"Maaf, Dwi. Papa udah nggak ada. Tidak ada gunanya lagi kita lanjutkan pernikahan ini." Bagai tersambar petir hatiku saat mendengar Mas Dimas mengucapkan kata itu. Laki-laki yang baru saja menikahiku dua minggu yang lalu. Kini tepat setelah tahlil malam ketiga berpulangnya mertua laki-lakiku, dia ingin kami berpisah begitu saja."Ma__maksud Mas..., apa? Salah Dwi apa, Mas?" Genangan air telah penuh mengisi rongga di tiap sudut netraku. "Kamu tahu sendiri alasan Mas mau menikahi kamu, kan? Sekarang alasan itu udah nggak ada. Mas udah memenuhi permintaan Papa saat dia masih hidup. Namun Mas juga punya hak mengambil keputusan untuk diri Mas sendiri."Air mataku mengalir deras begitu saja. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Mas Dimas maksudkan. Yang aku tahu kami menikah atas persetujuan kedua belah pihak. Sama sekali tak ada paksaan.Aku memang yatim piatu yang diasuh oleh keluarga Mas Dimas. Papanya yang telah lama menjalin persahabatan dengan ayahku, membuat orang tua Mas Dimas
"Apa Mas menyalahkan Dwi karena kematian Papa?" Aku mencari-cari di mana letak salahku.Mas Dimas memejamkan mata perlahan."Mas ingin jujur sama kamu, Dwi." Pria berperawakan tinggi tegap itu menatapku sendu. "Ada apa?""Mas punya pacar. Dan Mas berniat menikahi Lena."Bibirku bergetar mendengar nama yang dia sebutkan. Selama aku tinggal bersama mereka, tak pernah sekali pun kulihat Mas Dimas membawa atau mengenalkan seorang gadis pada keluarganya. Apa wanita itu baru saja dikenalnya?"Ma__maksud Mas, Mas sudah selingkuh di belakang Dwi?" Aku memberanikan diri bertanya. Tentu saja karena aku merasa punya hak sebagai istrinya."Tidak, Dwi. Sebelum menikah, Mas sudah lama menjalani hubungan dengan Lena. Dan pernikahan kita, hanya keinganan dari papa saja. Mas nggak pernah memiliki perasaan apa-apa sama kamu."Deg!Jantung ini rasa seperti diremas. Tanpa perasaan, dia bilang kalau aku tidak berarti apa pun di hatinya. "Lalu kenapa Mas terima permintaan papa? Kenapa waktu itu tidak men
Aku hanya terdiam menyaksikan mama memarahi mas Dimas habis-habisan. Aku yang sedari kecil hanya menumpang tinggal dengan mereka, merasa tak punya hak suara untuk menengahi perdebatan itu. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menanti dengan pasrah keputusan apa yang mereka ambil untukku.Aku yang tidak punya siapa-siapa lagi ini tak tahu harus ke mana jika harus mengalah dan pergi. Kerabat lain pun tak banyak yang aku kenal. Sementara selama ini, makan dan segala kebutuhanku masih dipenuhi oleh orang-orang di rumah ini.Andai aku mengalah dan angkat kaki dari sini, aku harus ke mana? Pengalaman kerja pun aku belum punya. Tidak mungkin aku membiarkan mas Dimas pergi dari rumahnya sendiri. Laki-laki yang masih sah menjadi suamiku itu pasti semakin membenci keberadaanku.Ya, Allah. Apa yang harus aku lakukan?"Kamu jangan khawatir, Dwi." Mama seperti bisa membaca pikiranku. "Kamu tetap menjadi anak Mama. Kalau Dimas menceraikan kamu, Mama akan mencarikan jodoh lain untuk kamu, dan menye
Kamar kita?Aku menelan ludah saat mendengar kata 'kita'. Barusan saja dia mengajakku berpisah, namun belum sampai satu jam dia langsung mengakuiku lagi sebagai istrinya. Aku tahu. Mas Dimas pasti tidak tega melihat kesedihan mama tadi. Dia pasti ingin menenangkan hati orang tua yang tinggal satu-satunya itu. Nanti saat suasana sudah mulai tenang, suamiku ini pasti akan kembali ke niatan awalnya. Mas Dimas memang anak yang baik bagi orang tuanya.Sayangnya dia bukan suami yang baik... untukku."Iya, Mas." Aku Menurut saja. Toh juga saat ini aku masih istrinya. *"Ma, maafin Dimas, ya." Mas Dimas mulai membujuk mama saat sarapan.Pagi ini mas Dimas sudah berpakaian rapi seperti hendak ke kantor. Sejak papa meninggal hingga hari ini, mas Dimas memang tidak masuk kerja. Jika ada hal yang mendesak, asistennya akan datang dari kantor untuk membawakan berkas.Selama papa jatuh sakit, mas Dimas lah yang menggantikan papa memimpin perusahaan. Karena mas Dimas satu-satunya anak mama dan papa.
"Biarin aja, Dwi. Dimas pasti mau bertemu dengan wanita itu. Mama nggak suka. Kamu yang sabar, ya? Mama benar-benar akan ngasi Dimas pelajaran. Biar jangan kurang ajar jadi suami. Sudah menikah, masih saja kelayapan dengan wanita lain."Aku terdiam. Di satu sisi mama benar. Dan harusnya aku memang sakit hati. Tapi karena belum ada rasa cinta di antara kami, aku tak lagi peduli apa yang ingin dilakukan suamiku.Bahkan jika dia tetap pada keputusannya ingin bercerai, aku juga sudah siap. Hanya saja perasaan itu tak mungkin aku ungkapkan pada mama.Malaikat hidupku ini pasti akan bersedih. Mama pasti tahu, jika nanti bercerai aku pasti akan meninggalkan rumah ini. Tidak mungkin nantinya aku hidup serumah dengan istri barunya mas Dimas. "Mama jangan mikir yang macam-macam lagi ya, Ma. Dwi nggak mau kalau mama sampai sakit." Aku memeluk mama dengan erat."Makasih ya, Sayang. Kamu memang anak mama yang paling pengertian." Mama mengusap bahuku dengan lembut."Mulai saat ini, kamu yang pegan
Lagi-lagi ucapan mas Dimas membuat hatiku bagai tersambar petir. Mataku langsung menghangat saat mendengar pengakuannya. Tanpa perasaan dia mengucapkan hal-hal yang tidak masuk akal. Menganggapku sebagai adik, katanya?Dia bahkan tak pernah sekali pun membantuku mengerjakan PR. Hanya mama dan papa yang dengan setia dan telaten mengajari mata pelajaran yang tidak aku mengerti. Dia bahkan sangat jarang membawaku berkumpul bersama teman-teman yang lain saat mama dan papa berkumpul dengan teman-teman bisnisnya. Mas Dimas tak pernah menganggapku apa pun. Baik sebagai adik, ataupun istrinya.Dia hanya berpikir bahwa aku anak yatim piatu yang diasuh oleh kedua orang tuanya.Aku langsung berdiri agar bisa menjauh dari Mas Dimas. Enggan berlama-lama tuk menatap wajahnya yang tengah memelas."Baik! Dwi akan turuti keinginan Mas."Mas Dimas tampak tersenyum mendengar jawabanku."Mas tahu kamu gadis yang baik, Dwi." Pria tanpa perasaan itu mencoba menyentuh kepalaku, namun dengan cepat aku meng
Tante Sonia dan suaminya sedang berada di luar negeri untuk mengunjungi anaknya yang selama ini kuliah dan langsung bekerja di sana setelah lulus."Iya, Sonia. Tidak apa-apa. Terima kasih untuk doanya." Mama seperti merasa punya teman untuk berbagi.Wajah om Wira juga sangat berduka. Merasa hanya dirinya satu-satunya yang tersisa dari tiga sahabat itu.Setelah mereka duduk dan mulai tenang, aku pergi ke dapur untuk membantu bik Siti menyiapkan minuman dan camilan."Biar Dwi bantu, Bik," ucapku pada wanita tua itu."Biar Bibik aja, Mbak Dwi. Mbak Dwi temenin Ibuk aja," sahut bik Siti merasa segan."Nggak papa, Bik. Mama lagi ngobrol. Dwi bawain minumannya, ya?" "Makasih ya, Mbak." Aku tersenyum. Lalu kembali ke ruang tamu.Kulihat mas Dimas sudah kembali dari kantor. Duduk berdekatan dengan laki-laki yang mungkin seusia dengannya. Pria dewasa itu adalah anak Tante Sonia dan om Wira yang ikut pulang dari luar negeri saat mendengar papa meninggal. Aku dan mas Dimas sama-sama melihat, n
Aku dan mama kembali saling menoleh. Tak menyangka kalau mas Dimas akan bersikap terus terang seperti itu.Selama ini pernikahan kami memang belum diumumkan pada seluruh keluarga dan sahabat. Masih sibuk mengurus papa yang masih sakit, disusul dengan kepergian papa. Hingga belum ada waktu untuk meresmikan atau mengadakan resepsi.Termasuk keluarga om Wira, sahabat papa dan mama yang paling dekat."Lho, kok bisa begitu?" Tante Sonia juga tak kalah kaget."Maaf, Sonia. Mas Wira dan juga Arya. Kejadiannya terlalu mendadak. Ini adalah keinganan almarhum mas Hadi agar anak-anak ini cepat-cepat dinikahkan." Mama memberi penjelasan."Jadi, Dimas menikahi adiknya sendiri?""Bukan begitu, Sonia. Mereka kan tidak ada hubungan darah. Makanya mas Hadi ingin mereka menikah. Biar ada yang jagain Dwi juga, nanti kalau kami sudah nggak ada." Mama seolah mengerti apa yang tante Sonia maksudkan."Wah, curang ini ya, Pa," ledek tante Sonia lagi. "Dulu kan perjanjiannya anak kita akan menikah dengan adik
"Kenapa Mama pergi, Sayang? Apa mama masih benci sama Mas?" tanya Dimas ketika melihat ibunya langsung pergi begitu dia baru sampai. Tanpa menyapa apalagi bertanya tentang keadaannya terlebih dahulu."Sudah, Mas. Tidak usah dipikirkan. Ayo kita masuk." Dwi langsung menarik lengan suaminya agar ikut masuk dengannya. "Apa Mas sudah sarapan? Mau Dwi buatin kopi, atau apa?""Sebenarnya belum, sih. Tapi ketika melihat kamu, Mas sudah kenyang.""Ilih, Mas Dimas suka gombal, deh. Jangan-jangan sudah dibuatin sarapan sama Lena tadi, iya kan?" Mengingat nama itu sebenarnya hati Dwi terasa perih, namun nama itu tidak akan bisa dia lupakan begitu saja dari dalam hidupnya."Kok ngomongin dia lagi, sih? Apa Dwi belum bisa percaya seutuhnya sama Mas?""Dwi percaya kok sama Mas. Jika Dwi tidak percaya sama Mas Dimas, untuk apa juga Dwi nyuruh Mas pulang." Dwi meralat kembali ucapannya agar suaminya tidak jadi marah."Eh, suasana rumah kok sepi? Bik Siti kemana?" tanya Dimas begitu menyadari tidak ad
"Ibu!" ucap Rangga ketika memasuki ruangan yang ditempati oleh Ratih. Pria itu mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah wanita paruh baya itu. Raut wajah wanita yang sedang mengenakan busana serba putih itu seperti tidak asing baginya."Kamu mengenal saya?" tanya Ratih dengan penuh tanda tanya. Seingat wanita paruh baya itu, dia tidak pernah mengenal ataupun melihat pemuda yang sedang berada dihadapannya kini."Oh, iya. Saya ingat sekarang. Bukankah Anda itu adalah Bu Ratih, salah satu donatur tetap di Panti Asuhan 'Sahabat Sejati'?" ucap Rangga penuh dengan keyakinan."Benar itu saya. Saya adalah salah satu pemilik dan pengurus yayasan itu. Kamu siapa? Kenapa kamu tahu tentang yayasan itu?" Ratih balik bertanya pada pemuda yang baru saja memasuki ruangannya itu."Oh, perkenalkan. Nama saya Rangga Adiyasa, saya adalah salah satu anak penghuni Panti Asuhan itu tempo dulu. Senang bisa bertemu dengan anda kembali." Dengan ramah, pemuda yang memilik
"Dimas! Dimana kamu? Ayo keluar! Jangan coba-coba sembunyi dariku Dimas!" teriak Lena dari luar sembari menggedor-gedor pintu ruangan yang biasa ditempati oleh Dimas dengan sangat keras. Sudah beberapa hari ini wanita itu datang ke kantor ini untuk mencari keberadaan kekasih hatinya itu dan ingin meminta pertanggung jawaban darinya.Namun sayang, apa yang dia cari tak kunjung ketemu. Bak ditelan bumi, keberadaan Dimas tidak dia ketahui. Yang ada hanya Arya, pemuda yang begitu menyebalkan baginya.Ratih dan Arya yang sedang memeriksa berkas-berkas pekerjaan kantor di dalam ruangan itu sontak terkejut."Siapa itu Arya?" tanya Ratih kepada putra temannya itu."Sepertinya itu suara Lena, Tante.""Kenapa wanita itu bisa bebas berkeliaran di kantor ini?""Dia sudah biasa melakukannya, Tante. Beberapa hari ini saja, dia sudah berkali-kali datang ke sini untuk mencari Dimas.""Kenapa kamu tidak mengusirnya?""Saya sudah mencoba untuk memberinya peringatan, namun wanita itu tidak juga mau meny
Dimas dapat merasakan tentang betapa beratnya kerinduan yang dirasakan oleh istri kecilnya itu. Sebab saat ini Dimas juga merasakan hal yang sama. Tapi, dia tidak bisa berbuat banyak dan segera keluar dari masalah yang sedang menderanya. "Kamu yang sabar ya, Sayang. Mas akan segera membuktikan bahwa Mas tidak pernah berhubungan sejauh yang Lena tuduhkan pada Mas. Kamu percaya kan sama Mas?" Hanya kata-kata itu yang dapat Dimas ucapkan untuk meyakinkan istrinya."Dwi percaya sama Mas Dimas."*Sepanjang malam Dwi tidak bisa tidur memikirkan tentang keadaan suaminya. Sebagai istri, seharusnya saat ini Dwi berada di samping suaminya dan melayani segala kebutuhan Dimas. Dalam hati yang paling dalam, Dwi benar-benar merasa bersalah karena telah menuntut Dimas dengan berlebihan dan memberi sebuah beban yang sangat berat dipundak suaminya itu.Karena tidak bisa tidur, Dwi memutuskan untuk membuat sarapan untuk ibu mertuanya. Dwi harus mencari perhatian dari ibu suaminya itu agar tetap bersi
"Kamu mengenalku?" tanya Dimas heran.Pria yang ada dihadapannya itu tersenyum sinis sembari membuang muka, seperti tak ingin melihat wajah Dimas."Tentu saja aku mengenalmu. Kamu orang yang telah merebut Lena dariku, bukan?"Sontak Dimas terkejut dengan pernyataan pria itu. Dimas merasa khawatir jika akan terjadi selisih paham diantara mereka. Kemudian dia melirik Arya yang berada disampingnya. Dimas curiga bahwa Arya sengaja melakukan semua ini untuk menjebaknya. Agar pria yang tidak dia kenali ini salah sangka dan menghajarnya.'Licik sekali kamu, Arya!' gumam Dimas dalam hati."Tenang saja, Bro. Aku tidak akan berbuat macam-macam terhadapmu. Justru dengan kedatanganmu kesini, akan menguntungkan buatku. Bukankah begitu kawan?" ucap pria itu menatap kearah Arya.Arya tersenyum sembari mengangguk. Membenarkan semua ucapan pria yang bernama Rangga tersebut."Apa maksud kalian?" tanya Dimas semakin tak mengerti. Menatap Arya dan Rangga secara bergantian."Oh, perkenalkan! Saya Rangga,
Dwi yang melihat itu menjadi tak enak hati. Lalu semakin mengeratkan diri dalam pelukan suaminya itu."Dwi cuma bercanda, Sayang. Dwi ke sini sengaja mau ngasi kejutan buat Mas Dimas. Dwi kangen banget sama Mas Dimas," ucap Dwi dengan sangat manja.Hati Dimas terenyuh mendengarnya. Suara manja Dwi membuat wanita itu terlihat begitu menggemaskan."Oh, gitu. Sengaja mau bikin Mas marah, gitu?""Dih. Emang kalau Mas Dimas marah gimana?""Mmm... nantangin, ya?""Emang mau ngapain?"Dimas tersenyum nakal, lalu menarik hidung mancung Dwi dengan gemas."Mas mau ngasi kamu hukuman sampai sore." Dimas langsung menarik tubuh Dwi dan merebahkannya di atas ranjang."Ish, Mas Dimas nakal." Dwi menjerit kecil.Dimas tak peduli, lalu terus mencumbu istrinya dengan semangat."Awas kelewatan, ya. Tepati janji Mas.""Berisik! Pokoknya hukuman kamu sampai sore!"*Sore harinya Dimas dan Dwi turun dari kamar. Setelah menghabiskan waktu seharian, Dwi akhirnya harus pulang. Dimas punya sesuatu untuk dikerj
Dimas terkejut saat mendengar suara yang begitu dia kenal. Merasa tak percaya, pria itu langsung menoleh, lalu berdiri saat mendapati istrinya telah berdiri di sampingnya."Sayang? Kamu di sini?" Dimas menyentuh pundak Dwi. Merasa khawatir, sekaligus senang dengan kehadiran sosok yang begitu dia nantikan.Sementara seseorang yang masih duduk di hadapan mereka memandang keduanya dengan perasaan sedih mendengar ucapan sayang dan juga perhatian yang ditunjukkan Dimas pada istrinya.Ada rasa amarah dan juga cemburu di hati orang itu. Namun tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain mengikhlaskan agar orang-orang yang dia sayang merasa bahagia."Mas Arya ngapain di sini?" Dwi memandang sahabat, yang belakangan sedang menjadi musuh suaminya.Hal itu membuat Dwi merasa khawatir atas pertemuan mereka. Takut kalau keduanya akan kembali bertengkar dan membuat keributan. Dwi takut pertemuan mereka akan menarik perhatian semua orang.Arya tersenyum kaku, lalu bangkit dan menyapa Dwi."Mas ada perl
"Lancang kamu! Tidak punya sopan santun. Seenaknya saja datang dan menuduh saya yang bukan-bukan. Saya tidak akan sudi punya menantu seperti kamu." Mamanya Dimas yang semula mulai luluh dan meminta Dimas bertanggung jawab, kini harus mengurungkan niatnya.Wanita yang selama ini menjadi kekasih anak laki-lakinya itu telah menunjukkan sifat aslinya. Pagi-pagi sekali Lena datang dengan keadaan kacau balau. Bau alkohol dan asap rokok bercampur dan masih bisa tercium oleh siapa pun yang berada dekat dengannya.Sejak tadi malam, Lena memang tidak pulang ke rumahnya. Tentu saja Rangga yang sedang dimabuk cinta tak mungkin begitu saja melepaskannya. Mantan narapidana itu membawanya menginap di apartemen. Tentu saja untuk melayaninya sepanjang malam.Dwi hanya terdiam melihat Lena berteriak-teriak memanggil nama Dimas. Bahkan dia sempat memaki Dwi karena telah merebut Dimas dari dia. Tapi tentu saja mertuanya selalu pasang badan untuk membelanya. Hingga wanita paruh baya itu harus memanggil m
Dimas terbangun dari ranjang hotel saat mendengar bunyi panggilan masuk dari ponselnya. Dimas langsung tersenyum saat melihat nama yang tertera di layar yang sedang menyala itu. Nama seseorang sedang melakukan panggilan video dari aplikasi whatsapp."Pagi, Sayang." Dimas menyapa dengan suara serak khas bangun tidur."Ish, ini udah siang, tau!" Suara Dwi berdecak manja dari seberang sana.Dimas melirik ke arah jam beker di atas nakas. Lalu tertawa kecil saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Hari sudah hampir siang."Iya, iya. Mas kesiangan." Dimas menggaruk rambutnya yang masih acak-acakan."Emang tadi malam tidur jam berapa? Begadang sama siapa?""Nggak ada, Sayang. Mas tidurnya larut karena kepikiran terus sama kamu.""Gombal!"Dimas kembali tertawa."Keenakan ya, mentang-mentang sekarang udah nggak kerja lagi," rajuk Dwi. "Bebas. Nggak perlu lagi bangun pagi.""Eh, kan cuma sementara, Sayang. Kalau nanti Mas ke kantor__.""Barusan Lena datang nyariin Mas!" Bibir D