"Jangan gila!" Janeetha berusaha mendorong Dikara menjauh.Dikara hanya tertawa kecil, suara rendahnya menggema seperti angin yang menusuk telinga Janeetha. Namun, tubuhnya tetap kokoh di tempat, tak bergeming sedikit pun meski Janeetha mencoba mendorongnya. Sebaliknya, ia malah semakin mendekat, menurunkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari wajah istrinya."Jangan gila?" ulangnya dengan nada menggoda, matanya memancarkan kilauan tajam yang membuat Janeetha semakin terpojok. "Tapi kau tahu, Janeetha... aku selalu gila ketika menyangkut dirimu."Janeetha tertegun. Perkataan itu, meski disampaikan dengan nada ringan, memiliki beban yang begitu berat. Tangannya masih menempel di dada Dikara, berusaha menciptakan jarak, tapi pria itu seperti tembok yang tak bisa digeser."Dikara... cukup," katanya pelan, suaranya bergetar, mencoba mengendalikan dirinya. "Kita di luar. Jangan mulai hal ini di sini."Dikara menatapnya lekat, seolah menimbang-nimbang apakah akan melanjutkan godaannya a
Dikira menatapnya dengan mata yang tajam,meski tersenyum. “Tidak, Nyonya Janeetha. Kau bebas untuk pergi kemana saja yang kau mau. Tapi, mansion ini sudah dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan kita untuk menikmati waktu bersama tanpa gangguan dari luar.”Janeetha hanya terdiam sementara kekhawatiran semakin bertambah. Ia tahu bahwa kata-kata suaminya mungkin lebih merupakan peringatan halus daripada janji kebebasan.***Janeetha duduk di ruang makan yang begitu megah, matanya mengamati dekorasi yang bahkan lebih indah daripada hotel bintang lima mana pun yang pernah ia lihat.Meja panjang dengan taplak sutra putih bersih dihiasi rangkaian bunga segar. Hidangan-hidangan mewah tersaji dalam piring-piring porselen bercorak emas. “Semua ini untuk kita?” tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam gemerisik pelayan yang bergerak sigap di sekeliling mereka. “Ini untukmu,” jawab Dikara dengan nada ringan. Tatapannya mengunci Janeetha seolah memastikan bahwa ia memahami arti d
Air di sekeliling mereka terasa lebih berat daripada yang seharusnya, seolah suasana itu menekan Janeetha dari segala sisi.Meski hati Janeetha berdebar kencang, ia tidak bisa menemukan kata-kata untuk membalas. Matanya hanya menatap Dikara dengan campuran takut dan marah yang tak terucap. Dikara menyeringai kecil, sebuah senyuman yang penuh makna. “Kau tidak akan bisa lari, Janeetha. Tidak di sini. Tidak dariku.” Dikara menundukkan wajahnya perlahan, memberikan kecupan lembut di bibir Janeetha, begitu singkat namun cukup membuatnya terdiam.Janeetha merasa dadanya berdebar keras, bukan hanya karena intensitas situasi, tetapi juga ketegangan yang merambat dari setiap sentuhan Dikara. “Dikara, jangan,” ucapnya lirih dengan nada gemetar, kedua tangannya mencoba mendorong dada suaminya agar menjauh. Tapi usaha itu seperti mendorong tembok—tak bergeming sama sekali. Dikara tidak mengatakan apa-apa, hanya menyeringai tipis sebelum memajukan tubuhnya lebih dekat.Janeetha terjepit s
"Kau suka?" tanya Dikara dengan mata berkilat penuh kesenangan atas reaksi yang diberikan oleh Janeetha. Semuanya begitu indah di mata pria itu."Di-Dikara berhenti..." Janeetha berkata dengan sedikit terbata. Ia berusaha keras mengabaikan rasa nikmat yang menghantamnya bertubi-tubi. "Na-nanti ada yang datang..."Dikara memiringkan kepala, senyum tipisnya mengembang. Tatapan matanya tetap tajam, penuh intensitas yang membuat Janeetha semakin gelisah."Ada yang datang?" ulangnya dengan suara serak, nyaris seperti bisikan. "Siapa yang berani mengganggu kita di sini?"Janeetha mencoba mendorong dada suaminya, tetapi tubuhnya tetap terkunci oleh posisi Dikara yang tidak memberinya ruang untuk bergerak."Aku serius…" Suara Janeetha bergetar. "Bagaimana kalau pelayan—"Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Dikara menunduk lebih dekat, jarak di antara mereka semakin kecil."Tak ada seorang pun yang akan mengganggu." Pria itu berkata dengan lembut tetapi penuh penekanan. "Ini tempatku. Aturank
Dikara memutar kran bathtub hingga aliran air berhenti. Suara gemericik yang memenuhi kamar mandi berganti menjadi keheningan.Ia berdiri tegak, air mengalir dari rambutnya yang basah, menetes turun ke wajah dan tubuhnya yang terbalut pakaian basah kuyup.Janeetha menatapnya dalam diam, terjebak dalam perasaan yang campur aduk.Ada sesuatu dalam cara Dikara berdiri—mantap, penuh kendali—yang membuatnya tak mampu memalingkan mata.Setiap tetes air yang meluncur di sepanjang rahang tajam suaminya, hingga menyentuh kerah bajunya yang melekat erat pada tubuhnya, seolah mempertegas kehadirannya yang dominan di ruangan itu.Dikara menangkap pandangan Janeetha, menyadari bahwa istrinya memperhatikannya.Senyuman kecil terulas di sudut bibirnya, samar namun jelas menyiratkan rasa puas. "Kau begitu terpesona, ya?" ujarnya dengan nada rendah, penuh percaya diri.Janeetha tersentak, pipinya langsung memerah. "Ti-tidak... aku hanya..." Ia kehilangan kata-kata, tubuhnya menegang saat Dikara mendek
Tangan Dikara kembali bergerak. Kali ini, tubuh bagian atas Janeetha yang menjadi sasarannya. Denga lihai dan penu keahlian, ia memberikan pelayanan di atas sana hingga Janeetha melengkungkan punggung begitu saja.Seringai tipis Dikara terulas melihat rekasi istrinya. Kedua tangannya semakin bersemangat sementara bibirnya pun kembali menyerang bibir milik wanita itu.Setelah puas, satu tangan Dikara turun menyusuri perut secara perlahan hingga kembali bertemu dengan pusat tubuh Janeetha dan kembali bekerja di sana.“Di-Dikara…”“Hmm, panggil terus, Jani. Seperti itu…” Sementara satu tangan Dikara berusaha menurunkan celana yang ia pakai dengan cepat.Merasa istrinya telah siap, Dikara tanpa ragu segera memposisikan diri dan menyatukan tubuh mereka hingga Janeetha kembali memekikkan namanya.***Janeetha membuka matanya perlahan, menyesuaikan diri dengan suasana kamar yang remang-remang. Lampu-lampu gantung memberikan kilauan lembut, sementara keheningan mendominasi ruang besar itu. Te
“Ah, omong-omong. Aku akan keluar kota selama beberapa hari.”Janeetha menoleh cepat, tatapannya dipenuhi rasa terkejut dan waspada."Keluar kota? Untuk apa?" tanyanya, berusaha untuk terdengar tenang daripada perasaannya yang bergejolak.Dikara mengangkat gelas anggur di tangannya, menyesap perlahan sebelum menjawab. "Ada urusan bisnis yang harus kuselesaikan. Penting."Mata Janeetha menelusuri wajah suaminya, mencari tanda-tanda lebih dari sekadar urusan pekerjaan. "Berapa lama kau akan pergi?"Satu alis Dikara terangkat. “Kenapa? Kau sudah rindu padaku?”Bibir Janeetha seketika mengerucut, membuat spontan pria itu terkekeh pelan. “Aku belum tahu pasti. Tapi sepertinya cukup lama, karena urusannya cukup berat.”“Kemana?” Janeetha tak dapat menghentikan rasa penasarannya. Semakin jauh suaminya pergi , semakin lama waktu yang akan ditempuh bukan?Dikara tersenyum tipis, senyum yang lebih terasa sebagai peringatan daripada penenang. "Suatu tempat. Tapi jangan khawatir, semuanya akan di
“Lihatlah, kau bahkan tak menyadari aku sudah berada di dekatmu.” Dikara menatap lekat dan dalam Janeetha.Janeetha menelan ludah dengan gugup, tubuhnya membeku di tempat. Kehangatan napas Dikara di telinganya membuatnya merasa semakin terjebak. Ia berusaha menjauh, tapi tubuhnya seperti terpaku oleh tatapan pria itu.“Dikara, jangan bercanda seperti itu,” kata Janeetha dengan suara yang lebih pelan dari yang ia harapkan, seolah kekuatan untuk berbicara lenyap.Dikara hanya tersenyum kecil, sebuah senyuman yang memiliki makna lebih dari sekadar candaan. “Siapa bilang aku bercanda, hm?”Tangannya terulur dan menyentuh dagu Janeetha, memiringkan wajahnya hingga tatapan mereka bertemu. “Kau selalu memikirkan sesuatu yang ingin kau sembunyikan dariku, tapi ekspresimu tidak pernah bisa menipu, Janeetha.”“A-aku tidak memikirkan apa pun,” jawab Janeetha buru-buru, mencoba melawan efek memabukkan dari tatapan suaminya. Ia menggigit bibirnya, menyadari betapa lemahnya ia di hadapan pria ini.
Ketika Ketika Janeetha membuka matanya, ruangan putih terang menyambutnya. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan ada rasa sakit luar biasa di perutnya.Dia berkedip beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma khas rumah sakit menyengat hidungnya. Infus terpasang di tangannya, dan tubuhnya terasa begitu lemah, seolah hanya tersisa separuh jiwa dalam dirinya.Kemudian, ingatan itu kembali.Darah.Rasa sakit.Jeritan yang tidak terdengar.Tangannya perlahan bergerak ke perutnya yang datar.Tidak…Tidak mungkin…Matanya membelalak saat kepanikan merayapi tubuhnya. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Air matanya mulai menggenang di sudut mata.“Bayi…” suaranya hampir tak terdengar. “Bayi ku…”Maria, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, segera menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan erat. “Janeetha… aku di sini.”
“Dasar bajingan! Pergi kau!”Dikara tersentak.Suara itu begitu familiar, mengandung kemarahan yang meledak-ledak. Sebelum ia bisa sepenuhnya mengangkat kepalanya, seseorang sudah menarik kerah bajunya dengan kasar, hampir membuatnya terjatuh dari kursi.Fabian.Pria itu berdiri di depannya dengan wajah merah padam, tatapan penuh kebencian terpancang kuat di matanya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seolah menahan emosi yang hendak meledak.“Sudah cukup kau menghancurkan hidupnya! Apa kau belum puas?!” Fabian menggeram, suaranya bergetar oleh amarah. “Dia hampir mati, Dikara! Kau dengar itu? HAMPIR MATI karena kau!”Dikara hanya menatapnya, matanya kosong.Jika ini terjadi beberapa bulan lalu, ia mungkin sudah membalas Fabian dengan kepalan tangan. Ia mungkin sudah melayangkan tinju ke wajah pria itu tanpa pikir panjang.Tetapi malam ini… tidak ada amarah dalam dirinya. Hanya keham
Setelah semalaman berjaga, Dikara berdiri dengan tubuh tegang di depan ruang ICU, menunggu dokter yang baru saja masuk untuk memeriksa Janeetha. Begitu juga Maria dan Sam.Pikiran pria itu berkecamuk, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah terjadi. Keguguran. Trauma. Janeetha telah kehilangan bayinya. Anak mereka.Suatu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun.Pintu ICU terbuka, dan Dokter Arief melangkah keluar dengan ekspresi lebih tenang dari sebelumnya. “Kondisinya mulai stabil. Jika tidak ada komplikasi lain, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan dalam beberapa jam.”Dikara mengangguk pelan, meskipun perasaannya masih berantakan.Maria, yang berdiri tak jauh darinya, bersedekap dengan tatapan tajam. “Bagus. Itu artinya kau tak perlu di sini lagi.”Dikara menoleh, menatap Maria dengan pandangan dingin. “Aku akan tetap di sini.”Sam, yang berdiri di samping Maria, mendengus sinis. &l
Maria menatapnya penuh kebencian. “Kau tidak bisa mengambilnya kembali begitu saja.”Dikara menatapnya sejenak, lalu perlahan berjalan mendekat.“Aku tidak mengambil apa pun.” Suaranya rendah, tetapi ada nada mengancam di dalamnya. “Aku hanya datang untuk menjemput istriku.”Maria mengepalkan tangannya, sementara Sam berdiri lebih dekat di sampingnya.Di balik pintu ruang operasi, Janeetha sedang berjuang antara hidup dan mati.Suara alat-alat medis yang berbunyi nyaring, berpadu dengan suara dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan dua nyawa sekaligus.Tubuh Janeetha terbaring tak berdaya di atas meja operasi, darah masih mengalir dari tubuhnya meskipun tim medis sudah berusaha menghentikannya.Dokter yang bertugas berdiri di dekat kepala Janeetha, menatap monitor dengan rahang mengatup rapat. “Tekanan darahnya turun drastis! Beri tambahan cairan!”Seorang perawat buru-buru
Malam semakin larut, hujan turun perlahan di luar jendela klinik kecil itu. Di dalam ruangan yang remang, Janeetha terbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat pasi. Napasnya pendek dan tersengal, sementara tangannya menggenggam erat sprei ranjang seakan mencoba menahan rasa sakit yang semakin menggigit perutnya.Maria duduk di sisi ranjang, memegang tangan Janeetha dengan erat. Sam mondar-mandir di ruangan dengan wajah tegang, sesekali menoleh ke arah dokter Arief yang sedang memeriksa tekanan darah Janeetha.Beberapa waktu lalu Janeetha kembali mengeluh kesakitan dan tampak lebih parah dari sebelumnya karena itu Sam segera memanggil dokter Arief.Tiba-tiba, tubuh Janeetha menegang. Napasnya memburu, dan bibirnya mengeluarkan erangan tertahan sebelum tubuhnya mulai bergetar hebat.“Maria… sakit…” Suaranya nyaris tidak terdengar.Maria langsung menegang, sementara Sam menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat.&
Sam memapah Janeetha keluar dari rumah persembunyian mereka. Langkah Janeetha lemah, tubuhnya nyaris limbung jika saja Sam tidak menggenggamnya erat.Maria berjalan cepat di depan, sesekali menoleh dengan wajah tegang. Mereka tahu mereka tidak bisa sembarangan ke rumah sakit besar—terlalu berisiko.“Kita harus menemukan tempat yang aman untuk memeriksanya,” gumam Maria sambil melihat layar ponselnya. “Ada sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Aku punya kenalan di sana. Dia bisa membantu tanpa terlalu banyak bertanya.”Sam mengangguk tanpa ragu. “Ayo.”Mereka menaiki mobil tua yang telah disiapkan Maria sebelumnya. Sam duduk di belakang bersama Janeetha, memastikan kepalanya bersandar nyaman di bahunya. Wanita itu tampak semakin pucat, bibirnya sedikit gemetar akibat kehilangan darah.“Bertahanlah,” bisik Sam pelan.Janeetha hanya mengangguk lemah, matanya mengerjap samar. Setiap detik ya
"Ya Tuhan, Janeetha!" Maria buru-buru melangkah keluar, mendekat dengan wajah panik. Tatapannya langsung tertuju pada wanita itu yang hampir tidak bisa berdiri tanpa dukungan Sam. "Apa yang terjadi?"Sam menghela napas berat. "Dia terluka, tapi dia menolak untuk mendapatkan pertolongan medis."Maria mengumpat pelan sebelum meraih lengan Janeetha dengan lembut, mencoba menuntunnya masuk. "Kita tidak bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini. Kau butuh dokter.""Tidak," gumam Janeetha lemah, meskipun tubuhnya sudah hampir tidak bisa menahan rasa sakit yang semakin tajam di perutnya. "Kita tidak bisa pergi ke rumah sakit. Dikara pasti akan menemukanku."Maria mengatupkan rahangnya dengan frustasi. "Dan kau pikir apa yang akan terjadi jika kau mati di sini?!" suaranya sedikit meninggi. "Ini bukan tentang Dikara lagi, Janeetha. Ini tentang kau. Tentang nyawamu!"Janeetha menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang bercampur dengan rasa sakit. Ia s
Sam membantu Janeetha memasuki sebuah mobil kecil yang mereka dapatkan dari seseorang yang bersedia mengantarkan mereka ke luar kota dengan imbalan cukup besar.Pria paruh baya yang mengemudikan mobil itu tidak banyak bicara—hanya sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion dengan ekspresi waspada.Duduk di kursi belakang, Janeetha bersandar lemah pada jendela. Napasnya pendek-pendek, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meskipun udara di dalam mobil terasa dingin. Sam, yang duduk di sampingnya, tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya."Janeetha, kau harus bilang apa yang sebenarnya terjadi," ujar Sam pelan, tapi dengan tekanan yang jelas.Janeetha mengerjap, mencoba menegakkan tubuhnya, tapi rasa sakit yang menusuk perutnya semakin menjadi. "Aku baik-baik saja," gumamnya, meski suaranya hampir tak terdengar.Sam tidak lagi percaya. Tadi di terminal, dia melihatnya berdarah—dan itu bukan sesuatu yang bisa diabaika
Angin dingin menusuk kulit saat Janeetha turun dari bus dengan langkah goyah. Hujan gerimis masih turun, membuat jalanan becek dan licin.Sam berjalan di sampingnya, sesekali melirik dengan khawatir. Wajah Janeetha pucat, bibirnya tampak lebih kering dari biasanya, dan sorot matanya mengisyaratkan kelelahan yang amat sangat. Sekilas, ia tampak seperti seseorang yang bisa roboh kapan saja.Di sekitar mereka, terminal kecil itu masih cukup ramai meski hari sudah mulai menginjak petang. Orang-orang berlalu lalang dengan jaket atau payung seadanya, beberapa tampak bergegas menuju bus yang siap berangkat, sementara yang lain sibuk berbincang dengan pedagang kaki lima di sekitar area tunggu.Sam menoleh ke Janeetha, kemudian menarik lengannya pelan. “Kita harus cari tempat istirahat sebentar,” katanya, mencoba berbicara selembut mungkin agar Janeetha tidak langsung menolaknya.Seperti yang sudah diduga, Janeetha segera menggeleng cepat. “Tidak