"Mas, aku masih ngomong!" teriak Arum, saat Damar lagi-lagi tak menanggapi.
Arum menoleh malas, lalu mengambil air minum dan meminumnya. Seperti biasa, jika Arum emosi tangannya bergetar hebat, maka Arum dalam posisi siap mendengarkan apa pun isi hati suaminya yang sudah mulai tak sejalan dengan pikirannya.Damar hanya menarik nafas panjang tanpa menggubris ucapan Arum istrinya."Sudah hampir tiga bulan kau selalu pulang larut. Tak bisakah sedikit saja Mas mengerti posisiku disini sebagi istrimu?" suara Arum bergetar menahan amarah yang naik satu tingkat."Aku capek, Rum. Setiap hari pertanyaan yang sama," jawab Damar sambil masuk ke kamar mandi dan membantingnya.Arum melirik jam yang melingkari di atas ranjangnya, kemudian menggeleng pelan sebab waktu masih menunjukkan pukul sebelas malam. Damar suaminya baru pulang. Sebenarnya Arum tak pernah ingin memperpanjang masalah dengan ikut-ikutan meluapkan kekesalan sejak tadi, ia mengetahui Damar berjalan dengan wanita itu.Sebuah vidio dikirim oleh sahabatnya, Damar bercerengkama mesra dengan wanita itu. Saat ini bahkan Arum belum mengatakan apapun, tapi Damar sudah menumpahkan semua kata-kata yang membuat Arum sakit hati. Haruskah ia bertahan di pernikahannya yang diambang kehancuran.Arum menoleh pada jam yang menggantung di dinding. Sudah jam setengah dua belas malam, tapi Damar masih fokus pada ponselnya. Arum menghela napas, meski perhatian dan kasih sayang Damar telah berubah, tapi sikap cuek ini tetap saja membuat hati Arum teriris-iris sakit. Tak terasa kedua matanya pun mulai memanas."Mas ...."Damar menoleh sekilas.Belum juga Arum meneruskan ucapannya,ponsel di atas nakas berdering. Sempat Arum melihat senyum di wajahnya setelah Damar selesai mandi."Ya, Hani."" ....""Oh, iya kah?"" ....""Ya, aku temenin kamu, sampai kamu tertidur ya."Arum hanya bisa menangis, melihat perubahan suaminya yang begitu drastis tak menghiraukannya lagi, bahkan terang-terangan bicara mesra lewat ponselnya. Arum memejamkan mata perlahan, merasai sakit yang menyelusup di dalam dada mendengar perhatian suaminya untuk teman wanitanya itu. Tanpa menoleh lagi. Damar, lalu keluar dari kamar.*Arum menghela napas, sesekali jemarinya mengusap basah di sudut mata. Udara malam yang begitu dingin bahkan tak lagi dipedulikannya sama sekali. Suaminya entah kemana lagi. Ia mendengkus lirih karena merasa begitu konyol, menyendiri di balkon kamar dengan diselimuti keheningan pada tengah malam yang tampak begitu menyiksa dadanya.Apakah pernikahannya akan berakhir sejak datangnya wanita itu di dalam hubungannya. Tanaman yang selama ini dirawat namun berubah menjadi layu. Bahkan sekarang ia sudah berani terang-terangan, menerima telepon dari wanita itu.Wanita itu duduk di sofa tertidur, Damar masuk dan begitu kasihan menatap wanita yang masih dalam hatinya begitu terluka karena ulahnya. Ia mengusap rambut istrinya dengan pelan hingga kelopak mata Arum kembali terbuka saat merasakan belaian halus di pucuk kepalanya. Wanita itu memalingkan wajah menatap malam berselimut kegelapan. Menatap wajah suaminya yang penuh dengan kemunafikan."Rum ... aku minta maaf."Arum tersenyum dengan kegundahan merelungi seluruh tubuhnya. Wanita itu hanya diam tak bergeming sedikitpun."Rum ....""Aku lelah, Mas," ucap Arum diriingi serak pada suaranya dan berusaha bangkit menuju ranjang tidurnya.Arum berusaha menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit dadanya. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibir Arum seakan kelu. Arum terdiam berusaha menarik nafasnya dengan pelan dan berusaha memejamkan matanya yang begitu perih.Pada pagi hari, udara menyatu dengan embun yang dingin. Wanita itu bergegas bangun dan menikmati udara yang ia hirup di pagi hari terasa sejuk dan segar. Matanya memerah karena bengkak oleh hujan di wajahnya semalam.Terlepas dari itu, wanita itu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah melalui udara. Dengan adanya udara ia bisa bernafas, meski rasa sakit memenuhi dadanya."Rum ... bikin in teh hangat," panggil sang kakak ipar pada Arum.DiamHening"Jawab aku!" bentaknya lagi."Baiklah, Mbak."Wanita itu tersenyum sinis menatap Arum. "Cepat."Kata seseorang, jika kakak ipar itu adalah wanita yang akan mencintai adiknya dengan tulus, namun nyatanya. Selama ini Arum begitu tersiksa karena ulah wanita itu marah-marah tidak jelas. Arum menatap pepohonan yang bergerak tertiup angin dari balik jendela dapur, dan membuatkan teh hangat untuk kakaknya. Dan kembali menuju sofa memberikan satu gelas teh hangat untuk kakak iparnya.Namun tak sengaja gelas berisi teh itu tumpah dibaju Harlin sang kakak ipar."What ... apa ini Arum keterlaluan kau, padahal ini baju baru lo." Bentak Herlin padanya."Maaf, Mbak, aku tidak sengaja," elak Arum."Enggak sengaja katamu, dasar b*d*h."Lama kemudian terdengar hentakan kaki yang beradu dengan lantai. Irama hentakan itu begitu cepat, seperti langkah kaki berjalan menuju mereka berdua yang sedang adu mulut. Langkah itu semakin dekat tubuhnya muncul semakin mendekat. Membuat Arum begitu mengenali suara langkah kaki itu."Damar, lihatlah istrimu ini, bajuku jadi kotor kan.""Apa ini? Rum bisa dijelaskan kelakuan kamu ini?" Tunjuk Damar seolah menuduh Arum.Wanita itu hanya menunduk, hanya sekilas, lantas mendongak menatap suaminya lagi dan menatapnya menatap tajam. Perlakuan Herlin dan keluarga ini sudah membuat Arum benar-benar berada dalam titik terlemah."Kenapa diam saja, Rum hah? Sekarang aku tanya, apa ini?" bentak Damar lagi.Damar menatap wanita itu tajam, dengan tatapan yang entah apa artinya. Setelah itu. Kalimat yang ditakutkan bagi kaum hawa keluar dari bibir mungil itu."Ceraikan aku!" ucap Arum lepas begitu saja, seolah dunia berhenti ia tak mengerti oleh ucapannya sendiri. membuat Damar tersentak kaget."Oh sudah berani dia, Damar."Dengan kelelahan pikiran juga tubuh yang sangat bergetar, kemarahan Damar begitu memuncak hingga tak sadar membuatnya terpancing oleh hasutan sang kakak membuatnya terpancing."Kau kira aku tidak lelah, hidup denganmu?"Damar tersenyum sinis. "Baiklah. Kau aku talak detik ini juga bahkan talak tiga."Dalam hati wanita itu menjerit, sekuat apa usahanya akhirnya pernikahannya hancur juga. Mendengar kalimat singkat dari suaminya, lutut wanita itu menjadi lemas. Gelas yang dari tadi ia pegang merosot jatuh ke lantai, menjadi serpihan kaca kecil yang berserakan. Sama seperti hatinya kini, hancur berkeping-keping, berserak.Wanita itu berusaha untuk duduk dan menenangkan getaran dalam tubuhnya. Ia hanya terdiam seribu bahasa. tanpa menjawab."Kita lihat saja Damar, apa wanita ini mampu bertahan tanpa hartamu." Sang kakak berusaha membuat Damar emosi satu tingkat.Damar meremas rambutnya dengan kasar. Apa kesalahan Arum sefatal ini, hingga ia benar-benar tega menalak istri yang selama ini ia perjuangkan. Sedikit sesal dalam hatinya namun ia berusaha untuk tak menunjukkan pada Arum. Namun Damar sadar ucapannya kali ini akan membuatnya menderita suatu saat nanti. Sekali lagi ucapannya karena kerasnya ego karena hasutan dari sang kakak. Yang selama ini tak menyukai Arum.****Yang selama ini wanita itu takutkan ternyata terucap juga. Arum berjalan tanpa menjawab pertanyaan Damar. Ia masuk ke kamar dan mengemasi beberapa helai pakaian dalam travel bag. Tanpa menoleh, ia bergegas menuruni anak tangga dengan hujan yang sejak tadi tak berhenti tumpah dari wajahnya."Jangan bertindak bodoh, Rum," ucap Damar penuh tekanan."Apa lagi yang bisa dipertahankan, Mas? Bukankah pernikahan kita semuanya sudah hancur," ucap Arum sambil masukkan bajunya.Damar terdiam."Sudah kukatakan dari awal, bukan kemewahan yang kuinginkan dari pernikahan kita. Aku butuh kamu mas ... nyatanya kau bersama kekasihmu itu." Suara Arum bergetar menahan gelolak sesak di dalam dadanya. "Tak bisakah sedikit saja menganggapku ada selain sebagai pelayanmu di tempat tidur mas?"Kemarahan Arum umpama bom waktu yang akhirnya meledak. Selama ini dia diam berusaha menyelamatkan pernikahannya. Namun pada akhirnya tumbang juga.Sesaat Arum mendengar napasnya berembus berat. "Maaf," ucapnya pelan seakan memberi pengertian."Sudah ... kau juga sudah memberikan aku takak tiga, itu artinya kita sudah benar-benar berakhir bukan."Hati wanita itu berdesir nyeri. Kerongkongannya serasa dicekat. Rasa sesak di dadanya membuncah. Mengatakan semua ini selama ini bahkan Arum tak pernah membantah perkataan suaminya."Tapi Rum .... ""Sudahlah Damar biarkan wanita ini pergi. Kau bisa kan menikah dengan Hani wanita yang kau cintai selama ini." Hasutan Herlin lagi padanya."Mbak, Hani!""Alah sudahlah, toh wanita ini tak bisa memberikanmu keturunan 'kan?"Deg, bagai diterpa benda beberapa ton ucapan Herlin begitu membuat Arum tertampar."Aku pergi, jaga diri baik-baik, Mas, jangan lupa minum obat untuk lambungmu. Assalamu'alaikum."Arum pergi meninggalkan segudang luka di rumah yang selama ini, banyak kenangan yang begitu berarti. Siang ini begitu panjang, angin kencang seakan menambah pedih rasa hati. Beribu tanya dan juga berperang melawan logika di benak Arum, ucapan talak suaminya tadi jelas bukan parkataan biasa. Apa ini? Dalam hati kecil Arum menolak jika dirinya menolak perceraian di dalam pernikahannya.Arum berjalan menyelelusuri trotoar berpaving, di temani burung berkicau diatas pohon besar. kian tersudut dan bingung apa langkah yang harus tempuh? Semakin tak terkendali saat berusaha mengendalikan emosi, sesak di relung hatinya. Wanita itu terdiam berasa di halte, tenggorokannya seakan tercekat kering.Keringat dingin menyergap tubuhnya dari segala penjuru, membuat Arum menggigil tanpa sebab. Degup jantungnya lebih cepat serasa habis lari puluhan meter, Arum tidak menyangka jika hatinya akan sesakit ini. Kejadian ini membuatnya benar-benar begitu kalut. Sungguh ia bisa gila rasanya memikirkan ini semua. Bus kota berhenti ia lalu masuk entah kemana lagi ia harus berteduh sementara ia begitu kalut.Wanita itu hanya memandang keluar jendela bus yang membawanya entah kemana, perjalanan cintanya akhirnya berakhir seperti ini. Saat itu hujan membasahi bumi, wanita cantik itu berjalan di atas aspal yang masih basah oleh air hujan. Wanita itu terus melangkahkan kakinya di atas aspal sambil sedikit melompat tatkala air yang menggenang di pinggir jalan."Hai ... sudah lama menunggu?" tanya Damar pada Arum dengan hati yang menggebu dan berbunga.Wanita cantik itu tersenyum. "Baru saja.""Kau cantik sekali hari ini, Rum?" tanyanya lagi membuat Arum begitu malu.Arum tersenyum tanpa membalas bualan Damar kala itu."Rum ... aku punya sesuatu untukmu coba ulaurkan tanganmu.""Apa sih malu, Mas, dilihat orang banyak ini," tolak Arum tidak memberikan tangannya karena di halte banyak sekali orang."Plis, Rum kali ini saja." Mohon Damar pada kekasih hatinya.Damar duduk di hadapan Arum. "Aku mencintaimu Rum ... maukah kau menikah denganku?" tanya Damar dengan sejuta harapan agar lamarannya diterima."Ayolah, berdiri malu, Mas," wajah Arum sudah mulai memerah menahan malu."Terima ... terima, ayo terima mbak, kasihan tuh cowoknya." Kata orang-orang yang ada di halte itu.Arum mengangguk membuat Damar begitu senang dan menggendong tubuh Arum. Disertai tepuk tangan bahagia orang-orang yang berada disitu."Mbak sudah sampai terminal ini." Sang kondektur memberi tahu wanita itu, membuatnya terkejut."Baik, Pak."Hati wanita itu tersentak. Ia begitu linglung, ia terhempas. Dia yang begitu mencintainya selama ini, mempunyai beban yang selama ini tidak pernah terpikir oleh wanita itu, suaminya punya skandal dengan wanita lain. Tidak pernah terlintas sekalipun kalau dia yang begitu penyayang mempunyai jiwa penghianat.Damar melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia membanting setir mobilnya, sungguh ia tak berniat menghianati sang istri dengan perselingkuhannya, mobil terparkir di halaman kantor. Lelaki itu menggeser kursinya mendekati meja, ada beberapa file yang harus dikerjakan hari ini, saat Ia sibuk dengan pekerjaannya.Tok ... tok ... tok"Masuk.""Maaf pak satu jam lagi ada jadwal meeting dengan perwakilan PT Cahaya dari luar kota," sang asisten mengingatkannya. "Baik, siapkan berkas-berkasnya." Perintah Damar pada wanita bertubuh sinyal itu. "Baik, Pak, permisi.""Ya silahkan."Meeting berjalan dengan baik, Damar melajukan mobilnya menuju rumah idamanya yang dibelinya untuk hadiah untuk Hani wanita simpanannya selama ini. Mobil terparkir di garasi depan rumah, sang kekasih menyambutnya dengan senyum penuh kehangatan."Mas, aku merindukanmu," ucap Hani bergelayut manja di lengan Damar. "Mas juga kangen, hari ini kau kusut sekali.""Aku pikir, Mas ga akan kesini."Damar hanya terseny
Kata orang senja, adalah waktu yang tepat untuk meminta kepada sang pemberi kehidupan. Namun, banyak kejadian menyakitkan yang Arum simpan rapat-rapat di bilik memori dan tak pernah ingin Arum buka lagi. Namun, pada saat tertentu, kenangan menyakitkan itu muncul begitu saja dan membuat Arum tak berdaya untuk menepisnya.Pada saat ini, wanita itu menyadari kalau tak bisa berpura-pura bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Semua kenangan itu tak bisa dihapus dari ingatannya, seorang istri yang tak diinginkan. Arum merindukan ayah juga Ibunya yang sudah lama pergi. Selama menjadi istri Damar memang tak sekalipun ia kasar padanya. Tapi tidak dengan keluarganya justru bertindak sebaliknya selalu menyakiti. "Damar, kenapa kau menikahi perempuan yang tidak tahu asal usulnya." Suara sang Ibu meninggi membuat Arum begitu sesak. "Bu, sudahlah!" Damar mencoba untuk meredam emosi Ibunya. "Enak ya, sudah ga jelas. Untung Damar sudi menikahimu."Seketika genangan air mata Arum mengalir deras
Wanita itu sibuk mengecek dan menata rapi kerjaannya, tak berselang lama tugas menumpuk lagi. Hari mulai panas pertanda hari mulai siang, saatnya istirahat Arumi bergegas ke musholla untuk menjalankan ibadah shalat dzuhur. Selesai bergabung dengan Lestari yang sedang asyik menyantap makan siang. "Tari.... " Arum memanggil sahabatnya. Lestari melambaikan tangan. "Ayo sini pesan makanan ya?" tanyanya. "Enggak, lah aku makan roti saja," jawab Arum malas."Nanti kamu sakit Rum, lihatlah kau ini wajahmu begitu pucat."Arum mengangguk pelan. "Baiklah.""Bu, satu lagi ya soto dagingnya." Pesan Lestari pada pemilik kantin. "Baik, Mbak Tari."Mereka menikmati makan siang bersama, tak butuh waktu lama Arum sudah mengenal banyak teman disini. Sikap supel dan ramah Arum membuat teman-teman yang baru dikenalnya begitu baik. Arum merasa jika dunianya akan membaik lambat laun. Terkadang Arum sangatlah takut, akan masa depannya seperti apa. Wajar jika ia merasa hatinya semakin hampa, entah seola
Damar terpuruk di dalam hampa, ia masih merasakan mata Arum yang penuh dengan pelangi, namun mobilnya berhenti di depan rumah Hani. Hani begitu bahagia dan membuka pintu, setelah berhari-hari Damar tidak pernah mengunjunginya lagi. Rasa rindu yang membuncah membuat Hani kegirangan. Namun tidak dengan Damar pikirannya kosong hatinya begitu berat. "Hay ... sibuk, Mas sampai angkat telepon ku saja enggak mau." Hani mendengus kesal sambil bergelagut manja di lengan Damar. Terdengar Danar menarik nafas beratnya. "Maaf.... ""Ayo masuk, Mas," pinta Hani menarik tangan Damar. Damar mengikuti Hani, meskipun hatinya tak ingin. Entah kenapa mobilnya berhenti tadi depan halaman rumah Hani. Apa wanita ini akan seperti Arum yang begitu baik juga penurut? Entahlah ... yang Damar tahu jika Arum belum tergantikan hingga detik ini. "Minumlah kopinya masih hangat,"Damar tersenyum kecut. "Iya.""Lama lo Mas enggak kesini, Hani sampai rindu," goda Hani pada lelaki itu. "Iya, sibuk di kantor banyak
Levin yang baru kembali dari lantai bawah sangat marah ketika ia menemukan Arum menangis bersama seorang pria. Levin begitu kesal memasang rahang mengeras melihat tingkah Pria itu, yang begitu ambisi menemui Arum. "Siapa pria itu!" Lirih Levin menarik tangan Arum berada di belakang tubuhnya. "Apa yang kau lakukan? Ayo pergi." Teriak Levin."Siapa kau?" Damar menoleh kesal ke arah Arum. "Ayolah, jangan ganggu kami.""Apa kau tidak waras, lihat Arum menangis karenamu.""Dia mantan suamiku, Pak" tangis Arum pecah. Tentu saja perkataan Arum sontak membuat Levin kebingungan pada awalnya, akan tetapi setelah tahu ia berusaha membela Arum. "Rum, aku mohon." Damar berusaha agar Arum memberinya kesempatan bicara. "Lelaki gila, meninggalkan masih saja mengikutimu Rum. Apa dia tak punya etika juga enggak pernah belajar.""Saya tahu, dan silahkan nikahi Arum setelah itu akan aku rebut kembali Arum dari tanganmu.""Hah, kau pikir aku seorang muhalil hah, haha... Jika aku menikahi Arum tidak a
"Bi...!"Arum menghela napas barat, lalu menatap wajah Bibinya, terlihat jelas wajah Arum yang begitu pucat. "Kenapa Nak, ceritakan biar kau lega."Sesaat Arum merasa seperti ada yang hilang. Entahlah begitu berat jika ia harus berpisah dengan Damar, tak bisa dipungkiri mereka sudah lama hidup bersama. Tak mudah bagi Arum melupakannya begitu saja. "Ayo, ceritakan pada Bibi," ucap Bibi Fatma menenangkan Arum yang begitu sedih. Wanita cantik itu mengangguk. "Entahlah, Bi, Rum begitu sakit. Arum rindu, Mas Elang."Wanita paruh baya itu mengusap rambut Arum dengan pelan. "Kau merindukannya?""Iya Bi, biasanya jika Rum sedih, mas Elang selalu ada," jelas Arum yang begitu merindukan kakaknya. "Sabarlah, pasti nanti bisa ketemu lagi.""Apa, mas Elang enggak sayang sama Arum Bi?" tanya Arum dengan pelupuk mata yang sudah digenangi air mata. "Jangan bilang begitu, dia begitu sayang kan sama kamu hingga dia pergi menjauh." Perkataan sang Bibi membuat Arum curiga. "Maksudnya apa Bi, karena
Levin mengangkat tubuh Arum yang masih tak sadarkan diri. Rasa panik menghantuinya, entah, sepertinya ia sudah mengenal Arum begitu lama wanita ini. Jika terjadi sesuatu padanya apa yang harus dilakukan. "Maaf permisi keluarga dari pasien yang mana?" tanya salah satu perawat. "Sebentar lagi sus," jawab Lestari cemas karena ia sudah menghubungi Bibinya Arum yang masih dalam perjalanan. "Aduh ... pasien harus segera ditangani pendarahannya cukup banyak.""Apa yang dibutuhkan, Sus, saya kakak dari pasien." Bohong Levin pada sang suster. "Baiklah, ikut saya, Bapak harus tanda tangan, segera akan dilakukan kuret karena janinnya tak bisa terselematkan." Jelas sang suster pada Levin. "Apa... jadi dia hamil, sus?" tanya penasaran Lestari. "Iya, Mbak. Mari ikut saya,Pak."Jantung Levin naik turun, ia gemeteran wanita itu begitu menderita. Bagaimana bisa lelaki itu menyakiti wanita sebaik Arum. Ia segera menandatanganinya karena ia tidak ingin melihat Arum kehilangan nyawa dan tak bisa se
Damar berlari saat mengetahui jika Arum pun dirawat di tempat yang sama. Saat ia menjenguk Ibunya, ia melihat Bibi Fatma membelikan bubur untuk Arum. Dan saat Damar mengikuti ternyata benar Arum yang sakit. Rasa penasaran Damar kian tersulut, sakit apa sebenarnya Arum? "Pak Levin, ada apa dengan Arum?" tanya Damar sambil berusaha mengatur nafasnya yang habis berlari. Levin memanas, rahangnya mengeras, selama ini dia memang mengenal banyak gadis namun saat melihat air mata Arum hatinya begitu terluka, seolah diri nya ikut merasakan sakit yang Arum rasakan. "Pak, Aku mohon, beritahu ada apa dengan Arum?" tanyanya lagi sambil memohon. Levin tak bisa mengendalikan emosinya. Tangannya mengepal sejurus kemudian melayang menghantam ke wajah Damar dengan sangat keras. "Bughh...."Darah segar mengalir dari sudut bibir Damar. "Aghh, ada apa ini pak Levin.""Coba kau tidak melukainya, Mungkin kandungannya akan baik-baik saja. Lihatlah karena dia stres janinnya tidak bisa berkembang. Suami
Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk
"Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla
Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung
"Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d
Brakk! Erlan membanting pintu rumah Reni. "Pak sabarlah, mungkin Ibu Pak Erlan masih bergabung. Sudahlah jangan marah-marah terus.""Aku malas selalu dipojokkan, Ren.""Iya aku tahu Pak. Sabar ya." Reni menenangkan Erlan. Erlan berjalan ke arah kamar, sedangkan Reni ke dapur membuat kopi. Terdengar suara barang jatuh cukup keras dari arah kamar, disusul suara dentingan beberapa alat yang berjatuhan, membuat Reni terkejut."Pak ...!"Reni memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika kamar terasa hening membuat perasaan Reni mulai tidak enak.Khawatir terjadi sesuatu pada Erlan, Reni berjalan cepat kearah kamar, tampak tubuh Erlan yang tersungkur dilantai, dengan mata tertutup."Ya Tuhan, Pak Erlan!"Reni menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuan, Reni berusaha tenang ia tahu jika Erlan lagi banyak masalah. Meskipun hati sangat cemas. "Pak! Ayo ke ranjang." Panggilnya pelan.Ia hanya mengangguk. "Kau sakit, Pak?" tanya Reni lagiErlan memegang ke
Erlan berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Erlan di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh Kamila dan Alifa bersama lelaki itu yang baru sama terlihat sari pandangannya. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengannya saat ini, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. Mobil berjalan di depan rumah Kamila. Seperti dulu, saat masih kecil, Erlan mencuri waktu untuk bertemu Kamila. Dulu, Ayah Kamila sering terlihat marah karena Erlan menemuinya. Sekarang semuanya sudah berbeda, Ayah Kamila telah pergi, dan saat sang Ibu sudah memberi kebebasan, namun Erlan menghianatinya dan beliau mungkin sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Erlan meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi itu. Ah, Erlan mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadan
Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka
Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem
"Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami