Janeetha tampak terkejut, meski hanya sesaat. Dikara melihatnya. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi, memainkan gelas anggur di tangannya sambil mengamati reaksi wanita itu.“Kau terlalu percaya diri, Dikara,” balas Janeetha akhirnya, mencoba menutupi kegugupannya dengan nada bercanda. “Aku hanya mengatakan fakta. Mansion ini memang terlalu besar untukku.”Dikara terkekeh pelan, suara baritonnya bergema lembut di ruangan tempatnya berada. “Oh, jangan seperti itu, Istriku. Kau tahu aku tidak suka hal-hal yang terasa kosong, sama seperti aku tidak suka membiarkanmu merasa sendirian.”Janeetha terdiam, dan Dikara melanjutkan, tatapannya lebih tajam. “Tapi, mungkin kau benar. Rumah itu memang terasa besar dan sunyi... terutama jika kau tidak ada di sana.”Wajah Janeetha terlihat memerah sedikit, atau mungkin itu hanya efek pencahayaan. Dikara menikmati momen itu, meski ia tahu betul permainan ini bukan hanya tentang menggoda.“Kau seharusnya bilang dari awal,” ujarnya dengan nada lebih
Janeetha sedang duduk di ruang kerja kecil yang sering ia gunakan untuk membaca. Sebuah buku terbuka di pangkuannya, tetapi pikirannya terlalu sibuk untuk benar-benar membaca. Ia terus memikirkan panggilan video dengan Dikara semalam. Pria itu selalu penuh teka-teki, terutama ketika memberi sesuatu yang terlihat seperti kebebasan. Ketukan pelan di pintu mengganggu lamunannya. “Masuk,” ucapnya sambil menutup buku dengan tenang. Pintu terbuka, dan Rusli masuk dengan ekspresi formal yang biasa. “Selamat pagi, Nyonya,” sapanya sopan. “Pagi, Rusli. Ada apa?” Janeetha mencoba terdengar santai, meskipun jantungnya sedikit berdebar. Entahlah, ia merasa semakin diawasi jika Rusli berada di sekitarnya. Rusli mendekat dengan map kecil di tangannya. “Saya diminta Tuan Dikara untuk menyampaikan hadiah ini kepada Anda,” katanya sambil meletakkan map itu di meja di depan Janeetha. Janeetha menatap map tersebut sejenak sebelum mengangkat pandangannya ke Rusli. “Hadiah?” tanyanya, menekankan kat
Janeetha menatap map yang tergeletak di atas meja. ‘Ini adalah kesempatan besar’, pikirnya.Namun, Janeetha tahu bahwa setiap langkah harus dilakukan dengan hati-hati. Tawaran perjalanan dari Dikara terasa seperti jebakan, tetapi juga bisa menjadi jalan keluar.Ia harus berbicara dengan Maura dan Fabian. Bagaimana caranya?Dikara selalu mengawasinya, bahkan ketika ia tidak ada. Lalu, ide itu datang. Rumah orang tuanya.Jika Janeetha meminta izin untuk berkunjung ke sana, ia mungkin bisa meminta tolong ibunya untuk menghubungi Maura lalu menyusun rencana pelarian bersama temannya itu.Dengan tangan sedikit gemetar, Janeetha meraih ponsel dan menekan nomor Dikara. Ia mendengar nada sambung yang kali ini terasa seperti memakan waktu lebih lama dari biasanya sebelum suara bariton itu menyahut."Halo, Sayang," suara Dikara terdengar tegas dan dingin, seperti biasa. "Ada sesuatu yang ingin kau katakan?"Janeetha menarik napas, mencoba menenangkan diri. "Aku hanya ingin mengucapkan terima ka
Janeetha berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan rambut yang sudah diikat rapi.Perasaan gugup yang menghantui sejak pagi semakin terasa. Meski Janeetha berusaha keras meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan lancar, ada bagian dalam dirinya yang tetap cemas.Ia menarik napas panjang sebelum mengenakan mantel panjang berwarna krem. Pandangannya sempat tertuju pada pintu, seolah sesuatu yang besar menantinya di luar sana.Setelah memastikan dirinya siap, Janeetha melangkah keluar kamar, sepatu hak rendahnya menimbulkan suara pelan di lantai marmer mansion. Setiap langkah, menuruni anak tangga, tak membuat ia menjadi tenang.Ketika sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti. Rusli sudah berdiri di sana, mengenakan setelan sederhana namun rapi. Pria itu tampak tengah memeriksa sesuatu di ponselnya, tetapi segera memasukkannya ke saku begitu melihat Janeetha."Nyonya sudah siap?" tanyanya dengan suara datar, sopan seperti biasa. Pria itu sedikit menarik sudut bibirnya, tetapi ta
"Dan kau tidak pernah mempertanyakan apa pun?" Janeetha akhirnya bertanya, mencoba membaca ekspresi Rusli.Rusli menoleh sedikit, memberikan senyuman kecil yang sulit diartikan. "Itu bukan bagian dari pekerjaan saya, Nyonya."Jawaban itu membuat Janeetha merasa semakin terjebak. Di dalam mobil yang melaju, ia merasakan dinding tak kasat mata yang semakin mendekat, membatasi ruang geraknya.Perjalanan ke rumah orang tuanya ini mungkin tampak seperti kunjungan biasa, tetapi Janeetha tahu bahwa setiap langkahnya diawasi.Janeetha memiringkan kepala, memandang Rusli dengan saksama. Ia merasa bahwa di balik ketenangan pria itu, ada sesuatu yang lebih."Tidakkah kau ingin... setidaknya tidak tertekan, Rusli?" tanyanya pelan, nada suaranya lembut tetapi sedikit mendesak.Rusli menegang sesaat, tetapi sebisa mungkin pria itu berusaha tampak tenang. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab. "Tertekan, Nyonya? Apa maksud Anda?"Janeetha tersenyum kecil, mencoba mengurangi ketegangan yang terjadi
Gayatri kembali dengan sepiring camilan sederhana dan secangkir teh hangat. "Ini, makan dulu. Maaf seadanya, ya."Rusli menerima teh itu dengan sopan, mengangguk pelan. "Terima kasih, Nyonya. Ini sudah lebih dari cukup.""Asisten Dikara, ya?” Gayatri berkata lagi memastikan. “Kerja dengan orang besar itu pasti berat. Tapi kau terlihat tahan banting."Rusli tersenyum kecil, untuk pertama kalinya tampak lebih santai. "Tuan Dikara memang orang yang... menuntut. Tapi beliau juga orang yang sangat berkomitmen."Gayatri tertawa lembut. "Oh, kami tahu itu. Tapi kau juga harus menjaga dirimu, Nak. Jangan terlalu keras pada diri sendiri."Keramahan itu perlahan meluruhkan kecanggungan Rusli. Ia mulai berbicara lebih santai, menjawab pertanyaan-pertanyaan kecil tentang pekerjaannya dan kehidupannya.Meski pria itu tidak membocorkan terlalu banyak, Janeetha bisa melihat Rusli sedikit tersentuh oleh suasana rumah yang begitu berbeda dari dunia Dikara yang dingin dan penuh tekanan."Kalau ada oran
Janeetha melangkah menuruni tangga dengan hati-hati. Saat pandangannya menangkap ibunya yang masih berbincang dengan Rusli di ruang tamu, perasaannya bercampur aduk antara gugup dan bersemangat.Ia menata ekspresi wajahnya, mencoba terlihat tenang. Namun, ia sadar, Rusli adalah seseorang yang tidak mudah dikelabui."Ah, sudah selesai, Nak?" Gayatri menoleh ke arah Janeetha dengan senyuman lembut. "Kau pasti sudah cukup lama berbicara dengan ayahmu. Bagaimana keadaannya tadi?"Janeetha tersenyum tipis. "Ayah baik-baik saja, Bu. Ia hanya sedikit lelah."Rusli melirik Janeetha dengan tatapan yang tidak terlalu kentara, tetapi cukup untuk membuat Janeetha merasa diawasi."Kita sudah selesai di sini, Nyonya?" tanya pria itu sopan."Iya," jawab Janeetha sambil melirik ke arah ibunya. "Bu, aku pamit dulu, ya. Terima kasih sudah menemani Rusli."Gayatri tampak sedikit terkejut. "Cepat sekali kau pulang? Tidak ingin tinggal lebih lama?""Lain kali, Bu," ucap Janeetha tersenyum lembut, meraih j
Janeetha melangkah menuju meja pendaftaran dengan tangan yang sedikit gemetar. Perasaan gugupnya semakin menjadi-jadi saat ia melihat resepsionis yang tersenyum ramah kepadanya."Selamat siang, Ibu. Apa yang bisa kami bantu?" tanya petugas dengan nada profesional.Janeetha tersenyum kecil, mencoba terlihat tenang. "Saya ingin mendaftar untuk pemeriksaan di poli kandungan."Resepsionis mengangguk dan mulai mengetik sesuatu di komputernya. "Apakah ini kunjungan pertama Anda di sini, Ibu?""Ya," jawab Janeetha cepat. "Ini pertama kali saya datang ke rumah sakit ini.""Baiklah, kalau begitu, tolong isi formulir ini terlebih dahulu." Petugas itu menyerahkan sebuah formulir sederhana beserta pena. "Setelah ini, Anda bisa menuju ke lantai dua, poli kandungan ada di sana."Janeetha mengambil formulir tersebut dengan tangan yang sedikit gemetar. "Terima kasih," katanya pelan, lalu melangkah ke area tunggu untuk mengisinya.Sambil duduk, ia membaca pertanyaan-pertanyaan di formulir itu. Nama, a
Hujan mulai turun rintik-rintik ketika Fabian akhirnya tertangkap. Ia berlutut di atas tanah berlumpur, tangan terikat di belakang punggungnya. Nafasnya terengah-engah, rambut basah menempel di dahinya. Tiga anak buah Dikara berdiri mengawasinya dengan waspada.Meski tampak seperti orang yang tak berdaya, tetapi dalam diri Fabian puas dengan apa yang telah ia lakukan. Setidaknya, ia dapat menyedot perhatia Dikara hanya tertuju padanya.Tak butuh waktu lama, sosok yang Fabian tunggu-tunggu pun tiba.Pria itu terlihat turun dari mobil SUV hitam yang kini terparkir cukup jauh dari lokasi. Fabian memang sengaja memilih jalur yang sedikit sulit dijangkau oleh kendaraan.Langkah Dikara tenang sekaligus tegas, mantel panjang yang dikenakannya berkibar tertiup angin. Matanya langsung menangkap Fabian yang sedang berlutut.“Well, well, well. Bukankah ini Tuan Fabian yang terhormat,” ucap Dikara datar, kedua mata gelapnya sarat dengan penghinaan. Fabian mendongak perlahan. Meski wajahnya penuh
Fabian berlari semakin cepat, napasnya memburu, dan tubuhnya mulai terasa berat oleh hujan yang membasahi pakaiannya. Hutan di sekelilingnya terasa gelap dan suram, seolah-olah bersekongkol untuk menyulitkan pelariannya. Namun, ia tidak peduli.Langkah-langkahnya sengaja dibuat mencolok. Kakinya menjejak tanah berlumpur dengan keras, meninggalkan jejak yang jelas di belakangnya. Sesekali, ia meraih cabang pohon dan mematahkannya dengan sengaja, menciptakan tanda-tanda yang tak mungkin terlewatkan oleh pengejarnya.Dalam pikirannya, rencana ini sederhana.Dikara pasti akan memilih mengejarnya daripada Arman. Fabian tahu betul bagaimana peringai pria itu. Dikara bukan hanya sosok yang obsesif, tapi juga penuh harga diri.Bagi Dikara, Fabian adalah ancaman langsung. Bukan sekadar seseorang yang membantu pelarian Janeetha, tetapi juga orang yang dianggap mencuri sesuatu yang menurutnya adalah miliknya.Fabian kembali melihat sekilas ke belakang, memast
Fabian memandang jalur setapak yang mereka tinggalkan dengan hati-hati. Daun-daun basah yang berserakan di tanah kini menunjukkan jejak kaki yang sengaja mereka ciptakan. Ia melirik Arman yang sedang membenahi tali ranselnya, tampak serius sekaligus gugup.“Sudah cukup?” tanya Fabian pelan, suaranya nyaris tertelan oleh gemerisik angin di antara pepohonan.Arman mengangguk cepat. “Jejaknya terlihat jelas. Kalau mereka mengikuti ini, mereka akan menuju arah yang salah.”Fabian menghela napas, matanya kembali menyisir area di sekitar mereka. Hutan itu terasa mencekam, bukan hanya karena ketenangannya tetapi juga ancaman yang mengejar di belakang mereka.“Janeetha dan Maria harus punya waktu untuk mencapai desa,” gumam Fabian, seperti hendak meyakinkan dirinya sendiri. “Semoga trik ini berhasil.”Arman menepuk bahu Fabian. “Kita hanya perlu menarik perhatian mereka cukup lama. Kalau kita tetap di jalur ini, mereka pasti akan mengira kita bersama Janeetha.”Fabian mengangguk, meskipun ras
Suara deru mesin mendekat dengan cepat, membuat jantung Janeetha berdegup semakin kencang. Di sudut gudang yang gelap, ia memeluk lututnya erat-erat, berusaha mengendalikan napas agar tidak terlalu keras terdengar. Maria, di sisi lain, berdiri diam seperti patung di dekat jendela kecil, mengintip ke luar.“Mereka berhenti,” bisik Maria dengan nada tegang, nyaris tidak terdengar.Janeetha mendongak. “Berhenti di mana?”Maria tidak menjawab, hanya memberi isyarat agar Janeetha tetap diam.Di luar, suara langkah kaki bergema di antara pepohonan. Beberapa suara samar terdengar, percakapan cepat yang sulit dipahami.“Periksa sekitar sini,” suara seorang pria terdengar lebih jelas, keras dan tegas.Janeetha menahan napas. Ia tahu suara itu. Salah satu anak buah Dikara yang sering datang ke rumah mereka dulu.“Maria…” bisik Janeetha, hampir tidak mampu mengucapkannya.Maria menoleh cepat, menaruh jari telunjuk di bibirnya sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, tatapan tegas itu juga tidak
Mobil yang dikendarai Maria melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan sempit yang semakin dipenuhi pepohonan rindang. Janeetha mencengkeram kursi dengan erat, jantungnya berpacu seirama dengan ketakutan yang menghantuinya.Dari kaca spion, SUV hitam itu tampak semakin mendekat. Mereka tidak main-main.“Maria, mereka hampir mengejar kita!” suara Janeetha bergetar, memecah keheningan mencekam di dalam mobil.“Diam dan pegang erat!” Maria memutar setir dengan keras, memasuki jalanan berbatu yang lebih terpencil. Getaran akibat jalanan yang tidak rata membuat tubuh mereka terguncang.Janeetha memandangi ke belakang lagi. SUV itu tampak melambat sedikit, tetapi masih berada di jalur yang sama.“Berapa jauh lagi kita harus pergi?” tanya Janeetha, panik.Maria tidak menjawab, hanya fokus pada jalanan di depannya.Namun, suara dering ponsel Maria tiba-tiba memecah ketegangan. Janeetha memandang sekilas ke arah layar yang menyala di dashboard.Arman.Maria langsung mengangkat panggilan itu tan
Mobil yang dikendarai Maria melaju tanpa henti selama berjam-jam, melintasi jalanan sepi dan desa-desa kecil yang nyaris kosong. Janeetha memandangi jendela dengan tatapan kosong. Langit mulai terang, tetapi hawa dingin masih terasa menusuk hingga ke tulang.Maria menurunkan kaca jendela sedikit, membiarkan udara pagi masuk ke dalam mobil. “Kita hampir sampai di perbatasan kota kecil. Mungkin kita bisa berhenti sebentar,” ucapnya, memecah keheningan.Janeetha hanya mengangguk pelan. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi, mencoba meredakan rasa gelisah yang menghantui sejak tadi malam. Fabian dan Arman masih belum bisa dihubungi, dan itu semakin membuatnya khawatir.Beberapa menit kemudian, mobil memasuki area pom bensin kecil di pinggir kota. Tempat itu terlihat sepi, hanya ada satu kendaraan lain yang sedang mengisi bahan bakar.“Kita berhenti di sini,” ujar Maria sambil memarkirkan mobil di dekat mesin pengisian. “Aku akan mengisi bensin. Kau mau sesuatu?”Janeetha menggeleng. “Aku han
Pagi itu, sinar matahari samar-samar menyelinap di balik jendela besar kamar Dikara. Langit masih kelabu, seolah mencerminkan amarah yang membara di dalam dirinya.Setelah selesai menghabiskan sarapan, Dikara menyeka bibirnya dengan lap sebentar sebelum akhirnya pria itu bersiap untuk melakukan pencarian. Rayhan berdiri tegak di sudut ruangan, menanti instruksi berikutnya dengan sedikit cemas. Ia bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara sejak Dikara menerima laporan terakhir tentang keberadaan Janeetha."Apa rencanamu?" tanya Dikara setelah berdiri di dekat Rayhan.Anak buahnya itu berjalan menuju ruang tamu. Di sana, atas meja sudah terbentang sebuah peta.Saat Dikara mendekat, ia dapat melihat banyak titik meras pasa lembaran tersebut. "Jelaskan padaku," ucap Dikara sambil duduk di sofa. "Titik merah otu adalah lokasi yang sudah diperiksa oleh tim kami, Tuan." Rayhan sedikit membungkuk saat menjelaskan.Dikara seketika melihat ke arah Rayhan dengan tatapan merendahka
Dini hari itu terasa lebih dingin dari biasanya. Goyangan pelan di bahu semakin lama semakin terasa, membuat Janeetha terjaga dari tidurnya.“Janeetha,” suara Maria berbisik tetapi terdengar mendesak. “Bangun. Kita harus pergi sekarang.”Janeetha mengerjap berusaha menyesuaikan diri dengan gelapnya kamar, sementara Maria membantunya untuk duduk.“Apa? Berangkat?” tanyanya dengan suara serak.Maria mengangguk. Meski kamar itu temaram, tetapi tetapi dapat memperlihatkan ekspresi serius di wajah wanita itu. “Arman baru saja mengabari. Anak buah Dikara semakin banyak di sekitar sini. Mereka bergerak lebih cepat dari yang kita duga.”Sekejap, kantuk Janeetha hilang sepenuhnya. Rasa cemas muncul begitu saja. “Mereka sudah menemukan kita?”“Belum, belum.” Maria menggeleng berusaha menenangkan. “Karena itu kita harus bergerak lebih cepat dari rencana.”“Fabian dan Arman? Bukankah kita akan menunggu mereka untuk berangkat bersama?” Janeetha mengikuti Maria yang sudah berdiri dari tempat tidur
"Kau pikir aku peduli dengan perhatian?!” Suara Dikara seketika naik satu oktaf membuat Rayhan semakin menciut. Ekspresi wajahnya semakin dingin dengan seringai samar terlukis di bibirnya. “Jika perlu, hancurkan seluruh Ardenton! Aku tak peduli!"Rayhan langsung mengetikkan pesan di ponselnya. "Saya akan sampaikan sekarang juga, Tuan."Dikara menyandarkan kepalanya, memejamkan mata sejenak. Tapi ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik sebelum matanya kembali terbuka, menatap tajam ke arah luar jendela.Janeetha... kau pikir kau bisa lari sejauh ini dariku?Tiba-tiba ponsel Rayhan bergetar. Ia membaca pesan yang masuk dengan cermat sebelum melirik Dikara. "Tuan... mereka melaporkan seseorang yang mencurigakan di penginapan kecil dekat distrik timur. Wanita dengan ciri-ciri yang mirip Nyonya Janeetha."Dikara menoleh, ekspresinya berubah dingin. "Ciri-ciri yang mirip bukan jawaban yang ingin kudengar."Rayhan menelan