Janeetha melangkah menuju meja pendaftaran dengan tangan yang sedikit gemetar. Perasaan gugupnya semakin menjadi-jadi saat ia melihat resepsionis yang tersenyum ramah kepadanya."Selamat siang, Ibu. Apa yang bisa kami bantu?" tanya petugas dengan nada profesional.Janeetha tersenyum kecil, mencoba terlihat tenang. "Saya ingin mendaftar untuk pemeriksaan di poli kandungan."Resepsionis mengangguk dan mulai mengetik sesuatu di komputernya. "Apakah ini kunjungan pertama Anda di sini, Ibu?""Ya," jawab Janeetha cepat. "Ini pertama kali saya datang ke rumah sakit ini.""Baiklah, kalau begitu, tolong isi formulir ini terlebih dahulu." Petugas itu menyerahkan sebuah formulir sederhana beserta pena. "Setelah ini, Anda bisa menuju ke lantai dua, poli kandungan ada di sana."Janeetha mengambil formulir tersebut dengan tangan yang sedikit gemetar. "Terima kasih," katanya pelan, lalu melangkah ke area tunggu untuk mengisinya.Sambil duduk, ia membaca pertanyaan-pertanyaan di formulir itu. Nama, a
Keraguan itu membuatnya kembali tegang. Janeetha tidak pernah mudah ditebak. Dia terlalu pintar untuk wanita yang sering terlihat rapuh. Tapi jika ini benar-benar terjadi... bagaimana Janeetha akan merespons?"Jika benar, maka anak itu adalah anakku maka tidak ada yang bisa mengubah itu." Pria itu mengepalkan jemari di meja.Tapi bayangan lain segera muncul. Apa yang akan terjadi pada hubungan mereka jika ini benar?Dikara tahu bahwa Janeetha tidak akan dengan mudah menyerah, apalagi jika wanita itu merasa dirinya memiliki sesuatu yang lebih besar untuk dilindungi.Dikara berdiri di dekat jendela ruang kerjanya, menatap ke luar dengan tatapan penuh perhitungan.Jemarinya sibuk memutar ponselnya, hingga akhirnya ia kembali menghubungi Rusli dan menempelkan ponsel ke telinganya. Tak butuh waktu lama, suara Rusli terdengar dari seberang.“Halo, Tuan.”Tanpa basa-basi, Dikara langsung bertanya. “Ada perkembangan baru?”Terdengar nada ragu di suara Rusli. “Nyonya Janeetha... sudah masuk ke
Dengan rasa gugup yang luar biasa, Janeetha melangkah cepat menuju kamar kecil.Begitu ia masuk ke salah satu bilik, wanita itu menutup pintu dengan suara pelan, lalu bersandar pada dinding, mencoba mengatur napasnya yang tersengal.Detak jantungnya terasa memburu, dan kepanikannya makin menjadi. Ia memejamkan mata, menguatkan diri."Oke, tenang, Janeetha," bisik Janeetha lirih, suaranya hampir tak terdengar. Tangannya gemetar saat ia menyeka peluh yang mengalir di pelipisnya. "Kau tidak bisa terus begini. Fokus."Janeetha menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Sebaiknya aku segera keluar dan mencari Fabian atau seseorang yang bisa membantu," gumamnya lagi, berusaha memberi sedikit kekuatan pada dirinya sendiri.Saat Janeetha membuka pintu bilik, langkahnya terhenti. Matanya terpaku pada gelang di pergelangan tangannya—sebuah perhiasan elegan yang selama ini tampak indah, tetapi kini terasa seperti belenggu."Gelang ini..." bisiknya pelan, suara kekhawatirannya hamp
Penjaga toko mengangguk, meskipun tampak sedikit bingung. "Tentu saja, Nyonya. Silakan duduk. Akan saya bantu."Penjaga toko mengambil alat pemotong perhiasan kecil dari laci di balik meja. Tangannya bergerak cekatan, tetapi ia sesekali melirik Janeetha dengan rasa ingin tahu. Gelang yang sedikit ketat itu memang membutuhkan usaha lebih untuk dilepaskan."Gelangnya cukup sulit dilepas," gumam penjaga toko, suaranya terdengar sedikit ragu.Ia mulai menggerakkan alat dengan hati-hati, berusaha agar tidak melukai kulit Janeetha. "Kenapa ukurannya seperti ini, Nyonya? Biasanya perhiasan seperti ini dibuat lebih nyaman di pergelangan tangan."Janeetha tersenyum canggung, berusaha menjaga sikap santai meskipun jantungnya masih berdetak kencang. "Ah, itu... Ini hadiah kejutan dari seorang teman," jawabnya cepat. "Sepertinya dia salah mengukur ukuran pergelangan tanganku. Dia tidak tahu ini terlalu kecil."Penjaga toko mengangguk pelan, tampaknya menerima alasan tersebut. Namun, ia tetap mena
"Aku ingin pergi, Fabian," jawab Janeetha tanpa ragu, meski suaranya sedikit gemetar. "Tapi aku tidak mau mengikuti rencana Dikara. Kalau aku pergi, aku harus memastikan aku benar-benar lepas darinya."Fabian mengangguk, menatap meja sambil berpikir keras. "Oke, begini. Kau sudah mengambil langkah besar dengan memberitahuku. Aku akan mencoba mencari rencana pelarian untukmu, tapi kita harus berpikir jauh ke depan. Bagaimana kita bisa tetap berhubungan setelah ini? Aku tidak yakin kau bisa tetap menggunakan ponselmu."Janeetha terdiam, menyadari kebenaran kata-kata Fabian. "Tapi aku tak bisa menghubungi nomor siapapun melalui ponsel ini kecuali Dikara."Fabian berpikir cepat lalu mengutarakan idenya. "Oke, ini yang akan kita lakukan. Setelah ini, kita akan mencari ponsel baru untukmu. Kau bisa menggunakannya hanya untuk menghubungiku atau Maura, dan kau harus menyimpan ponsel lamamu seolah-olah tidak ada yang berubah. Kalau tidak, Dikara mungkin akan curiga lebih cepat."“Tapi aku tida
Rusli melirik ponselnya lagi, mencoba menyelesaikan pekerjaan yang baru saja diterimanya dari Dikara. Namun, ia teringat jika Janeetha sedang berada di toilet.Matanya kembali menatap pintu toilet wanita yang dimasuki Janeetha dan rasa gelisah mulai merayap. Sekilas ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan.Pria itu mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Mungkin dia hanya merasa tidak enak badan. Tapi kenapa lama sekali?"Pikiran itu semakin mengganggu Rusli, lalu mendesah berat.Setelah menunggu beberapa menit lagi tanpa tanda-tanda kemunculan Janeetha, kecurigaan Rusli memuncak."Tidak mungkin," gumamnya. "Dia tidak akan kabur dari sini... kan?"Akhirnya, Rusli memutuskan untuk bertindak. Ia berjalan cepat menuju pintu toilet wanita, matanya menyapu sekitar untuk memastikan tidak ada yang memperhatikannya. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dan masuk ke dalam meskipun itu adalah toilet wanita."Nyonya Janeetha?" panggil Rusli dengan nada tegas, tetapi tidak terlalu keras
Rusli menarik napas panjang dan melirik ke arah jam tangannya. "Baiklah. Kalau begitu, kita tunggu saja hasil tesnya di sini. Jangan ke mana-mana lagi, ya, Nyonya."Janeetha mengangguk, tersenyum kecil untuk meyakinkannya. "Tentu. Aku tidak akan pergi ke mana-mana lagi."Rusli berjalan mundur beberapa langkah, mengambil posisi tak jauh dari Janeetha duduk. Ia masih merasa ada yang tidak beres, tetapi tanpa bukti, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap mengawasi Janeetha.Di dalam hatinya, Rusli berjanji tidak akan lengah lagi, apa pun yang terjadi. "Kalau sampai terjadi sesuatu lagi, keluargaku bisa habis di tangan Tuan Dikara." pikirnya.Janeetha menatap Rusli . Pria itu tampak lebih tenang sekarang, tetapi ada sesuatu di wajahnya—jejak keraguan atau mungkin kelelahan yang mendalam. Ia merasa ada sesuatu yang belum diungkapkan oleh Rusli, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa tanggung jawab pada tugasnya.Setelah beberapa saat hening, Janeetha memberanikan diri bertanya, “Rusli, b
Mata Janeetha melebar."Ha-hamil?" Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Anda yakin, Dokter?"Dokter tertawa kecil melihat ekspresi terkejutnya. "Tentu saja. Tes darah dan pemeriksaan awal kami menunjukkan bahwa Anda sedang hamil. Kemungkinan besar usia kehamilan Anda sekitar enam minggu."Janeetha terdiam, merasa pikirannya berputar-putar dan mendadak rumit. Ini adalah kabar yang tidak pernah ia duga, terutama di tengah semua kekacauan yang sedang terjadi dalam hidupnya.Dokter memperhatikan reaksi Janeetha yang tampak bingung dan tak berkata apapun.Dengan hati-hati dokter tersebut bertanya, "Apakah Anda tidak menyadari tanda-tandanya sebelumnya? Misalnya, telat datang bulan atau gejala lain seperti mual-mual?"Janeetha menggeleng pelan, masih mencoba mencerna kabar ini. "Saya... saya tidak memperhatikannya, Dokter. Mungkin karena banyak hal yang sedang saya pikirkan akhir-akhir ini."Dokter mengangguk, memahami. "Itu bisa dimaklumi. Tapi, untuk memastikan
Rusli terdiam. Ancaman itu bukan hal baru, tapi kali ini ada intensitas yang berbeda. Ia tahu Dikara sedang berada di puncak amarah. Namun ia juga tahu atasannya mulai masuk dalam titik lemahnya.Kehilangan Janeetha adalah titik lemah pria itu.“Baik, Tuan,” jawab Rusli akhirnya, memilih untuk terdengar pasrah. “Saya akan mempercepat semuanya.”“Sudah seharusnya!” sahut Dikara sinis. “Dan pantau setiap langkah Fabian! Aku ingin tahu siapa yang ia temui, di mana dia berada, dan apa yang dia lakukan setiap detiknya. Jika kau menemukan apa pun yang mencurigakan, laporkan langsung padaku!”“Saya mengerti, Tuan.”Dikara memutus sambungan tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. Ia kembali duduk dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Fabian bukan hanya ancaman, tapi juga penghinaan langsung pada otoritasnya.Di sisi lain, Rusli duduk di kursi mobilnya, ponsel masih berada di tangannya. Ia menghela napas panjang, merasa semakin terjebak di antara kesetiaannya pada Dikara dan keinginannya untuk memb
BAB 114Suara napas Dikara di ujung telepon terdengar pelan tapi Fadil yakin pria itu tidaklah sedang baik-baik saja.“Apa yang kau maksud dengan menghilang, Fadil?!” Dikara nyaris membentak membuat siapa pun akan merasa terancam.“Saya … hanya menemukan gelang Nyonya di spa, tapi Nyonya sudah tidak ada di sana,” jawab Fadil dengan hati-hati. “Rekaman CCTV menunjukkan bahwa dia keluar melalui pintu belakang hotel. Dia naik mobil hitam bersama seseorang.”Keheningan yang menyusul membuat Fadil menelan ludah dengan gugup. Ia tahu Dikara tidak akan menerima kabar ini dengan baik. Ia bahkan mulai sibuk memikirkan nasibnya ke depan.“Plat nomor mobil itu?” tanya Dikara akhirnya.“Disamarkan, Tuan,” jawab Fadil. “Namun, saya akan melacaknya. Orang yang bersamanya tampaknya sangat berpengalaman dalam membantu pelarian seperti ini.”Dikara terkekeh pelan membuat Fadil semakin resah.“Kirimkan semua rekaman itu padaku sekarang!” perintah pria itu terdengar tak ingin dibantah.“Saya sudah mengu
Janeetha memandang ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu jalan yang berkelebat. “Aku hanya ingin jauh dari dia. Itu saja.”“Terkadang, menjauh saja tidak cukup,” kata Arman, nadanya serius. “Kau harus memastikan dia tidak bisa menemukanmu lagi. Itu artinya, kau juga harus menghilangkan apa pun yang bisa mengikatmu padanya.”Kata-kata itu membuat Janeetha terdiam. Ia tahu maksud Arman, tapi memutuskan semua itu tidaklah mudah. Ada terlalu banyak hal yang masih menahannya, meskipun ia tahu semua itu juga yang membuatnya terjebak.Mobil melambat saat memasuki sebuah gang kecil. Arman menghentikan kendaraan dan mematikan mesin. “Kita ganti mobil di sini,” ujarnya singkat.Janeetha menatapnya dengan cemas. “Kenapa? Apa ada sesuatu yang salah?”“Tidak,” jawab Arman sambil turun dari mobil. “Ini hanya langkah pengamanan. Fabian memastikan kita tidak meninggalkan jejak.”Janeetha turun dari mobil, memeluk tas kecilnya erat-erat. Di depan mereka, sebuah mobil lain sudah menunggu. Seorang wa
Rusli merasa seluruh tubuhnya membeku.Namun, sebelum ia bisa menjawab, Dikara melanjutkan, “Dengar, Rusli. Aku sudah cukup lama bekerja denganmu untuk tahu kapan kau mulai berbohong. Jika kau menyembunyikan apa pun dariku…”Pria itu sengaja berhenti sejenak, agar Rusli benar-benar memikirkan kembali tindakannya. “Aku sendiri yang akan memastikan bahwa kau menyesali keputusan ini.”“Tentu tidak, Tuan,” jawab Rusli cepat, mencoba menenangkan situasi. “Saya hanya mencoba melindungi kepentingan Anda.”“Kalau begitu, buktikan!” sahut Dikara dingin. “Kau punya waktu sampai tengah hari untuk membawa laporan tentang Fabian dan rekaman yang kuminta. Kalau tidak…” Dikara tidak melanjutkan kalimatnya, tetapi ancamannya jelas terasa.“Saya mengerti, Tuan,” balas Rusli dengan nada patuh.Sambungan telepon pun terputus, meninggalkan Rusli dalam diam. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu Dikara semakin curiga, dan waktunya untuk membantu Janeetha semakin sed
Hingga akhirnya saat pintu itu terbuka, udara dingin dari luar langsung menyambutnya.Janeetha sempat terdiam sepersekian detik menikmati aroma udara kebebasan lalu bergegas keluar melangkah keluar. Rasanya, dadanya ingin meledak saat kakinya melewati pintu dan merasakan kebebasan kecil untuk pertama kalinya. Namun, ia tahu ini baru permulaan.Di kejauhan, sebuah mobil hitam dengan kaca gelap menunggunya. Sopirnya mengangguk cepat begitu melihat Janeetha.Saat kaca jendela bagian supir turun, pria itu berkata, “Cepat masuk!”Tanpa ragu, Janeetha mempercepat langkahnya dan bergegas masuk ke dalam mobil, menutup pintu di belakangnya.Mobil pun mulai bergerak. Janeetha menatap keluar jendela, menyaksikan hotel itu menjauh.Rasa haru dan bahagia begitu membuncah menyesakkan dadanya hingga akhirnya air mata merebak di pelupuk mata wanita itu. Ia bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan agar isakannya tidak keluar.Supi
Pagi hari di hotel itu tenang.Namun, bagi Janeetha, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti berjalan di seutas tali yang berada di atas lautan api.Semalam, ia tak dapat memejamkan matanya dengan tenang karena terlalu bersemangat sekaligus khawatir.Tak ingin membuang waktu, Janeetha bergegas keluar dari kamarnya dan turun. Ia mengenakan gaun ringan berwarna pastel, dengan tas kecil yang tersampir di pundaknya.Penampilannya memang terlihat santai, tetapi hatinya tidak tenang.Suara langkah kakinya yang beradu dengan lantai marmer di lorong menggema, mengiringi jantungnya yang berdetak cukup kencang.Di dalam lift menuju spa, Janeetha mengatur napasnya, mencoba menenangkan debaran di dada. Ia tahu bahwa setiap detik pagi ini penting, dan ia harus memanfaatkan kesempatan yang ada.Ketika pintu lift terbuka, aroma terapi lavender langsung menyambutJaneetha. Musik lembut mengalun di latar belakang, memberikan ilusi ketenangan yang
Dikara duduk di kursi besar di ruang kerja hotelnya. Pria itu sedang membaca laporan yang dikirim oleh beberapa orang suruhannya yang mengikuti Janeetha.Mata hitamnya menelusuri setiap detail dalam laporan itu, mencoba menemukan sesuatu yang luput dari perhatian. Sejauh ini, tidak ada gerakan mencurigakan dari Janeetha. Ia tetap berada di hotel, berjalan-jalan di area sekitar tanpa menunjukkan tanda-tanda ingin kabur.Namun, rasa lega yang seharusnya muncul malah tenggelam dalam pusaran rasa tidak puas yang semakin dalam.Dikara meletakkan ponselnya ke atas meja dengan gerakan kasar, suara benda itu menyentak keheningan ruangan. Ia menyandarkan punggung ke kursi, tetapi bukannya merasa nyaman, tubuhnya terasa semakin tegang.Tatapannya kosong, terpaku pada sesuatu yang tak terlihat di depan sana. Pikirannya berputar begitu cepat, seperti mesin yang tak pernah berhenti bekerja, hingga dada terasa sesak.“Kenapa rasanya semua ini masih salah?” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kep
BAB 108 - "Langkah di Bawah Bayang-Bayang"Dingin malam menyentuh kulit Janeetha saat ia turun dari taksi. Matanya mengamati hotel mewah yang menjulang di hadapannya—tempat yang telah dipesankan Rusli untuknya.Pilihannya tampak disengaja, hotel ini memiliki keamanan tinggi, membuat siapa pun sulit bertindak ceroboh. Namun, Janeetha tahu, di balik kenyamanan ini, Dikara tetap menebarkan bayang-bayangnya.Janeetha melangkah masuk ke lobi hotel dengan langkah percaya diri, meski hatinya dipenuhi ketegangan. Aroma wangi kayu cendana memenuhi udara, bercampur dengan keheningan khas hotel bintang lima. Seorang resepsionis wanita menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat malam, Nyonya. Apa yang bisa kami bantu?”Janeetha menyerahkan dokumen yang telah diberikan Rusli kepadanya. “Saya ingin check-in. Nama saya sudah terdaftar di bawah reservasi.”“Baik, Nyonya. Sebentar ya,” jawab resepsionis dengan sopan, mengetik cepat di komputer.Janeetha mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencoba
Malam semakin larut, tetapi Dikara tetap terjaga. Ia duduk dalam kegelapan kamar hotelnya, hanya diterangi oleh lampu-lampu kota yang redup dari balik jendela besar yang tirainya sengaja ia biarkan terbuka. Tatapannya kosong, mengarah ke panorama malam yang tak memberikan ketenangan apa pun pada pikirannya.Segelas whiskey di tangan Dikara kini tinggal separuh. Ia menyesapnya perlahan, merasakan panasnya mengalir di tenggorokan, tetapi itu tak cukup untuk mengusir rasa gelisah yang terus membakar pikirannya.Pikirannya tertuju pada Janeetha. Ia tahu, saat ini wanita itu masih berada di atas pesawat, menuju Ardenton dalam penerbangan panjang yang melelahkan."Dia pasti merasa bosan sendirian di pesawat," gumam Dikara pelan. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi senyum itu segera pudar, tergantikan oleh ekspresi masam."Astaga, aku bertingkah seperti orang bodoh," desisnya sambil mendecak keras. Ia memalingkan wajahnya ke arah meja kecil di dekat tempat tidurnya, di mana ponseln