Dia juga jadi tak punya hak untuk marah di hadapan karyawan yang lain saat istrinya dibawa pergi pria lain.Semua orang di kantor sudah mengenal Lena meski tak secara langsung. Dan mereka tahu, bahwa Lena lah calon istri dari bos mereka. Hingga jika dia mengakui Dwi sebagai istri, maka imagenya akan buruk sebagai seorang suami yang berselingkuh. Juga Dwi yang akan merasa malu.Dimas tak punya pilihan lain selain bersabar. Dia harus mendapatkan hati istrinya secara perlahan.Dengan langkah tanpa semangat, Dimas kembali ke ruangannya. *Sore hari tiba. Ponsel Dimas berdering. Ada nama Lena di sana. Dimas benar-benar muak karena gadis itu terus menerus menghubunginya. Lena tetap tak terima kalau Dimas sudah memutuskan hubungan dengannya.Dimas memilih mengabaikannya dan membereskan tas kerjanya. Kemudian keluar ruangan untuk segera pulang."Ayo pulang!" Dimas berhenti di meja Dwi yang juga telah bersiap-siap.Dwi mengangguk. Tak ingin lagi mengulang kembali kejadian kemarin. Bagaimanapu
Keesokan harinya Dwi tidak melihat tanda-tanda kehadiran Arya di kantor. Sepertinya apa yang Dimas ucapkan tidak main-main."Pak Arya tidak masuk, Dwi. Katanya sakit." Salah seorang rekan memberi tahu.Dwi merasa bersalah. Tahu bahwa Arya sakit karena alergi kacang yang mereka makan kemarin.Saat siang, Dwi mengetuk pintu ruangan Dimas."Masuk!" Terdengar suara perintah dari dalam sana.Dengan hati-hati, Dwi membuka pintu dan memasuki ruangan yang nyaman itu. Dimas yang sedang mengecek email-email di laptopnya terkejut. Tak menyangka kalau istrinya akan datang mengunjunginya."Dwi? Udah mau makan, ya?" Dimas langsung melirik arloji di pergelangan tangannya. Dan benar saja, hari sudah siang. Jam makan siang telah datang."Mas Arya benaran sakit, Mas. Pulang kerja nanti, Dwi mau minta izin menjenguk Mas Arya." Dwi langsung pada maksud dan tujuannya."Mas Dimas nanti nggak usah nyariin Dwi. Dwi nggak kabur lagi seperti kemarin."Hati Dimas yang tadinya sudah merasa senang, kini kembali m
Meski tadinya dia mengatakan pada mamanya sudah putus, tapi akhirnya suaminya itu kembali meminta pada mamanya agar merestui kembali hubungan dia. Dengan begitu Dimas bisa memberikan cucu yang sangat di harapkan oleh mamanya.Dwi seperti tak punya harapan lagi. Jadi satu-satunya jalan adalah dengan menjaga jarak dari pria yang masih sah menjadi suaminya itu."Apa yang kamu lakukan, Dimas?" Tiba-tiba pintu terbuka. Dan Lena sudah masuk mendekati mereka.Dwi langsung menepiskan tangan Dimas. Dia tahu, apa pun yang dia lakukan, Dimas pasti akan lebih membela Lena.Dwi menatap tajam ke arah wanita itu, lalu segera keluar dari ruangan Dimas. Dibantingnya pintu untuk melampiaskan kekesalannya.Hatinya ingin menangis. Tapi sangat rugi baginya untuk menangisi pria pengkhianat seperti Dimas.*"Mau apa lagi kamu ke sini?" Dimas langsung bersikap ketus pada Lena. Dia merasa begitu marah karena Dwi akan kembali salah paham padanya. "Apa-apaan kamu, Dim? Ngapain kamu tadi megang-megang dia? Kam
Dwi menatap kembali wajah Dimas. Masih tidak bisa percaya dengan ucapan pria itu. Bisa-bisanya laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya itu melakukan negosiasi dengannya.Apakah itu sungguhan, atau sebuah candaan. Atau mungkin sebuah jebakan agar Dwi terpancing, lalu dengan mudah dapat disalahkan kembali oleh suaminya itu. Dimas bisa saja memutar balikkan fakta yang ada. Menuduh, bahwa Dwi lah yang memiliki afair dengan pria lain hingga sudah sepantasnya dia ceraikan.Bagi Dwi, Dimas merupakan seseorang yang pandai bersilat lidah dan pembohong besar. Dwi tak mau lagi percaya pada ucapannya.Kali ini, Dwi tidak akan terperangkap dalam rencana Dimas. Dwi tetap akan menuntut cerai dengan kasus perselingkuhan. "Ayo! Tunggu apa lagi?" tegas Dimas."Dwi nggak mau! Kenapa nggak makan sama Lena aja tadi? Mau pencitraan di depan Dwi? Maaf, Mas. Dwi udah nggak peduli. Dan jangan harap Dwi masih mau makan bareng mas Dimas!" Dwi berucap tegas.Dimas tampak kecewa. Dia bisa melihat sorot a
"Bukankah orang-orang mengaggap kita ini kakak adik? Kamu sendiri yang mengakui Mas sebagai kakak kamu. Jadi, Mas berhak merangkul dan menunjukkan sikap Mas sebagai seorang kakak!"Dimas tak lagi peduli. Dia kembali menarik Dwi dalam rangkulannya. Dia benar-benar menginginkan Dwi di sisinya saat ini. Meski harus mengakuinya hanya sebagai seorang adik.Dwi ingin berontak, tapi Dimas bersikeras dan tak mau melepaskan."Nurut! Atau Mas bongkar sekalian identitas kita."Hish!Dwi mengentakkan kaki dengan kesal. Tak bisa lagi berbuat apa-apa. Kini dia merasa seperti seorang tawanan di film perang.Dimas kembali tersenyum menang. Meski dengan cara yang jahat, akhirnya pria itu punya kesempatan untuk memeluk istri kecilnya itu.*"Kamu ini, sudah tahu alergi kok makan kacang sih, Arya!" Sonia memarahi anaknya yang sedang terbaring di balik selimut di atas tempat tidur.Arya hanya diam. Tak mungkin dia mengaku pada mamanya bahwa semua dia lakukan hanya demi bisa makan berdua dengan Dwi. Jika
Dwi menundukkan wajah, merasa malu dipandangi oleh Arya seperti itu. Bagaimanapun juga, dirinya masih berstatus sebagai istri orang. Apalagi suaminya sedang berdiri di hadapan mereka.Harusnya ini merupakan kesempatan emas untuk membalaskan sakit hatinya pada Dimas. Membuat Dimas tahu bagaimana rasanya dikhianati dengan bermesraan bersama orang lain. Namun Dwi tak ingin seperti itu. Jika dia melakukannya, itu artinya bahwa dia sama saja dengan pria pengkhianat itu."Udah, Dwi. Kelihatannya Arya baik-baik saja. Kita pulang! Kasihan mama kalau nggak ada kamu." Dimas memotong pembicaraan mereka dan mengajak istrinya untuk tak berlama-lama di sana.Saat ini Dimas merasa begitu gerah dan tak betah berlama-lama untuk menetap di tempat itu. Hati siapa yang tidak hancur ketika melihat istrinya bermesraan dengan laki-laki lain di depan mata kepalanya sendiri, sedangkan dia seperti tak punya hak apa-apa.Ingin sekali rasanya dia mencekik leher dan mencolok mata Arya agar tak bisa memandangi ist
"Baru juga datang. Mbok Asri udah buatin minum tuh. Sebentar lagi aja, ya." Dwi melirik sekilas ke arah Dimas, menunggu keputusan dari suaminya itu."Kasihan Arya, Tante. Dimas dan Dwi nggak mau mengganggu istirahatnya. Biar cepat sembuh." Dimas beralasan.Arya memutar bola mata, mendengar alasan yang dibuat-buat oleh Dimas. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu mulai menyadari, Diam-diam Dimas juga menaruh perasaan pada Dwi."Kalau begitu kita minum di ruang tamu aja.""Oh, boleh, Tante." Dimas tak enak lagi menolak. Lalu memberanikan diri menarik bahu Dwi dan merangkulnya di depan Arya."Yuk, Sayang." Dwi melotot ke arah Dimas. Hanya saja pria yang hatinya sedang berdentam-dentum karena cemburu itu pura-pura tak melihat. Dia harus membuktikan di hadapan Arya, bahwa pernikahannya dengan Dwi masih baik-baik saja.Arya tertunduk lesu. Sepertinya penyakitnya akan bertambah parah melihat kemesraan mereka."Arya kenapa nggak dinikahkan aja, Tante? Biar ada yang ngurus kalau sakit." Dim
Dwi terperanjat mendengar ucapan suaminya. Perkataan Dimas terdengar serius. Membuatnya merasa takut. Jantung Dwi berdebar-debar tak menentu. Pipinya kini terasa panas dan terlihat memerah.Dwi tak menyangka jika suaminya tersinggung dengan ucapannya sore tadi. Pantas saja Dimas langsung terdiam dan tak lagi membela diri. Biasanya dia selalu protes dan mengajak Dwi berdebat jika ada kata-kata Dwi yang salah. "Mas Dimas bicara apa? Memangnya nyelonong masuk ke kamar orang lain itu bukan tindakan dari anak kecil?" Dwi mencoba menepis pikiran buruknya tentang malam pertama.Dwi sudah beranggapan, satu-satunya cara menunjukkan bahwa Dimas bukan anak kecil lagi adalah menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Dan Dwi takut jika harus mendadak seperti ini."Siapa bilang ini kamar orang lain? Ini bukan kamar kamu!" Dimas menjawab datar."Iya, Iya. Dwi sadar. Dwi cuma numpang di sini. Semua yang ada di rumah ini adalah milik Mas Dimas. Puas?" Dwi mengalah. Dia bosan bertengkar terus de
"Kenapa Mama pergi, Sayang? Apa mama masih benci sama Mas?" tanya Dimas ketika melihat ibunya langsung pergi begitu dia baru sampai. Tanpa menyapa apalagi bertanya tentang keadaannya terlebih dahulu."Sudah, Mas. Tidak usah dipikirkan. Ayo kita masuk." Dwi langsung menarik lengan suaminya agar ikut masuk dengannya. "Apa Mas sudah sarapan? Mau Dwi buatin kopi, atau apa?""Sebenarnya belum, sih. Tapi ketika melihat kamu, Mas sudah kenyang.""Ilih, Mas Dimas suka gombal, deh. Jangan-jangan sudah dibuatin sarapan sama Lena tadi, iya kan?" Mengingat nama itu sebenarnya hati Dwi terasa perih, namun nama itu tidak akan bisa dia lupakan begitu saja dari dalam hidupnya."Kok ngomongin dia lagi, sih? Apa Dwi belum bisa percaya seutuhnya sama Mas?""Dwi percaya kok sama Mas. Jika Dwi tidak percaya sama Mas Dimas, untuk apa juga Dwi nyuruh Mas pulang." Dwi meralat kembali ucapannya agar suaminya tidak jadi marah."Eh, suasana rumah kok sepi? Bik Siti kemana?" tanya Dimas begitu menyadari tidak ad
"Ibu!" ucap Rangga ketika memasuki ruangan yang ditempati oleh Ratih. Pria itu mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah wanita paruh baya itu. Raut wajah wanita yang sedang mengenakan busana serba putih itu seperti tidak asing baginya."Kamu mengenal saya?" tanya Ratih dengan penuh tanda tanya. Seingat wanita paruh baya itu, dia tidak pernah mengenal ataupun melihat pemuda yang sedang berada dihadapannya kini."Oh, iya. Saya ingat sekarang. Bukankah Anda itu adalah Bu Ratih, salah satu donatur tetap di Panti Asuhan 'Sahabat Sejati'?" ucap Rangga penuh dengan keyakinan."Benar itu saya. Saya adalah salah satu pemilik dan pengurus yayasan itu. Kamu siapa? Kenapa kamu tahu tentang yayasan itu?" Ratih balik bertanya pada pemuda yang baru saja memasuki ruangannya itu."Oh, perkenalkan. Nama saya Rangga Adiyasa, saya adalah salah satu anak penghuni Panti Asuhan itu tempo dulu. Senang bisa bertemu dengan anda kembali." Dengan ramah, pemuda yang memilik
"Dimas! Dimana kamu? Ayo keluar! Jangan coba-coba sembunyi dariku Dimas!" teriak Lena dari luar sembari menggedor-gedor pintu ruangan yang biasa ditempati oleh Dimas dengan sangat keras. Sudah beberapa hari ini wanita itu datang ke kantor ini untuk mencari keberadaan kekasih hatinya itu dan ingin meminta pertanggung jawaban darinya.Namun sayang, apa yang dia cari tak kunjung ketemu. Bak ditelan bumi, keberadaan Dimas tidak dia ketahui. Yang ada hanya Arya, pemuda yang begitu menyebalkan baginya.Ratih dan Arya yang sedang memeriksa berkas-berkas pekerjaan kantor di dalam ruangan itu sontak terkejut."Siapa itu Arya?" tanya Ratih kepada putra temannya itu."Sepertinya itu suara Lena, Tante.""Kenapa wanita itu bisa bebas berkeliaran di kantor ini?""Dia sudah biasa melakukannya, Tante. Beberapa hari ini saja, dia sudah berkali-kali datang ke sini untuk mencari Dimas.""Kenapa kamu tidak mengusirnya?""Saya sudah mencoba untuk memberinya peringatan, namun wanita itu tidak juga mau meny
Dimas dapat merasakan tentang betapa beratnya kerinduan yang dirasakan oleh istri kecilnya itu. Sebab saat ini Dimas juga merasakan hal yang sama. Tapi, dia tidak bisa berbuat banyak dan segera keluar dari masalah yang sedang menderanya. "Kamu yang sabar ya, Sayang. Mas akan segera membuktikan bahwa Mas tidak pernah berhubungan sejauh yang Lena tuduhkan pada Mas. Kamu percaya kan sama Mas?" Hanya kata-kata itu yang dapat Dimas ucapkan untuk meyakinkan istrinya."Dwi percaya sama Mas Dimas."*Sepanjang malam Dwi tidak bisa tidur memikirkan tentang keadaan suaminya. Sebagai istri, seharusnya saat ini Dwi berada di samping suaminya dan melayani segala kebutuhan Dimas. Dalam hati yang paling dalam, Dwi benar-benar merasa bersalah karena telah menuntut Dimas dengan berlebihan dan memberi sebuah beban yang sangat berat dipundak suaminya itu.Karena tidak bisa tidur, Dwi memutuskan untuk membuat sarapan untuk ibu mertuanya. Dwi harus mencari perhatian dari ibu suaminya itu agar tetap bersi
"Kamu mengenalku?" tanya Dimas heran.Pria yang ada dihadapannya itu tersenyum sinis sembari membuang muka, seperti tak ingin melihat wajah Dimas."Tentu saja aku mengenalmu. Kamu orang yang telah merebut Lena dariku, bukan?"Sontak Dimas terkejut dengan pernyataan pria itu. Dimas merasa khawatir jika akan terjadi selisih paham diantara mereka. Kemudian dia melirik Arya yang berada disampingnya. Dimas curiga bahwa Arya sengaja melakukan semua ini untuk menjebaknya. Agar pria yang tidak dia kenali ini salah sangka dan menghajarnya.'Licik sekali kamu, Arya!' gumam Dimas dalam hati."Tenang saja, Bro. Aku tidak akan berbuat macam-macam terhadapmu. Justru dengan kedatanganmu kesini, akan menguntungkan buatku. Bukankah begitu kawan?" ucap pria itu menatap kearah Arya.Arya tersenyum sembari mengangguk. Membenarkan semua ucapan pria yang bernama Rangga tersebut."Apa maksud kalian?" tanya Dimas semakin tak mengerti. Menatap Arya dan Rangga secara bergantian."Oh, perkenalkan! Saya Rangga,
Dwi yang melihat itu menjadi tak enak hati. Lalu semakin mengeratkan diri dalam pelukan suaminya itu."Dwi cuma bercanda, Sayang. Dwi ke sini sengaja mau ngasi kejutan buat Mas Dimas. Dwi kangen banget sama Mas Dimas," ucap Dwi dengan sangat manja.Hati Dimas terenyuh mendengarnya. Suara manja Dwi membuat wanita itu terlihat begitu menggemaskan."Oh, gitu. Sengaja mau bikin Mas marah, gitu?""Dih. Emang kalau Mas Dimas marah gimana?""Mmm... nantangin, ya?""Emang mau ngapain?"Dimas tersenyum nakal, lalu menarik hidung mancung Dwi dengan gemas."Mas mau ngasi kamu hukuman sampai sore." Dimas langsung menarik tubuh Dwi dan merebahkannya di atas ranjang."Ish, Mas Dimas nakal." Dwi menjerit kecil.Dimas tak peduli, lalu terus mencumbu istrinya dengan semangat."Awas kelewatan, ya. Tepati janji Mas.""Berisik! Pokoknya hukuman kamu sampai sore!"*Sore harinya Dimas dan Dwi turun dari kamar. Setelah menghabiskan waktu seharian, Dwi akhirnya harus pulang. Dimas punya sesuatu untuk dikerj
Dimas terkejut saat mendengar suara yang begitu dia kenal. Merasa tak percaya, pria itu langsung menoleh, lalu berdiri saat mendapati istrinya telah berdiri di sampingnya."Sayang? Kamu di sini?" Dimas menyentuh pundak Dwi. Merasa khawatir, sekaligus senang dengan kehadiran sosok yang begitu dia nantikan.Sementara seseorang yang masih duduk di hadapan mereka memandang keduanya dengan perasaan sedih mendengar ucapan sayang dan juga perhatian yang ditunjukkan Dimas pada istrinya.Ada rasa amarah dan juga cemburu di hati orang itu. Namun tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain mengikhlaskan agar orang-orang yang dia sayang merasa bahagia."Mas Arya ngapain di sini?" Dwi memandang sahabat, yang belakangan sedang menjadi musuh suaminya.Hal itu membuat Dwi merasa khawatir atas pertemuan mereka. Takut kalau keduanya akan kembali bertengkar dan membuat keributan. Dwi takut pertemuan mereka akan menarik perhatian semua orang.Arya tersenyum kaku, lalu bangkit dan menyapa Dwi."Mas ada perl
"Lancang kamu! Tidak punya sopan santun. Seenaknya saja datang dan menuduh saya yang bukan-bukan. Saya tidak akan sudi punya menantu seperti kamu." Mamanya Dimas yang semula mulai luluh dan meminta Dimas bertanggung jawab, kini harus mengurungkan niatnya.Wanita yang selama ini menjadi kekasih anak laki-lakinya itu telah menunjukkan sifat aslinya. Pagi-pagi sekali Lena datang dengan keadaan kacau balau. Bau alkohol dan asap rokok bercampur dan masih bisa tercium oleh siapa pun yang berada dekat dengannya.Sejak tadi malam, Lena memang tidak pulang ke rumahnya. Tentu saja Rangga yang sedang dimabuk cinta tak mungkin begitu saja melepaskannya. Mantan narapidana itu membawanya menginap di apartemen. Tentu saja untuk melayaninya sepanjang malam.Dwi hanya terdiam melihat Lena berteriak-teriak memanggil nama Dimas. Bahkan dia sempat memaki Dwi karena telah merebut Dimas dari dia. Tapi tentu saja mertuanya selalu pasang badan untuk membelanya. Hingga wanita paruh baya itu harus memanggil m
Dimas terbangun dari ranjang hotel saat mendengar bunyi panggilan masuk dari ponselnya. Dimas langsung tersenyum saat melihat nama yang tertera di layar yang sedang menyala itu. Nama seseorang sedang melakukan panggilan video dari aplikasi whatsapp."Pagi, Sayang." Dimas menyapa dengan suara serak khas bangun tidur."Ish, ini udah siang, tau!" Suara Dwi berdecak manja dari seberang sana.Dimas melirik ke arah jam beker di atas nakas. Lalu tertawa kecil saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Hari sudah hampir siang."Iya, iya. Mas kesiangan." Dimas menggaruk rambutnya yang masih acak-acakan."Emang tadi malam tidur jam berapa? Begadang sama siapa?""Nggak ada, Sayang. Mas tidurnya larut karena kepikiran terus sama kamu.""Gombal!"Dimas kembali tertawa."Keenakan ya, mentang-mentang sekarang udah nggak kerja lagi," rajuk Dwi. "Bebas. Nggak perlu lagi bangun pagi.""Eh, kan cuma sementara, Sayang. Kalau nanti Mas ke kantor__.""Barusan Lena datang nyariin Mas!" Bibir D