Bab 6
Pov Ratna
"Gak papa kok, Sayang. Kamu istirahat sana gih! Biar Ibu yang menyelesaikan semuanya." Meskipun aku berkata demikian tapi lain dihati lain di mulut. Jangan sampai sikapku terlihat buruk dimata menantu satu ini. Agar apa? Agar dia pikir aku baik dan dia memberi aku uang.
"Ya sudah, Lia masuk dulu, Bu. Ow ya, Bu nanti tolong bikinin Lia bakso kuah ya? Sepertinya tadi Lia liat ada bakso dalam kulkas." pinta Lia tanpa sungkan kepadaku. Dia pikir dia siapa? Memerintah seenak jidatnya sendiri. Kalau bukan karena dia banyak uang aku tidak mau melakukannya.
"Iya nanti Ibu buatkan. Kamu suka pake mie berwarna putih atau kuning?" tanya ku sok perhatian. Meskipun dalam hati aku mengeluh.
"Dua-duanya ya, Bu?" Lia mengerlingkan matanya. Sungguh membuatku malas melihatnya.
"Iya," jawabku singkat agar dia lekas pergi dari hadapanku.
Setelah semua pekerjaan selesai. Aku segera membuatkan Lia bakso. Sedangkan dia malah enak-enakan tidur di kamar. Melihat Lia yang tidur di kamar bersama Imam. Rasanya amarahku memuncak. Aku sebagai mertua sedari tadi beberes rumah belum juga istirahat. Mereka malah malas-malasan.
Aku merutuki diriku sendiri. Kenapa kemarin aku harus menawari Lia untuk mengadakan syukuran atas pernikahannya. Malah akhirnya membuatku capek sendiri begini. Sungguh aku sangat menyesal.
********
POV BELA
Bude Siti mengajakku duduk didapur. Karena ada Amir yang tengah mengikuti belajar online di ruang tamu. Mungkin jika aku dan Bude Siti berbicara akan mengganggu konsentrasi Amir. Aku menjatuhkan bobot tubuhku di kursi plastik warna merah yang berada di dapur. Tas yang sedari tadi aku jinjing pun segera aku letakan. Aku menenangkan hati dan juga pikiran.
"Kamu yang sabar ya, Bel. Ini ujian buat kamu!"
"Bude juga sudah tahu?"
"Iya, Bude Sudah tahu semuanya, pas Pakdemu diminta buat jadi saksi. Sebenarnya dia sudah menanyakan banyak hal kepada Imam maupun Ratna. Mertua kamu. Tapi mereka bilang kamu merestui, entah dari mana Imam bisa mendapatkan surat kuasa dari kamu bahwa kamu merestui pernikahan Imam dengan Lia. Pakde yang kala itu melihat suratnya. Percaya begitu saja. Tanpa mencari tahu terlebih dahulu keaslian surat tersebut. Maafkan Pakde dan juga Bude. Ya, Bela?"
"Iya, Bude. Gak papa. Mungkin Bela saja yang terlalu gampang mereka bod*hi!" Aku menunduk merutuki sikapku selama ini yang terlalu lemah kepada mereka.
"Terus, rencana kamu ke depan apa?"
"Bela masih memikirkannya, Bude. Bela takut salah langkah. Apalagi emosi Bela sekarang masih naik turun. Akan aku pikirkan lagi nanti!"
"Ya sudah, kalau begitu. Apa kamu juga akan berterus terang dengan Emak?" Bude Siti meletakan segelas air putih di meja yang ada di depanku.
"Belum tahu, Bude. Bela bingung."
"Sudah diminum dulu, nanti kalau Amir sudah selesai kamu bisa langsung pulang!"
Aku mengangguk. Karena dengan hati yang hancur. Aku kehilangan banyak kata untuk diucapkan. Tidak berapa lama Pakde Hamdani pulang kerumah. Mengucap salam lalu langsung pergi menuju dapur yang berniat menghampiri istrinya.
"Lho Bela masih disini? Pakde pikir kamu pulang diantar Bude. Karena Pakde liat Amir masih belajar."
Aku menggelengkan kepala. Pakde pun tidak memaksa aku menjawab setiap pertanyaannya. Sehingga dia juga diam saja setelah melihat aku menggelengkan kepala.
"Bapak, kasihan Bela lho Pak. Kita harus bantu dia!"
"Lha mau gimana lagi, Bu? Bapak juga sudah berusaha. Tadi sebelum pulang saja Bapak sempet menasehati Imam sama Ibunya. Tapi mereka malah terdengar tidak suka dengan nasehat Bapak. Ya sudah, Bapak tinggal pulang saja! Bapak juga sudah males sama mereka. Meskipun Ratna itu adik kandung Bapak!"
"Eh, aneh memang si Ratna itu. Padahal dia dulu merasakan sakit hati bagaimana ditinggal suami karena wanita lain. Kenapa anaknya malah didukung berpoligami? Heran aku sama dia," sungut Bude Siti yang ikut kesal dengan sikap adik iparnya itu.
Aku masih diam dengan pikiranku sendiri. Tak selang berapa lama Amir selesai belajar online. Akupun segera pulang ke rumah bersama Amir. Aku langsung berpamitan dengan Pakde dan juga Bude. Dalam perjalanan pulang pikiranku masih sibuk mengingat setiap perkataan Mas Imam maupun Ibu mertuaku. Apakah aku memang benar-benar dibutakan karena cinta? Sehingga tidak masuk akal jika selama 10 tahun lamanya aku bertahan dengan sikap Mas Imam dan juga ibunya. Meskipun perubahan sikap Mas Imam terlihat setelah umur lima tahun pernikahan kita.
Tuling ...tuling ... tuling.
Beberapa pesan masuk kedalam aplikasi berwarna hijau itu.
Aku hanya melihat tanpa membukanya. Grup RT dimana aku menjadi anggotanya sangat ramai. Entah apa yang mereka bahas? Untuk saat ini aku sedang tak ingin membacanya. Segera kumasukkan kedalam tas benda pipih itu. Satu jam kemudian kami tiba dirumah emak. Rumah sederhana bercat kuning itu nampak sepi. Aku yakin Bapak sama Emak sedang pergi ke ladang.
Amir pun langsung berpamitan pulang. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih banyak atas bantuannya mengantarku pulang.
"Makasih ya, Mir! Ini buat jajan," ucapku sembari menaruh uang ke dalam saku jaketnya.
Aku membuka pintu rumah dengan mengambil kunci yang Ibu sembunyikan di bawah pot bunga. Kebiasaan dari dulu hingga sekarang tidak berubah. Segera aku membuka pintu lalu masuk ke dalam kamar. Menjatuhkan bobot tubuhku di atas kasur.
Pikiranku menerawang jauh. Berpikir keras apa yang akan aku lakukan untuk membalas semua perbuatan Mas Imam dan juga Ibu mertua? Hingga tak terasa mata ini semakin lama semakin lengket saja rasanya. Hingga tidak berapa lama aku terlelap. Dengan kepala yang masih terlilit jilbab instan.
"Nduk, Bel Bela. Bangun, Nduk!" Suara lembut Emak terdengar membangunkan ku. Segera aku membuka mata lalu mengerjapkan nya.
"Emak?" Segera aku menghamburkan pelukanku ke arahnya.
Tanpa dikomando aku pun langsung menangis tergugu. Meluapkan semua sesak di dada. Menangis sejadi-jadinya diperlukan Emak. Dengan lembut Emak mengusap rambutku pelan. Dia wanita yang hangat.
Emak melonggarkan Pelukanku. Lalu menatapku dengan seksama.
"Kamu ada masalah dengan suamimu?" Pertanyaan Emak seperti biasa jika aku kembali pulang kemudian menangis dalam pelukannya. Memang hati Ibu bisa merasakan jika anaknya sedang tidak baik-baik saja.
Aku mengangguk.
"Kenapa? Imam mukul lagi?" tanya Ibu sembari meneliti setiap inci tubuhku mencari memar bekas pukulan.
"Mas Imam kali ini tidak main tangan, Mak!"
"Lalu apa yang membuatmu menangis, Nduk?"
Ada keraguan untuk menceritakan nya pada Emak dan juga Bapak. Pasti mereka akan kepikiran. Tapi kalau aku tidak menceritakannya kepada mereka. Lantas kepada siapa lagi aku berbagi rasa? "Mas Imam menikah lagi, Mak." Dengan bermodal keberanian aku berterus terang kepada Emak.
"Apa? Imam nikah lagi? Bapak gak salah dengar?" sahut Bapak setelah mendengar ucapanku. Aku mengangguk, air mataku kembali berlinang tanpa bisa dihentikan.
Emak terdengar membuang nafas dengan kasar. Lalu mengusap rambutku dengan lembut. Kemudian meraih kepala ku dan menenggelamkan dalam pelukannya.
"Sabar," Satu kata yang terucap dari bibir wanita yang telah melahirkanku itu.
"Dasar Imam itu kurang ajar, sok-sokan alim. Tapi kelakuannya gak bermoral!" sungut Bapak yang mulai marah setelah mendengar perkataanku.
"Bapak kan sudah berkali-kali bilang. Cerai saja dengan Imam. Tidak ada gunanya mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak sehat lagi! Apalagi dia sering menyakitimu dan berbuat kasar padamu. Bapak itu dari dulu sudah tidak suka dengan Imam. Kamu aja yang nekat!"
"Bela sungkan, Pak. Dengan Om Gunawan. Mereka berjasa kepada keluarga kita. Saat kita sedang ada masalah dulu! Tidak mungkin aku menolak perjodohan itu!" jawabku sambil mengusap air mata yang terus mengalir.
Bapak menghirup oksigen sebanyak-banyaknya lalu membuangnya perlahan. Berfikir sejenak, mencerna semua ucapanku yang baru saja ia dengar. Ya, Om Gunawan adalah orang yang menjodohkan aku dengan Mas Imam. Dia sepupu jauh kami. Keluarga Om Gunawan berjasa saat kami sedang ada masalah. Dulu bapak dan Emak terlilit hutang. Om Gunawan lah yang membantu melunasi hutang-hutang bapak. Sehingga rasanya kurang pantas jika aku menolak perjodohan itu. Meskipun sebenarnya bapak dan ibu kurang sreg dengan Mas Imam.
"Maafkan, Bapak sama Emak ya Nduk. Harus melibatkan kamu dengan masalah kami!" Emak mengusap air matanya yang tumpah.
Kring … kring …. Kring.
Ponsel ku berdering. Ada seseorang yang menelpon ku. Namun entah dari siapa? Tak aku hiraukan. Karena aku sedang malas menjawab telepon dari siapapun.
Ponselku terus saja berdering. Hingga membuat semua orang yang ada di ruangan itu memperhatikan benda pipih itu yang tergeletak di atas kasur.
"Angkat dulu itu, Nduk. Siapa tau penting!" pinta Emak.
Aku segera menjawab telepon.
"Halo, Assalamualaikum," ucapku setelah menggeser tombol warna hijau ke sebelah kanan.
Bab 7 Grub RT rame"Waalaikumsalam," jawab seseorang yang ada di seberang telepon."Ada apa, Tar?" Pertanyaanku kepada Tari tetanggaku yang tinggalnya cukup jauh dari rumah. "Bel, Imam nikah lagi? Acara di rumahmu tadi acara syukuran pernikahan suamimu kan? Kok kamu mau sih di madu?""Oh itu," jawabku biasa saja."Kok Kamu biasa aja sih, Bel? Apa bener kamu merestui mereka? Apa kamu yang menyiapkan acara tersebut?" Tari mencerca aku dengan banyak pertanyaan."Aku gak pernah merestui mereka. Awalnya aku gak tahu, Tar. Kata mertua itu acara arisan. Taunya acara syukuran pernikahan suamiku sendiri. Aku baru tahu setelah acara selesai," tuturku panjang lebar kepada Tari. Tari ini teman semasa sekolah menengah. Kebetulan dia mendapatkan suami yang rumahnya cukup jauh dengan rumah Mas Imam tapi masih satu Rt. Bisa dibilang rumah Tari adalah rumah paling ujung."Mbok ya cerai saja tho, Bel. Suami model begitu kok ya masih nekat bertahan sampai sekarang. Malah sekarang Berani nikah lagi! Pa
Bab 8 Lia merajukPOV IMAM"Mas, rumah berantakan banget sih. Kamu kok gak bersih-bersih?" tanya Lia yang baru bangun dari tidur. Wanita itu sekarang sudah tidak lagi bekerja. Semenjak kami menikah dan semenjak dia mengandung. Aku menyuruhnya berhenti bekerja. Aku takut jika terjadi apa-apa dengan bayi yang sedang ia kandung."Aku kan kerja, Sayang. Nanti biar Ibu yang beberes rumah." Aku mengusap rambut Lia dengan lembut. Lia memang berbeda dengan Bela. Dia manja dan sedikit keras kepala. Sedangkan Bela setiap hari bangun pagi lalu menyiapkan makanan untuk sarapan dan juga bekal yang dibawa ke pabrik. Rajin beberes rumah dan juga menyirami tanaman. Seminggu sudah dia pergi dari rumah. Tanamannya pun sudah banyak yang mati karena tak pernah tersentuh air."Lia juga laper, suruh Ibu sekalian bawa makanan!" pinta Lia dengan manja. Aku membuang napas dengan kasar. Pasti Ibu akan berbicara panjang lebar jika aku kembali menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah, sekaligus membawa makanan
Bab 9POV Bela"Assalamualaikum," Salam terdengar dari Kania. Teman lamaku."Waalaikumsalam," Segera aku menghampirinya lalu menghamburkan pelukan kepada wanita yang sudah lama tidak bertemu itu."Apakabar, Bel? Kamu kok kurusan sih?""Iya, nih. Lagi diet," jawabku asal, sengaja aku tidak berterus terang. Ada banyak hal yang menjadi beban pikiranku. Sehingga tubuhku tergerus hingga menjadi kurus dan seperti tak terurus."Ow, ya kenalin. Dia Mas Arya, seorang pengacara yang sudah aku ceritakan kemarin." Aku mengangguk lalu melempar senyuman kepadanya."Ayo, masuk dulu! Kita bicara di dalam!"Segera aku mengajak mereka masuk kedalam rumah. Karena Emak dan juga Bapak sedang tidak ada dirumah. Jadi akulah yang mengambilkan minuman dan juga makanan ringan di dapur. Mungkin ini adalah langkah besar yang harus aku ambil. Dengan hati-hati aku menceritakan setiap detil kepada Mas Arya. Dan bukti foto.Ya, aku tidak bodoh seperti yang mereka pikir. Setiap kali aku mendapat pukulan maupun tendan
BAB 10"Waalaikumsalam," jawabku pelan. Lalu aku mengikuti Emak. Menjatuhkan bobot tubuhku ke kursi rotan yang berada di ruang tamu."Kamu ada masalah dengan Imam?" tanya Om Gunawan tanpa basa-basi."Iya, Om." jawabku singkat. Karena aku malas menjelaskan sesuatu hal yang menurutku pribadi kepada orang lain. Meskipun Om Gunawan adalah sepupu jauh Emak."Imam itu baik lho. Dia juga Sholeh, kamu rugi jika berpisah dengannya!" Rugi bagaimana? Yang ada aku akan sering ia sakiti."Maaf, Om. Kali ini Bela tidak bisa bertahan! Bela terlalu sakit hati, sudah cukup Bela bodo* selama ini. Membiarkan Mas Imam bertindak seenaknya sendiri. Tapi untuk kali ini dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya!""Maksud kamu apa Bela? Kamu tidak sungkan kepadaku? Yang sudah membayar hutang-hutang keluargamu?! Apa ini balasan darimu atas kebaikanku?""Kamu salah sangka Gunawan. Sebenarnya Imam itu …." Belum juga Emak menyelesaikan ucapannya. Om Gunawan sudah memotongnya."Kalau begitu bayar hutang-hutang
BAB 11 "Kamu kan tahu, Sayang. Aku lagi sakit, nanti kalau sudah sembuh pasti aku belikan!" "Iya, Lia ngerti kok. Ini diminum dulu, Mas. Air putihnya. Mas harus banyak-banyak minum. Biar cepet sembuh!" Segera aku minum air putih yang sudah dibawakan Lia hingga tandas tak tersisa."Tapi kan, Mas. Jaman sekarang kita gak perlu pergi, cukup dirumah barang bisa datang sendiri. Kita beli secara online? Gimana? Kalau Mas kontrol ke rumah sakit butuh motor. Lia periksa ke dokter juga pake motor. Motor itu penting! Tapi kalau motor model begituan, Lia gak bisa, Mas. Kita beli motor sekarang ya, Mas?" Lia mengerlingkan matanya entah kenapa menolaknya aku tak bisa. Aku hanya bisa mengiyakan semua permintaan Lia. Istri tercantik ku yang kini bersamaku.*******POV BelaAku segera masuk kedalam rumah. Menyelesaikan pekerjaanku membungkus jus dan lainnya."Itu tadi bukannya mertua kamu ya, Bel?""Eh, Emak. Ngagetin Bela aja. Iya, Mak. Tapi Bela usir. Bela gak mau balik lagi! Katanya Mas Imam kec
Bab 12"Bela baru saja mengantar dagangan ke warung, Mak." Ada keraguan untuk melanjutkan ucapanku. Namun Emak memperhatikanku dengan serius. Wanita tua itu adalah malaikatku. Bagaimana bisa aku tak jujur dengannya? Memendam sakit itu sendiri rasanya sangat luar biasa."Ada apa?""Bela takut, Mak!""Kamu takut apa khawatir? Ada Allah. Kamu berserah diri sama Allah. Dia maha segala-galanya. Dialah yang memberi kita cobaan, tanyakan pada-NYA bagaimana mengatasinya?" Emak mengusap rambutku dengan lembut. Bulir-bulir air bening pun berdesakan ingin keluar. Sedangkan tanganku masih sibuk menyatukan piring kotor yang hendak dicuci."Semua tetangga membicarakan Bela, Mak. Status Bela saja masih diproses belum juga jadi janda. Bela khawatir banyak fitnah nantinya!"Emak mengulas senyum. Wanita itu memang bisa diandalkan. Semua beban ku bagi dengannya."Kamu takut jadi omongan orang? Kamu takut jadi janda? Terus kalau kamu jadi istri Imam lagi, kamu mau berbagi suami? Kamu mau disakiti lagi?"
Bab 13 bimbangAku membalas sapaan Mbak Arumi tak kalah ramah. Dia menyuruhku memanggil Mbak. Katanya agar lebih dekat saja ujarnya. Mbak Arumi duduk berdampingan dengan Mas Arya. Entah mengapa melihat keharmonisan rumah tangga mereka rasanya aku iri. Kenapa tak kudapati dengan rumah tangga yang aku bina selama ini? Mas Imam berubah setelah aku mengatakan diriku mandul. Apakah ada yang salah? Padahal semua orang sudah mempunyai jalan hidupnya sendiri-sendiri. Tapi apakah hanya sedalam itu dia mencintaiku?Aku mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Entah mengapa nama Mas Imam masih saja hinggap di pikiranku. Padahal jika aku mau bisa saja aku kesana dan menanyakan keadaannya. Tapi tak kulakukan. Nia menyenggol lenganku. Hingga membuyarkan lamunanku."Mikirin apa sih, Bela?" tanya Mbak Arumi. Reflek aku hanya tersenyum sambil membenahi rambut yang ternyata sudah tertutup dengan jilbab.Tidak mungkin jika aku menjawab sedang memikirkan calon mantan suami. Ah, membayangk
Bab 14 kedatangan RatnaAku menghela napas panjang. Meskipun bapak tidak melanjutkan ucapannya. Tapi aku mengerti akan seperti apa pada akhirnya.Aku terdiam sejenak. Menyatukan kata agar terdengar tidak egois."Bela, masuk dulu! Biar nanti Bela nyari solusi gimana baiknya. Masalah pengacara, biar nanti saya bicarakan dengan Nia dan Mas Arya. Mereka lebih tahu!"Emak mengusap punggungku dengan lembut lalu mengangguk. Keluargaku sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak uang yang kami butuhkan. Ah, andai waktu bisa kuputar kembali. Sudahlah, tak baik jika terus merutuki jalan takdir yang sudah diberikan Allah. Aku beranjak dari tempat duduk. Berjalan gontai menuju kamar. Kujatuhkan bobot tubuhku diatas kasur. Sedangkan tas masih dalam dekapan.Aku meraih ponsel yang berada di dalamnya. Keningku mengkerut tak percaya melihat beberapa pesan di aplikasi berwarna hijau."Ibu? Ngapain ibu kirim pesan sama aku?" Banyak pertanyaan yang muncul begitu saja dalam pikiranku. Segera aku buka pesan
Happy endingPandu pergi meninggalkan Bela. Pergi meninggalkan wanita itu yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di rumah baru itu. Pandu benar-benar marah, dia tidak percaya jika Bela akan mendorongnya cukup kuat. Dan berpikir dia meminta haknya. Dengan teriakan yang cukup memekikkan telinga.Bela menangis tergugu. Tubuhnya lemas hingga terjatuh di lantai. Bersimpuh dengan air mata yang tidak mau berhenti.Bela menyesali perlakuannya pada Pandu. Padahal dia melihat kesungguhan laki-laki itu dalam membimbingnya kembali mengingat.Bela menyesal. Tapi sesak tiada guna, Pandu sudah pergi entah kemana dia? Seharusnya dia tidak pernah meninggalkan Bela dalam kondisi Semarah apapun. Apakah dia tidak ingat dengan janjinya? Tidak akan meninggalkan Bela dalam kondisi apapun?Tiba-tiba ingatan Bela satu demi satu kembali. Membuat kepalanya terasa berat, semakin lama hanya sakit yang ia rasakan. Sejalan dengan ingatan yang kembali dalam pikirannya.Hingga Bela tidak bisa lagi menahan sakit.
Pandu kecewa"Kenapa mesti pindah rumah sih?" tanya Bela kepada Pandu. Dengan bibir mengerucut. Sedangkan Pandu masih sibuk memasukan pakaiannya satu persatu ke dalam koper. Dia nampak ragu menjawab. Tapi lagi-lagi Bela bertingkah."Eh, ditanya malah diem bae." Bela kembali berteriak. Kini tidak hanya berteriak, dia melempar sesuatu dengan asal. Astaga, dan apa kamu tahu apa yang dia lempar? Celana dalam dengan motif bunga renda. Sungguh menggemaskan, eh salah sexy. Dia salah, salah ambil. Membuat Pandu menoleh ke arah Bela. Dia benar-benar merindukan istrinya. Menatap wajah Bela dengan senyum yang sulit diartikan.Pandu langsung bergegas menghampiri Bela. Tingkahnya seperti singa yang siap akan menerkam mangsanya."Mau apa Lo?" Bela mencoba melempar apapun yang berada didekatnya. Namun sayang Pandu masih bisa menepisnya."Aku mau kamu, Sayang." ucap Pandu dengan wajah menggoda.Bela kembali berteriak hingga membuat Pandu panik. Ketika tubuh Pandu semakin ia dekatkan pada wanita itu.
Pandu sadarBela semakin hari semakin membaik. Beberapa perban yang menutup lukanya dibuka. Lastri dan Sukino sedang dirumah Pandu. Beristirahat, dan berganti Tari dan Anton."Sayang, mamah ada disini. Kamu mau apa?" tanya Tari. Bela menggeleng. Wanita itu berubah. Dia menjadi wanita yang lebih pendiam, dia bingung dengan apa yang sudah menimpanya. Memiliki keluarga dan juga mertua. Sungguh sulit dibayangkan olehnya."Siapa suamiku, Mah?" tanya Bela terbata. Dia penasaran bagaimana keadaan suaminya jika dia memang sudah menikah. "Pandu?" Bela tersenyum. Meskipun dia tidak ingat wajah sang suami, tapi setidaknya dia bertanya. Meskipun sebenarnya dalam hatinya tak ada rasa khawatir sedikitpun."Dia masih koma, dia belum sadar. Doakan ya, semoga dia lekas sadar. Nanti kalau kamu sudah bisa berdiri, kita lihat suamimu di ruangannya. Dia disana sedang berjuang juga sepertimu. Mamah harap, kamu juga ikut berjuang ya!" Bela hanya tersenyum tak ada anggukan atau jawaban. Dia mungkin bingun
Bela hilang ingatanMobil yang dikendarai Pandu keluar kawasan komplek. Baru saja memasuki jalan raya mobil hitam tersebut ditabrak truk bermuatan yang kehilangan kontrol.Kepala Bela terbentur. Pandu pun terluka, Oma yang ada di kursi penumpang bagian belakang juga merasakan guncangan cukup hebat. Arya langsung menghentikan laju kendaraannya. Beristighfar, mengharap Tuhan melindungi Bela dan juga Pandu."Astagfirullahaladzim, Bela. Ya Allah, Mas itu kan mobil Bela sama keluarganya.""Iya, Nia. Kamu yang tenang ya, aku akan segera menghubungi ambulans." Arya dengan cepat menghubungi pihak rumah sakit. Segera meminta pertolongan untuk kecelakaan yang baru saja terjadi.Arya dan Kania turun dari mobil. Sedangkan Cleo dia langsung menghamburkan pelukannya pada Kania. Calon ibu sambungnya. Pikiran Kania tak karuan dia khawatir dengan keadaan sahabatnya. Karena Arya melarang Kania mendekat. Hanya Arya yang mendekat. Memastikan Bela dan keluarga baik-baik saja. Tapi bagaimana bisa baik-
Pertemuan Arumi dan BelaSeperti rencana semula. Bela pergi ke acara pernikahan Rumi. Anak Anton dengan istri terdahulu. Kebetulan Bela, Oma dan juga Pandu satu mobil. Sedangkan Anton sama Tari mengendarai mobil sendiri. Sengaja, karena kepulangan mereka berbeda waktu.Bela tidak tahu jika Rumi saudara Pandu beda Ibu itu ternyata Arumi. Wanita yang pernah dekat dengannya. Wanita yang pernah memintanya menikah dengan suaminya sendiri. Rela dimadu demi bakti kepada suami itu alibinya. Meskipun pada kenyataannya tidak demikian. Entah apa yang terjadi jika Bela bertemu dengan Arumi? Apakah mereka akan baik-baik saja? Setelah dulu pernah terdengar kabar bahwa Arya akan bercerai dengan Arumi. Tak lama Bela kehilangan komunikasi dengan wanita itu. Tiba-tiba saja dia hilang seperti ditelan bumi.Untuk kali ini Bela akan bertemu dengan Arumi sebagai adik ipar. Terkejutkah Bela jika melihat Arumi? Apakah Arya juga akan hadir dalam acara tersebut?Bela dengan senyum sumringah terlihat anggun m
*****"Lepaskan saya, Pak. Saya ini lagi hamil. Apa kalian tidak punya hati nurani?!" teriak Maura ketika dia ditangkap polisi. Berharap tindakannya itu memberikan rasa empati kepadanya. Namun, bukan mendapatkan empati justru petugas bersikap tegas."Silahkan, Ibu menjelaskan semuanya di kantor. Saya hanya menjalankan tugas. Saya juga sudah membawa surat penangkapan. Ibu juga berhak membawa pengacara!" Dengan jelas dan tegas petugas itu menjawab.Maura terlihat marah, sangat marah. Tidak mungkin jika Pandu tega menjebloskan dirinya ke penjara. Benar-benar diluar dugaannya. Secepat ini keluarga Pandu bergerak. Padahal dia belum melakukan apa-apa. Baru menghilangkan janin Bela, semua orang menyerangnya dengan bersamaan. Umpatan demi umpatan dalam hati yang bisa dilakukan Maura saat ini. Keluarganya sudah tidak mau berurusan dengannya lagi. Setelah kasus hutang piutang yang dilakukan Maura. Kini dia sendirian. Dalam keadaan hamil dan kemungkinan dia dipenjara dalam waktu yang tidak sebe
Maura bertingkah Oma bertindak"Makan dulu, Sayang. Kamu harus tetap makan. Biar nggak sakit, semua merasa kehilangan kok. Sama sepertimu tapi Mamah harap kamu bisa lebih ikhlas." Tari memeluk Bela. Bela hanya tersenyum. Lagi-lagi dia pandai menyembunyikan luka."Ya sudah, kalau begitu Mamah keluar dulu. Nanti kalau kamu pengen sesuatu kamu bisa panggil Bik Tum.""Iya, Mah. Terima Kasih," ucap Bela dengan mata yang sedikit berembun. Tari mengusap lembut pucuk kepala Bela. Lalu menciumnya cukup lama, sesama wanita dia tahu betul apa yang dirasakan menantunya itu.Pandu terlihat masuk kedalam kamar, ketika melihat wanita yang sudah melahirkannya keluar. Pandu mendekat lalu dia mengusap lembut bahu Bela, ikut duduk disisi ranjang."Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, Sayang. Maaf, seharusnya ini sudah aku ceritakan sejak dulu."Bela mengangguk tak ada banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia begitu diam, sangat diam."Gladis sedang hamil." Pandu tertunduk menceritakan wanita itu, ber
Rahasia PanduPyar ….Gelas yang ingin Lastri raih dari atas meja mendadak jatuh. Entah itu karena Lastri menyentuhnya atau karena memang pertanda buruk."Ada apa, Mak?" Adit keluar dari kamar. Mencari sumber suara. Dia melihat Lastri membersihkan pecahan gelas di bawah meja. "Perasaan Emak nggak enak, Dit. Coba kamu telpon Mbakmu. Semoga dia sehat-sehat saja." Lastri menerawang jauh. Entah mengapa hatinya gelisah. Rasanya tidak tenang jika belum mendengar kabar dari putrinya. Putri yang kini jauh dari pandangannya."Iya, Mak. Ni aku telpon Mbak Bela." Adit sibuk memainkan benda pipih di tangannya. Sedangkan Lastri kini duduk bersandar."Nggak diangkat Mak," ucap Adit sembari melihatkan layar ponselnya yang sedang menghubungi Bela. Sekali, dua kali hingga tiga kali tanpa ada jawaban sama sekali. Membuat Lastri semakin gusar dan kepikiran. "Mak," panggil Sukino dari kamar. Sukino kini tengah sakit. Hanya sakit biasa, namun entah mengapa sudah seminggu tidak kunjung sembuh. Tenggoroka
Keguguran POV Bela Setelah kurasa badan ini terasa pegal. Kuputuskan pergi ke kamar. Melangkah dengan hati-hati berjalan menuju kamar. Melewati ruang tamu hingga ruang makan pun nampak biasa saja. Tak ada Irt saat ini, mereka tengah sibuk di belakang. Satu demi satu anak tangga aku lalui. Sembari tangan menyentuh lembut perut yang mulai menyembul. Indah dan juga sangat bahagia. Tapi ketika aku menjatuhkan kaki kanan, alangkah terkejutnya aku. Di anak tangga tersebut seakan licin penuh minyak. Seketika aku beristighfar lalu menyebut nama Allah. "Allahuakbar," ucapku spontan. Tanganku langsung mencari pegangan. Namun sayang lantai yang teramat licin membuat tubuhku tak sanggup menopang beban. Hingga tergelincir. Berguling ke bawah melalui anak tangga. Aku meringis kesakitan. Dibawah sana ada sesuatu yang terasa hangat keluar. "Oma," ucapku pelan. Karena aku sibuk memegangi perut yang terasa sakit luar biasa. "Bela, Bela. Astagfirullahaladzim, ini kamu kenapa? Bela, istighfar. B