"Kau suka?" tanya Dikara dengan mata berkilat penuh kesenangan atas reaksi yang diberikan oleh Janeetha. Semuanya begitu indah di mata pria itu."Di-Dikara berhenti..." Janeetha berkata dengan sedikit terbata. Ia berusaha keras mengabaikan rasa nikmat yang menghantamnya bertubi-tubi. "Na-nanti ada yang datang..."Dikara memiringkan kepala, senyum tipisnya mengembang. Tatapan matanya tetap tajam, penuh intensitas yang membuat Janeetha semakin gelisah."Ada yang datang?" ulangnya dengan suara serak, nyaris seperti bisikan. "Siapa yang berani mengganggu kita di sini?"Janeetha mencoba mendorong dada suaminya, tetapi tubuhnya tetap terkunci oleh posisi Dikara yang tidak memberinya ruang untuk bergerak."Aku serius…" Suara Janeetha bergetar. "Bagaimana kalau pelayan—"Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Dikara menunduk lebih dekat, jarak di antara mereka semakin kecil."Tak ada seorang pun yang akan mengganggu." Pria itu berkata dengan lembut tetapi penuh penekanan. "Ini tempatku. Aturank
Dikara memutar kran bathtub hingga aliran air berhenti. Suara gemericik yang memenuhi kamar mandi berganti menjadi keheningan.Ia berdiri tegak, air mengalir dari rambutnya yang basah, menetes turun ke wajah dan tubuhnya yang terbalut pakaian basah kuyup.Janeetha menatapnya dalam diam, terjebak dalam perasaan yang campur aduk.Ada sesuatu dalam cara Dikara berdiri—mantap, penuh kendali—yang membuatnya tak mampu memalingkan mata.Setiap tetes air yang meluncur di sepanjang rahang tajam suaminya, hingga menyentuh kerah bajunya yang melekat erat pada tubuhnya, seolah mempertegas kehadirannya yang dominan di ruangan itu.Dikara menangkap pandangan Janeetha, menyadari bahwa istrinya memperhatikannya.Senyuman kecil terulas di sudut bibirnya, samar namun jelas menyiratkan rasa puas. "Kau begitu terpesona, ya?" ujarnya dengan nada rendah, penuh percaya diri.Janeetha tersentak, pipinya langsung memerah. "Ti-tidak... aku hanya..." Ia kehilangan kata-kata, tubuhnya menegang saat Dikara mendek
Tangan Dikara kembali bergerak. Kali ini, tubuh bagian atas Janeetha yang menjadi sasarannya. Denga lihai dan penu keahlian, ia memberikan pelayanan di atas sana hingga Janeetha melengkungkan punggung begitu saja.Seringai tipis Dikara terulas melihat rekasi istrinya. Kedua tangannya semakin bersemangat sementara bibirnya pun kembali menyerang bibir milik wanita itu.Setelah puas, satu tangan Dikara turun menyusuri perut secara perlahan hingga kembali bertemu dengan pusat tubuh Janeetha dan kembali bekerja di sana.“Di-Dikara…”“Hmm, panggil terus, Jani. Seperti itu…” Sementara satu tangan Dikara berusaha menurunkan celana yang ia pakai dengan cepat.Merasa istrinya telah siap, Dikara tanpa ragu segera memposisikan diri dan menyatukan tubuh mereka hingga Janeetha kembali memekikkan namanya.***Janeetha membuka matanya perlahan, menyesuaikan diri dengan suasana kamar yang remang-remang. Lampu-lampu gantung memberikan kilauan lembut, sementara keheningan mendominasi ruang besar itu. Te
“Ah, omong-omong. Aku akan keluar kota selama beberapa hari.”Janeetha menoleh cepat, tatapannya dipenuhi rasa terkejut dan waspada."Keluar kota? Untuk apa?" tanyanya, berusaha untuk terdengar tenang daripada perasaannya yang bergejolak.Dikara mengangkat gelas anggur di tangannya, menyesap perlahan sebelum menjawab. "Ada urusan bisnis yang harus kuselesaikan. Penting."Mata Janeetha menelusuri wajah suaminya, mencari tanda-tanda lebih dari sekadar urusan pekerjaan. "Berapa lama kau akan pergi?"Satu alis Dikara terangkat. “Kenapa? Kau sudah rindu padaku?”Bibir Janeetha seketika mengerucut, membuat spontan pria itu terkekeh pelan. “Aku belum tahu pasti. Tapi sepertinya cukup lama, karena urusannya cukup berat.”“Kemana?” Janeetha tak dapat menghentikan rasa penasarannya. Semakin jauh suaminya pergi , semakin lama waktu yang akan ditempuh bukan?Dikara tersenyum tipis, senyum yang lebih terasa sebagai peringatan daripada penenang. "Suatu tempat. Tapi jangan khawatir, semuanya akan di
“Lihatlah, kau bahkan tak menyadari aku sudah berada di dekatmu.” Dikara menatap lekat dan dalam Janeetha.Janeetha menelan ludah dengan gugup, tubuhnya membeku di tempat. Kehangatan napas Dikara di telinganya membuatnya merasa semakin terjebak. Ia berusaha menjauh, tapi tubuhnya seperti terpaku oleh tatapan pria itu.“Dikara, jangan bercanda seperti itu,” kata Janeetha dengan suara yang lebih pelan dari yang ia harapkan, seolah kekuatan untuk berbicara lenyap.Dikara hanya tersenyum kecil, sebuah senyuman yang memiliki makna lebih dari sekadar candaan. “Siapa bilang aku bercanda, hm?”Tangannya terulur dan menyentuh dagu Janeetha, memiringkan wajahnya hingga tatapan mereka bertemu. “Kau selalu memikirkan sesuatu yang ingin kau sembunyikan dariku, tapi ekspresimu tidak pernah bisa menipu, Janeetha.”“A-aku tidak memikirkan apa pun,” jawab Janeetha buru-buru, mencoba melawan efek memabukkan dari tatapan suaminya. Ia menggigit bibirnya, menyadari betapa lemahnya ia di hadapan pria ini.
Entah mengapa, Janeetha melihat kilat yang berbeda dari Dikara malam itu. Seperti ... menghapar sesuatu padanya. Bukan, bukan karena ingin Janeetha tunduk padanya. Tetapi lebih pada sesuatu yang dibutuhkan oleh seseorang.Jemari Janeetha bergerak begitu saja, mengelus rahang kokoh suaminya, menatapnya dengan lembut. Jauh di dalam hatinya, ia berusaha meyakinkan dirinya jika Dikara memiliki sisi lain di luar yang selalu ditampakkan.Dikara terdiam, matanya sedikit melembut ketika jemari Janeetha menyentuh rahangnya. Sentuhan itu sederhana, namun membawa nuansa yang berbeda, sesuatu yang jarang ia dapatkan.Sejenak, sorot tajam di matanya meredup, digantikan oleh sesuatu yang lebih dalam, lebih jujur.“Kau… sedang apa, Janeetha?” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan, tetapi nada itu mengandung keheranan dan mungkin—keraguan.Ia tidak terbiasa dengan kelembutan seperti ini. Apalagi dari istrinya yang biasanya penuh perlawanan atau pasrah dalam keterpaksaan.Janeetha tidak segera menjaw
Janeetha membuka matanya perlahan, merasa sedikit segar meski perasaan aneh masih menyelimuti hatinya. Ia melirik ke sisi tempat tidur yang kosong, dan seketika mengingat percakapan semalam.‘Dikara benar-benar sudah pergi.’ Senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Mungkin akhirnya ia bisa bernapas lebih lega selama beberapa hari ke depan.Dengan semangat yang jarang ia rasakan akhir-akhir ini, Janeetha segera bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajah dan membersihkan dirinya dengan cepat. Air hangat yang mengalir di kulitnya seperti memberikan energi baru. Setelah selesai, ia mengenakan pakaian yang nyaman—sebuah gaun sederhana dengan warna pastel lembut—dan menata rambutnya seadanya.Janeetha berdiri di depan cermin sesaat, menatap bayangannya sendiri. Ada sedikit harapan yang muncul di matanya, sesuatu yang sudah lama hilang.Hari ini, Janeetha memutuskan untuk tidak hanya duduk diam di kamar. Ia ingin melihat lebih banyak tentang mansion ini, ingin me
Janeetha terlonjak, hampir menjatuhkan gagang telepon. Ia berbalik perlahan, dan di sana berdiri Rusli, menatapnya dengan ekspresi netral tetapi penuh pengawasan. Dengan segera ia meletakkan kembali gagan telepon yang ia pegang.“Rusli…apa yang…” Janeetha menjeda, mengurungkan pertanyaan yang akan ia lontarkan. “Dikara menyuruhmu ke sini?”Rusli mengangguk sekilas. “Ya. Selama Tuan Dikara tak ada, saya akan di sini bersama Anda.”Janeetha menghela napas panjang. Ini tidak akan mudah. “Apa ini tidak terlalu berlebihan?”“Nyonya ingin menghubungi seseorang?” Rusli memutuskan untuk mengakhiri basa basi mereka."Aku... aku ingin menghubungi keluargaku," jawab Janeetha, berusaha terdengar biasa. Rusli mengerutkan kening. "Apakah Tuan Dikara sudah memberikan izin pada Nyonya untuk menggunakan telepon rumah?" Kata-kata itu membuat Janeetha kehilangan kata-kata. Hatinya berdegup kencang, tetapi ia tahu tidak bisa menunjukkan kelemahannya. "Aku hanya ingin memastikan orang tuaku baik-baik
Janeetha memandang ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu jalan yang berkelebat. “Aku hanya ingin jauh dari dia. Itu saja.”“Terkadang, menjauh saja tidak cukup,” kata Arman, nadanya serius. “Kau harus memastikan dia tidak bisa menemukanmu lagi. Itu artinya, kau juga harus menghilangkan apa pun yang bisa mengikatmu padanya.”Kata-kata itu membuat Janeetha terdiam. Ia tahu maksud Arman, tapi memutuskan semua itu tidaklah mudah. Ada terlalu banyak hal yang masih menahannya, meskipun ia tahu semua itu juga yang membuatnya terjebak.Mobil melambat saat memasuki sebuah gang kecil. Arman menghentikan kendaraan dan mematikan mesin. “Kita ganti mobil di sini,” ujarnya singkat.Janeetha menatapnya dengan cemas. “Kenapa? Apa ada sesuatu yang salah?”“Tidak,” jawab Arman sambil turun dari mobil. “Ini hanya langkah pengamanan. Fabian memastikan kita tidak meninggalkan jejak.”Janeetha turun dari mobil, memeluk tas kecilnya erat-erat. Di depan mereka, sebuah mobil lain sudah menunggu. Seorang wa
Rusli merasa seluruh tubuhnya membeku.Namun, sebelum ia bisa menjawab, Dikara melanjutkan, “Dengar, Rusli. Aku sudah cukup lama bekerja denganmu untuk tahu kapan kau mulai berbohong. Jika kau menyembunyikan apa pun dariku…”Pria itu sengaja berhenti sejenak, agar Rusli benar-benar memikirkan kembali tindakannya. “Aku sendiri yang akan memastikan bahwa kau menyesali keputusan ini.”“Tentu tidak, Tuan,” jawab Rusli cepat, mencoba menenangkan situasi. “Saya hanya mencoba melindungi kepentingan Anda.”“Kalau begitu, buktikan!” sahut Dikara dingin. “Kau punya waktu sampai tengah hari untuk membawa laporan tentang Fabian dan rekaman yang kuminta. Kalau tidak…” Dikara tidak melanjutkan kalimatnya, tetapi ancamannya jelas terasa.“Saya mengerti, Tuan,” balas Rusli dengan nada patuh.Sambungan telepon pun terputus, meninggalkan Rusli dalam diam. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu Dikara semakin curiga, dan waktunya untuk membantu Janeetha semakin sed
Hingga akhirnya saat pintu itu terbuka, udara dingin dari luar langsung menyambutnya.Janeetha sempat terdiam sepersekian detik menikmati aroma udara kebebasan lalu bergegas keluar melangkah keluar. Rasanya, dadanya ingin meledak saat kakinya melewati pintu dan merasakan kebebasan kecil untuk pertama kalinya. Namun, ia tahu ini baru permulaan.Di kejauhan, sebuah mobil hitam dengan kaca gelap menunggunya. Sopirnya mengangguk cepat begitu melihat Janeetha.Saat kaca jendela bagian supir turun, pria itu berkata, “Cepat masuk!”Tanpa ragu, Janeetha mempercepat langkahnya dan bergegas masuk ke dalam mobil, menutup pintu di belakangnya.Mobil pun mulai bergerak. Janeetha menatap keluar jendela, menyaksikan hotel itu menjauh.Rasa haru dan bahagia begitu membuncah menyesakkan dadanya hingga akhirnya air mata merebak di pelupuk mata wanita itu. Ia bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan agar isakannya tidak keluar.Supi
Pagi hari di hotel itu tenang.Namun, bagi Janeetha, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti berjalan di seutas tali yang berada di atas lautan api.Semalam, ia tak dapat memejamkan matanya dengan tenang karena terlalu bersemangat sekaligus khawatir.Tak ingin membuang waktu, Janeetha bergegas keluar dari kamarnya dan turun. Ia mengenakan gaun ringan berwarna pastel, dengan tas kecil yang tersampir di pundaknya.Penampilannya memang terlihat santai, tetapi hatinya tidak tenang.Suara langkah kakinya yang beradu dengan lantai marmer di lorong menggema, mengiringi jantungnya yang berdetak cukup kencang.Di dalam lift menuju spa, Janeetha mengatur napasnya, mencoba menenangkan debaran di dada. Ia tahu bahwa setiap detik pagi ini penting, dan ia harus memanfaatkan kesempatan yang ada.Ketika pintu lift terbuka, aroma terapi lavender langsung menyambutJaneetha. Musik lembut mengalun di latar belakang, memberikan ilusi ketenangan yang
Dikara duduk di kursi besar di ruang kerja hotelnya. Pria itu sedang membaca laporan yang dikirim oleh beberapa orang suruhannya yang mengikuti Janeetha.Mata hitamnya menelusuri setiap detail dalam laporan itu, mencoba menemukan sesuatu yang luput dari perhatian. Sejauh ini, tidak ada gerakan mencurigakan dari Janeetha. Ia tetap berada di hotel, berjalan-jalan di area sekitar tanpa menunjukkan tanda-tanda ingin kabur.Namun, rasa lega yang seharusnya muncul malah tenggelam dalam pusaran rasa tidak puas yang semakin dalam.Dikara meletakkan ponselnya ke atas meja dengan gerakan kasar, suara benda itu menyentak keheningan ruangan. Ia menyandarkan punggung ke kursi, tetapi bukannya merasa nyaman, tubuhnya terasa semakin tegang.Tatapannya kosong, terpaku pada sesuatu yang tak terlihat di depan sana. Pikirannya berputar begitu cepat, seperti mesin yang tak pernah berhenti bekerja, hingga dada terasa sesak.“Kenapa rasanya semua ini masih salah?” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kep
BAB 108 - "Langkah di Bawah Bayang-Bayang"Dingin malam menyentuh kulit Janeetha saat ia turun dari taksi. Matanya mengamati hotel mewah yang menjulang di hadapannya—tempat yang telah dipesankan Rusli untuknya.Pilihannya tampak disengaja, hotel ini memiliki keamanan tinggi, membuat siapa pun sulit bertindak ceroboh. Namun, Janeetha tahu, di balik kenyamanan ini, Dikara tetap menebarkan bayang-bayangnya.Janeetha melangkah masuk ke lobi hotel dengan langkah percaya diri, meski hatinya dipenuhi ketegangan. Aroma wangi kayu cendana memenuhi udara, bercampur dengan keheningan khas hotel bintang lima. Seorang resepsionis wanita menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat malam, Nyonya. Apa yang bisa kami bantu?”Janeetha menyerahkan dokumen yang telah diberikan Rusli kepadanya. “Saya ingin check-in. Nama saya sudah terdaftar di bawah reservasi.”“Baik, Nyonya. Sebentar ya,” jawab resepsionis dengan sopan, mengetik cepat di komputer.Janeetha mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencoba
Malam semakin larut, tetapi Dikara tetap terjaga. Ia duduk dalam kegelapan kamar hotelnya, hanya diterangi oleh lampu-lampu kota yang redup dari balik jendela besar yang tirainya sengaja ia biarkan terbuka. Tatapannya kosong, mengarah ke panorama malam yang tak memberikan ketenangan apa pun pada pikirannya.Segelas whiskey di tangan Dikara kini tinggal separuh. Ia menyesapnya perlahan, merasakan panasnya mengalir di tenggorokan, tetapi itu tak cukup untuk mengusir rasa gelisah yang terus membakar pikirannya.Pikirannya tertuju pada Janeetha. Ia tahu, saat ini wanita itu masih berada di atas pesawat, menuju Ardenton dalam penerbangan panjang yang melelahkan."Dia pasti merasa bosan sendirian di pesawat," gumam Dikara pelan. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi senyum itu segera pudar, tergantikan oleh ekspresi masam."Astaga, aku bertingkah seperti orang bodoh," desisnya sambil mendecak keras. Ia memalingkan wajahnya ke arah meja kecil di dekat tempat tidurnya, di mana ponseln
Dikara duduk di kursi kulit hitam yang mewah di sudut suite hotelnya. Pemandangan kota yang gemerlap terbentang di balik dinding kaca, tetapi pikirannya berada di tempat lain. Jemarinya menggenggam ponsel dengan erat, membaca ulang pesan singkat yang baru saja diterimanya.[Pesawat Nyonya sudah take off, Tuan.]Pria itu mengetukkan jarinya ke meja dengan ritme pelan namun teratur, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali pikirannya terganggu.“Kenapa rasanya ada yang salah?” gumamnya pelan.Dikara mencoba membuang pikiran itu dengan meminum kopi hitam di depannya. Rasanya pahit, seperti perasaannya saat ini.Ia sudah memastikan semuanya terkendali—menempatkan orang-orangnya di dekat Janeetha, memastikan keberadaannya diketahui setiap saat, bahkan menyiapkan rencana cadangan.Namun, tetap saja, hati pria itu terasa gelisah.Pikirannya mulai berputar. Bagaimana jika Janeetha benar-benar mencoba melarikan diri darinya? Bagaimana jika...“Tidak,” gumamnya lagi, lebih keras kali ini, seaka
Perjalanan menuju bandara terasa begitu panjang bagi Janeetha, meskipun jam di dashboard mobil menunjukkan waktu terus bergulir. Jalanan sore itu cukup lengang, tetapi di dalam kendaraan, suasana penuh dengan ketegangan yang tak terlihat.Janeetha duduk di kursi belakang, kedua tangannya menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. Matanya melirik keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh.Rusli yang berada di belakang kemudi mengamati gerak gerik Janeetha beberapa kali melalui kaca spion tengah. Pria itu pun berusaha memecah keheningan.“Nyonya, tenang saja. Saya sudah memastikan rencana ini berjalan dengan baik,” ucapnya, penuh keyakinan.Janeetha mengangguk kecil, tetapi dirinya tetap merasa tegang. Ia tahu Rusli sedang berusaha menenangkannya, tetapi kata-kata pria itu hanya sedikit mengurangi kecemasan yang melingkupi dirinya.“Tapi,” lanjut Rusli, “Akan ada beberapa orang suruhan Tuan Dikara yang ikut dalam penerbangan Anda. Mereka akan mengawasi setiap gerakan Anda di Arden