Hari demi hari berlalu. Hubungan Sadena dan Selin semakin erat. Mereka berangkat, pergi ke kantin dan pulang sekolah selalu bersama.
Lain halnya untuk Marsha. Selama seminggu ini. Pria bernama Zoe yang pertama kali ia temui di kafe kian hari semakin gencar menganggu dirinya.
"Dari kemarin mukanya murung terus. Kebanyakan beban hidup apa gimana sih beb? Senyum dongg," ujar Dava menarik kedua sudut bibir Marsha. Jujur saja ekspresi pacarnya itu membuatnya prihatin. "Nah, gini kan makin tambah cantik."
Marsha terpaksa tersenyum lebar. "Dava, aku mau ngomong serius sama kamu."
"Hah? Serius? Kita masih sekolah, Sha. Nanti ya kalo udah lulus langsung aku seriusin," imbuhnya berkedip jahil. Mengusap turun rambut Marsha, cewek itu menabok lengannya.
"Ish Dava bukan itu. Kebiasaan banget sih becanda mulu!" omel Marsha.
"Hahaha. Iya maaf," Sadava tergelak dan mengajak gadis itu dudu
Tidak ada yang satu pun manusia yang bisa dipercaya di dunia ini. Selain Tuhan dan diri kamu sendiri.🌺🌺🌺 "Lo selalu ada buat gue kan? Jangan pernah tinggalin gue ya?" Pertanyaan Sadena membuat Selin tersenyum. Cewek itu menarik tangannya dari genggaman Sadena. Beralih menyentuh sebelah pipi cowok itu. "Iyah. Aku pasti selalu ada buat kamu kok." "Itu hal terbullshit yang pernah gue denger," sahut Sadena, sontak Selin terdiam heran. Sadena mengambil tangan Selin dari pipinya. "Semua orang bisa berjanji, tapi nggak semua orang mampu menepati." Selin melihat pancaran penuh keseriusan di mata Sadena. Ia tertegun menatap cowok itu. "Iya. Aku janji deh. Janji. Tuan putri juga bisa apa tanpa pangerannya? Pangeran juga harus janji selalu jagain tuan putri ya." "Janji," ujar Sadena. "Gue suka diusap rambutnya s
Selesai bersiap Selin menunggu kedatangan Sadena dengan duduk di ruang tamu. Jujur Selin masih sedikit kesal, karena tadi di chat mereka sempat berdebat soal pakaian yang akan ia kenakan. Selin bersikeras mengenakan dress hitam off shouldernya, sementara Sadena melarang keras Selin mengenakan pakaian itu dan mengancam jalan-jalan mereka sebaiknya ditunda saja jika Selin sampai mengenakannya. "Loh, nggak jadi pakai dress hitam?" tanya Raya. Wanita berpiyama biru itu datang dari arah dapur, membawa segelas susu hamil di nampan dan meletakkannya di meja tamu. "Nggak di bolehin Dena," jawab Selin cemberut. "Menurut mama Selin cantik nggak pake baju ini? Rasanya kepanjangan banget."  "Kamu selalu cantik kok," Raya mengambil duduk samping Selin. "Mama malah sependapat sama Dena. Kamu nggak cocok pake dress yang terbuka gitu. Takutnya mengundang tatapan nggak etis dari oran
 Puas menjelajah Lampion Park selama hampir satu jam, Selin mengeluh ngantuk pada Sadena. Cowok itu pun memutuskan mengakhiri kencan mereka. Kini keduanya berjalan menuju parkiran. Setibanya di depan mobil Sadena, Selin dengan mata menahan kantuk mendaratkan pantatnya di kursi samping kemudi usai Sadena membukakan pintu mobil untuknya. "Lo tunggu di sini dulu, gue beli mineral sebentar, oke?" Selin mengangguk sekilas lalu memejamkan mata. Cewek itu terlihat mengantuk sekali. Sadena pun menutup pintu mobil kemudian buru-buru menuju penjual minuman yang berada tidak jauh dari area parkiran taman. Selesai membeli, Sadena melangkah cepat menuju mobilnya namun, belum masuk parkiran langkahnya dihadang oleh seseorang. "Eits jangan terburu-buru, bro. Cewek lo aman," kata Jona tersenyu
Begitu bel istirahat berbunyi, Sadena dengan cepat menuju rooftop sekolah, menaiki tangga dan melalui banyak jejeran para siswi yang sedang bersantai. Banyak dari mereka melempar tatapan minat pada Sadena. Namun cowok itu tetap tak peduli, memberikan tatapan datarnya dan terus melangkah, mengabaikan decak kagum yang kerap kali menerobos indera pendengarannya. Demi apa pun, para siswi itu seperti tidak punya harga diri, tanpa malunya melempar siulan pada cowok yang jelas-jelas telah dimiliki. Selin, dia tidak ikut. Meski begitu Sadena telah mengirim pesan permintaan maaf karena mereka tidak jadi makan bersama di kantin hari ini. Beralasan, dia dan Sadava ada urusan. Setibanya di rooftop sekolah, Sadena langsung menyapu pandangan, mencari figur kembarannya, Sadava, cowok itu mengirim pesan bahwa telah menunggu lama. "Dena?" Panggilan dari samping kanan membuat Sadena menoleh, pupil matanya membesar, sebab dia bukan hanya
Sore ini, hujan turun lumayan deras, mengguyur daerah kota Bandung dan sekitarnya. Alhasil, Sadava melarang keras Marsha yang ingin berangkat kerja. Ia meminta pacarnya itu duduk manis di rumahnya saja sembari menunggu hujan reda. "Dava ish! Sakit tau!" kekeh Marsha sambil menurunkan tangan Sadava dari pipinya. Alisnya bertautan, tanda kesal. Sadava nyengir lucu, entah kenapa ia suka sekali memainkan pipi Marsha. Padahal, gadis itu sedang fokus-fokusnya menonton salah satu film Disney dari TV layar lebar di depan mereka. Sadava memaklumi keantusiasan Marsha setiap kali menonton, karena di rumah gadis itu, hanya tersedia TV bekas berukuran kecil, bahkan hampir semua salurannya bersemut. Apalagi saat hujan seperti sekarang, Sadava pernah memergoki Marsha bersedih, terpaksa mematikan TV setelah mencoba semua saluran, layarnya tidak ada yang bersih. "Sha, besok aku beliin TV gede kayak itu yaa," ucap Sadava membuat Marsha m
Ruangan yang gelap gulita menyambut penglihatan gadis itu saat membuka mata, hanya ada sedikit cahaya merembes masuk lewat celah kecil di depan sana. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, mengumpulkan nyawanya, berusaha mengenali tempat dimana sekarang ia berada. Nihil, ruangan ini begitu asing, tidak ada satu pun benda, kosong, semua sisi dindingnya pun hitam. "A-aku dimana?" Kini gadis itu berdiri. Tubuhnya gemetaran. Saat sadar di ruangan ini hanya dia sendiri, gadis itu semakin ketakutan. "Putriku." Sebuah suara mengalihkan atensi gadis itu, cahaya kecil yang merembes di depan sana terlihat membesar. Disusul seorang pria berpakaian serba putih keluar dari baliknya. Umurnya berkisar empat puluh tahunan. "Ka-kamu siapa?" Gadis itu mundur beberapa langkah. Ia takut. Ia tidak mengenal sama sekali pria itu, tapi mengapa dia menyebutnya putriku? "Pergi!" Gadis itu membentak. Mat
Karena kesuksesan adalah milik mereka yang tidak pernah menyerah.🌺🌺🌺 "Sayang," Zoe tiba-tiba datang dan berucap manja. Selin menepuk jidatnya, suasana pasti tambah runyam. "Benerin sikap cewek lo!" tuding Sadena menunjuk wajah Zoe. Tapi pria itu tampak tak peduli, justru menghampiri Laura dan merangkul pinggangnya posesif. "Kamu ngapain hm? Dia ngeganggu kamu?" Laura kontan menatap wajah Zoe di sampingnya, ia menggeleng pelan sambil tersenyum licik. Satu tangannya mengeratkan rengkuhan Zoe ke pinggangnya. "Nggak kok, yang. Aku cuma ngajak dia kenalan aja. Siapa tau kita cocok jadi temen, 'kan? Tapi bener kata kamu, dia belum apa-apa udah sombong duluan." "Tai! Mulut lo munafik!" sambar Sadena melotot tajam. Laura tersenyum kemenangan. "Salah gue ngomong fakta?"
"PAPA!" Marsha terbangun dengan air mata yang bercucuran, terduduk sambil mengatur napasnya yang terengah. Tubuhnya gemetaran. Ia tidak mengerti mimpi semacam apa yang menganggu tidurnya barusan. Mimpi yang benar-benar membuatnya merasa kembali kehilangan. Marsha menyapu peluh di sekitar pelipisnya, lalu menjambak sebentar rambutnya dengan kedua tangan, ia frustasi, Marsha menekuk lututnya seraya menahan isakan. "Papa..." Di satu sisi ia mensyukuri mimpi itu datang karena ia dapat melihat wajah sang papa namun, di sisi lain ia menyesal karena bagian akhirnya sang papa kembali pergi meninggalkannya. Mimpi yang terasa begitu nyata, bahagia, sedih dan kecewa sekaligus. Marsha terisak kecil bersama penerangan kamar yang remang-remang. "Hiks, papa..." Mendengar isakan tersebut membuat cowok yang tidur di sofa terjaga. Sadava mengucek-ngucek sebentar matanya, mengumpulkan kesadarannya. Lalu