. Tak lagi Marsha merasa kesepian atau ketakutan di dunia ini, sebab Tuhan menitipkan dirinya pada keluarga yang begitu harmonis dan bahagia. Tuhan, terima kasih. Sekarang Marsha sangat bahagia. Saat ini gadis itu sedang menggambar gaun rancangannya di permukaan kertas khusus, dan selain bekerja sebagai desainer di butik Raya, Marsha juga mempunyai b