Dwi terperanjat mendengar ucapan suaminya. Perkataan Dimas terdengar serius. Membuatnya merasa takut. Jantung Dwi berdebar-debar tak menentu. Pipinya kini terasa panas dan terlihat memerah.Dwi tak menyangka jika suaminya tersinggung dengan ucapannya sore tadi. Pantas saja Dimas langsung terdiam dan tak lagi membela diri. Biasanya dia selalu protes dan mengajak Dwi berdebat jika ada kata-kata Dwi yang salah. "Mas Dimas bicara apa? Memangnya nyelonong masuk ke kamar orang lain itu bukan tindakan dari anak kecil?" Dwi mencoba menepis pikiran buruknya tentang malam pertama.Dwi sudah beranggapan, satu-satunya cara menunjukkan bahwa Dimas bukan anak kecil lagi adalah menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Dan Dwi takut jika harus mendadak seperti ini."Siapa bilang ini kamar orang lain? Ini bukan kamar kamu!" Dimas menjawab datar."Iya, Iya. Dwi sadar. Dwi cuma numpang di sini. Semua yang ada di rumah ini adalah milik Mas Dimas. Puas?" Dwi mengalah. Dia bosan bertengkar terus de
"Dwi!" Dimas langsung menarik tubuh Dwi dan membawanya dalam dekapan. Dwi meronta, namun tenaganya kalah kuat dengan lengan kekar suaminya. Dimas memeluk Dwi dengan lebih erat."Mas minta maaf, Sayang." Dimas berbisik di telinga istrinya.Dwi semakin menangis. Entah apa yang dia rasakan saat ini. Pelukan Dimas terasa sangat nyaman. Dia laki-laki pertama setelah ayah Dwi yang memeluk Dwi dengan kasih sayang seperti itu. Namun di sisi lain hati Dwi, wanita itu merasa jijik jika membayangkan bahwa tubuh yang memeluknya saat ini telah lebih dulu memberi kehangatan pada wanita lain."Lepas, Mas. Dwi benci sama Mas." Dwi semakin sesenggukan."Mas tahu. Mas yang salah. Tapi kamu juga harus tahu. Sumpah demi Allah, Mas nggak pernah berhubungan sejauh itu dengan Lena atau wanita mana pun." Dimas kembali berbisik. Tangan besarnya membelai lembut rambut panjang Dwi untuk menenangkan istrinya."Asal kamu tahu, Dwi. Mas nggak bohong soal putus dari Lena. Bahkan sebelum malam ke tujuh tahlilan alm
Dimas begitu terpukul mendengar penolakan dari istrinya. Namun demi menunjukkan rasa sayang dan ketulusan hatinya, Dimas mengalah. Dia tak mau lagi bersikap kasar dan memaksa wanita itu. Dia akan menunggu sampai Dwi benar-benar siap."Mas akan menunggu kamu, Dwi. Mas juga akan buktikan kalau Mas tidak main-main dengan ucapan Mas."Dengan membawa rasa kecewa, Dimas keluar dan meninggalkan istrinya untuk menenangkan diri.Dwi langsung bergerak dan mengunci pintu. Lalu menjatuhkan diri, duduk bersandar di balik pintu. Dia menangis sambil memeluk lututnya sendiri. Dia tak menyangka, ciuman pertamanya telah dimiliki Dimas malam ini.*Di ruangan terpisah, Lena duduk bersandar dalam dekapan seseorang di sofa apartemen milik seorang pria. Pakaian yang sebagian terbuka menunjukkan bahwa keduanya baru saja melakukan pertempuran yang luar biasa."Kamu bahagia sekarang, kan, Sayang?" Pria itu mengecup ceruk leher Lena dengan lembut."Tentu saja, Rangga. Aku senang kok, bisa sama kamu seperti ini
"Hentikan itu, Len! Jangan lagi mengungkit masa lalu. Ini terakhir kali kamu ke sini. Kalau tidak ingin dipermalukan karena diusir oleh sekuriti, jangan pernah lagi menginjakkan kaki ke tempat ini lagi!" Dimas berucap tegas sembari mendorong tubuh Lena agar menjauh."Masa lalu?" Lena mendecih. "Kamu anggap aku apa? Habis manis sepah dibuang. Kamu harus tanggung jawab dengan bayi yang ada di perutku ini!" Lena tersenyum licik."Apa?" Dimas terperanjat ketika mendengar ucapan wanita itu."Aku hamil. Dan itu anak kamu!"Dimas melotot sembari menelan ludah. "Jangan main-main, Lena. Bagaimana bisa?""Main-main? Kamu nggak ingat apa yang kita lakukan di villa sebulan yang lalu?"Dimas memutar ulang memori di kepalanya. Saat itu Dimas baru saja mendengar kabar yang mengejutkan. Orang tuanya meminta dia untuk menikahi Dwi. Saat itu papanya sudah sakit-sakitan. Lalu meminta Dimas untuk mengabulkan permintaannya agar bisa tenang dan cepat sembuh.Tentu saja Dimas tidak langsung menerima. Apal
Dimas merasa tak percaya dengan apa yang dia lihat. Foto saat dirinya bertelanjang dada dan tertidur sambil memeluk Lena. Sungguh dia tidak mengingat peristiwa apa yang terjadi hingga dia harus berada dalam posisi seperti itu."Tidak, Lena. Itu tidak mungkin. Aku tidak pernah melakukan hal serendah itu padamu." Lutut Dimas bergetar, lemas."Tidak mungkin apanya? Kamu lihat sendirikan, wajah kamu begitu lelah karena kehabisan tenaga?" Lena tertawa mengejek."Kamu pasti menjebakku, kan?" Dimas memegang bahu Lena dengan kuat."Jangan beralasan, Dim! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka.""Bohong! Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?""Tentu saja karena aku masih percaya sama kamu. Tapi kenyataannya sekarang kamu benar-benar telah mengkhianatiku. Dan sekarang, kamu nggak bisa mengelak lagi. Kamu harus menikahiku.""Tidak. Tidak bisa. Aku sudah menikah.""Aku tidak peduli. Kamu harus ceraikan anak pungut itu dan segera nikahi aku. Aku nggak mau anakku lahir tanpa ayah." "Berhen
Dimas berusaha menghentikan langkah istrinya. Namun, Lena langsung menarik tangannya agar Dimas tak kemana-mana."Lepaskan aku!" Dimas membentak Lena."Aku berhak melarang kamu. Kamu ayah dari anakku!" Lena balas membentak."Jangan mimpi! Lakukan saja test DNA. Aku bukan orang bodoh yang langsung percaya pada bualanmu!" Dimas menatap tajam wanita di hadapannya.Lena terperanjat. Dia tak berpikir jika Dimas akan berpikir ke arah sana. Lena mengira bahwa Dimas akan melunak karena mereka akhirnya punya alasan untuk menikah. Ternyata Lena salah. Bukannya bahagia mendengar bahwa mereka akan memiliki anak dari buah cinta mereka, Dimas malah murka dan menuduhnya yang bukan-bukan.Lena tampak bersedih. Air matanya mengalir mendapatkan perlakuan Dimas yang kasar seperti itu. Dan lebih parahnya lagi, sedikit pun Dimas tak mempercayai ucapannya.*"Dwi, kamu kenapa?" tanya Arya ketika berpapasan dengan Dwi di sebuah lorong menuju toilet.Tanpa menjawab, gadis itu langsung menerobos masuk, tak m
Setelah membuat Lena shock dengan sikapnya, Dimas keluar untuk menyusul Dwi. Dia berjalan cepat mencari Dwi ke mejanya. Namun istrinya sedang tak berada di sana."Mana Dwi?" tanya Dimas pada karyawati yang duduk di sebelah Dwi."Katanya mau mengantar dokumen ke ruangan Pak Arya, Pak," sahut gadis berkemeja abu-abu itu.Dimas langsung bergegas menuju ruangan Arya. Tanpa mengetuk pintu pria yang sedang dilanda kecemasan itu mendorong paksa pintu kayu berwarna cokelat di hadapannya.Di dalam pikirannya, saat ini Dwi sedang menangis mengadu pada sahabatnya itu, dan Dimas tak ingin Arya mengambil kesempatan dengan memeluk istrinya dengan dalih menenangkannya.Namun saat pintu terbuka, ruangan itu kosong. Tak ada Dwi di sana, maupun pemilik ruangan itu.Dimas meremas rambutnya sendiri. Merasa frustasi bahwa kini Dwi dan Arya menghilang bersamaan. Bayangan Dwi menangis di pelukan Arya menari-nari di kepalanya. Andai saja itu benar, dia bersumpah akan meninju wajah Arya saking geramnya.Dimas
"Istri?" sindir Arya. "Emang istri kamu ada berapa? Kamu pikir aku nggak tahu bagaimana selama ini kamu memperlakukan Dwi?""Kamu__." Dimas ingin kembali mendekatinya. Namun tangan Dwi kuat memegangi lengan berotot pria itu.Dimas menatap Dwi yang sedang menangis bercampur dengan ketakutan. Rasa amarah tadi menjadi rasa iba melihat istrinya yang begitu menderita karena ulah dirinya."Keluar! Mas akan jelaskan semuanya." Dimas menatap istrinya dengan lekat."Dwi nggak mau mendengar apa pun lagi. Semuanya udah jelas. Dwi memang bodoh karena hampir percaya dengan ucapan Mas. Tapi Dwi nggak buta! Mata Dwi jelas melihat Mas Dimas berpelukan dengan wanita itu. Jadi kita akhiri sampai di sini!" "Kamu salah paham! Itu nggak seperti yang kamu pikirkan. Sekarang ikut Mas. Kita bicarakan dengan tenang." Dimas menarik tangan Dwi dan menyeretnya. Namun Dwi tidak mau hingga membuat Arya kembali turun tangan."Lepaskan dia, Dim! Dwi nggak mau ikut sama kamu!""Jangan ikut campur urusan rumah tangga
"Kenapa Mama pergi, Sayang? Apa mama masih benci sama Mas?" tanya Dimas ketika melihat ibunya langsung pergi begitu dia baru sampai. Tanpa menyapa apalagi bertanya tentang keadaannya terlebih dahulu."Sudah, Mas. Tidak usah dipikirkan. Ayo kita masuk." Dwi langsung menarik lengan suaminya agar ikut masuk dengannya. "Apa Mas sudah sarapan? Mau Dwi buatin kopi, atau apa?""Sebenarnya belum, sih. Tapi ketika melihat kamu, Mas sudah kenyang.""Ilih, Mas Dimas suka gombal, deh. Jangan-jangan sudah dibuatin sarapan sama Lena tadi, iya kan?" Mengingat nama itu sebenarnya hati Dwi terasa perih, namun nama itu tidak akan bisa dia lupakan begitu saja dari dalam hidupnya."Kok ngomongin dia lagi, sih? Apa Dwi belum bisa percaya seutuhnya sama Mas?""Dwi percaya kok sama Mas. Jika Dwi tidak percaya sama Mas Dimas, untuk apa juga Dwi nyuruh Mas pulang." Dwi meralat kembali ucapannya agar suaminya tidak jadi marah."Eh, suasana rumah kok sepi? Bik Siti kemana?" tanya Dimas begitu menyadari tidak ad
"Ibu!" ucap Rangga ketika memasuki ruangan yang ditempati oleh Ratih. Pria itu mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah wanita paruh baya itu. Raut wajah wanita yang sedang mengenakan busana serba putih itu seperti tidak asing baginya."Kamu mengenal saya?" tanya Ratih dengan penuh tanda tanya. Seingat wanita paruh baya itu, dia tidak pernah mengenal ataupun melihat pemuda yang sedang berada dihadapannya kini."Oh, iya. Saya ingat sekarang. Bukankah Anda itu adalah Bu Ratih, salah satu donatur tetap di Panti Asuhan 'Sahabat Sejati'?" ucap Rangga penuh dengan keyakinan."Benar itu saya. Saya adalah salah satu pemilik dan pengurus yayasan itu. Kamu siapa? Kenapa kamu tahu tentang yayasan itu?" Ratih balik bertanya pada pemuda yang baru saja memasuki ruangannya itu."Oh, perkenalkan. Nama saya Rangga Adiyasa, saya adalah salah satu anak penghuni Panti Asuhan itu tempo dulu. Senang bisa bertemu dengan anda kembali." Dengan ramah, pemuda yang memilik
"Dimas! Dimana kamu? Ayo keluar! Jangan coba-coba sembunyi dariku Dimas!" teriak Lena dari luar sembari menggedor-gedor pintu ruangan yang biasa ditempati oleh Dimas dengan sangat keras. Sudah beberapa hari ini wanita itu datang ke kantor ini untuk mencari keberadaan kekasih hatinya itu dan ingin meminta pertanggung jawaban darinya.Namun sayang, apa yang dia cari tak kunjung ketemu. Bak ditelan bumi, keberadaan Dimas tidak dia ketahui. Yang ada hanya Arya, pemuda yang begitu menyebalkan baginya.Ratih dan Arya yang sedang memeriksa berkas-berkas pekerjaan kantor di dalam ruangan itu sontak terkejut."Siapa itu Arya?" tanya Ratih kepada putra temannya itu."Sepertinya itu suara Lena, Tante.""Kenapa wanita itu bisa bebas berkeliaran di kantor ini?""Dia sudah biasa melakukannya, Tante. Beberapa hari ini saja, dia sudah berkali-kali datang ke sini untuk mencari Dimas.""Kenapa kamu tidak mengusirnya?""Saya sudah mencoba untuk memberinya peringatan, namun wanita itu tidak juga mau meny
Dimas dapat merasakan tentang betapa beratnya kerinduan yang dirasakan oleh istri kecilnya itu. Sebab saat ini Dimas juga merasakan hal yang sama. Tapi, dia tidak bisa berbuat banyak dan segera keluar dari masalah yang sedang menderanya. "Kamu yang sabar ya, Sayang. Mas akan segera membuktikan bahwa Mas tidak pernah berhubungan sejauh yang Lena tuduhkan pada Mas. Kamu percaya kan sama Mas?" Hanya kata-kata itu yang dapat Dimas ucapkan untuk meyakinkan istrinya."Dwi percaya sama Mas Dimas."*Sepanjang malam Dwi tidak bisa tidur memikirkan tentang keadaan suaminya. Sebagai istri, seharusnya saat ini Dwi berada di samping suaminya dan melayani segala kebutuhan Dimas. Dalam hati yang paling dalam, Dwi benar-benar merasa bersalah karena telah menuntut Dimas dengan berlebihan dan memberi sebuah beban yang sangat berat dipundak suaminya itu.Karena tidak bisa tidur, Dwi memutuskan untuk membuat sarapan untuk ibu mertuanya. Dwi harus mencari perhatian dari ibu suaminya itu agar tetap bersi
"Kamu mengenalku?" tanya Dimas heran.Pria yang ada dihadapannya itu tersenyum sinis sembari membuang muka, seperti tak ingin melihat wajah Dimas."Tentu saja aku mengenalmu. Kamu orang yang telah merebut Lena dariku, bukan?"Sontak Dimas terkejut dengan pernyataan pria itu. Dimas merasa khawatir jika akan terjadi selisih paham diantara mereka. Kemudian dia melirik Arya yang berada disampingnya. Dimas curiga bahwa Arya sengaja melakukan semua ini untuk menjebaknya. Agar pria yang tidak dia kenali ini salah sangka dan menghajarnya.'Licik sekali kamu, Arya!' gumam Dimas dalam hati."Tenang saja, Bro. Aku tidak akan berbuat macam-macam terhadapmu. Justru dengan kedatanganmu kesini, akan menguntungkan buatku. Bukankah begitu kawan?" ucap pria itu menatap kearah Arya.Arya tersenyum sembari mengangguk. Membenarkan semua ucapan pria yang bernama Rangga tersebut."Apa maksud kalian?" tanya Dimas semakin tak mengerti. Menatap Arya dan Rangga secara bergantian."Oh, perkenalkan! Saya Rangga,
Dwi yang melihat itu menjadi tak enak hati. Lalu semakin mengeratkan diri dalam pelukan suaminya itu."Dwi cuma bercanda, Sayang. Dwi ke sini sengaja mau ngasi kejutan buat Mas Dimas. Dwi kangen banget sama Mas Dimas," ucap Dwi dengan sangat manja.Hati Dimas terenyuh mendengarnya. Suara manja Dwi membuat wanita itu terlihat begitu menggemaskan."Oh, gitu. Sengaja mau bikin Mas marah, gitu?""Dih. Emang kalau Mas Dimas marah gimana?""Mmm... nantangin, ya?""Emang mau ngapain?"Dimas tersenyum nakal, lalu menarik hidung mancung Dwi dengan gemas."Mas mau ngasi kamu hukuman sampai sore." Dimas langsung menarik tubuh Dwi dan merebahkannya di atas ranjang."Ish, Mas Dimas nakal." Dwi menjerit kecil.Dimas tak peduli, lalu terus mencumbu istrinya dengan semangat."Awas kelewatan, ya. Tepati janji Mas.""Berisik! Pokoknya hukuman kamu sampai sore!"*Sore harinya Dimas dan Dwi turun dari kamar. Setelah menghabiskan waktu seharian, Dwi akhirnya harus pulang. Dimas punya sesuatu untuk dikerj
Dimas terkejut saat mendengar suara yang begitu dia kenal. Merasa tak percaya, pria itu langsung menoleh, lalu berdiri saat mendapati istrinya telah berdiri di sampingnya."Sayang? Kamu di sini?" Dimas menyentuh pundak Dwi. Merasa khawatir, sekaligus senang dengan kehadiran sosok yang begitu dia nantikan.Sementara seseorang yang masih duduk di hadapan mereka memandang keduanya dengan perasaan sedih mendengar ucapan sayang dan juga perhatian yang ditunjukkan Dimas pada istrinya.Ada rasa amarah dan juga cemburu di hati orang itu. Namun tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain mengikhlaskan agar orang-orang yang dia sayang merasa bahagia."Mas Arya ngapain di sini?" Dwi memandang sahabat, yang belakangan sedang menjadi musuh suaminya.Hal itu membuat Dwi merasa khawatir atas pertemuan mereka. Takut kalau keduanya akan kembali bertengkar dan membuat keributan. Dwi takut pertemuan mereka akan menarik perhatian semua orang.Arya tersenyum kaku, lalu bangkit dan menyapa Dwi."Mas ada perl
"Lancang kamu! Tidak punya sopan santun. Seenaknya saja datang dan menuduh saya yang bukan-bukan. Saya tidak akan sudi punya menantu seperti kamu." Mamanya Dimas yang semula mulai luluh dan meminta Dimas bertanggung jawab, kini harus mengurungkan niatnya.Wanita yang selama ini menjadi kekasih anak laki-lakinya itu telah menunjukkan sifat aslinya. Pagi-pagi sekali Lena datang dengan keadaan kacau balau. Bau alkohol dan asap rokok bercampur dan masih bisa tercium oleh siapa pun yang berada dekat dengannya.Sejak tadi malam, Lena memang tidak pulang ke rumahnya. Tentu saja Rangga yang sedang dimabuk cinta tak mungkin begitu saja melepaskannya. Mantan narapidana itu membawanya menginap di apartemen. Tentu saja untuk melayaninya sepanjang malam.Dwi hanya terdiam melihat Lena berteriak-teriak memanggil nama Dimas. Bahkan dia sempat memaki Dwi karena telah merebut Dimas dari dia. Tapi tentu saja mertuanya selalu pasang badan untuk membelanya. Hingga wanita paruh baya itu harus memanggil m
Dimas terbangun dari ranjang hotel saat mendengar bunyi panggilan masuk dari ponselnya. Dimas langsung tersenyum saat melihat nama yang tertera di layar yang sedang menyala itu. Nama seseorang sedang melakukan panggilan video dari aplikasi whatsapp."Pagi, Sayang." Dimas menyapa dengan suara serak khas bangun tidur."Ish, ini udah siang, tau!" Suara Dwi berdecak manja dari seberang sana.Dimas melirik ke arah jam beker di atas nakas. Lalu tertawa kecil saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Hari sudah hampir siang."Iya, iya. Mas kesiangan." Dimas menggaruk rambutnya yang masih acak-acakan."Emang tadi malam tidur jam berapa? Begadang sama siapa?""Nggak ada, Sayang. Mas tidurnya larut karena kepikiran terus sama kamu.""Gombal!"Dimas kembali tertawa."Keenakan ya, mentang-mentang sekarang udah nggak kerja lagi," rajuk Dwi. "Bebas. Nggak perlu lagi bangun pagi.""Eh, kan cuma sementara, Sayang. Kalau nanti Mas ke kantor__.""Barusan Lena datang nyariin Mas!" Bibir D