"Denaaa."
Teriakan itu terdengar ketika Sadena baru saja menapakan kakinya di area parkiran. Dengan jarak sekitar 6 langkah, Sadena mengulum senyum melihat Selin berlari kecil dan mendekatinya.
"Kok lama?" Selin mendongak dan menatap wajah Sadena. Bibirnya manyun. Ia sebal karena nyaris sepuluh menit menunggu.
Sadena mencubit gemas sebelah pipi cewek berjaket pink itu. "Sorry. Gue harus ke ruang eskul voli dulu buat mendata pendaftaran," jawab Sadena. "Lo ikut voli juga, kan?"
Selin mengangguk cepat. "Kenapa kamu yang mendata?"
"Jadi situ ketua voli?" ulang Selin kurang yakin.
"Nggak jelas uc
"Semua manusia di dunia ini pendosa, Bun. Nggak ada yang suci. Termasuk aku."--Sadava.  🌺🌺🌺 "Ayo ambil," ucap Sadena. Mengulurkan sebuah balon berwarna pink pada Selin. Tadi cowok itu izin sebentar dan ternyata hanya membeli benda ini?  "Buat aku?" "Iyalah. Masa gue kasih ke cewek sono. Ikhlas lo?" Yang dimaksud Sadena adalah cewek bertubuh gempal yang berusaha menyebrang jalan. Selin menggeleng pelan dan terkikik ke
Sweety❤: Al, aku sama Sadava malam ini mau jagain Marsha, jadi nginap di rumahnya. Kamu tidur sendiri ya😁 Love you, by 😚 Langkah Aldevan terhenti di undakan tangga tepat setelah membaca pesan istrinya itu. Rahangnya nyaris jatuh dan bahunya meluruh. Menggeleng sambil mendengus geli, Aldevan pasrah dan mengirimkan balasan. Aldevan: Iya. Besok pulang ya yang jaga diri kamu baik-baik. Love you too😚 Aldevan pun kembali melanjutkan langkahnya. Sempat tadi berpikiran menolak memberi izin. Tapi ia berubah pikiran. Mery berhak memberikan perhatiannya pada Marsha. Bukannya Aldevan tidak memiliki rasa prihatin pada gadis itu, namun karena kesibukannya Aldevan jadi jarang mengobrol atau sekedar bertemu. Sebagai gantinya, Aldevan sering mengirimkan kebutuhan pokok ke rumah Marsha. Bugh Terdengar bunyi pukul
Kepulan asap rokok mengudara. Berasal dari seorang pria berambut gimbal yang duduk bersandar di tembok ruangan. Jona, pria itu menyunggikan senyum remeh sesaat Zoe berjalan melewatinya demi mengambil handuk putih yang tersampir di sandaran kursi. Mereka kini berada di gedung tua, tempat biasa Zoe dan Sadena bertanding. "Puas latihan lo?" tanya Jona. Zoe mendelik sinis. "Nggak ada kata puas sebelum gue berhasil ngalahin Dena." "Hahaha." Jona tertawa meremehkan. "Dena nggak akan pernah bisa dikalahin, Man." "Bengset." Gerakan Zoe menyeka keringat di lehernya berhenti. Ia mengernyit kesal. "Lo ngedukung gue apa nggak sih?"
Marsha melayani setiap pembeli di kafe ini dengan ramah, hal itu membuatnya disegani banyak pembeli juga. Terutama Tasya--ibunya Ankaa, sebagai pemilik kafe ia merasa sangat beruntung mempunyai pegawai seperti Marsha. Meskipun awalnya Tasya bingung bagaimana ia harus menerima pegawai yang bahkan belum lulus SMA. Namun setelah Mery menceritakan kronologis kenalnya dia dengan cewek itu. Tasya pun luluh, ia prihatin keadaan Marsha dan tanpa pikir panjang lagi langsung menerima cewek itu sebagai waitress di kafenya.  "Marsha sini," panggil Tasya dan Marsha langsung menghampiri wanita itu. "Kamu anterin mocca ini ke meja nomor dua puluh ya," pintanya sambil mengulurkan nampan berisi secangkir mocca dingin. Marsha mengangguk dan tersenyum. Ia menerima itu dan dengan hati-hati menaruhnya di meja nomor 20 yang ditempati seorang wanita. "Se
Kamu itu seperti pelangi, penuh warna, membuat hidupku tak tabu lagi.🌺🌺🌺 Zoe. Nama yang sedari tadi berputar di benak Marsha. Ia mencoba mengingat siapa pria itu tapi hasilnya nihil. Sungguh, Marsha bingung sekali saat ini. Siapa Zoe? Darimana pria itu tahu namanya? Dan pria itu bilang, mereka pernah berteman tapi sejak kapan? Memikirkannya membuat Marsha pusing, sebab itu, ketika angkot yang ia tumpangi berhenti di depan rumahnya, Marsha bergegas turun lalu membayar. Selanjutnya, gadis itu buru-buru memasuki rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. "Zoe. Namanya bagus tapi bikin aku takut." --Sadena-- 
Setiap orang mempunyai cara tersendiri saat mengistimewakan sesuatu yang mereka sayangi.🌺🌺🌺 Jangan berpikir Sadena akan meninggalkan akal sehatnya untuk kurun waktu yang lama. Cowok itu melepaskan pagutan mereka sekitar tiga menit setelahnya. Napas Selin masih terengah-engah. Bahkan, ia tidak ingat kapan Sadena mendudukannya di meja persegi dekat jendela yang terdapat jejeran cat acrylic. Semuanya terjadi sangat cepat. Selin bingung bagaimana harus mencerna kejadian tadi di otaknya.  "Eumm..." Selin menggigit bibir bawahnya sambil menunduk. Di depannya, Sadena berdiri dengan kedua tangan bertumpu pada pinggiran meja. Cowok itu memandangnya. Selin tidak tahu bagaimana ekspresi Sadena sekarang karena ia masih malu sekedar menatap cowok itu sebentar saja. "Dena. Tadi kita itu--
Hari demi hari berlalu. Hubungan Sadena dan Selin semakin erat. Mereka berangkat, pergi ke kantin dan pulang sekolah selalu bersama.Lain halnya untuk Marsha. Selama seminggu ini. Pria bernama Zoe yang pertama kali ia temui di kafe kian hari semakin gencar menganggu dirinya."Dari kemarin mukanya murung terus. Kebanyakan beban hidup apa gimana sih beb? Senyum dongg," ujar Dava menarik kedua sudut bibir Marsha. Jujur saja ekspresi pacarnya itu membuatnya prihatin. "Nah, gini kan makin tambah cantik."Marsha terpaksa tersenyum lebar. "Dava, aku mau ngomong serius sama kamu.""Hah? Serius? Kita masih sekolah, Sha. Nanti ya kalo udah lulus langsung aku seriusin," imbuhnya berkedip jahil. Mengusap turun rambut Marsha, cewek itu menabok lengannya."Ish Dava bukan itu. Kebiasaan banget sih becanda mulu!" omel Marsha."Hahaha. Iya maaf," Sadava tergelak dan mengajak gadis itu dudu
Tidak ada yang satu pun manusia yang bisa dipercaya di dunia ini. Selain Tuhan dan diri kamu sendiri.🌺🌺🌺 "Lo selalu ada buat gue kan? Jangan pernah tinggalin gue ya?" Pertanyaan Sadena membuat Selin tersenyum. Cewek itu menarik tangannya dari genggaman Sadena. Beralih menyentuh sebelah pipi cowok itu. "Iyah. Aku pasti selalu ada buat kamu kok." "Itu hal terbullshit yang pernah gue denger," sahut Sadena, sontak Selin terdiam heran. Sadena mengambil tangan Selin dari pipinya. "Semua orang bisa berjanji, tapi nggak semua orang mampu menepati." Selin melihat pancaran penuh keseriusan di mata Sadena. Ia tertegun menatap cowok itu. "Iya. Aku janji deh. Janji. Tuan putri juga bisa apa tanpa pangerannya? Pangeran juga harus janji selalu jagain tuan putri ya." "Janji," ujar Sadena. "Gue suka diusap rambutnya s