Dikara memutar kran bathtub hingga aliran air berhenti. Suara gemericik yang memenuhi kamar mandi berganti menjadi keheningan.Ia berdiri tegak, air mengalir dari rambutnya yang basah, menetes turun ke wajah dan tubuhnya yang terbalut pakaian basah kuyup.Janeetha menatapnya dalam diam, terjebak dalam perasaan yang campur aduk.Ada sesuatu dalam cara Dikara berdiri—mantap, penuh kendali—yang membuatnya tak mampu memalingkan mata.Setiap tetes air yang meluncur di sepanjang rahang tajam suaminya, hingga menyentuh kerah bajunya yang melekat erat pada tubuhnya, seolah mempertegas kehadirannya yang dominan di ruangan itu.Dikara menangkap pandangan Janeetha, menyadari bahwa istrinya memperhatikannya.Senyuman kecil terulas di sudut bibirnya, samar namun jelas menyiratkan rasa puas. "Kau begitu terpesona, ya?" ujarnya dengan nada rendah, penuh percaya diri.Janeetha tersentak, pipinya langsung memerah. "Ti-tidak... aku hanya..." Ia kehilangan kata-kata, tubuhnya menegang saat Dikara mendek
Tangan Dikara kembali bergerak. Kali ini, tubuh bagian atas Janeetha yang menjadi sasarannya. Denga lihai dan penu keahlian, ia memberikan pelayanan di atas sana hingga Janeetha melengkungkan punggung begitu saja.Seringai tipis Dikara terulas melihat rekasi istrinya. Kedua tangannya semakin bersemangat sementara bibirnya pun kembali menyerang bibir milik wanita itu.Setelah puas, satu tangan Dikara turun menyusuri perut secara perlahan hingga kembali bertemu dengan pusat tubuh Janeetha dan kembali bekerja di sana.“Di-Dikara…”“Hmm, panggil terus, Jani. Seperti itu…” Sementara satu tangan Dikara berusaha menurunkan celana yang ia pakai dengan cepat.Merasa istrinya telah siap, Dikara tanpa ragu segera memposisikan diri dan menyatukan tubuh mereka hingga Janeetha kembali memekikkan namanya.***Janeetha membuka matanya perlahan, menyesuaikan diri dengan suasana kamar yang remang-remang. Lampu-lampu gantung memberikan kilauan lembut, sementara keheningan mendominasi ruang besar itu. Te
“Ah, omong-omong. Aku akan keluar kota selama beberapa hari.”Janeetha menoleh cepat, tatapannya dipenuhi rasa terkejut dan waspada."Keluar kota? Untuk apa?" tanyanya, berusaha untuk terdengar tenang daripada perasaannya yang bergejolak.Dikara mengangkat gelas anggur di tangannya, menyesap perlahan sebelum menjawab. "Ada urusan bisnis yang harus kuselesaikan. Penting."Mata Janeetha menelusuri wajah suaminya, mencari tanda-tanda lebih dari sekadar urusan pekerjaan. "Berapa lama kau akan pergi?"Satu alis Dikara terangkat. “Kenapa? Kau sudah rindu padaku?”Bibir Janeetha seketika mengerucut, membuat spontan pria itu terkekeh pelan. “Aku belum tahu pasti. Tapi sepertinya cukup lama, karena urusannya cukup berat.”“Kemana?” Janeetha tak dapat menghentikan rasa penasarannya. Semakin jauh suaminya pergi , semakin lama waktu yang akan ditempuh bukan?Dikara tersenyum tipis, senyum yang lebih terasa sebagai peringatan daripada penenang. "Suatu tempat. Tapi jangan khawatir, semuanya akan di
“Lihatlah, kau bahkan tak menyadari aku sudah berada di dekatmu.” Dikara menatap lekat dan dalam Janeetha.Janeetha menelan ludah dengan gugup, tubuhnya membeku di tempat. Kehangatan napas Dikara di telinganya membuatnya merasa semakin terjebak. Ia berusaha menjauh, tapi tubuhnya seperti terpaku oleh tatapan pria itu.“Dikara, jangan bercanda seperti itu,” kata Janeetha dengan suara yang lebih pelan dari yang ia harapkan, seolah kekuatan untuk berbicara lenyap.Dikara hanya tersenyum kecil, sebuah senyuman yang memiliki makna lebih dari sekadar candaan. “Siapa bilang aku bercanda, hm?”Tangannya terulur dan menyentuh dagu Janeetha, memiringkan wajahnya hingga tatapan mereka bertemu. “Kau selalu memikirkan sesuatu yang ingin kau sembunyikan dariku, tapi ekspresimu tidak pernah bisa menipu, Janeetha.”“A-aku tidak memikirkan apa pun,” jawab Janeetha buru-buru, mencoba melawan efek memabukkan dari tatapan suaminya. Ia menggigit bibirnya, menyadari betapa lemahnya ia di hadapan pria ini.
Entah mengapa, Janeetha melihat kilat yang berbeda dari Dikara malam itu. Seperti ... menghapar sesuatu padanya. Bukan, bukan karena ingin Janeetha tunduk padanya. Tetapi lebih pada sesuatu yang dibutuhkan oleh seseorang.Jemari Janeetha bergerak begitu saja, mengelus rahang kokoh suaminya, menatapnya dengan lembut. Jauh di dalam hatinya, ia berusaha meyakinkan dirinya jika Dikara memiliki sisi lain di luar yang selalu ditampakkan.Dikara terdiam, matanya sedikit melembut ketika jemari Janeetha menyentuh rahangnya. Sentuhan itu sederhana, namun membawa nuansa yang berbeda, sesuatu yang jarang ia dapatkan.Sejenak, sorot tajam di matanya meredup, digantikan oleh sesuatu yang lebih dalam, lebih jujur.“Kau… sedang apa, Janeetha?” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan, tetapi nada itu mengandung keheranan dan mungkin—keraguan.Ia tidak terbiasa dengan kelembutan seperti ini. Apalagi dari istrinya yang biasanya penuh perlawanan atau pasrah dalam keterpaksaan.Janeetha tidak segera menjaw
Janeetha membuka matanya perlahan, merasa sedikit segar meski perasaan aneh masih menyelimuti hatinya. Ia melirik ke sisi tempat tidur yang kosong, dan seketika mengingat percakapan semalam.‘Dikara benar-benar sudah pergi.’ Senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Mungkin akhirnya ia bisa bernapas lebih lega selama beberapa hari ke depan.Dengan semangat yang jarang ia rasakan akhir-akhir ini, Janeetha segera bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajah dan membersihkan dirinya dengan cepat. Air hangat yang mengalir di kulitnya seperti memberikan energi baru. Setelah selesai, ia mengenakan pakaian yang nyaman—sebuah gaun sederhana dengan warna pastel lembut—dan menata rambutnya seadanya.Janeetha berdiri di depan cermin sesaat, menatap bayangannya sendiri. Ada sedikit harapan yang muncul di matanya, sesuatu yang sudah lama hilang.Hari ini, Janeetha memutuskan untuk tidak hanya duduk diam di kamar. Ia ingin melihat lebih banyak tentang mansion ini, ingin me
Janeetha terlonjak, hampir menjatuhkan gagang telepon. Ia berbalik perlahan, dan di sana berdiri Rusli, menatapnya dengan ekspresi netral tetapi penuh pengawasan. Dengan segera ia meletakkan kembali gagan telepon yang ia pegang.“Rusli…apa yang…” Janeetha menjeda, mengurungkan pertanyaan yang akan ia lontarkan. “Dikara menyuruhmu ke sini?”Rusli mengangguk sekilas. “Ya. Selama Tuan Dikara tak ada, saya akan di sini bersama Anda.”Janeetha menghela napas panjang. Ini tidak akan mudah. “Apa ini tidak terlalu berlebihan?”“Nyonya ingin menghubungi seseorang?” Rusli memutuskan untuk mengakhiri basa basi mereka."Aku... aku ingin menghubungi keluargaku," jawab Janeetha, berusaha terdengar biasa. Rusli mengerutkan kening. "Apakah Tuan Dikara sudah memberikan izin pada Nyonya untuk menggunakan telepon rumah?" Kata-kata itu membuat Janeetha kehilangan kata-kata. Hatinya berdegup kencang, tetapi ia tahu tidak bisa menunjukkan kelemahannya. "Aku hanya ingin memastikan orang tuaku baik-baik
Dikara duduk di kursi kulit jet pribadinya, mengenakan jas hitam sempurna yang tidak menunjukkan satu pun lipatan. Di tangannya, segelas anggur merah tergenggam. Pemandangan langit pagi yang terbentang luas di luar jendela tidak mampu mengalihkan pikiran pria itu.Wajah Janeetha muncul di benaknya, dengan begitu jelas. Bukan wajah cantiknya yang membuatnya resah, melainkan ekspresi terakhir yang ia lihat semalam.Dikara bahkan membiarkan pertanyaan Janeetha tak terjawab hingga menguap begitu saja."Sungguhan kau mau melepaskanku? Jika aku melakukannya?"Rahang Dikara mengetat sekilas seiring pikirannya menjadi rumit seketika. Segera ia mengangkat gelas anggurnya dan menengguk minuman tersebut. , merasakan cairan itu menghangatkan tenggorokannya. Namun, rasa hangat itu tidak mampu mengusir kedinginan yang menjalar di dadanya.Ia merasakan ada sesuatu dalam tatapan Janeetha saat istrinya bertanya demikian. Sesuatu yang tidak biasa. Bukan hanya kepasrahan. Ada perhitungan, bahkan keberan
BAB 122Langit senja menyelimuti bandara ibukota dengan cahaya oranye pucat. Di sudut ruang tunggu VIP, seorang pria bersandar pada kursi kulit hitam, mengetuk ujung jari di lengan kursinya dengan ritme pelan, nyaris tak terdengar.Wajahnya tampak dingin, tetapi sorot matanya tajam, terasa menembus dinding kaca di depannya.Dikara.Pria itu melirik jam tangannya untuk kesekian kali. Sudah hampir satu jam berlalu sejak pesawat dari ibukota menujur Ardenton dijadwalkan untuk berangkat. Tetapi Fabian tak juga muncul.Fadil berdiri di dekatnya, sesekali menerima telepon dengan suara pelan. Setiap kali panggilan berakhir, Fadil hanya menggeleng, wajahnya terlihat semakin tegang."Masih tidak ada kabar?" Dikara akhirnya bersuara dengan suara rendahnya yang menusuk. Mata tajamnya menatap Fadil tanpa berkedip.Fadil meneguk ludah. "Tidak, Tuan. Maafkan saya. Saya sudah menghubungi semua agen di bandara ini. Fabian tidak pernah muncul di gerbang keberangkatan."Dikara menyandarkan tubuhnya kem
Mobil hitam itu semakin mendekat, nyaris memepet sisi taksi, memaksa kendaraan berhenti di pinggir jalan.Fabian mengumpat pelan, siap untuk melontarkan protes, tetapi rasa kesalnya berubah menjadi keterkejutan saat melihat siapa yang keluar dari mobil itu.Rusli.Fabian merasakan amarahnya melonjak, tetapi ia menahannya. Pintu taksi di sisi kanannya terbuka, dan Rusli masuk dengan wajahnya yang cemas, duduk di sampingnya tanpa permisi.Fabian menatap Rusli tajam, rahangnya mengatup keras. “Apa-apaan ini, Rusli? Kau pikir kau siapa sampai menghentikan taksi di tengah jalan seperti ini?”Rusli menghela napas berat, pandangannya waspada. “Aku tidak punya waktu untuk basa-basi, Fabian. Kau tahu kenapa aku di sini.”Fabian menyipitkan mata, bibirnya melengkung sinis. “Kalau kau datang untuk menakutiku atas nama Dikara, kau buang-buang waktu. Aku tidak peduli!”Rusli menoleh cepat, menatap Fabian dengan ekspresi mendesak. “Kau pikir aku mau melakukan ini? Aku hanya menjalankan perintah. Da
Langit memancarkan cahaya sorenya saat mobil hitam Dikara berhenti secara sembarangnan di depan rumah Fabian.Pria itu keluar dari mobil dengan langkah cepat, hampir seperti melompat turun. Rahangnya mengatup keras, matanya tajam mengamati setiap sudut bangunan kecil yang berdiri sunyi di hadapannya.Tanpa ragu, ia berjalan menuju pintu depan. Tangannya mengepal, dan dengan sekuat tenaga ia menggedor pintu tersebut.“Fabian!” Dikara terus menggedor pintu, suaranya menggema di sepanjang teras. “Aku tahu kau ada di dalam! Buka pintunya sekarang!”Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti.Pria itu kembali menggedor pintu kali ini lebih kuat dari sebelumnya.“Fabian! Aku tidak akan meminta dua kali!” Dikara berseru. Urat lehernya bahkan menonjol saking kerasnya.Namun, tetap tidak ada reaksi.Dikara menyipitkan mata, ekspresinya semakin mengeras. Tangannya meraih gagang pintu, dan mencoba membukanya. Ternyata pintu itu terkunci.“Sialan!”Dalam sekejap, Dikara mengangkat kakin
Dikara kemudian terkekeh sumbang. “Aku harus merendahkan diri di hadapan Janeetha? Membiarkannya merasa menang? Tidak ada dalam kamusku!”Kata-kata Ameera memang menusuk, tapi ia memilih mengabaikannya. Baginya, kelemahan hanyalah jalan pintas menuju kehancuran.“Aku tak akan pernah merendah pada yang sudah rendah!” dengkusnya lirih, seakan menegaskan kalimat itu lebih kepada dirinya sendiri. “Dan aku akan memastikan Janeetha tahu tempatnya.”Dengan masih sedikit terhuyung, Dikara melangkah menuju jendela. Membiarkan cahaya menerpa wajahnya yang sedikit pucat. Dari ketinggian mansion, ia bisa melihat sepinya taman di bawah sana, seperti mewakili rasa sepi yang berkecamuk dalam hatinya.Ponselnya bergetar di atas meja. Dikara melirik sekilas—sebuah pesan dari Fadil.[Kami masih mencari keberadaan Nyonya Janeetha, Tuan. Tapi belum ada jejak konkret. Kami akan melaporkan kembali segera.]Dikara mengatupkan rahangnya, tetapi ia memutuskan untuk tidak membalas apapun. Baru kali ini ia mera
Dalam kepanikannya, Dikara meraba kantong celananya, mencari ponsel. Ia mengetik nomor Ameera dengan jari-jari yang gemetar. Ameera adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana mengatasi dirinya ketika ia kehilangan kontrol seperti ini.Panggilan tersambung setelah beberapa nada dering. “Dikara, apa yang terjadi?”“Aku… aku tidak bisa bernapas,” katanya terbata-bata, suaranya terdengar putus asa. “Dia pergi, Ameera. Janeetha pergi, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”“Dikara, dengarkan aku,” kata Ameera dengan nada menenangkan. “Tarik napas perlahan. Ikuti suaraku. Tarik napas dalam… tahan sejenak… dan hembuskan perlahan.”Dikara mencoba dengan tubuhnya masih gemetar.Satu tarikan napas, dua, lalu tiga. Perlahan, rasa sesak di dadanya sedikit mereda, meskipun masih terasa seperti sengatan api yang terus menyalakan rasa takut di dalam hatinya.“Sekarang, katakan padaku,” lanjut Ameera hati-hati. “Apa yang sebenarnya kau rasakan?”“Aku takut…” Dikara berbicara, hampir seperti
Dikara tiba-tiba tertawa pendek, tawa yang penuh sarkasme dan rasa sakit. Ia mengangkat salah satu gaun yang dikenakan Janeetha di acara pernikahan mereka. Gaun itu masih wangi, aromanya mengingatkan Dikara pada malam-malam yang kini terasa seperti mimpi yang tak tergapai.“Kenapa kau selalu membuat segalanya begitu sulit?” tanyanya, seolah Janeetha ada di hadapannya. Suaranya berubah, melembut, hampir seperti memohon. “Kenapa kau tidak mengerti… aku hanya ingin kau tetap di sini, bersamaku.”Tapi tidak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin menusuk.Rasa frustasi kembali menghantam Dikara. Ia menjatuhkan gaun itu ke lantai, lalu menendang pintu lemari hingga terbanting. “Sial! Apa yang kurang dariku? Apa yang kurang dari hidupku yang sudah kuberikan padamu, hah?!”Ia berjalan ke tempat tidur, mendapati sebuah bantal yang pernah digunakan Janeetha. Dikara duduk di tepinya, menunduk sambil mengusap wajah dengan kedua tangan. Amarahnya mulai bercampur dengan rasa takut yang perlahan
Hening sejenak di ujung telepon, sebelum Fabian menjawab dengan suara penuh keyakinan, “Aku tidak akan membiarkan dia menang. Kau akan bebas, Janeetha. Aku janji.”Air mata Janeetha kembali jatuh, kali ini bercampur antara kebahagiaan dan harapan. “Aku percaya padamu, Kak Fabian. Terima kasih.”“Kita akan bertemu lagi segera,” jawab Fabian. “Tetaplah kuat. Kau tidak sendirian.”Panggilan berakhir, tapi semangat Janeetha terangkat. Ia menatap Maria, yang memberinya senyuman penuh dukungan.Janeetha memejamkan mata sejenak, suara Fabian kembali terngiang di telinganya. Kata-katanya menyusup ke dalam hati, memberikan kekuatan yang hampir terlupakan.Saat ia membuka matanya kembali, menatap Maria yang kini sedang memeriksa peta kecil di dashboard.“Kau punya teman-teman yang baik,” kata Maria tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangannya dari peta. “Tidak semua orang cukup beruntung mendapatkan bantuan seperti ini.”Janeetha tersenyum samar. “Aku tahu. Tanpa mereka… aku tidak tahu apa yang ak
Rusli terdiam. Ancaman itu bukan hal baru, tapi kali ini ada intensitas yang berbeda. Ia tahu Dikara sedang berada di puncak amarah. Namun ia juga tahu atasannya mulai masuk dalam titik lemahnya.Kehilangan Janeetha adalah titik lemah pria itu.“Baik, Tuan,” jawab Rusli akhirnya, memilih untuk terdengar pasrah. “Saya akan mempercepat semuanya.”“Sudah seharusnya!” sahut Dikara sinis. “Dan pantau setiap langkah Fabian! Aku ingin tahu siapa yang ia temui, di mana dia berada, dan apa yang dia lakukan setiap detiknya. Jika kau menemukan apa pun yang mencurigakan, laporkan langsung padaku!”“Saya mengerti, Tuan.”Dikara memutus sambungan tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. Ia kembali duduk dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Fabian bukan hanya ancaman, tapi juga penghinaan langsung pada otoritasnya.Di sisi lain, Rusli duduk di kursi mobilnya, ponsel masih berada di tangannya. Ia menghela napas panjang, merasa semakin terjebak di antara kesetiaannya pada Dikara dan keinginannya untuk memb
BAB 114Suara napas Dikara di ujung telepon terdengar pelan tapi Fadil yakin pria itu tidaklah sedang baik-baik saja.“Apa yang kau maksud dengan menghilang, Fadil?!” Dikara nyaris membentak membuat siapa pun akan merasa terancam.“Saya … hanya menemukan gelang Nyonya di spa, tapi Nyonya sudah tidak ada di sana,” jawab Fadil dengan hati-hati. “Rekaman CCTV menunjukkan bahwa dia keluar melalui pintu belakang hotel. Dia naik mobil hitam bersama seseorang.”Keheningan yang menyusul membuat Fadil menelan ludah dengan gugup. Ia tahu Dikara tidak akan menerima kabar ini dengan baik. Ia bahkan mulai sibuk memikirkan nasibnya ke depan.“Plat nomor mobil itu?” tanya Dikara akhirnya.“Disamarkan, Tuan,” jawab Fadil. “Namun, saya akan melacaknya. Orang yang bersamanya tampaknya sangat berpengalaman dalam membantu pelarian seperti ini.”Dikara terkekeh pelan membuat Fadil semakin resah.“Kirimkan semua rekaman itu padaku sekarang!” perintah pria itu terdengar tak ingin dibantah.“Saya sudah mengu