Dikara duduk di kursi kulit jet pribadinya, mengenakan jas hitam sempurna yang tidak menunjukkan satu pun lipatan. Di tangannya, segelas anggur merah tergenggam. Pemandangan langit pagi yang terbentang luas di luar jendela tidak mampu mengalihkan pikiran pria itu.Wajah Janeetha muncul di benaknya, dengan begitu jelas. Bukan wajah cantiknya yang membuatnya resah, melainkan ekspresi terakhir yang ia lihat semalam.Dikara bahkan membiarkan pertanyaan Janeetha tak terjawab hingga menguap begitu saja."Sungguhan kau mau melepaskanku? Jika aku melakukannya?"Rahang Dikara mengetat sekilas seiring pikirannya menjadi rumit seketika. Segera ia mengangkat gelas anggurnya dan menengguk minuman tersebut. , merasakan cairan itu menghangatkan tenggorokannya. Namun, rasa hangat itu tidak mampu mengusir kedinginan yang menjalar di dadanya.Ia merasakan ada sesuatu dalam tatapan Janeetha saat istrinya bertanya demikian. Sesuatu yang tidak biasa. Bukan hanya kepasrahan. Ada perhitungan, bahkan keberan
Dikara menyesap anggur sekali lagi, tetapi kali ini rasanya tak semanis biasanya. Gelas kristal itu ia letakkan dengan hati-hati di meja di depannya. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin besar. Wajahnya tampak tenang seperti biasa, tanpa cela, siap untuk menemui kliennya sekitar setengah jam lagi.Namun hanya Dikara yang tahu betapa pikirannya bergejolak. Janeetha.Nama itu terus terngiang di kepalanya, sejak Dikara meninggalkan mansion, membuat rasa tidak nyaman menjalari dirinya.Pria itu mencoba membedah apa yang sebenarnya salah, tetapi satu hal yang ia tahu pasti Janeetha semakin membuatnya gelisah.Dikara menghela napas panjang, mencoba mengusir keresahan yang tak mau pergi. Janeetha, dengan caranya yang terlalu tenang, malah membuatnya merasa seperti seseorang yang berjalan di atas es tipis. Ia merasa di luar kendali, sesuatu yang selama ini ia hindari dengan segala cara."Apa yang dia rencanakan?" gumamnya pelan, suaranya hampir seperti desisan.Dikara menutup mata se
Janeetha tampak terkejut, meski hanya sesaat. Dikara melihatnya. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi, memainkan gelas anggur di tangannya sambil mengamati reaksi wanita itu.“Kau terlalu percaya diri, Dikara,” balas Janeetha akhirnya, mencoba menutupi kegugupannya dengan nada bercanda. “Aku hanya mengatakan fakta. Mansion ini memang terlalu besar untukku.”Dikara terkekeh pelan, suara baritonnya bergema lembut di ruangan tempatnya berada. “Oh, jangan seperti itu, Istriku. Kau tahu aku tidak suka hal-hal yang terasa kosong, sama seperti aku tidak suka membiarkanmu merasa sendirian.”Janeetha terdiam, dan Dikara melanjutkan, tatapannya lebih tajam. “Tapi, mungkin kau benar. Rumah itu memang terasa besar dan sunyi... terutama jika kau tidak ada di sana.”Wajah Janeetha terlihat memerah sedikit, atau mungkin itu hanya efek pencahayaan. Dikara menikmati momen itu, meski ia tahu betul permainan ini bukan hanya tentang menggoda.“Kau seharusnya bilang dari awal,” ujarnya dengan nada lebih
Janeetha sedang duduk di ruang kerja kecil yang sering ia gunakan untuk membaca. Sebuah buku terbuka di pangkuannya, tetapi pikirannya terlalu sibuk untuk benar-benar membaca. Ia terus memikirkan panggilan video dengan Dikara semalam. Pria itu selalu penuh teka-teki, terutama ketika memberi sesuatu yang terlihat seperti kebebasan. Ketukan pelan di pintu mengganggu lamunannya. “Masuk,” ucapnya sambil menutup buku dengan tenang. Pintu terbuka, dan Rusli masuk dengan ekspresi formal yang biasa. “Selamat pagi, Nyonya,” sapanya sopan. “Pagi, Rusli. Ada apa?” Janeetha mencoba terdengar santai, meskipun jantungnya sedikit berdebar. Entahlah, ia merasa semakin diawasi jika Rusli berada di sekitarnya. Rusli mendekat dengan map kecil di tangannya. “Saya diminta Tuan Dikara untuk menyampaikan hadiah ini kepada Anda,” katanya sambil meletakkan map itu di meja di depan Janeetha. Janeetha menatap map tersebut sejenak sebelum mengangkat pandangannya ke Rusli. “Hadiah?” tanyanya, menekankan kat
Janeetha menatap map yang tergeletak di atas meja. ‘Ini adalah kesempatan besar’, pikirnya.Namun, Janeetha tahu bahwa setiap langkah harus dilakukan dengan hati-hati. Tawaran perjalanan dari Dikara terasa seperti jebakan, tetapi juga bisa menjadi jalan keluar.Ia harus berbicara dengan Maura dan Fabian. Bagaimana caranya?Dikara selalu mengawasinya, bahkan ketika ia tidak ada. Lalu, ide itu datang. Rumah orang tuanya.Jika Janeetha meminta izin untuk berkunjung ke sana, ia mungkin bisa meminta tolong ibunya untuk menghubungi Maura lalu menyusun rencana pelarian bersama temannya itu.Dengan tangan sedikit gemetar, Janeetha meraih ponsel dan menekan nomor Dikara. Ia mendengar nada sambung yang kali ini terasa seperti memakan waktu lebih lama dari biasanya sebelum suara bariton itu menyahut."Halo, Sayang," suara Dikara terdengar tegas dan dingin, seperti biasa. "Ada sesuatu yang ingin kau katakan?"Janeetha menarik napas, mencoba menenangkan diri. "Aku hanya ingin mengucapkan terima ka
Janeetha berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan rambut yang sudah diikat rapi.Perasaan gugup yang menghantui sejak pagi semakin terasa. Meski Janeetha berusaha keras meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan lancar, ada bagian dalam dirinya yang tetap cemas.Ia menarik napas panjang sebelum mengenakan mantel panjang berwarna krem. Pandangannya sempat tertuju pada pintu, seolah sesuatu yang besar menantinya di luar sana.Setelah memastikan dirinya siap, Janeetha melangkah keluar kamar, sepatu hak rendahnya menimbulkan suara pelan di lantai marmer mansion. Setiap langkah, menuruni anak tangga, tak membuat ia menjadi tenang.Ketika sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti. Rusli sudah berdiri di sana, mengenakan setelan sederhana namun rapi. Pria itu tampak tengah memeriksa sesuatu di ponselnya, tetapi segera memasukkannya ke saku begitu melihat Janeetha."Nyonya sudah siap?" tanyanya dengan suara datar, sopan seperti biasa. Pria itu sedikit menarik sudut bibirnya, tetapi ta
"Dan kau tidak pernah mempertanyakan apa pun?" Janeetha akhirnya bertanya, mencoba membaca ekspresi Rusli.Rusli menoleh sedikit, memberikan senyuman kecil yang sulit diartikan. "Itu bukan bagian dari pekerjaan saya, Nyonya."Jawaban itu membuat Janeetha merasa semakin terjebak. Di dalam mobil yang melaju, ia merasakan dinding tak kasat mata yang semakin mendekat, membatasi ruang geraknya.Perjalanan ke rumah orang tuanya ini mungkin tampak seperti kunjungan biasa, tetapi Janeetha tahu bahwa setiap langkahnya diawasi.Janeetha memiringkan kepala, memandang Rusli dengan saksama. Ia merasa bahwa di balik ketenangan pria itu, ada sesuatu yang lebih."Tidakkah kau ingin... setidaknya tidak tertekan, Rusli?" tanyanya pelan, nada suaranya lembut tetapi sedikit mendesak.Rusli menegang sesaat, tetapi sebisa mungkin pria itu berusaha tampak tenang. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab. "Tertekan, Nyonya? Apa maksud Anda?"Janeetha tersenyum kecil, mencoba mengurangi ketegangan yang terjadi
Gayatri kembali dengan sepiring camilan sederhana dan secangkir teh hangat. "Ini, makan dulu. Maaf seadanya, ya."Rusli menerima teh itu dengan sopan, mengangguk pelan. "Terima kasih, Nyonya. Ini sudah lebih dari cukup.""Asisten Dikara, ya?” Gayatri berkata lagi memastikan. “Kerja dengan orang besar itu pasti berat. Tapi kau terlihat tahan banting."Rusli tersenyum kecil, untuk pertama kalinya tampak lebih santai. "Tuan Dikara memang orang yang... menuntut. Tapi beliau juga orang yang sangat berkomitmen."Gayatri tertawa lembut. "Oh, kami tahu itu. Tapi kau juga harus menjaga dirimu, Nak. Jangan terlalu keras pada diri sendiri."Keramahan itu perlahan meluruhkan kecanggungan Rusli. Ia mulai berbicara lebih santai, menjawab pertanyaan-pertanyaan kecil tentang pekerjaannya dan kehidupannya.Meski pria itu tidak membocorkan terlalu banyak, Janeetha bisa melihat Rusli sedikit tersentuh oleh suasana rumah yang begitu berbeda dari dunia Dikara yang dingin dan penuh tekanan."Kalau ada oran
Ketika Ketika Janeetha membuka matanya, ruangan putih terang menyambutnya. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan ada rasa sakit luar biasa di perutnya.Dia berkedip beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma khas rumah sakit menyengat hidungnya. Infus terpasang di tangannya, dan tubuhnya terasa begitu lemah, seolah hanya tersisa separuh jiwa dalam dirinya.Kemudian, ingatan itu kembali.Darah.Rasa sakit.Jeritan yang tidak terdengar.Tangannya perlahan bergerak ke perutnya yang datar.Tidak…Tidak mungkin…Matanya membelalak saat kepanikan merayapi tubuhnya. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Air matanya mulai menggenang di sudut mata.“Bayi…” suaranya hampir tak terdengar. “Bayi ku…”Maria, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, segera menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan erat. “Janeetha… aku di sini.”
“Dasar bajingan! Pergi kau!”Dikara tersentak.Suara itu begitu familiar, mengandung kemarahan yang meledak-ledak. Sebelum ia bisa sepenuhnya mengangkat kepalanya, seseorang sudah menarik kerah bajunya dengan kasar, hampir membuatnya terjatuh dari kursi.Fabian.Pria itu berdiri di depannya dengan wajah merah padam, tatapan penuh kebencian terpancang kuat di matanya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seolah menahan emosi yang hendak meledak.“Sudah cukup kau menghancurkan hidupnya! Apa kau belum puas?!” Fabian menggeram, suaranya bergetar oleh amarah. “Dia hampir mati, Dikara! Kau dengar itu? HAMPIR MATI karena kau!”Dikara hanya menatapnya, matanya kosong.Jika ini terjadi beberapa bulan lalu, ia mungkin sudah membalas Fabian dengan kepalan tangan. Ia mungkin sudah melayangkan tinju ke wajah pria itu tanpa pikir panjang.Tetapi malam ini… tidak ada amarah dalam dirinya. Hanya keham
Setelah semalaman berjaga, Dikara berdiri dengan tubuh tegang di depan ruang ICU, menunggu dokter yang baru saja masuk untuk memeriksa Janeetha. Begitu juga Maria dan Sam.Pikiran pria itu berkecamuk, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah terjadi. Keguguran. Trauma. Janeetha telah kehilangan bayinya. Anak mereka.Suatu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun.Pintu ICU terbuka, dan Dokter Arief melangkah keluar dengan ekspresi lebih tenang dari sebelumnya. “Kondisinya mulai stabil. Jika tidak ada komplikasi lain, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan dalam beberapa jam.”Dikara mengangguk pelan, meskipun perasaannya masih berantakan.Maria, yang berdiri tak jauh darinya, bersedekap dengan tatapan tajam. “Bagus. Itu artinya kau tak perlu di sini lagi.”Dikara menoleh, menatap Maria dengan pandangan dingin. “Aku akan tetap di sini.”Sam, yang berdiri di samping Maria, mendengus sinis. &l
Maria menatapnya penuh kebencian. “Kau tidak bisa mengambilnya kembali begitu saja.”Dikara menatapnya sejenak, lalu perlahan berjalan mendekat.“Aku tidak mengambil apa pun.” Suaranya rendah, tetapi ada nada mengancam di dalamnya. “Aku hanya datang untuk menjemput istriku.”Maria mengepalkan tangannya, sementara Sam berdiri lebih dekat di sampingnya.Di balik pintu ruang operasi, Janeetha sedang berjuang antara hidup dan mati.Suara alat-alat medis yang berbunyi nyaring, berpadu dengan suara dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan dua nyawa sekaligus.Tubuh Janeetha terbaring tak berdaya di atas meja operasi, darah masih mengalir dari tubuhnya meskipun tim medis sudah berusaha menghentikannya.Dokter yang bertugas berdiri di dekat kepala Janeetha, menatap monitor dengan rahang mengatup rapat. “Tekanan darahnya turun drastis! Beri tambahan cairan!”Seorang perawat buru-buru
Malam semakin larut, hujan turun perlahan di luar jendela klinik kecil itu. Di dalam ruangan yang remang, Janeetha terbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat pasi. Napasnya pendek dan tersengal, sementara tangannya menggenggam erat sprei ranjang seakan mencoba menahan rasa sakit yang semakin menggigit perutnya.Maria duduk di sisi ranjang, memegang tangan Janeetha dengan erat. Sam mondar-mandir di ruangan dengan wajah tegang, sesekali menoleh ke arah dokter Arief yang sedang memeriksa tekanan darah Janeetha.Beberapa waktu lalu Janeetha kembali mengeluh kesakitan dan tampak lebih parah dari sebelumnya karena itu Sam segera memanggil dokter Arief.Tiba-tiba, tubuh Janeetha menegang. Napasnya memburu, dan bibirnya mengeluarkan erangan tertahan sebelum tubuhnya mulai bergetar hebat.“Maria… sakit…” Suaranya nyaris tidak terdengar.Maria langsung menegang, sementara Sam menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat.&
Sam memapah Janeetha keluar dari rumah persembunyian mereka. Langkah Janeetha lemah, tubuhnya nyaris limbung jika saja Sam tidak menggenggamnya erat.Maria berjalan cepat di depan, sesekali menoleh dengan wajah tegang. Mereka tahu mereka tidak bisa sembarangan ke rumah sakit besar—terlalu berisiko.“Kita harus menemukan tempat yang aman untuk memeriksanya,” gumam Maria sambil melihat layar ponselnya. “Ada sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Aku punya kenalan di sana. Dia bisa membantu tanpa terlalu banyak bertanya.”Sam mengangguk tanpa ragu. “Ayo.”Mereka menaiki mobil tua yang telah disiapkan Maria sebelumnya. Sam duduk di belakang bersama Janeetha, memastikan kepalanya bersandar nyaman di bahunya. Wanita itu tampak semakin pucat, bibirnya sedikit gemetar akibat kehilangan darah.“Bertahanlah,” bisik Sam pelan.Janeetha hanya mengangguk lemah, matanya mengerjap samar. Setiap detik ya
"Ya Tuhan, Janeetha!" Maria buru-buru melangkah keluar, mendekat dengan wajah panik. Tatapannya langsung tertuju pada wanita itu yang hampir tidak bisa berdiri tanpa dukungan Sam. "Apa yang terjadi?"Sam menghela napas berat. "Dia terluka, tapi dia menolak untuk mendapatkan pertolongan medis."Maria mengumpat pelan sebelum meraih lengan Janeetha dengan lembut, mencoba menuntunnya masuk. "Kita tidak bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini. Kau butuh dokter.""Tidak," gumam Janeetha lemah, meskipun tubuhnya sudah hampir tidak bisa menahan rasa sakit yang semakin tajam di perutnya. "Kita tidak bisa pergi ke rumah sakit. Dikara pasti akan menemukanku."Maria mengatupkan rahangnya dengan frustasi. "Dan kau pikir apa yang akan terjadi jika kau mati di sini?!" suaranya sedikit meninggi. "Ini bukan tentang Dikara lagi, Janeetha. Ini tentang kau. Tentang nyawamu!"Janeetha menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang bercampur dengan rasa sakit. Ia s
Sam membantu Janeetha memasuki sebuah mobil kecil yang mereka dapatkan dari seseorang yang bersedia mengantarkan mereka ke luar kota dengan imbalan cukup besar.Pria paruh baya yang mengemudikan mobil itu tidak banyak bicara—hanya sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion dengan ekspresi waspada.Duduk di kursi belakang, Janeetha bersandar lemah pada jendela. Napasnya pendek-pendek, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meskipun udara di dalam mobil terasa dingin. Sam, yang duduk di sampingnya, tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya."Janeetha, kau harus bilang apa yang sebenarnya terjadi," ujar Sam pelan, tapi dengan tekanan yang jelas.Janeetha mengerjap, mencoba menegakkan tubuhnya, tapi rasa sakit yang menusuk perutnya semakin menjadi. "Aku baik-baik saja," gumamnya, meski suaranya hampir tak terdengar.Sam tidak lagi percaya. Tadi di terminal, dia melihatnya berdarah—dan itu bukan sesuatu yang bisa diabaika
Angin dingin menusuk kulit saat Janeetha turun dari bus dengan langkah goyah. Hujan gerimis masih turun, membuat jalanan becek dan licin.Sam berjalan di sampingnya, sesekali melirik dengan khawatir. Wajah Janeetha pucat, bibirnya tampak lebih kering dari biasanya, dan sorot matanya mengisyaratkan kelelahan yang amat sangat. Sekilas, ia tampak seperti seseorang yang bisa roboh kapan saja.Di sekitar mereka, terminal kecil itu masih cukup ramai meski hari sudah mulai menginjak petang. Orang-orang berlalu lalang dengan jaket atau payung seadanya, beberapa tampak bergegas menuju bus yang siap berangkat, sementara yang lain sibuk berbincang dengan pedagang kaki lima di sekitar area tunggu.Sam menoleh ke Janeetha, kemudian menarik lengannya pelan. “Kita harus cari tempat istirahat sebentar,” katanya, mencoba berbicara selembut mungkin agar Janeetha tidak langsung menolaknya.Seperti yang sudah diduga, Janeetha segera menggeleng cepat. “Tidak