Wajah Kartika mendadak pias. Aku pun tidak peduli yang aku mau saat ini juga ruang tamuku kembali bersih seperti sedia kala saat aku belum pergi tadi pagi.
"Oh iya aku peringatkan kau jangan lagi semena-mena berlaku di kedaiku, sebab para karyawanku bukan pesuruhmu," ucapku pada Kartika. Kartika pun menoleh sesaat dan menatapku sembari tersenyum sinis.
"Jangan pelit jadi orang, hanya mie ayam dan bakso saja lagaknya seperti ngasih makan steak atau pizza."
"Meski hanya Mie ayam dan bakso tapi kamu dan Papamu sudah bisa makan enak dengan gratis 'kan?" ujarku membalas ucapan Kartika. Tentu saja aku tidak terima Kartika seolah menjelekkan warung makanku itu.
"Alah makanan murahan aja
"Kak Aliyah?" ucapnya lagi."Kenapa? Kok pucat? Kaget lihat aku yang datang tiba-tiba?" "Enggak ah, biasa aja tuh," ujar Kartika yang sudah merubah mimik wajahnya menjadi biasa saja."Kenapa masih main ponsel di sini?" "Kenapa? Toh belum ada pembeli 'kan?" Mataku membulat mendengar ucapan Kartika barusan. Astaga Tuhan, berhadapan dengan manusia yang satu ini memang benar-benar menguras emosi jiwa dan raga. "Kenapa gak bantu yang lain? Membersihkan kedai, mencuci piring dan yang lainnya? Kamu kira aku membayarmu untuk bersantai ria?""Ah elah, Kak, begini aja diributin sih, 'kan udah ada karyawan Kakak yang lain!" ujar Kartika ketus. Baru saja aku akan menyeret Kartika tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan kedatangan kakakku Rita. "Kamu jangan kurang ajar sama Aliyah ya! Dia itu bosmu di sini! Kamu kira kamu siapa ha!" hardik kak Rita sembari mendorong tubuh Kartika hingga terjengkang ke belakang. "Aw, kamu siapa? Datang-datang langsung main dorong aja!" "Aku Kakaknya Aliyah! Ke
"Ini sebuah pengecualian untukmu Kartika. Kami semua tahu bagaimana dirimu, perempuan murahan yang dengan gampangnya memeluk suami orang. Mungkin ada benarnya yang tidak dibungkus belum tentu buruk tapi, sekali lagi. Ini sebuah pengecualian! Lagian memakai hijab dan baju tertutup adalah kewajiban bagi kita yang muslim. Kalau kamu bilang kamu bisa menjadi seorang istri yang membuat suami senang bagaimana pria itu bisa percaya jika kamu dengan Tuhanmu saja tidak peduli," tandasku tegas pada Kartika hingga membuatnya bungkam seribu bahasa. "Sudah, Al, gak usah diteruskan. Percuma ngomong sama jalang ini karena gak akan masuk di otak. Kecuali kamu ngomongin masalah laki orang yang tampan nah, baru dah tu masuk ke otaknya," cibir kak Rita yang membuatku tersenyum mengejek dan menatap ke arah Kartika yang wajahnya tampak memerah menahan malu sebab di kedaiku sudah ada beberapa pembeli yang berdatangan. "Awas ya kalian, kalau nanti suaminya nemplok ke aku kalian nangis bombay lagi," ucap K
Tidak berselang lama treatment yang kami lakukan pun selesai sudah. Aku dan kak Rita pun menuju kasir untuk membayar tagihan perawatan dan kebetulan mas Amar juga sudah sampai. Dia lagi asyik berbincang dengan mas Raka. Setelah selesai membayar aku dan kak Rita pun menghampiri suami kami masing-masing dan bergegas meninggalkan salon untuk pergi makan siang menggunakan mobil yang kami bawa masing-masing.***"Kita pulang dulu ya, Al. Lain kali kita kesini lagi kita me time bareng lagi ya," pamit kak Rita padaku juga mas Amar. Saat ini kami berempat sudah selesai makan siang dan sedikit berbelanja. Tidak lupa juga aku membelikan oleh-oleh untuk dua keponakanku juga kedua orang tuaku. Setelah aku dan kak Rita bercipika-cipiki akhirnya kami pun berpisah. Setelah kepergian kak Rita dan mas Raka, aku dan mas Amar juga memasuki mobil kami dan meninggalkan halaman parkir mall dan bergegas pulang karena sekarang juga sudah waktunya Rani, Yuli dan Vivi pulang sekolah. "Mas setelah aku pikir-p
"Aku menertawakan kebodohan dan kekonyolan Papa.""Kurang ajar! Apa maksud kamu! Berani kamu mengejekku seperti itu ha! Dasar menantu tak tahu diuntung! Beginikah didikanmu pada istrimu Amar!" maki papa berang padaku dan mas Amar." Stop! Yang tak tahu diuntung itu Papa bukannya aku! Apa Papa lupa atau hilang ingatan sih? Papa sudah membuang suamiku ke panti asuhan lalu sekarang Papa minta bakri Mas Amar sebagai anak pada orang tuanya? Bakti yang mana yang Papa minta ha! Apa selama ini Papa mencari keberadaan Mas Amar dan merasa bersalah akan hal itu? Tidak kan? Lagian kami tidak butuh restu dari Papa tuh. Hidup kita selama ini baik-baik saja tanpa kehadiran Papa." "Kamu tidak pernah tahu isi dalam hatiku Aliyah!""Itu bukan urusan kami, Pa! Yang kami tahu Papa pun tidak menjalankan kewajiban sebagai orang tua pada Mas Amar. Jadi, jangan pernah meminta bakti pada suamiku dan meminta hak Papa yang Mas Amar sendiri juga tidak pernah mendapatkan haknya dari Papa!" sentakku dengan suara
"Aku sudah menyerahkan semua hakku di sini seluruhnya untuk Aliyah karena memang sekarang semuanya sudah atas nama Aliyah. Jadi, Aliyah berhak seratus persen mengusir siapa pun yang ia tidak suka." Aku tersenyum penuh kemenangan mendengar ucapan mas Amar barusan. Aku tahu, mas Amar sebenarnya hanya bersandiwara sebab rumah, kedai serta seisinya atas nama kami berdua bukan hanya atas namaku saja."Kok bisa? Kenapa mas Amar main ganti saja jadi atas nama wanita barbar ini? Harusnya mas Amar izin sama aku dan Papa juga dong, gimana sih," sungut Kartika yang tentu saja membuat keningku berlipat.Apa katanya tadi? Harus izin dia dan papanya? Memang nya mereka siapa? Sok merasa memiliki apa yang kami punya. Dasar memang urat malunya sudah tidak ada lagi."Apa hak kalian? Kenapa aku harus minta izin sama kalian?" tanya mas Amar yang juga sama bingungnya dengan perkataan yang Kartika lontarkan. "Ya karena aku dan Papa itu 'kan keluarga mas Amar satu-satunya. Tentu aku dan Papa berhak tahu so
"Terus gimana sama kedaimu kalau di viralin begitu 'kan imbasnya sama usaha kalian.""Alhamdulillah sih, Kak. Meski gak sebanyak biasanya tapi, masih ada pelanggan yang datang. Aku rasa trik murahan kayak gitu udah biasa. Biar nanti aku pikirkan caranya untuk kembalikan apa yang Kartika lakukan padaku.""Astaga, Al. Kok kamu bisa-bisanya masih tenang sih. Kalau Kakak sudah pasti bakalan labrak tuh si jalang murahan. Dasar memang! Dia yang salah dia juga yang playing victim seakan korban.""Yah aku juga salah sih, Kak, sudah main kekerasan sama Kartika.""Siapa pun orangnya kalau jadi kamu juga bakal ngelakuin hal yang sama, Al.""Iya mau gimana lagi aku sudah kehabisan akal buat hadapin si Kartika yang super duper nyebelin abis.""Kamu yang sabar ya, kalau ada apa-apa kamu hubungi Kakak. Insyaallah nanti Kakak bantu.""Iya, Kak. Pasti itu, betewe terima kasih ya, Kak.""Iya, Sama-sama. Yaudah ya, Kakak mau lanjut jualan lagi. Kamu yang semangat ya. Insyaallah kalau rejeki mah gak akan
"Bukan menguasai, aku hanya minta setengahnya saja. Setelah itu aku dengan senang hati akan membuat video klarifikasi soal semua ini bahwa ini hanyalah kesalahpahaman saja. Gimana? Deal?""Atas dasar apa? Kau pikir aku takut dengan ancamanmu itu? Sama sekali tidak, Kartika.""Jadi kamu menantangku?" ucap Kartika setengah memekik dengan tatapan tidak percayanya padaku. Aku yakin Kartika pasti menduga kalau aku akan setuju dengan keinginannya itu. Namun, dia salah besar kalau menganggap aku ini lemah dan bodoh. Jika dia mengetahui kalau aku diam-diam sudah merekam pembicaraan kami barusan. Pastilah Kartika akan kembali menelan ludahnya sendiri. Dasar tidak berguna."Aku tidak menantangmu. Lakukan apa yang ingin kau lakukan karena jika sudah waktunya nanti aku pastikan kau akan menyesal telah melakukan ini padaku," tandasku sembari tersenyum sinis dan seolah meremehkan Kartika. "Sialan! Berani kamu ya! Awas saja akan aku buat usaha kalian bangkrut secepatnya! Camkan itu!" "Uuu aku tak
"Eits soal nafkah yang itu tentu gak pernah lupa. Karena itu salah satu vitamin terbesar aku dalam menjalani hidup.""Oh jadi hanya soal satu itu yang jadi vitamin buat kamu? Kalau begitu mah sama siapa saja bisa toh sama saja bentuknya." Mas Amar mendekatkan wajahnya padaku. Lantas ia pun menangkupkan kedua tangannya di kedua pipiku."Kamu itu ngomong apa. Kalau pu semua wanita punya dan bentuknya sama. Tidak juga membuatku bisa menjadikan mereka sebagai pengganti vitamin untukku. Justru karena diri kamulah makanya bisa membuat hal itu vitamin bagiku. Meskipun ada sepuluh perempuan cantik yang rela memberikan gratis padaku bukan berarti aku mau karena hatiku cuma ada satu nama yaitu kamu," ucap mas Amar yang tentu saja membuat pipiku bersemu merah. Aku tahu ini sudah sering terjadi padaku tapi, aku cukup senang dan menikmatinya. Karena aku tahu itu memang tulus dari hati bukan sekedar rayuan gombal pada umumnya."Hei, kok bengong. Ayuk, Dek." Akhirnya aku merelakan untuk melayani