BAB 10"Waalaikumsalam," jawabku pelan. Lalu aku mengikuti Emak. Menjatuhkan bobot tubuhku ke kursi rotan yang berada di ruang tamu."Kamu ada masalah dengan Imam?" tanya Om Gunawan tanpa basa-basi."Iya, Om." jawabku singkat. Karena aku malas menjelaskan sesuatu hal yang menurutku pribadi kepada orang lain. Meskipun Om Gunawan adalah sepupu jauh Emak."Imam itu baik lho. Dia juga Sholeh, kamu rugi jika berpisah dengannya!" Rugi bagaimana? Yang ada aku akan sering ia sakiti."Maaf, Om. Kali ini Bela tidak bisa bertahan! Bela terlalu sakit hati, sudah cukup Bela bodo* selama ini. Membiarkan Mas Imam bertindak seenaknya sendiri. Tapi untuk kali ini dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya!""Maksud kamu apa Bela? Kamu tidak sungkan kepadaku? Yang sudah membayar hutang-hutang keluargamu?! Apa ini balasan darimu atas kebaikanku?""Kamu salah sangka Gunawan. Sebenarnya Imam itu …." Belum juga Emak menyelesaikan ucapannya. Om Gunawan sudah memotongnya."Kalau begitu bayar hutang-hutang
BAB 11 "Kamu kan tahu, Sayang. Aku lagi sakit, nanti kalau sudah sembuh pasti aku belikan!" "Iya, Lia ngerti kok. Ini diminum dulu, Mas. Air putihnya. Mas harus banyak-banyak minum. Biar cepet sembuh!" Segera aku minum air putih yang sudah dibawakan Lia hingga tandas tak tersisa."Tapi kan, Mas. Jaman sekarang kita gak perlu pergi, cukup dirumah barang bisa datang sendiri. Kita beli secara online? Gimana? Kalau Mas kontrol ke rumah sakit butuh motor. Lia periksa ke dokter juga pake motor. Motor itu penting! Tapi kalau motor model begituan, Lia gak bisa, Mas. Kita beli motor sekarang ya, Mas?" Lia mengerlingkan matanya entah kenapa menolaknya aku tak bisa. Aku hanya bisa mengiyakan semua permintaan Lia. Istri tercantik ku yang kini bersamaku.*******POV BelaAku segera masuk kedalam rumah. Menyelesaikan pekerjaanku membungkus jus dan lainnya."Itu tadi bukannya mertua kamu ya, Bel?""Eh, Emak. Ngagetin Bela aja. Iya, Mak. Tapi Bela usir. Bela gak mau balik lagi! Katanya Mas Imam kec
Bab 12"Bela baru saja mengantar dagangan ke warung, Mak." Ada keraguan untuk melanjutkan ucapanku. Namun Emak memperhatikanku dengan serius. Wanita tua itu adalah malaikatku. Bagaimana bisa aku tak jujur dengannya? Memendam sakit itu sendiri rasanya sangat luar biasa."Ada apa?""Bela takut, Mak!""Kamu takut apa khawatir? Ada Allah. Kamu berserah diri sama Allah. Dia maha segala-galanya. Dialah yang memberi kita cobaan, tanyakan pada-NYA bagaimana mengatasinya?" Emak mengusap rambutku dengan lembut. Bulir-bulir air bening pun berdesakan ingin keluar. Sedangkan tanganku masih sibuk menyatukan piring kotor yang hendak dicuci."Semua tetangga membicarakan Bela, Mak. Status Bela saja masih diproses belum juga jadi janda. Bela khawatir banyak fitnah nantinya!"Emak mengulas senyum. Wanita itu memang bisa diandalkan. Semua beban ku bagi dengannya."Kamu takut jadi omongan orang? Kamu takut jadi janda? Terus kalau kamu jadi istri Imam lagi, kamu mau berbagi suami? Kamu mau disakiti lagi?"
Bab 13 bimbangAku membalas sapaan Mbak Arumi tak kalah ramah. Dia menyuruhku memanggil Mbak. Katanya agar lebih dekat saja ujarnya. Mbak Arumi duduk berdampingan dengan Mas Arya. Entah mengapa melihat keharmonisan rumah tangga mereka rasanya aku iri. Kenapa tak kudapati dengan rumah tangga yang aku bina selama ini? Mas Imam berubah setelah aku mengatakan diriku mandul. Apakah ada yang salah? Padahal semua orang sudah mempunyai jalan hidupnya sendiri-sendiri. Tapi apakah hanya sedalam itu dia mencintaiku?Aku mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Entah mengapa nama Mas Imam masih saja hinggap di pikiranku. Padahal jika aku mau bisa saja aku kesana dan menanyakan keadaannya. Tapi tak kulakukan. Nia menyenggol lenganku. Hingga membuyarkan lamunanku."Mikirin apa sih, Bela?" tanya Mbak Arumi. Reflek aku hanya tersenyum sambil membenahi rambut yang ternyata sudah tertutup dengan jilbab.Tidak mungkin jika aku menjawab sedang memikirkan calon mantan suami. Ah, membayangk
Bab 14 kedatangan RatnaAku menghela napas panjang. Meskipun bapak tidak melanjutkan ucapannya. Tapi aku mengerti akan seperti apa pada akhirnya.Aku terdiam sejenak. Menyatukan kata agar terdengar tidak egois."Bela, masuk dulu! Biar nanti Bela nyari solusi gimana baiknya. Masalah pengacara, biar nanti saya bicarakan dengan Nia dan Mas Arya. Mereka lebih tahu!"Emak mengusap punggungku dengan lembut lalu mengangguk. Keluargaku sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak uang yang kami butuhkan. Ah, andai waktu bisa kuputar kembali. Sudahlah, tak baik jika terus merutuki jalan takdir yang sudah diberikan Allah. Aku beranjak dari tempat duduk. Berjalan gontai menuju kamar. Kujatuhkan bobot tubuhku diatas kasur. Sedangkan tas masih dalam dekapan.Aku meraih ponsel yang berada di dalamnya. Keningku mengkerut tak percaya melihat beberapa pesan di aplikasi berwarna hijau."Ibu? Ngapain ibu kirim pesan sama aku?" Banyak pertanyaan yang muncul begitu saja dalam pikiranku. Segera aku buka pesan
Bab 15Apakah aku tidak salah dengar? Wanita itu tanpa malu meminta ku kembali kerumah yang seperti neraka. Tak ada raut wajah bersalah atau sekedar meminta maaf. Tapi rasanya sulit sifat manusia itu berubah dengan cepat. Melihatnya saja, aku sudah bisa menebak. Dia dijadikan menantunya pembantu di rumah anak sendiri. Sehingga mencoba memintaku kembali agar semua tugas aku yang mengerjakan. Ow, tentu tidak akan pernah terjadi. Aku bersumpah untuk itu."Anda bicara seperti itu tidak mempunyai hati apa? Anda tidak mempunyai malu dengan kami? Meminta maaf kepada kami saja tidak anda lakukan. Dan sekarang tanpa malu meminta anak saya pulang?! Jangan pernah berharap itu terjadi. ku, Ibu yang sudah melahirkannya. Akan menjadi orang pertama yang menolak Bela rujuk dengan Imam. Dengar itu baik-baik!" Emak menahan amarah. Terlihat dari tangannya yang mengepal. Rahangnya pun mengeras, wajah yang tadi teduh berubah menjadi merah padam."Sabar, Mak!" Bapak mencoba menenangkan wanita yang duduk
Bab 16"Motor kamu baru, Mam? Bukannya kamu habis kena musibah? Kok sudah bisa beli motor?" tanya Pakde Hamdani. "Memang kenapa, Pakde. Toh, aku juga beli motor pake uang sendiri, gak minta sama Pakde. Ngapain situ sewot?!""Pakde gak sewot. Pakde cuma nanya. Kamu kok udah beli motor baru? Padahal baru aja kena musibah kecelakaan. Syukur deh, berarti punya duit banyak! Terus Bela istri kamu, kamu kasih nafkah enggak?""Bela? He, Pakde. Dia itu minta cerai terus sekarang juga sudah diproses di pengadilan dia yang mengurus semuanya jadi buat apa aku ngasih dia nafkah? Toh sebentar lagi kita resmi bercerai. Buang-buang duit aja. Buat sesuatu yang gak penting!""Astagfirullahaladzim, kamu kok bicaranya seperti itu sih, Mam? Kamu ngerti agama tapi kok kelakuan begitu?! Heran, Pakde sama kamu!""Dah ah, Imam pergi dulu! Pusing dengerin omongan Pakde yang gak jelas itu!" Aku sengaja pergi untuk menghindari Omelan Pakde yang pasti akan menuju satu nama yakni Bela. Jika itu mengenai dia aku a
BAB 17[Memangnya Mbak Arumi dimana?] Balasku berbohong. Seakan tadi aku tidak melihat mereka, mustahil.[Apakah kau berniat menghindari Mas Arya juga?] Membaca pesan dari Mbak Arumi keningku mengkerut. Sejenak berfikir apa yang harus aku jawab? Apakah permintaan menikah dengan Mas Arya itu juga keinginan dari lelaki itu? Padahal mereka sudah dikarunia seorang putra. Aku kembali memasukan ponsel ke dalam tas. Pikiranku sudah tidak bisa merangkai kata untuk menjawab pertanyaan Mbak Arumi.Aku membiarkan Mbak Arumi menerka-nerka sendiri jawabanku. Sebagai seorang wanita dia pasti paham. Aku yang masih status istri orang. Sedangkan putusan pengadilan juga belum diumumkan. Apakah pantas sudah merencanakan suatu pernikahan? Ah, memikirkan masalah keluarga ku saja menyita banyak waktu. Apalagi harus mengurusi suatu hal yang menurutku diluar nalar. Tak aku hiraukan lagi Mbak Arumi, mungkin itu hanya sebuah lelucon baginya.****Seperti biasa Emak dan juga Bapak pergi ke ladang selepas subu
Happy endingPandu pergi meninggalkan Bela. Pergi meninggalkan wanita itu yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di rumah baru itu. Pandu benar-benar marah, dia tidak percaya jika Bela akan mendorongnya cukup kuat. Dan berpikir dia meminta haknya. Dengan teriakan yang cukup memekikkan telinga.Bela menangis tergugu. Tubuhnya lemas hingga terjatuh di lantai. Bersimpuh dengan air mata yang tidak mau berhenti.Bela menyesali perlakuannya pada Pandu. Padahal dia melihat kesungguhan laki-laki itu dalam membimbingnya kembali mengingat.Bela menyesal. Tapi sesak tiada guna, Pandu sudah pergi entah kemana dia? Seharusnya dia tidak pernah meninggalkan Bela dalam kondisi Semarah apapun. Apakah dia tidak ingat dengan janjinya? Tidak akan meninggalkan Bela dalam kondisi apapun?Tiba-tiba ingatan Bela satu demi satu kembali. Membuat kepalanya terasa berat, semakin lama hanya sakit yang ia rasakan. Sejalan dengan ingatan yang kembali dalam pikirannya.Hingga Bela tidak bisa lagi menahan sakit.
Pandu kecewa"Kenapa mesti pindah rumah sih?" tanya Bela kepada Pandu. Dengan bibir mengerucut. Sedangkan Pandu masih sibuk memasukan pakaiannya satu persatu ke dalam koper. Dia nampak ragu menjawab. Tapi lagi-lagi Bela bertingkah."Eh, ditanya malah diem bae." Bela kembali berteriak. Kini tidak hanya berteriak, dia melempar sesuatu dengan asal. Astaga, dan apa kamu tahu apa yang dia lempar? Celana dalam dengan motif bunga renda. Sungguh menggemaskan, eh salah sexy. Dia salah, salah ambil. Membuat Pandu menoleh ke arah Bela. Dia benar-benar merindukan istrinya. Menatap wajah Bela dengan senyum yang sulit diartikan.Pandu langsung bergegas menghampiri Bela. Tingkahnya seperti singa yang siap akan menerkam mangsanya."Mau apa Lo?" Bela mencoba melempar apapun yang berada didekatnya. Namun sayang Pandu masih bisa menepisnya."Aku mau kamu, Sayang." ucap Pandu dengan wajah menggoda.Bela kembali berteriak hingga membuat Pandu panik. Ketika tubuh Pandu semakin ia dekatkan pada wanita itu.
Pandu sadarBela semakin hari semakin membaik. Beberapa perban yang menutup lukanya dibuka. Lastri dan Sukino sedang dirumah Pandu. Beristirahat, dan berganti Tari dan Anton."Sayang, mamah ada disini. Kamu mau apa?" tanya Tari. Bela menggeleng. Wanita itu berubah. Dia menjadi wanita yang lebih pendiam, dia bingung dengan apa yang sudah menimpanya. Memiliki keluarga dan juga mertua. Sungguh sulit dibayangkan olehnya."Siapa suamiku, Mah?" tanya Bela terbata. Dia penasaran bagaimana keadaan suaminya jika dia memang sudah menikah. "Pandu?" Bela tersenyum. Meskipun dia tidak ingat wajah sang suami, tapi setidaknya dia bertanya. Meskipun sebenarnya dalam hatinya tak ada rasa khawatir sedikitpun."Dia masih koma, dia belum sadar. Doakan ya, semoga dia lekas sadar. Nanti kalau kamu sudah bisa berdiri, kita lihat suamimu di ruangannya. Dia disana sedang berjuang juga sepertimu. Mamah harap, kamu juga ikut berjuang ya!" Bela hanya tersenyum tak ada anggukan atau jawaban. Dia mungkin bingun
Bela hilang ingatanMobil yang dikendarai Pandu keluar kawasan komplek. Baru saja memasuki jalan raya mobil hitam tersebut ditabrak truk bermuatan yang kehilangan kontrol.Kepala Bela terbentur. Pandu pun terluka, Oma yang ada di kursi penumpang bagian belakang juga merasakan guncangan cukup hebat. Arya langsung menghentikan laju kendaraannya. Beristighfar, mengharap Tuhan melindungi Bela dan juga Pandu."Astagfirullahaladzim, Bela. Ya Allah, Mas itu kan mobil Bela sama keluarganya.""Iya, Nia. Kamu yang tenang ya, aku akan segera menghubungi ambulans." Arya dengan cepat menghubungi pihak rumah sakit. Segera meminta pertolongan untuk kecelakaan yang baru saja terjadi.Arya dan Kania turun dari mobil. Sedangkan Cleo dia langsung menghamburkan pelukannya pada Kania. Calon ibu sambungnya. Pikiran Kania tak karuan dia khawatir dengan keadaan sahabatnya. Karena Arya melarang Kania mendekat. Hanya Arya yang mendekat. Memastikan Bela dan keluarga baik-baik saja. Tapi bagaimana bisa baik-
Pertemuan Arumi dan BelaSeperti rencana semula. Bela pergi ke acara pernikahan Rumi. Anak Anton dengan istri terdahulu. Kebetulan Bela, Oma dan juga Pandu satu mobil. Sedangkan Anton sama Tari mengendarai mobil sendiri. Sengaja, karena kepulangan mereka berbeda waktu.Bela tidak tahu jika Rumi saudara Pandu beda Ibu itu ternyata Arumi. Wanita yang pernah dekat dengannya. Wanita yang pernah memintanya menikah dengan suaminya sendiri. Rela dimadu demi bakti kepada suami itu alibinya. Meskipun pada kenyataannya tidak demikian. Entah apa yang terjadi jika Bela bertemu dengan Arumi? Apakah mereka akan baik-baik saja? Setelah dulu pernah terdengar kabar bahwa Arya akan bercerai dengan Arumi. Tak lama Bela kehilangan komunikasi dengan wanita itu. Tiba-tiba saja dia hilang seperti ditelan bumi.Untuk kali ini Bela akan bertemu dengan Arumi sebagai adik ipar. Terkejutkah Bela jika melihat Arumi? Apakah Arya juga akan hadir dalam acara tersebut?Bela dengan senyum sumringah terlihat anggun m
*****"Lepaskan saya, Pak. Saya ini lagi hamil. Apa kalian tidak punya hati nurani?!" teriak Maura ketika dia ditangkap polisi. Berharap tindakannya itu memberikan rasa empati kepadanya. Namun, bukan mendapatkan empati justru petugas bersikap tegas."Silahkan, Ibu menjelaskan semuanya di kantor. Saya hanya menjalankan tugas. Saya juga sudah membawa surat penangkapan. Ibu juga berhak membawa pengacara!" Dengan jelas dan tegas petugas itu menjawab.Maura terlihat marah, sangat marah. Tidak mungkin jika Pandu tega menjebloskan dirinya ke penjara. Benar-benar diluar dugaannya. Secepat ini keluarga Pandu bergerak. Padahal dia belum melakukan apa-apa. Baru menghilangkan janin Bela, semua orang menyerangnya dengan bersamaan. Umpatan demi umpatan dalam hati yang bisa dilakukan Maura saat ini. Keluarganya sudah tidak mau berurusan dengannya lagi. Setelah kasus hutang piutang yang dilakukan Maura. Kini dia sendirian. Dalam keadaan hamil dan kemungkinan dia dipenjara dalam waktu yang tidak sebe
Maura bertingkah Oma bertindak"Makan dulu, Sayang. Kamu harus tetap makan. Biar nggak sakit, semua merasa kehilangan kok. Sama sepertimu tapi Mamah harap kamu bisa lebih ikhlas." Tari memeluk Bela. Bela hanya tersenyum. Lagi-lagi dia pandai menyembunyikan luka."Ya sudah, kalau begitu Mamah keluar dulu. Nanti kalau kamu pengen sesuatu kamu bisa panggil Bik Tum.""Iya, Mah. Terima Kasih," ucap Bela dengan mata yang sedikit berembun. Tari mengusap lembut pucuk kepala Bela. Lalu menciumnya cukup lama, sesama wanita dia tahu betul apa yang dirasakan menantunya itu.Pandu terlihat masuk kedalam kamar, ketika melihat wanita yang sudah melahirkannya keluar. Pandu mendekat lalu dia mengusap lembut bahu Bela, ikut duduk disisi ranjang."Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, Sayang. Maaf, seharusnya ini sudah aku ceritakan sejak dulu."Bela mengangguk tak ada banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia begitu diam, sangat diam."Gladis sedang hamil." Pandu tertunduk menceritakan wanita itu, ber
Rahasia PanduPyar ….Gelas yang ingin Lastri raih dari atas meja mendadak jatuh. Entah itu karena Lastri menyentuhnya atau karena memang pertanda buruk."Ada apa, Mak?" Adit keluar dari kamar. Mencari sumber suara. Dia melihat Lastri membersihkan pecahan gelas di bawah meja. "Perasaan Emak nggak enak, Dit. Coba kamu telpon Mbakmu. Semoga dia sehat-sehat saja." Lastri menerawang jauh. Entah mengapa hatinya gelisah. Rasanya tidak tenang jika belum mendengar kabar dari putrinya. Putri yang kini jauh dari pandangannya."Iya, Mak. Ni aku telpon Mbak Bela." Adit sibuk memainkan benda pipih di tangannya. Sedangkan Lastri kini duduk bersandar."Nggak diangkat Mak," ucap Adit sembari melihatkan layar ponselnya yang sedang menghubungi Bela. Sekali, dua kali hingga tiga kali tanpa ada jawaban sama sekali. Membuat Lastri semakin gusar dan kepikiran. "Mak," panggil Sukino dari kamar. Sukino kini tengah sakit. Hanya sakit biasa, namun entah mengapa sudah seminggu tidak kunjung sembuh. Tenggoroka
Keguguran POV Bela Setelah kurasa badan ini terasa pegal. Kuputuskan pergi ke kamar. Melangkah dengan hati-hati berjalan menuju kamar. Melewati ruang tamu hingga ruang makan pun nampak biasa saja. Tak ada Irt saat ini, mereka tengah sibuk di belakang. Satu demi satu anak tangga aku lalui. Sembari tangan menyentuh lembut perut yang mulai menyembul. Indah dan juga sangat bahagia. Tapi ketika aku menjatuhkan kaki kanan, alangkah terkejutnya aku. Di anak tangga tersebut seakan licin penuh minyak. Seketika aku beristighfar lalu menyebut nama Allah. "Allahuakbar," ucapku spontan. Tanganku langsung mencari pegangan. Namun sayang lantai yang teramat licin membuat tubuhku tak sanggup menopang beban. Hingga tergelincir. Berguling ke bawah melalui anak tangga. Aku meringis kesakitan. Dibawah sana ada sesuatu yang terasa hangat keluar. "Oma," ucapku pelan. Karena aku sibuk memegangi perut yang terasa sakit luar biasa. "Bela, Bela. Astagfirullahaladzim, ini kamu kenapa? Bela, istighfar. B