Tidak berselang lama treatment yang kami lakukan pun selesai sudah. Aku dan kak Rita pun menuju kasir untuk membayar tagihan perawatan dan kebetulan mas Amar juga sudah sampai. Dia lagi asyik berbincang dengan mas Raka. Setelah selesai membayar aku dan kak Rita pun menghampiri suami kami masing-masing dan bergegas meninggalkan salon untuk pergi makan siang menggunakan mobil yang kami bawa masing-masing.***"Kita pulang dulu ya, Al. Lain kali kita kesini lagi kita me time bareng lagi ya," pamit kak Rita padaku juga mas Amar. Saat ini kami berempat sudah selesai makan siang dan sedikit berbelanja. Tidak lupa juga aku membelikan oleh-oleh untuk dua keponakanku juga kedua orang tuaku. Setelah aku dan kak Rita bercipika-cipiki akhirnya kami pun berpisah. Setelah kepergian kak Rita dan mas Raka, aku dan mas Amar juga memasuki mobil kami dan meninggalkan halaman parkir mall dan bergegas pulang karena sekarang juga sudah waktunya Rani, Yuli dan Vivi pulang sekolah. "Mas setelah aku pikir-p
"Aku menertawakan kebodohan dan kekonyolan Papa.""Kurang ajar! Apa maksud kamu! Berani kamu mengejekku seperti itu ha! Dasar menantu tak tahu diuntung! Beginikah didikanmu pada istrimu Amar!" maki papa berang padaku dan mas Amar." Stop! Yang tak tahu diuntung itu Papa bukannya aku! Apa Papa lupa atau hilang ingatan sih? Papa sudah membuang suamiku ke panti asuhan lalu sekarang Papa minta bakri Mas Amar sebagai anak pada orang tuanya? Bakti yang mana yang Papa minta ha! Apa selama ini Papa mencari keberadaan Mas Amar dan merasa bersalah akan hal itu? Tidak kan? Lagian kami tidak butuh restu dari Papa tuh. Hidup kita selama ini baik-baik saja tanpa kehadiran Papa." "Kamu tidak pernah tahu isi dalam hatiku Aliyah!""Itu bukan urusan kami, Pa! Yang kami tahu Papa pun tidak menjalankan kewajiban sebagai orang tua pada Mas Amar. Jadi, jangan pernah meminta bakti pada suamiku dan meminta hak Papa yang Mas Amar sendiri juga tidak pernah mendapatkan haknya dari Papa!" sentakku dengan suara
"Aku sudah menyerahkan semua hakku di sini seluruhnya untuk Aliyah karena memang sekarang semuanya sudah atas nama Aliyah. Jadi, Aliyah berhak seratus persen mengusir siapa pun yang ia tidak suka." Aku tersenyum penuh kemenangan mendengar ucapan mas Amar barusan. Aku tahu, mas Amar sebenarnya hanya bersandiwara sebab rumah, kedai serta seisinya atas nama kami berdua bukan hanya atas namaku saja."Kok bisa? Kenapa mas Amar main ganti saja jadi atas nama wanita barbar ini? Harusnya mas Amar izin sama aku dan Papa juga dong, gimana sih," sungut Kartika yang tentu saja membuat keningku berlipat.Apa katanya tadi? Harus izin dia dan papanya? Memang nya mereka siapa? Sok merasa memiliki apa yang kami punya. Dasar memang urat malunya sudah tidak ada lagi."Apa hak kalian? Kenapa aku harus minta izin sama kalian?" tanya mas Amar yang juga sama bingungnya dengan perkataan yang Kartika lontarkan. "Ya karena aku dan Papa itu 'kan keluarga mas Amar satu-satunya. Tentu aku dan Papa berhak tahu so
"Terus gimana sama kedaimu kalau di viralin begitu 'kan imbasnya sama usaha kalian.""Alhamdulillah sih, Kak. Meski gak sebanyak biasanya tapi, masih ada pelanggan yang datang. Aku rasa trik murahan kayak gitu udah biasa. Biar nanti aku pikirkan caranya untuk kembalikan apa yang Kartika lakukan padaku.""Astaga, Al. Kok kamu bisa-bisanya masih tenang sih. Kalau Kakak sudah pasti bakalan labrak tuh si jalang murahan. Dasar memang! Dia yang salah dia juga yang playing victim seakan korban.""Yah aku juga salah sih, Kak, sudah main kekerasan sama Kartika.""Siapa pun orangnya kalau jadi kamu juga bakal ngelakuin hal yang sama, Al.""Iya mau gimana lagi aku sudah kehabisan akal buat hadapin si Kartika yang super duper nyebelin abis.""Kamu yang sabar ya, kalau ada apa-apa kamu hubungi Kakak. Insyaallah nanti Kakak bantu.""Iya, Kak. Pasti itu, betewe terima kasih ya, Kak.""Iya, Sama-sama. Yaudah ya, Kakak mau lanjut jualan lagi. Kamu yang semangat ya. Insyaallah kalau rejeki mah gak akan
"Bukan menguasai, aku hanya minta setengahnya saja. Setelah itu aku dengan senang hati akan membuat video klarifikasi soal semua ini bahwa ini hanyalah kesalahpahaman saja. Gimana? Deal?""Atas dasar apa? Kau pikir aku takut dengan ancamanmu itu? Sama sekali tidak, Kartika.""Jadi kamu menantangku?" ucap Kartika setengah memekik dengan tatapan tidak percayanya padaku. Aku yakin Kartika pasti menduga kalau aku akan setuju dengan keinginannya itu. Namun, dia salah besar kalau menganggap aku ini lemah dan bodoh. Jika dia mengetahui kalau aku diam-diam sudah merekam pembicaraan kami barusan. Pastilah Kartika akan kembali menelan ludahnya sendiri. Dasar tidak berguna."Aku tidak menantangmu. Lakukan apa yang ingin kau lakukan karena jika sudah waktunya nanti aku pastikan kau akan menyesal telah melakukan ini padaku," tandasku sembari tersenyum sinis dan seolah meremehkan Kartika. "Sialan! Berani kamu ya! Awas saja akan aku buat usaha kalian bangkrut secepatnya! Camkan itu!" "Uuu aku tak
"Eits soal nafkah yang itu tentu gak pernah lupa. Karena itu salah satu vitamin terbesar aku dalam menjalani hidup.""Oh jadi hanya soal satu itu yang jadi vitamin buat kamu? Kalau begitu mah sama siapa saja bisa toh sama saja bentuknya." Mas Amar mendekatkan wajahnya padaku. Lantas ia pun menangkupkan kedua tangannya di kedua pipiku."Kamu itu ngomong apa. Kalau pu semua wanita punya dan bentuknya sama. Tidak juga membuatku bisa menjadikan mereka sebagai pengganti vitamin untukku. Justru karena diri kamulah makanya bisa membuat hal itu vitamin bagiku. Meskipun ada sepuluh perempuan cantik yang rela memberikan gratis padaku bukan berarti aku mau karena hatiku cuma ada satu nama yaitu kamu," ucap mas Amar yang tentu saja membuat pipiku bersemu merah. Aku tahu ini sudah sering terjadi padaku tapi, aku cukup senang dan menikmatinya. Karena aku tahu itu memang tulus dari hati bukan sekedar rayuan gombal pada umumnya."Hei, kok bengong. Ayuk, Dek." Akhirnya aku merelakan untuk melayani
"Amiin. Yang terpenting kita sudah berusaha. Masalah berhasil atau tidak kembalikan lagi pada yang kuasa." Aku hanya manggut-manggut mendengar ucapan suamiku dengan seksama. *** "Hallo, Put? Ada apa?" tanyaku saat ponsel terhubung dan ternyata yang menghubungi adalah Putri. "Bu, gawat! Kartika datang dan mengamuk di sini!" ucap Putri. Suaranya terdengar panik. Bahkan, aku pun cukup terkejut dengan kedatangan Kartika. Secepat itukah? Aku mengiranya justru lusa atau setelahnya lagi baru ia akan datang. "Oke, aku sama Bapak akan segera kesana."
"Mau pulanglah, mau apalagi!" pekik Kartika masih dengan posisi aku mencengkram kuat rambut pirangnya yang seperti jagung itu."Enak aja main pergi. Bereskan dulu semua kekacauan yang kau buat ini!" sentakku marah."Aku gak mau! Lepas!" Kartika mencoba menarik dan melepaskan rambut miliknya yang masih berada dalam genggaman tanganku. Semakin dia mencoba melepaskan semakin kuat aku juga menarik rambutnya hingga ia kembali mendongak."Lepas sialan! Sakiittt!" pekik Kartika keras tapi, aku tetap acuh.Tak kuhiraukan suaranya yang kian menjerit kesakitan hingga akhirnya aku menghempaskan tubuh Kartika dan ia pun kembali tersungkur. Bergegas aku duduk di bagian atas paha Kartika. Lanta
Rita berbicara dengan berapi-api. Emosi yang sudah lama ia pendam pada Vivi keluar sudah. Perasaan Vivi yang ia jaga bertahun-tahun lama nya kini terpaksa ia lontarkan. Habis sudah kesabarannya menghadapi anak dari almarhumah adiknya itu. Meskipun Rita tidak menampik jika dahulu memang Rita sempat berbuat jahat pada Aliyah dan Amar juga kedua anaknya. Akan tetapi, setidaknya Rita sudah benar-benar sadar juga kedua anak Rita ia didik dengan benar dan kini kedua anaknya menjadi anak yang penurut. Lalu, apa kurangnya kasih sayang yang Aliyah dan Amar berikan pada Vivi? Tidak! Tidak ada kurangnya mereka memberikan itu semua. Rita sebenarnya juga sadar jika semua ini terjadi juga karena adanya hasutan dari Aldo. Tapi, apakah sebagai seorang yang sudah beranjak dewasa Vivi tidak bisa berpikir jernih? Orang yang sudah memberinya air susu justru ia balas dengan memberinya air tuba. Sungguh ironis memang. "Vivi harus bagaimana agar mendapatkan maaf dari kalian semua. Vivi iri setiap kali
Begitu juga dengan Amar. Belasan tahun Amar mengarungi biduk rumah tangga bersama Aliyah menjadikan dirinya sosok suami dan Ayah yang cukup tegas. Jika dahulu saat disakiti maka Amar hanya bisa diam dan berpasrah tapi, tidak dengan kali ini. Amar akan melawan siapa pun yang berusaha menyakiti keluarganya. Maka diputuskan meskipun dengan berat hati bahwa mereka akan melaporkan Vivi pada lembaga hukum. Vivi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan sekarang Rita lah yang akan menyeret sang keponakan ke kantor polisi sebab jika Aliyah dan Amar yang datang ditakutkan jika mereka berdua tidak akan tega saat melihat derai air mata Vivi. Beruntung Aliyah dan Amar mau mendengarkan usulan dari sang kakak. "Selamat siang, Bu. Maaf dengan siapa?" tanya pak Cokro pada Rita saat dirinya baru mendaratkan bokongnya di kursi. Rita yang baru saja memaki-maki Vivi pun napasnya masih tersengal-sengal karena terlampau emosi menghadapi anak tak tahu diri itu. "Saya Rita, Pak. Kebetulan saya juga
Ketakutan jelas terpancar dari sorot matanya yang seolah-olah berbicara untuk meminta Reno berhenti dan tidak melaporkan masalah itu ke dekan kampus. Namun, Reno tidak menghiraukan itu. Reno terus menyeret gadis dengan kulit eksotis itu menuju ruang dosen agar Vivi diberi hukuman yang setimpal. "Reno, please jangan laporin aku ke polisi. Aku minta maaf aku khilaf," hiba Vivi pada Reno tapi, pria itu bergeming. Ia sama sekali tidak menjawab kalimat yang dilontarkan Vivi hingga membuat Vivi bertambah ketakutan. Terlebih lagi mereka kini sudah berdiri di depan pintu ruangan dekan. "Reno, Reno tolong jangan laporin aku. Aku janji setelah ini gal akan lagi mengganggu atau pun menyakiti Rani.""Tutup mulutmu! Perbuatanmu harus kamu pertanggungjawabkan. Seenaknya saja mau lepas tangan!" hardik Reno yang membuat bibir gadis manis itu tertutup rapat. Hanya isak tangisnya yang masih terdengar meski lirih.Akhirnya kini baik Vivi maupun Reno sudah berada di ruangan rektor. Wajah Vivi terlihat
"Wah, cucu baru Nenek sudah pulang. Siapa ini namanya?" ujar bu Sri sembari mengambil alih anak bayi Aliyah dari gendongan Aliyah. "Oh iya siapa nama anak kamu ini, Al?" timpal Rita. "Narendra Akbar Amrani. Panggilannya Akbar.""Wah bagus sekali namanya cucu Nenek. Semoga jadi anak yang sholeh dan mampu melindungi keluarga ya le," ujar bu Sri mendoakan Akbar yang juga diamini oleh Aliyah dan Rita. "Kak, tadi lagi masak? Ini bau gosong." Aliyah menghembus-hembus bau yang menyeruak hidungnya. Begitu pun yang Rita lakukan hingga akhirnya Rita terpekik dan berlari kilat ke arah dapur. Semua yang ada di ruang keluarga kecuali Amar pun mengikuti Rita dari belakang hingga akhirnya mereka sampai di dapur mereka pun tertawa terbahak sebab melihat penampakan ayam panggang yang Rita buat yang seharusnya berwarna coklat justru menjadi warna hitam legam."Yah, gosong deh." Sontak semua yang ada di sana pun tergelak melihat ayam yang sudah tidak berbentuk lagi. ***"Reno!" Reno yang sedang berb
Uang yang Vivi serahkan pada Aldo dan katanya akan digunakan untuk berjualan sembako justru malah aldo gunakan untuk berjudi. Apakah Aldo menang? Oh tentu tidak. Tentu saja bandar tidak mau rugi. Permainan dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat natural dan memang murni tidak kepiawaian pemain dalam memainkannya padahal sudah jelas bandar sudah mengatur sedemikian rupa dari misalnya dua puluh kali taruhan maka akan diberi kesempatan menang bagi pemain hanya sekali dan itu pun pemain hanya memenangkan uang yang tidak seberapa jika ditotal dalam dua puluh kali bermain dan satu kali menang uangnya jauh lebih besar yang dikeluarkan daripada yang dimenangkan. Itulah dahsyatnya bisikan dan godaan syetan. Bagi manusia yang lemah imannya seperti Aldo akan diberi kesempatan untuk satu kali menang setelah itu dia akan ketagihan dan terus menerus untuk kembali melakukan judi. Sudah banyak buktinya orang yang hobi berjudi tidak akan pernah ada manfaat dalam hidupnya. Justru yang ada hanyalah ke
"Sudah aku usir." ucap Rita yang membuat Aliyah juga Amar tersentak dan langsung menatap Rita seolah-olah meminta penjelasan. Sedangkan bu Sri dan pak Darto sudah Rita ceritakan sebelumnya hingga mereka sudah tidak terkejut lagi. "Kakak usir? Kenapa?""Ya Kakak gak suka aja lihat kamu di sini karena dia eh dianya di sana ketawa ketiwi sambil main ponsel. Keponakan macam apa itu. Lagian biarkan saja dia pergi dan menyusul si cunguk Aldo itu biar dia tahu betapa gak enaknya hidup gak punya uang. Sudah bagus dikasih tumpangan dan disekolahin tinggi eh malah berulah dan gak tahu terima kasih," gerutu Rita. "Ya tapi masa diusir, Kak. Kan kasihan, kalau Aldo ternyata gak bertanggung jawab gimana. Kita semua tahu gimana perangai Aldo yang asli.""Ya biarkan saja, biar tahu rasa. Dia kira dia hebat bisa hidup tanpa kamu. Kita lihat sja tph kalau dia sudah tidak kuat dia akan kembali lagi ke rumah kamu.""Apa yang Kak Rita katakan ada benarnya juga, Dek. Anggap saja itu sebagai pelajaran ba
"Kemana?""Lha katanya mau jatah yaudah ke kamar lah kemana lagi.""Yess, terima kasih sayangku.""Eh, tunggu, Dek. Si Aliyah lagi berjuang di rumah sakit kok kita malah skidi pap di rumahnya apa gak kurang ajar ya?" tanya Raka yang membuat langkah Rita terhenti. "Kamu belum tahu? Aliyah dan bayinya selamat. Keduanya sehat walafiat hanya tinggal pemulihannya saja.""Kamu tahu dari mana?" "Barusan tadi Amar kasih kabar kalau anaknya sudah lahir jenis kelaminnya laki-laki. Dan sekarang Aliyah sudah dipindahkan ke ruang perawatan sedangkan bayinya masih harus di inkubator dulu sebab prematur.""Wah, baby boy. Kalau kita kapan lagi, Dek?" Raka menaik turunkan alisnya sembari tersenyum jahil pada Rita. "Apaan sih. 'Kan kita udah punya sepasang. Bella sama Rayhan." "Yah nambah satu lagi 'kan gak ada salahnya, Dek.""Maunya. Aku yang capek urus anak. Kamu mah enak bikinnya doang.""Yee aku juga ikut bantu kali, Dek. Ayo kalau gitu gak perlu sungkan lagi mari kita produksi adik buat Bella
Amar pun hanya bisa pasrah. Yang terpenting adalah keselamatan Aliyah dan juga anak yang dikandungnya. Selagi Dokter dan perawat menangani Aliyah. Amar segera menghubungi Rita untuk mengabarkan jika Aliyah berada di rumah sakit. Ia ingin minta tolong pada Rita untuk menjaga kedua anaknya di rumah terutama Rani. Sebab Amar takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan saat dirinya tidak ada di rumah. ***"Kamu itu ya, dulu mamamu yang nyusahin, sekarang gantian kamu yang nyusahin!" hardik Rita pada Vivi. Saat ini Rita memang sudah berada di rumah Aliyah. Tentunya ia bersama Raka tanpa anaknya. Awalnya Rita terkejut saat Amar memberi kabar jika Aliyah akan melahirkan sebab yang Rita tahu Aliyah masih lama waktu untuk melahirkan. Setelah Amar menceritakan apa yang sudah terjadi. Akhirnya Rita dan Raka pun bergegas menuju rumah Aliyah dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Sesampainya di rumah Aliyah tentu saja Rita menuju kamar Vivi di man Vivi tengah asik tertawa saat melihat m
"Kenapa kau lakukan itu pada Rani? Dia saudaramu Vivi!" "Di sudah merebut pacarku!" "Pacar? Pacar yang mana? Setau Bude Rani hanya dekat dengan satu orang pria yakni Reno.""Ya itu pacar aku!" "Reno? Pacar kamu? Sejak kapan? Baru kemarin malam Reno mengantar Rani pulang dan mengaku pada Bude dan Pakde kalau dia adalah pacar Rani bukan pacar kamu.""Ya tapi aku suka sama Reno Bude!""Suka? Terus Reno nya suka sama kamu enggak? Kalau enggak itu namanya bukan pacar kamu, lalu apa hak kamu menyakiti Rani?""Ya karena Rani enggak mau dengerin aku buat menjauh dari Reno.""Kenapa enggak kamu suruh saja si Reno yang menjauhi Rani? Kenapa kamu malah nyerang Rani?""Bude kenapa sih selalu saja membela Rani. Apa karena Rani anak Bude sedangkan aku hanya keponakan makanya Bude membedakan kami?""Dengar ya Vivi, mau itu anak Bude atau keponakan, Bude berada di pihak yang benar. Sedangkan di sini kamu salah! Kalian itu masih sekolah masih waktunya belajar kenapa harus berebut cowok seperti ini!