Bab 1
Arisan
Plak ….
Tamparan mendarat di pipi Bela sebelah kiri. Panas, nyeri yang ia rasa. Dengan spontan ia mengusap lembut pipi. Air mata pun berderai tanpa dikomando.
"Aku kan sudah bilang sama kamu, jangan pernah kamu membantah ucapan Ibu!" sungut Imam kepada Bela sembari tangannya menunjuk ke arahnya. Ucapannya begitu lantang dan juga menusuk hati.
"Tapi, Mas. Bela gak pernah membantah, Bela hanya menjelaskan kalau kita sedang tidak ada uang. Jadi kita tidak bisa memberi Ibu uang, itu saja." Wanita itu mencoba memberi pengertian. Merendahkan suaranya berharap suaminya tidak semakin marah.
"Halah, jangan berbohong kamu! Ibu sampai menangis pulang karena menantunya tidak memberi uang untuk berobat. Anak macam apa aku ini dimata orang-orang? Kalau cuma seratus ribu kenapa tidak kau berikan. Bukannya kemarin aku sudah memberimu uang dua ratus ribu?" sungut Imam. Nafasnya tersengal-sengal. Amarahnya membuncah hingga matanya memerah.
"Tapi, Mas. Uang dua ratus ribu itu sudah habis," jawab Bela sembari mengusap air mata yang enggan berhenti.
Imam mendengus kesal. Tak ada jawaban dari bibirnya. Lelaki yang sepuluh tahun menjadi imam itu diam tak berbicara sepatah katapun. Setelah Bela mengatakan uang yang ia berikan habis tak tersisa.
Ya, Bela menikah dengan Mas Imam, setelah dikenalkan oleh saudara jauh. Sepuluh tahun mereka membina rumah tangga. Namun belum juga dikarunia seorang putra. Imam sekarang suami yang mudah marah. Tidak bisa mengontrol emosinya sendiri. Apalagi jika sudah mendapat komporan dari ibunya. Masalah sepele menjadi besar karenanya.
Berkali-kali Bela pulang kerumah dan meminta cerai kepadanya. Tapi berkali-kali juga dia meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Tidak melulu cacian pedas yang dilontarkan kepada Bela. Tapi tangannya pun ikut andil. Terkadang tendangan pun sempat ia layangkan. Nasib Bela yang mungkin belum beruntung. Mempunyai suami yang tidak bisa mengatur emosi, ditambah memiliki ibu mertua yang pintar bersilat lidah. Paket lengkap merasakan pahitnya berumah tangga.
Pyar …
Piring kosong yang berada di atas meja dilempar ke sembarang arah olehnya.
Bela sepontan menutup telinganya.
"Astagfirullahaladzim," ucap Bela sembari menangis sesenggukan. Imam menatap tajam ke arah Bela yang masih berdiri di sampingnya.
"Apalagi ini? Kamu hanya masak tahu, tempe setiap hari! Kamu kemana kan saja uang yang kuberikan selama ini?" sungut Imam sambil berkacak pinggang. Lagi-lagi amarahnya meluap. Napasnya memburu, bahunya naik turun. Bela yang tak berani menatapnya hanya bisa mengusap air mata dengan ujung jilbab yang ia kenakan.
"Ah, dasar wanita bod*h!" Ditoyor kepala Bela dengan kuat. Hingga ia berjalan mundur selangkah. Imam pergi begitu saja tanpa mengucap salam maupun berpamitan. Setelah terdengar motor yang ia kendarai melaju meninggalkan rumah. Bela menangis sejadi-jadinya sembari menjatuhkan bobot tubuhnya ke lantai.
"Bela, Ya Allah!" Bu Sulis tetangga sebelah rumah menghampiri setelah mendengar kepergian Imam dengan sepeda motornya. Memeluk wanita itu dan ikut meneteskan air mata.
"Yang sabar ya, Nduk. Ini sudah jadi nasib kamu! Kamu harus ikhlas. Allah tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya. Ini ujian buat kamu, Nduk! Yang ikhlas ya!" Berkali-kali Bu Sulis menguatkan Bela dan meminta sabar menghadapi Imam. Bela hanya bisa menangis di pangkuannya dan mengangguk setiap dia memberi nasehat.
******
Seperti biasa Bela mengerjakan pekerjaan rumah. Meskipun tamparan Imam kemarin masih terasa nyeri dan membekas biru di pipi. Karena warna kulit wanita itu yang putih sehingga jika terbentur apapun dengan keras akan terlihat membekas. Apalagi sebuah tamparan yang cukup kuat bagi seorang laki-laki. Tangan Bela dengan kuat menyikat baju Mas imam satu persatu.
"Assalamu'alaikum, Bela." Terdengar salam dari luar. Membuat Bela menghentikan aktivitasnya.
"Waalaikumsalam," jawab Bela berniat membuka pintu. Belum juga keluar dari kamar mandi, ibu mertua sudah masuk kedalam rumah yang pintunya tadi tidak tertutup.
"Bela, kamu itu bude* apa? Dipanggil dari tadi bukannya menjawab salam malah diem saja! Ngelunjak kamu?!" sungut ibu mertua yang langsung menghampiri Bela yang tengah berada di kamar mandi.
"Bela sudah menjawab, Bu. Hanya saja belum sempat Bela keluar Ibu sudah masuk ke rumah!"
"Halah, ngeles terus kayak Bajai! Imam mana?" Wanita itu menyapu seluruh ruangan mencari anak semata wayangnya.
"Belum pulang, Bu," jawab Bela apa adanya. Karena memang Imam belum pulang kerja.
"Ya sudah, besok ibu mau ngadain arisan di rumah ini. Kamu besok masak yang enak-enak, ibu mau kepasar belanja dulu. Jangan lupa bersih-bersih rumah, ibu gak mau ya besok rumahmu terlihat jorok!" Tangan mertua Bela di lipat didepan dada.
"Kenapa arisannya disini, Bu? Kenapa tidak dirumah ibu sendiri? Rumah ibu kan lebih luas!" Bela heran. Karena memang Bela menempati rumah yang jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan rumah ibu mertuanya.
"Udah gak usah banyak nanyak! Ini juga rumah Imam anak ibu bukan rumah kamu, jadi suka-suka ibu mau ngadain arisan dimana! Sudah, ibu pergi dulu. Jangan bicara saja, mulai bersih-bersih sana!" perintah Ibu sembari pergi meninggalkan Bela yang masih berdiri.
*****
Suara adzan Subuh berkumandang jelas terdengar di telinga. Mata Bela terbuka perlahan. Segera ia mengambil air wudhu untuk menunaikan kewajiban sebagai umat muslim.
Setelah Bela selesai memanjatkan doa. Segera Bela melipat mukena berwarna putih yang mulai memudar itu. Mukena yang diberikan Imam sebagai mahar perkawinan kala itu.
Imam memang tidak pernah meninggalkan sholat, dia selalu rajin pergi ke mushola yang berada tidak jauh dari rumah. Hanya saja sikapnya yang sedikit pemarah seperti tak pantas jika itu menjadi kebiasaannya.
"Bel, Ibu mau ngadain arisan disini?" tanya Imam yang baru saja pulang dari mushola.
"Iya, Mas. Ibu juga sudah belanja. Tinggal masak saja. Memang ada apa?" tanya Bela, dia menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Imam.
"Menurut kamu poligami itu apa?" tanya Imam dengan wajah penasaran.
"Poligami? Punya istri lebih dari satu. Memang kenapa Mas dengan poligami?" Dahi wanita itu mengernyit banyak pertanyaan yang terlintas dalam pikirannya. Kenapa dengan Imam? Kenapa dia bertanya perihal poligami? Apakah dia akan menikah lagi? Apakah karena Bela belum bisa memberinya keturunan? Atau memang dia sudah punya wanita yang menjadi madu?
"Gak papa, ya sudah segara lah menyiapkan semuanya. Nanti keburu banyak orang!" perintah Imam. Bela pun langsung bergegas ke dapur. Memotong semua sayuran dan juga menyiapkan piring juga gelas. Acara apapun yang digelar entah itu di rumah sang mertua atau di rumahnya sendiri. Tetap saja Bela seorang yanh menyiapkan segala sesuatunya.
Meskipun rasanya sudah mau patah saja tulang-tulang itu. Tapi jika ia tidak menyelesaikannya tepat waktu, tulangnya akan dipatahkan oleh suami. Miris sekali rumah tangganya ini.
Kali ini menunya spesial. Rendang daging beserta kawan-kawannya. Tak lupa ibu menyiapkan buah-buahan segar yang sudah disimpan didalam kulkas. Tepat jam sepuluh semua makanan sudah siap di meja. Bela segera membersihkan diri sebelum tamu ibu datang. Suara riuh sudah terdengar saat Bela mengenakan jilbab instan berwarna coklat. Ia poles Bibir itu dengan lipstik yang baru ia beli kemarin. Sangat Pas dengan gamis yang kenakan. Bela memutar badan ke kanan dan ke kiri melihat pantulan di cermin membuatnya mengulas senyum.
"Bela," teriak Ibu mertua.
"Iya, Bu. Sebentar!" Bela segera keluar dari kamar dan menghampiri si empunya acara.
"Ada apa, Bu?" tanya Bela tangannya terus membenarkan gamis.
"Lho, kamu kok pake baju gamis sih? Nanti yang bawain minuman siapa?" tanya Ibu setelah melihatnya keluar dengan mengenakan gamis.
"Kan ada Mas Imam, Bu. Bela juga sudah selesai memasak. Lagian masak Bela juga yang masih nganterin minuman?" jawab Bela dengan naifnya.
"Lha kalau bukan kamu siapa? Ibu? Enak aja! Itu tugas kamu, masak nyuruh Imam. Dia itu capek, hari Minggu itu buat istirahat bukan malah ngerjain ini itu! Sudah buruan ganti baju!"
"Tapi, Bu. Bela juga sudah capek. Masak dari subuh!"
"Kamu berani melawan ibu?"
"Bukan begitu, Bu. Tapi …." Belum juga Bela melanjutkan ucapannya tiba-tiba Imam sudah datang menghampiri.
"Ada apa sih ini ribut-ribut? Sampai terdengar dari luar!" Tiba-tiba Imam datang setelah mendengar keributan kecil.
"Ini lho, Mam. Masak Bela nyuruh ibu mengantar minuman buat tamu. Kan gak sopan, menantunya aja malah enak-enakan di kamar. "
"Lho ibu kok bicara seperti itu? Bukan gitu, Mas!" Bela mencoba menjelaskan kepada suami meskipun nanti pada akhirnya dialah yang salah.
"Udah gak usah berisik. Kamu itu gak sopan ya, nyuruh-nyuruh ibu yang sudah tua bawa minuman. Kamu mau ngapain? Tidur? Sudah itu tugas kamu gak usah ngeyel kalo dibilangin!" Bela Pun terdiam. Meskipun sebenarnya Bela tahu pada akhirnya ia yang akan mengantar minuman kepada para tamu. Meskipun dengan berat hati ia melakukannya.
Satu persatu makanan dan juga minuman di antar ke ruang tamu. Banyak ia dengar mereka memuji masakan. Lelahnya akan terobati jika semua orang menyukai makanan yang dibuat.
Kesibukan di dapur membuatnya tidak sempat ikut berkumpul dengan Ibu dan juga tamunya. Meskipun seringkali terdengar candaan yang menghebohkan. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun anehnya tak sekalipun ia melihat orang-orang itu mengumpulkan uang jika ini memang acara arisan. Tapi ya sudahlah, toh bukan urusannya. Ucap Bela dalam hati yang tidak ingin kepo lebih jauh.
Setelah acara selesai, satu persatu tamu berpamitan pulang. Lagi-lagi Bela pun bertugas membersihkan piring dan juga gelas kotor.
"Bela, sini sebentar ibu mau bicara!" Segera Bela letakan piring dan juga gelas kotor ke tempatnya semula. Lalu menghampiri mertua yang sudah duduk bersama Ilmam dan seorang wanita cantik.
"Ada apa, Bu? Siapa wanita ini? Kenapa dia tidak pulang seperti yang lain?" tanya Bela penasaran sembari melihat wanita itu duduk berdekatan dengan Mas Imam
Bab 2 Kedatangan Madu"Bela, kenalkan ini Amelia Pratiwi." Ibu menarik tangan Amelia dengan lembut. Sikap yang tidak pernah ia tunjukan kepada menantunya. Namun anehnya itu tidak berlaku dengan Amelia."Panggil saja Lia, Mbak," ucap Lia dengan senyuman yang sulit diartikan."Bela, saya Bela istri Mas Imam," jawabnya juga diiringi senyum, tidak lupa Bela tekankan kalau dia adalah istri lelaki yang kini duduk disampingnya."Saya tahu." Lia tersenyum ke arah Ibu mertua kemudian beralih pandangannya ke arah Imam. Anehnya Imam tidak memperkenalkan dirinya. Mungkin dia sudah kenal lebih dulu."Ada apa ini, Bu?" tanya Bela spontan. Karena tidak mungkin jika Lia itu keponakan Imam sebab selama ini dia tahu siapa saja keponakannya."Lia ini istri Imam yang baru. Mereka sudah menikah seminggu yang lalu di rumah Ibu."Bak disambar petir di siang hari. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba Ibu Imam mengatakan hal yang begitu menyakitkan."Istri? Mas, apa maksud perkataan Ibu? Bela gak ngerti
Bab 3 Luka"Masuk, Pakde," pinta Bela kepada lelaki tua yang kini ikut duduk bersama mereka."Ada apa ini? Suara kalian itu kedengaran sampai di luar. Jika para tetangga denger apa kalian gak malu?" ucap Hamdani dengan suara yang pelan tapi masih terdengar oleh semua orang. Bela mengusap jejak air mata. Berharap akan ada titik terang dengan kedatangan Hamdani. Beliau sangat dihormati sebab selama Bela menikah dengan Imam. Beliaulah yang selalu menjadi penengah saat ada masalah."Pakde, Mas Imam menikah lagi!" tutur Bela pelan. Airmata yang tadi dipaksa berhenti kini kembali mengalir dengan sendirinya. Hamdani membuang napas dengan kasar."Memangnya kamu belum tahu kalau Imam sudah menikah seminggu yang lalu?" tanya Hamdani kepada Bela. Netranya mengarah kepada wanita itu."Jadi Pakde juga sudah tahu perihal Mas Imam menikah lagi?" Bela bertanya untuk memastikan apakah dugaannya salah atau benar. Hamdani mengangguk pelan. Lalu menghirup oksigen sebanyak-banyaknya kemudian membuangnya
Bab 4 Amarah Bela"kurang gak Bu uangnya?" tanya Lia yang memperhatikan Ratna menghitung uang dihadapannya."Enggak kok nggak kurang malah lebih ini," ucap Ratna sok mau mengembalikan kelebihannya. Padahal dalam hati memang ini yang dia inginkan."Gak usah dikembalikan, Bu. Buat Ibu saja kalau ada lebihnya.""Ih, menantu ibu yang satu ini baik banget deh. Makasih ya, Sayang! Beda sama menantu yang Ono. Yang ada dia malah gak pernah ngasih ibu uang, alasannya sama. Gak ada duit, padahal uang suaminya dia yang pegang!" Ratna terlihat sengaja memuji Lia setinggi-tingginya biar dia tersanjung dan juga uangnya mengalir terus kepada wanita tua itu. "Oh ya, Bu. Nanti siapa saja yang bantu-bantu ibu memasak? Lia gak bisa bantu, Bu. Maklum kemarin abis meni pedi. Jadi sayang kalau buat motong bawang. Nanti rusak lagi kuku Lia," ucap Lia sembari memandangi kukunya yang baru dicat berwarna merah terang."Udah tenang aja, nanti biar Bela yang ngerjainnya. Kamu gak usah bantu-bantu. Nanti capek
Bab 5Nasehat Hamdani"Sudah cukup, Rat. Kamu tidak usah ikut campur urusan anakmu. Tidak baik jika orang tua terlalu ikut campur," ucap Hamdani menasehati. Memang yang bisa dilakukan Hamdani hanya sekedar menasehati tapi tidak bisa berbuat lebih. Karena Hamdani tidak punya hak untuk berbuat lebih.Lantas Bela pergi meninggalkan mereka yang masih berdiri menatap penuh amarah. Berjalan dengan langkah cepat menuju rumah Hamdani, yang jarak antara rumah mereka tidaklah jauh. Bela tidak memperdulikan para tetangga yang melihatnya berjalan dengan berderai air mata. Karena pikiran wanita itu sudah tidak bisa lagi digunakan."Mir, Amir." Bela berteriak memanggil Amir. Anak Hamdani yang duduk di bangku sekolah menengah. "Iya, Mbak Bela," jawab Amir bersamaan keluar dari rumah. "Mau kemana, Mbak?" tanya Amir penuh keheranan melihat Bela membawa tas cukup besar. Wanita itu mengusap jejak airmatanya. "Mir, antar Mbak Bela pulang yuk!" Bela meminta tolong Amir agar diantar pulang kerumah. Jara
Bab 6 Pov Ratna"Gak papa kok, Sayang. Kamu istirahat sana gih! Biar Ibu yang menyelesaikan semuanya." Meskipun aku berkata demikian tapi lain dihati lain di mulut. Jangan sampai sikapku terlihat buruk dimata menantu satu ini. Agar apa? Agar dia pikir aku baik dan dia memberi aku uang."Ya sudah, Lia masuk dulu, Bu. Ow ya, Bu nanti tolong bikinin Lia bakso kuah ya? Sepertinya tadi Lia liat ada bakso dalam kulkas." pinta Lia tanpa sungkan kepadaku. Dia pikir dia siapa? Memerintah seenak jidatnya sendiri. Kalau bukan karena dia banyak uang aku tidak mau melakukannya."Iya nanti Ibu buatkan. Kamu suka pake mie berwarna putih atau kuning?" tanya ku sok perhatian. Meskipun dalam hati aku mengeluh."Dua-duanya ya, Bu?" Lia mengerlingkan matanya. Sungguh membuatku malas melihatnya."Iya," jawabku singkat agar dia lekas pergi dari hadapanku.Setelah semua pekerjaan selesai. Aku segera membuatkan Lia bakso. Sedangkan dia malah enak-enakan tidur di kamar. Melihat Lia yang tidur di kamar bersam
Bab 7 Grub RT rame"Waalaikumsalam," jawab seseorang yang ada di seberang telepon."Ada apa, Tar?" Pertanyaanku kepada Tari tetanggaku yang tinggalnya cukup jauh dari rumah. "Bel, Imam nikah lagi? Acara di rumahmu tadi acara syukuran pernikahan suamimu kan? Kok kamu mau sih di madu?""Oh itu," jawabku biasa saja."Kok Kamu biasa aja sih, Bel? Apa bener kamu merestui mereka? Apa kamu yang menyiapkan acara tersebut?" Tari mencerca aku dengan banyak pertanyaan."Aku gak pernah merestui mereka. Awalnya aku gak tahu, Tar. Kata mertua itu acara arisan. Taunya acara syukuran pernikahan suamiku sendiri. Aku baru tahu setelah acara selesai," tuturku panjang lebar kepada Tari. Tari ini teman semasa sekolah menengah. Kebetulan dia mendapatkan suami yang rumahnya cukup jauh dengan rumah Mas Imam tapi masih satu Rt. Bisa dibilang rumah Tari adalah rumah paling ujung."Mbok ya cerai saja tho, Bel. Suami model begitu kok ya masih nekat bertahan sampai sekarang. Malah sekarang Berani nikah lagi! Pa
Bab 8 Lia merajukPOV IMAM"Mas, rumah berantakan banget sih. Kamu kok gak bersih-bersih?" tanya Lia yang baru bangun dari tidur. Wanita itu sekarang sudah tidak lagi bekerja. Semenjak kami menikah dan semenjak dia mengandung. Aku menyuruhnya berhenti bekerja. Aku takut jika terjadi apa-apa dengan bayi yang sedang ia kandung."Aku kan kerja, Sayang. Nanti biar Ibu yang beberes rumah." Aku mengusap rambut Lia dengan lembut. Lia memang berbeda dengan Bela. Dia manja dan sedikit keras kepala. Sedangkan Bela setiap hari bangun pagi lalu menyiapkan makanan untuk sarapan dan juga bekal yang dibawa ke pabrik. Rajin beberes rumah dan juga menyirami tanaman. Seminggu sudah dia pergi dari rumah. Tanamannya pun sudah banyak yang mati karena tak pernah tersentuh air."Lia juga laper, suruh Ibu sekalian bawa makanan!" pinta Lia dengan manja. Aku membuang napas dengan kasar. Pasti Ibu akan berbicara panjang lebar jika aku kembali menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah, sekaligus membawa makanan
Bab 9POV Bela"Assalamualaikum," Salam terdengar dari Kania. Teman lamaku."Waalaikumsalam," Segera aku menghampirinya lalu menghamburkan pelukan kepada wanita yang sudah lama tidak bertemu itu."Apakabar, Bel? Kamu kok kurusan sih?""Iya, nih. Lagi diet," jawabku asal, sengaja aku tidak berterus terang. Ada banyak hal yang menjadi beban pikiranku. Sehingga tubuhku tergerus hingga menjadi kurus dan seperti tak terurus."Ow, ya kenalin. Dia Mas Arya, seorang pengacara yang sudah aku ceritakan kemarin." Aku mengangguk lalu melempar senyuman kepadanya."Ayo, masuk dulu! Kita bicara di dalam!"Segera aku mengajak mereka masuk kedalam rumah. Karena Emak dan juga Bapak sedang tidak ada dirumah. Jadi akulah yang mengambilkan minuman dan juga makanan ringan di dapur. Mungkin ini adalah langkah besar yang harus aku ambil. Dengan hati-hati aku menceritakan setiap detil kepada Mas Arya. Dan bukti foto.Ya, aku tidak bodoh seperti yang mereka pikir. Setiap kali aku mendapat pukulan maupun tendan
Happy endingPandu pergi meninggalkan Bela. Pergi meninggalkan wanita itu yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di rumah baru itu. Pandu benar-benar marah, dia tidak percaya jika Bela akan mendorongnya cukup kuat. Dan berpikir dia meminta haknya. Dengan teriakan yang cukup memekikkan telinga.Bela menangis tergugu. Tubuhnya lemas hingga terjatuh di lantai. Bersimpuh dengan air mata yang tidak mau berhenti.Bela menyesali perlakuannya pada Pandu. Padahal dia melihat kesungguhan laki-laki itu dalam membimbingnya kembali mengingat.Bela menyesal. Tapi sesak tiada guna, Pandu sudah pergi entah kemana dia? Seharusnya dia tidak pernah meninggalkan Bela dalam kondisi Semarah apapun. Apakah dia tidak ingat dengan janjinya? Tidak akan meninggalkan Bela dalam kondisi apapun?Tiba-tiba ingatan Bela satu demi satu kembali. Membuat kepalanya terasa berat, semakin lama hanya sakit yang ia rasakan. Sejalan dengan ingatan yang kembali dalam pikirannya.Hingga Bela tidak bisa lagi menahan sakit.
Pandu kecewa"Kenapa mesti pindah rumah sih?" tanya Bela kepada Pandu. Dengan bibir mengerucut. Sedangkan Pandu masih sibuk memasukan pakaiannya satu persatu ke dalam koper. Dia nampak ragu menjawab. Tapi lagi-lagi Bela bertingkah."Eh, ditanya malah diem bae." Bela kembali berteriak. Kini tidak hanya berteriak, dia melempar sesuatu dengan asal. Astaga, dan apa kamu tahu apa yang dia lempar? Celana dalam dengan motif bunga renda. Sungguh menggemaskan, eh salah sexy. Dia salah, salah ambil. Membuat Pandu menoleh ke arah Bela. Dia benar-benar merindukan istrinya. Menatap wajah Bela dengan senyum yang sulit diartikan.Pandu langsung bergegas menghampiri Bela. Tingkahnya seperti singa yang siap akan menerkam mangsanya."Mau apa Lo?" Bela mencoba melempar apapun yang berada didekatnya. Namun sayang Pandu masih bisa menepisnya."Aku mau kamu, Sayang." ucap Pandu dengan wajah menggoda.Bela kembali berteriak hingga membuat Pandu panik. Ketika tubuh Pandu semakin ia dekatkan pada wanita itu.
Pandu sadarBela semakin hari semakin membaik. Beberapa perban yang menutup lukanya dibuka. Lastri dan Sukino sedang dirumah Pandu. Beristirahat, dan berganti Tari dan Anton."Sayang, mamah ada disini. Kamu mau apa?" tanya Tari. Bela menggeleng. Wanita itu berubah. Dia menjadi wanita yang lebih pendiam, dia bingung dengan apa yang sudah menimpanya. Memiliki keluarga dan juga mertua. Sungguh sulit dibayangkan olehnya."Siapa suamiku, Mah?" tanya Bela terbata. Dia penasaran bagaimana keadaan suaminya jika dia memang sudah menikah. "Pandu?" Bela tersenyum. Meskipun dia tidak ingat wajah sang suami, tapi setidaknya dia bertanya. Meskipun sebenarnya dalam hatinya tak ada rasa khawatir sedikitpun."Dia masih koma, dia belum sadar. Doakan ya, semoga dia lekas sadar. Nanti kalau kamu sudah bisa berdiri, kita lihat suamimu di ruangannya. Dia disana sedang berjuang juga sepertimu. Mamah harap, kamu juga ikut berjuang ya!" Bela hanya tersenyum tak ada anggukan atau jawaban. Dia mungkin bingun
Bela hilang ingatanMobil yang dikendarai Pandu keluar kawasan komplek. Baru saja memasuki jalan raya mobil hitam tersebut ditabrak truk bermuatan yang kehilangan kontrol.Kepala Bela terbentur. Pandu pun terluka, Oma yang ada di kursi penumpang bagian belakang juga merasakan guncangan cukup hebat. Arya langsung menghentikan laju kendaraannya. Beristighfar, mengharap Tuhan melindungi Bela dan juga Pandu."Astagfirullahaladzim, Bela. Ya Allah, Mas itu kan mobil Bela sama keluarganya.""Iya, Nia. Kamu yang tenang ya, aku akan segera menghubungi ambulans." Arya dengan cepat menghubungi pihak rumah sakit. Segera meminta pertolongan untuk kecelakaan yang baru saja terjadi.Arya dan Kania turun dari mobil. Sedangkan Cleo dia langsung menghamburkan pelukannya pada Kania. Calon ibu sambungnya. Pikiran Kania tak karuan dia khawatir dengan keadaan sahabatnya. Karena Arya melarang Kania mendekat. Hanya Arya yang mendekat. Memastikan Bela dan keluarga baik-baik saja. Tapi bagaimana bisa baik-
Pertemuan Arumi dan BelaSeperti rencana semula. Bela pergi ke acara pernikahan Rumi. Anak Anton dengan istri terdahulu. Kebetulan Bela, Oma dan juga Pandu satu mobil. Sedangkan Anton sama Tari mengendarai mobil sendiri. Sengaja, karena kepulangan mereka berbeda waktu.Bela tidak tahu jika Rumi saudara Pandu beda Ibu itu ternyata Arumi. Wanita yang pernah dekat dengannya. Wanita yang pernah memintanya menikah dengan suaminya sendiri. Rela dimadu demi bakti kepada suami itu alibinya. Meskipun pada kenyataannya tidak demikian. Entah apa yang terjadi jika Bela bertemu dengan Arumi? Apakah mereka akan baik-baik saja? Setelah dulu pernah terdengar kabar bahwa Arya akan bercerai dengan Arumi. Tak lama Bela kehilangan komunikasi dengan wanita itu. Tiba-tiba saja dia hilang seperti ditelan bumi.Untuk kali ini Bela akan bertemu dengan Arumi sebagai adik ipar. Terkejutkah Bela jika melihat Arumi? Apakah Arya juga akan hadir dalam acara tersebut?Bela dengan senyum sumringah terlihat anggun m
*****"Lepaskan saya, Pak. Saya ini lagi hamil. Apa kalian tidak punya hati nurani?!" teriak Maura ketika dia ditangkap polisi. Berharap tindakannya itu memberikan rasa empati kepadanya. Namun, bukan mendapatkan empati justru petugas bersikap tegas."Silahkan, Ibu menjelaskan semuanya di kantor. Saya hanya menjalankan tugas. Saya juga sudah membawa surat penangkapan. Ibu juga berhak membawa pengacara!" Dengan jelas dan tegas petugas itu menjawab.Maura terlihat marah, sangat marah. Tidak mungkin jika Pandu tega menjebloskan dirinya ke penjara. Benar-benar diluar dugaannya. Secepat ini keluarga Pandu bergerak. Padahal dia belum melakukan apa-apa. Baru menghilangkan janin Bela, semua orang menyerangnya dengan bersamaan. Umpatan demi umpatan dalam hati yang bisa dilakukan Maura saat ini. Keluarganya sudah tidak mau berurusan dengannya lagi. Setelah kasus hutang piutang yang dilakukan Maura. Kini dia sendirian. Dalam keadaan hamil dan kemungkinan dia dipenjara dalam waktu yang tidak sebe
Maura bertingkah Oma bertindak"Makan dulu, Sayang. Kamu harus tetap makan. Biar nggak sakit, semua merasa kehilangan kok. Sama sepertimu tapi Mamah harap kamu bisa lebih ikhlas." Tari memeluk Bela. Bela hanya tersenyum. Lagi-lagi dia pandai menyembunyikan luka."Ya sudah, kalau begitu Mamah keluar dulu. Nanti kalau kamu pengen sesuatu kamu bisa panggil Bik Tum.""Iya, Mah. Terima Kasih," ucap Bela dengan mata yang sedikit berembun. Tari mengusap lembut pucuk kepala Bela. Lalu menciumnya cukup lama, sesama wanita dia tahu betul apa yang dirasakan menantunya itu.Pandu terlihat masuk kedalam kamar, ketika melihat wanita yang sudah melahirkannya keluar. Pandu mendekat lalu dia mengusap lembut bahu Bela, ikut duduk disisi ranjang."Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, Sayang. Maaf, seharusnya ini sudah aku ceritakan sejak dulu."Bela mengangguk tak ada banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia begitu diam, sangat diam."Gladis sedang hamil." Pandu tertunduk menceritakan wanita itu, ber
Rahasia PanduPyar ….Gelas yang ingin Lastri raih dari atas meja mendadak jatuh. Entah itu karena Lastri menyentuhnya atau karena memang pertanda buruk."Ada apa, Mak?" Adit keluar dari kamar. Mencari sumber suara. Dia melihat Lastri membersihkan pecahan gelas di bawah meja. "Perasaan Emak nggak enak, Dit. Coba kamu telpon Mbakmu. Semoga dia sehat-sehat saja." Lastri menerawang jauh. Entah mengapa hatinya gelisah. Rasanya tidak tenang jika belum mendengar kabar dari putrinya. Putri yang kini jauh dari pandangannya."Iya, Mak. Ni aku telpon Mbak Bela." Adit sibuk memainkan benda pipih di tangannya. Sedangkan Lastri kini duduk bersandar."Nggak diangkat Mak," ucap Adit sembari melihatkan layar ponselnya yang sedang menghubungi Bela. Sekali, dua kali hingga tiga kali tanpa ada jawaban sama sekali. Membuat Lastri semakin gusar dan kepikiran. "Mak," panggil Sukino dari kamar. Sukino kini tengah sakit. Hanya sakit biasa, namun entah mengapa sudah seminggu tidak kunjung sembuh. Tenggoroka
Keguguran POV Bela Setelah kurasa badan ini terasa pegal. Kuputuskan pergi ke kamar. Melangkah dengan hati-hati berjalan menuju kamar. Melewati ruang tamu hingga ruang makan pun nampak biasa saja. Tak ada Irt saat ini, mereka tengah sibuk di belakang. Satu demi satu anak tangga aku lalui. Sembari tangan menyentuh lembut perut yang mulai menyembul. Indah dan juga sangat bahagia. Tapi ketika aku menjatuhkan kaki kanan, alangkah terkejutnya aku. Di anak tangga tersebut seakan licin penuh minyak. Seketika aku beristighfar lalu menyebut nama Allah. "Allahuakbar," ucapku spontan. Tanganku langsung mencari pegangan. Namun sayang lantai yang teramat licin membuat tubuhku tak sanggup menopang beban. Hingga tergelincir. Berguling ke bawah melalui anak tangga. Aku meringis kesakitan. Dibawah sana ada sesuatu yang terasa hangat keluar. "Oma," ucapku pelan. Karena aku sibuk memegangi perut yang terasa sakit luar biasa. "Bela, Bela. Astagfirullahaladzim, ini kamu kenapa? Bela, istighfar. B