Bab 3
Luka
"Masuk, Pakde," pinta Bela kepada lelaki tua yang kini ikut duduk bersama mereka.
"Ada apa ini? Suara kalian itu kedengaran sampai di luar. Jika para tetangga denger apa kalian gak malu?" ucap Hamdani dengan suara yang pelan tapi masih terdengar oleh semua orang. Bela mengusap jejak air mata. Berharap akan ada titik terang dengan kedatangan Hamdani. Beliau sangat dihormati sebab selama Bela menikah dengan Imam. Beliaulah yang selalu menjadi penengah saat ada masalah.
"Pakde, Mas Imam menikah lagi!" tutur Bela pelan. Airmata yang tadi dipaksa berhenti kini kembali mengalir dengan sendirinya. Hamdani membuang napas dengan kasar.
"Memangnya kamu belum tahu kalau Imam sudah menikah seminggu yang lalu?" tanya Hamdani kepada Bela. Netranya mengarah kepada wanita itu.
"Jadi Pakde juga sudah tahu perihal Mas Imam menikah lagi?" Bela bertanya untuk memastikan apakah dugaannya salah atau benar. Hamdani mengangguk pelan. Lalu menghirup oksigen sebanyak-banyaknya kemudian membuangnya perlahan.
"Bukannya mertuamu sudah menceritakannya kepadamu? Bukankah begitu Ratna ucapanku waktu itu kalau urusan Bela biar kamu yang mengatakan semuanya. Karena kamu bilang Bela wanita yang penurut dengan mertua maupun suaminya? Dengan alasan itu lah Pakde tidak memberitahumu!"
"Benarkah, Bu? Benarkah ibu mengatakan kalau Bela wanita yang penurut dengan ucapan mertua maupun suaminya? Tapi apakah dengan di madu aku juga akan menurut, Bu?! Wanita bodoh mana yang akan menerima suaminya membagi cinta dengan wanita lain?"
"Cukup, Bela. Asal kamu tahu aku juga sudah lelah dengan sikap kekanakanmu itu! Jangan kau Sudutkan Ibuku seperti itu! Seharusnya kamu lebih mengoreksi diri kenapa aku bisa membagi cinta dengan wanita lain!" Sekilas Bela melihat Lia. Sosok yang kini menjadi duri diantara Bela dan juga Imam. Wajahnya pias, sulit diartikan. Wanita itu memang madu yang beracun. Tanpa dosa tanpa rasa bersalah dia terus mengulas senyum. Melihatnya saja Bela muak.
"Ck, kekanakan kamu bilang, Mas? Kurang apa aku padamu!?" bentak Bela. "Aku membersihkan rumah yang selalu saja kau anggap kotor ini setiap hari, mencoba hemat uang dengan menanam sayur sendiri, melayanimu setiap kali kamu pinta!"
Bella bersungut-sungut. Ia melanjutkan, "Kalau aku melakukan kesalahan, kamu tampar dan tendang aku. "
"Apakah kau juga tidak meminta izin dengan istrimu, Mam?" Hamdani kini bersuara, setelah mendengar penuturan Bela.
Imam menggeleng. Kali ini dia diam setelah Bela mengeluarkan semua sesak di dada. Mereka semua tidak menyangka jika Bela bisa berbicara lantang Seperti itu. Karena yang biasa ia lakukan hanya menangis. Berharap rumah tangganya akan bertahan selamanya. Tapi tidak untuk saat ini. Kelakuan Imam sungguh diluar batas. Dia tidak pantas menjadi seorang Imam.
"Kamu salah, Rat. Kamu tidak mengajari Imam cara memperlakukan istri yang baik. Kamu malah membujuk Imam untuk menikah lagi hanya karena Bela tidak bisa memberinya keturunan. Kamu juga salah Imam seharusnya kamu tidak langsung menerima semua bujukan ibumu. Kamu sebagai laki-laki harus bisa menjaga wibawamu! Kamu paham kan maksud Pakde?"
"Halah, Pakde itu gak perlu ngurusi urusan keluarga Ratna. Keputusan Imam itu sudah bener. Kalau dia tidak mencari istri lagi terus siapa yang akan menjadi penerusnya? Pakde jangan jadi sok pahlawan ya!"
"Astagfirullahaladzim, aku ini Mas mu lho, Rat. Kamu kok tega-teganya bicara seperti itu?"
"Ceraikan aku, Mas. Aku tidak mau satu atap dengan dia!" ucap Bela lantang di hadapan semua orang yang ada di ruangan itu. Bela bergegas pergi ke kamar. Menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas tempat tidur. Wanita itu menangis tergugu. Menangis sejadi-jadinya. Meratapi nasib yang sungguh tidak beruntung ini.
Entah apalagi yang mereka bicarakan. Seakan hati dan juga mata seolah tidak ingin melihat maupun tahu tentang mereka.
******
"Imam, kamu itu apa gak pengen punya anak laki-laki maupun perempuan yang lucu-lucu?" Pertanyaan yang Ratna lontarkan kepada anak semata wayangnya.
"Ya pengen lah, Bu. Tapi mau bagaimana lagi? Bela mandul. Aku juga sudah terapi kemana-mana tapi hasilnya juga masih kosong."
"Kamu itu harus tegas sama istri. Gak lembek, Ibu malu. Pernah dengar dari tetangga kamu kalau Bela minggat dari rumah. Pulang kerumah ibunya dan minta cerai. Tapi balik lagi kerumah setelah kamu jemput, perempuan seperti itu kok ya kamu pilih jadi pendamping hidup tho, Mam Imam. Apa gak ada lagi yang lain, yang mau sama kamu?"
"Ya banyak lah, Bu. Tapi memang Bela itu spesial buat Imam. Tapi itu dulu, sebelum dia dikatakan mandul oleh dokter."
"Lha iya, perempuan mandul Seperi Bela kenapa gak kamu ceraikan saja dia?"
"Tapi, Bu. Masakan Bela enak, dia juga gak aneh-aneh. Malah dia rajin beberes rumah, ibu sendiri kan juga sering minta dia beres-beres rumah Ibu, iya kan? Dia juga pintar menanam sayuran jadi Imam bisa menghemat pengeluaran. Imam bisa menabung lebih banyak! Ibu juga sering meminta cabe atau sayuran yang lain, iya. Kan?" Kini pandangan Imam tertuju pada Ibunya.
"Iya juga sih, Mam. Ibaratnya kita punya pembantu gratis! Hahaha," Ratna tertawa lepas. Menertawakan menantu yang bodoh itu. Maunya dibodoh-bodohi Ratna dan juga Imam, suaminya. Memang kerap kali Ratna memintanya beberes rumah. Jika dia menolak, wanita tua itu langsung saja menangis dan memfitnah dia di depan Imam. Langsung deh, Imam mengeluarkan aji-ajinya. Main tangan, dia pantas mendapatkan itu. Tidak baik jika melawan ibu mertua. Karena ibu mertua itu juga sama saja ibu kandung.
"Tapi, Bu. Sebenarnya ada yang aku rahasiakan sama Ibu dan juga Bela."
"Apa itu, Mam?"
"Imam diam-diam pacaran sama temen pabrik. Namanya Amelia," tutur Imam dengan hati-hati. Takut jika Ratna akan marah mendengar pengakuannya.
"Oh, pacar. Cantik gak dia?"
"Ibu gak marah?" tanya Imam dengan suara pelan. Takut jika Ibunya akan marah.
"Ya enggak lah, Mam. Kalau kamu sudah sreg sama dia kenapa kamu gak nikah aja sama dia?"
"Maksud ibu? Imam menikah lagi?"
"Iya, kamu menikah lagi. Kamu punya dua istri, tapi Bela gak usah kamu ceraikan. Kan sayang, nanti gak ada yang beberes rumah lagi, dong?"
"Tapi gimana ngomongnya sama Bela, Bu?"
"Udah gak usah dipikirkan, itu urusan Ibu!"
Sengaja Ratna mendukung Imam untuk menikah lagi. Karena jika dia mengandalkan Bela. Tidak mungkin akan mendapat keturunan. Jadi alangkah baiknya jika Imam menikah dan punya anak. Ratna juga mengatakan bahwa Bela akan Ratna urus. Meskipun sebenarnya malas jika berurusan dengan wanita itu.
Waktu dan tempat sudah diputuskan dimana Imam akan melangsungkan pernikahannya. Dia akan menikah di rumah orang tuanya.n Dengan menjadikan Hamdani sebagai saksi nikah. Tapi memang dasarnya dia itu cerewet. Banyak sekali yang ia tanyakan perihal pernikahan kedua Imam ini. Ratna yang jengkel dibuatnya hanya menjawab kalau Bela sudah tahu dan mengizinkan Imam menikah lagi. Untungnya dia percaya kalau tidak bisa berabe urusannya.
*****
Setelah seminggu rencana pernikahan Imam. Kini saatnya Imam mengucapkan ijab kabul. Entah kenapa sudah menjadi hari baik Imam. Semua hal mengenai pernikahannya dilancarkan. Dari emak Bela yang sakit. Yang mengharuskan Bela pulang ke kampung halamannya. Dan pihak kua yang tidak mempersulit membuat buku nikah.
Akhirnya Imam menikah dengan Lia di rumah Ratna, ibunya.
"Ih, menantu ibu satu ini cantik sekali!" Puji wanita tua itu kepada wanita yang baru saja sah menjadi menantu.
"Ibu bisa aja?"
"Lia, kamu pengen gak dibuatkan acara kecil-kecilan. Acara syukuran gitu, buat pernikahan kamu sama Imam?"
"Mau dong, Bu. Tapi dimana ibu akan menggelar acara tersebut?"
"Dirumah Imamlah, nanti biar ibu yang mengatur semuanya." Pucuk dicinta ulam pun tiba Lia mengambil dompetnya lalu memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan.
"Gua demen nih, punya menantu yang begini," ucap Ratna dalam hati.
Bab 4 Amarah Bela"kurang gak Bu uangnya?" tanya Lia yang memperhatikan Ratna menghitung uang dihadapannya."Enggak kok nggak kurang malah lebih ini," ucap Ratna sok mau mengembalikan kelebihannya. Padahal dalam hati memang ini yang dia inginkan."Gak usah dikembalikan, Bu. Buat Ibu saja kalau ada lebihnya.""Ih, menantu ibu yang satu ini baik banget deh. Makasih ya, Sayang! Beda sama menantu yang Ono. Yang ada dia malah gak pernah ngasih ibu uang, alasannya sama. Gak ada duit, padahal uang suaminya dia yang pegang!" Ratna terlihat sengaja memuji Lia setinggi-tingginya biar dia tersanjung dan juga uangnya mengalir terus kepada wanita tua itu. "Oh ya, Bu. Nanti siapa saja yang bantu-bantu ibu memasak? Lia gak bisa bantu, Bu. Maklum kemarin abis meni pedi. Jadi sayang kalau buat motong bawang. Nanti rusak lagi kuku Lia," ucap Lia sembari memandangi kukunya yang baru dicat berwarna merah terang."Udah tenang aja, nanti biar Bela yang ngerjainnya. Kamu gak usah bantu-bantu. Nanti capek
Bab 5Nasehat Hamdani"Sudah cukup, Rat. Kamu tidak usah ikut campur urusan anakmu. Tidak baik jika orang tua terlalu ikut campur," ucap Hamdani menasehati. Memang yang bisa dilakukan Hamdani hanya sekedar menasehati tapi tidak bisa berbuat lebih. Karena Hamdani tidak punya hak untuk berbuat lebih.Lantas Bela pergi meninggalkan mereka yang masih berdiri menatap penuh amarah. Berjalan dengan langkah cepat menuju rumah Hamdani, yang jarak antara rumah mereka tidaklah jauh. Bela tidak memperdulikan para tetangga yang melihatnya berjalan dengan berderai air mata. Karena pikiran wanita itu sudah tidak bisa lagi digunakan."Mir, Amir." Bela berteriak memanggil Amir. Anak Hamdani yang duduk di bangku sekolah menengah. "Iya, Mbak Bela," jawab Amir bersamaan keluar dari rumah. "Mau kemana, Mbak?" tanya Amir penuh keheranan melihat Bela membawa tas cukup besar. Wanita itu mengusap jejak airmatanya. "Mir, antar Mbak Bela pulang yuk!" Bela meminta tolong Amir agar diantar pulang kerumah. Jara
Bab 6 Pov Ratna"Gak papa kok, Sayang. Kamu istirahat sana gih! Biar Ibu yang menyelesaikan semuanya." Meskipun aku berkata demikian tapi lain dihati lain di mulut. Jangan sampai sikapku terlihat buruk dimata menantu satu ini. Agar apa? Agar dia pikir aku baik dan dia memberi aku uang."Ya sudah, Lia masuk dulu, Bu. Ow ya, Bu nanti tolong bikinin Lia bakso kuah ya? Sepertinya tadi Lia liat ada bakso dalam kulkas." pinta Lia tanpa sungkan kepadaku. Dia pikir dia siapa? Memerintah seenak jidatnya sendiri. Kalau bukan karena dia banyak uang aku tidak mau melakukannya."Iya nanti Ibu buatkan. Kamu suka pake mie berwarna putih atau kuning?" tanya ku sok perhatian. Meskipun dalam hati aku mengeluh."Dua-duanya ya, Bu?" Lia mengerlingkan matanya. Sungguh membuatku malas melihatnya."Iya," jawabku singkat agar dia lekas pergi dari hadapanku.Setelah semua pekerjaan selesai. Aku segera membuatkan Lia bakso. Sedangkan dia malah enak-enakan tidur di kamar. Melihat Lia yang tidur di kamar bersam
Bab 7 Grub RT rame"Waalaikumsalam," jawab seseorang yang ada di seberang telepon."Ada apa, Tar?" Pertanyaanku kepada Tari tetanggaku yang tinggalnya cukup jauh dari rumah. "Bel, Imam nikah lagi? Acara di rumahmu tadi acara syukuran pernikahan suamimu kan? Kok kamu mau sih di madu?""Oh itu," jawabku biasa saja."Kok Kamu biasa aja sih, Bel? Apa bener kamu merestui mereka? Apa kamu yang menyiapkan acara tersebut?" Tari mencerca aku dengan banyak pertanyaan."Aku gak pernah merestui mereka. Awalnya aku gak tahu, Tar. Kata mertua itu acara arisan. Taunya acara syukuran pernikahan suamiku sendiri. Aku baru tahu setelah acara selesai," tuturku panjang lebar kepada Tari. Tari ini teman semasa sekolah menengah. Kebetulan dia mendapatkan suami yang rumahnya cukup jauh dengan rumah Mas Imam tapi masih satu Rt. Bisa dibilang rumah Tari adalah rumah paling ujung."Mbok ya cerai saja tho, Bel. Suami model begitu kok ya masih nekat bertahan sampai sekarang. Malah sekarang Berani nikah lagi! Pa
Bab 8 Lia merajukPOV IMAM"Mas, rumah berantakan banget sih. Kamu kok gak bersih-bersih?" tanya Lia yang baru bangun dari tidur. Wanita itu sekarang sudah tidak lagi bekerja. Semenjak kami menikah dan semenjak dia mengandung. Aku menyuruhnya berhenti bekerja. Aku takut jika terjadi apa-apa dengan bayi yang sedang ia kandung."Aku kan kerja, Sayang. Nanti biar Ibu yang beberes rumah." Aku mengusap rambut Lia dengan lembut. Lia memang berbeda dengan Bela. Dia manja dan sedikit keras kepala. Sedangkan Bela setiap hari bangun pagi lalu menyiapkan makanan untuk sarapan dan juga bekal yang dibawa ke pabrik. Rajin beberes rumah dan juga menyirami tanaman. Seminggu sudah dia pergi dari rumah. Tanamannya pun sudah banyak yang mati karena tak pernah tersentuh air."Lia juga laper, suruh Ibu sekalian bawa makanan!" pinta Lia dengan manja. Aku membuang napas dengan kasar. Pasti Ibu akan berbicara panjang lebar jika aku kembali menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah, sekaligus membawa makanan
Bab 9POV Bela"Assalamualaikum," Salam terdengar dari Kania. Teman lamaku."Waalaikumsalam," Segera aku menghampirinya lalu menghamburkan pelukan kepada wanita yang sudah lama tidak bertemu itu."Apakabar, Bel? Kamu kok kurusan sih?""Iya, nih. Lagi diet," jawabku asal, sengaja aku tidak berterus terang. Ada banyak hal yang menjadi beban pikiranku. Sehingga tubuhku tergerus hingga menjadi kurus dan seperti tak terurus."Ow, ya kenalin. Dia Mas Arya, seorang pengacara yang sudah aku ceritakan kemarin." Aku mengangguk lalu melempar senyuman kepadanya."Ayo, masuk dulu! Kita bicara di dalam!"Segera aku mengajak mereka masuk kedalam rumah. Karena Emak dan juga Bapak sedang tidak ada dirumah. Jadi akulah yang mengambilkan minuman dan juga makanan ringan di dapur. Mungkin ini adalah langkah besar yang harus aku ambil. Dengan hati-hati aku menceritakan setiap detil kepada Mas Arya. Dan bukti foto.Ya, aku tidak bodoh seperti yang mereka pikir. Setiap kali aku mendapat pukulan maupun tendan
BAB 10"Waalaikumsalam," jawabku pelan. Lalu aku mengikuti Emak. Menjatuhkan bobot tubuhku ke kursi rotan yang berada di ruang tamu."Kamu ada masalah dengan Imam?" tanya Om Gunawan tanpa basa-basi."Iya, Om." jawabku singkat. Karena aku malas menjelaskan sesuatu hal yang menurutku pribadi kepada orang lain. Meskipun Om Gunawan adalah sepupu jauh Emak."Imam itu baik lho. Dia juga Sholeh, kamu rugi jika berpisah dengannya!" Rugi bagaimana? Yang ada aku akan sering ia sakiti."Maaf, Om. Kali ini Bela tidak bisa bertahan! Bela terlalu sakit hati, sudah cukup Bela bodo* selama ini. Membiarkan Mas Imam bertindak seenaknya sendiri. Tapi untuk kali ini dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya!""Maksud kamu apa Bela? Kamu tidak sungkan kepadaku? Yang sudah membayar hutang-hutang keluargamu?! Apa ini balasan darimu atas kebaikanku?""Kamu salah sangka Gunawan. Sebenarnya Imam itu …." Belum juga Emak menyelesaikan ucapannya. Om Gunawan sudah memotongnya."Kalau begitu bayar hutang-hutang
BAB 11 "Kamu kan tahu, Sayang. Aku lagi sakit, nanti kalau sudah sembuh pasti aku belikan!" "Iya, Lia ngerti kok. Ini diminum dulu, Mas. Air putihnya. Mas harus banyak-banyak minum. Biar cepet sembuh!" Segera aku minum air putih yang sudah dibawakan Lia hingga tandas tak tersisa."Tapi kan, Mas. Jaman sekarang kita gak perlu pergi, cukup dirumah barang bisa datang sendiri. Kita beli secara online? Gimana? Kalau Mas kontrol ke rumah sakit butuh motor. Lia periksa ke dokter juga pake motor. Motor itu penting! Tapi kalau motor model begituan, Lia gak bisa, Mas. Kita beli motor sekarang ya, Mas?" Lia mengerlingkan matanya entah kenapa menolaknya aku tak bisa. Aku hanya bisa mengiyakan semua permintaan Lia. Istri tercantik ku yang kini bersamaku.*******POV BelaAku segera masuk kedalam rumah. Menyelesaikan pekerjaanku membungkus jus dan lainnya."Itu tadi bukannya mertua kamu ya, Bel?""Eh, Emak. Ngagetin Bela aja. Iya, Mak. Tapi Bela usir. Bela gak mau balik lagi! Katanya Mas Imam kec
Happy endingPandu pergi meninggalkan Bela. Pergi meninggalkan wanita itu yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di rumah baru itu. Pandu benar-benar marah, dia tidak percaya jika Bela akan mendorongnya cukup kuat. Dan berpikir dia meminta haknya. Dengan teriakan yang cukup memekikkan telinga.Bela menangis tergugu. Tubuhnya lemas hingga terjatuh di lantai. Bersimpuh dengan air mata yang tidak mau berhenti.Bela menyesali perlakuannya pada Pandu. Padahal dia melihat kesungguhan laki-laki itu dalam membimbingnya kembali mengingat.Bela menyesal. Tapi sesak tiada guna, Pandu sudah pergi entah kemana dia? Seharusnya dia tidak pernah meninggalkan Bela dalam kondisi Semarah apapun. Apakah dia tidak ingat dengan janjinya? Tidak akan meninggalkan Bela dalam kondisi apapun?Tiba-tiba ingatan Bela satu demi satu kembali. Membuat kepalanya terasa berat, semakin lama hanya sakit yang ia rasakan. Sejalan dengan ingatan yang kembali dalam pikirannya.Hingga Bela tidak bisa lagi menahan sakit.
Pandu kecewa"Kenapa mesti pindah rumah sih?" tanya Bela kepada Pandu. Dengan bibir mengerucut. Sedangkan Pandu masih sibuk memasukan pakaiannya satu persatu ke dalam koper. Dia nampak ragu menjawab. Tapi lagi-lagi Bela bertingkah."Eh, ditanya malah diem bae." Bela kembali berteriak. Kini tidak hanya berteriak, dia melempar sesuatu dengan asal. Astaga, dan apa kamu tahu apa yang dia lempar? Celana dalam dengan motif bunga renda. Sungguh menggemaskan, eh salah sexy. Dia salah, salah ambil. Membuat Pandu menoleh ke arah Bela. Dia benar-benar merindukan istrinya. Menatap wajah Bela dengan senyum yang sulit diartikan.Pandu langsung bergegas menghampiri Bela. Tingkahnya seperti singa yang siap akan menerkam mangsanya."Mau apa Lo?" Bela mencoba melempar apapun yang berada didekatnya. Namun sayang Pandu masih bisa menepisnya."Aku mau kamu, Sayang." ucap Pandu dengan wajah menggoda.Bela kembali berteriak hingga membuat Pandu panik. Ketika tubuh Pandu semakin ia dekatkan pada wanita itu.
Pandu sadarBela semakin hari semakin membaik. Beberapa perban yang menutup lukanya dibuka. Lastri dan Sukino sedang dirumah Pandu. Beristirahat, dan berganti Tari dan Anton."Sayang, mamah ada disini. Kamu mau apa?" tanya Tari. Bela menggeleng. Wanita itu berubah. Dia menjadi wanita yang lebih pendiam, dia bingung dengan apa yang sudah menimpanya. Memiliki keluarga dan juga mertua. Sungguh sulit dibayangkan olehnya."Siapa suamiku, Mah?" tanya Bela terbata. Dia penasaran bagaimana keadaan suaminya jika dia memang sudah menikah. "Pandu?" Bela tersenyum. Meskipun dia tidak ingat wajah sang suami, tapi setidaknya dia bertanya. Meskipun sebenarnya dalam hatinya tak ada rasa khawatir sedikitpun."Dia masih koma, dia belum sadar. Doakan ya, semoga dia lekas sadar. Nanti kalau kamu sudah bisa berdiri, kita lihat suamimu di ruangannya. Dia disana sedang berjuang juga sepertimu. Mamah harap, kamu juga ikut berjuang ya!" Bela hanya tersenyum tak ada anggukan atau jawaban. Dia mungkin bingun
Bela hilang ingatanMobil yang dikendarai Pandu keluar kawasan komplek. Baru saja memasuki jalan raya mobil hitam tersebut ditabrak truk bermuatan yang kehilangan kontrol.Kepala Bela terbentur. Pandu pun terluka, Oma yang ada di kursi penumpang bagian belakang juga merasakan guncangan cukup hebat. Arya langsung menghentikan laju kendaraannya. Beristighfar, mengharap Tuhan melindungi Bela dan juga Pandu."Astagfirullahaladzim, Bela. Ya Allah, Mas itu kan mobil Bela sama keluarganya.""Iya, Nia. Kamu yang tenang ya, aku akan segera menghubungi ambulans." Arya dengan cepat menghubungi pihak rumah sakit. Segera meminta pertolongan untuk kecelakaan yang baru saja terjadi.Arya dan Kania turun dari mobil. Sedangkan Cleo dia langsung menghamburkan pelukannya pada Kania. Calon ibu sambungnya. Pikiran Kania tak karuan dia khawatir dengan keadaan sahabatnya. Karena Arya melarang Kania mendekat. Hanya Arya yang mendekat. Memastikan Bela dan keluarga baik-baik saja. Tapi bagaimana bisa baik-
Pertemuan Arumi dan BelaSeperti rencana semula. Bela pergi ke acara pernikahan Rumi. Anak Anton dengan istri terdahulu. Kebetulan Bela, Oma dan juga Pandu satu mobil. Sedangkan Anton sama Tari mengendarai mobil sendiri. Sengaja, karena kepulangan mereka berbeda waktu.Bela tidak tahu jika Rumi saudara Pandu beda Ibu itu ternyata Arumi. Wanita yang pernah dekat dengannya. Wanita yang pernah memintanya menikah dengan suaminya sendiri. Rela dimadu demi bakti kepada suami itu alibinya. Meskipun pada kenyataannya tidak demikian. Entah apa yang terjadi jika Bela bertemu dengan Arumi? Apakah mereka akan baik-baik saja? Setelah dulu pernah terdengar kabar bahwa Arya akan bercerai dengan Arumi. Tak lama Bela kehilangan komunikasi dengan wanita itu. Tiba-tiba saja dia hilang seperti ditelan bumi.Untuk kali ini Bela akan bertemu dengan Arumi sebagai adik ipar. Terkejutkah Bela jika melihat Arumi? Apakah Arya juga akan hadir dalam acara tersebut?Bela dengan senyum sumringah terlihat anggun m
*****"Lepaskan saya, Pak. Saya ini lagi hamil. Apa kalian tidak punya hati nurani?!" teriak Maura ketika dia ditangkap polisi. Berharap tindakannya itu memberikan rasa empati kepadanya. Namun, bukan mendapatkan empati justru petugas bersikap tegas."Silahkan, Ibu menjelaskan semuanya di kantor. Saya hanya menjalankan tugas. Saya juga sudah membawa surat penangkapan. Ibu juga berhak membawa pengacara!" Dengan jelas dan tegas petugas itu menjawab.Maura terlihat marah, sangat marah. Tidak mungkin jika Pandu tega menjebloskan dirinya ke penjara. Benar-benar diluar dugaannya. Secepat ini keluarga Pandu bergerak. Padahal dia belum melakukan apa-apa. Baru menghilangkan janin Bela, semua orang menyerangnya dengan bersamaan. Umpatan demi umpatan dalam hati yang bisa dilakukan Maura saat ini. Keluarganya sudah tidak mau berurusan dengannya lagi. Setelah kasus hutang piutang yang dilakukan Maura. Kini dia sendirian. Dalam keadaan hamil dan kemungkinan dia dipenjara dalam waktu yang tidak sebe
Maura bertingkah Oma bertindak"Makan dulu, Sayang. Kamu harus tetap makan. Biar nggak sakit, semua merasa kehilangan kok. Sama sepertimu tapi Mamah harap kamu bisa lebih ikhlas." Tari memeluk Bela. Bela hanya tersenyum. Lagi-lagi dia pandai menyembunyikan luka."Ya sudah, kalau begitu Mamah keluar dulu. Nanti kalau kamu pengen sesuatu kamu bisa panggil Bik Tum.""Iya, Mah. Terima Kasih," ucap Bela dengan mata yang sedikit berembun. Tari mengusap lembut pucuk kepala Bela. Lalu menciumnya cukup lama, sesama wanita dia tahu betul apa yang dirasakan menantunya itu.Pandu terlihat masuk kedalam kamar, ketika melihat wanita yang sudah melahirkannya keluar. Pandu mendekat lalu dia mengusap lembut bahu Bela, ikut duduk disisi ranjang."Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, Sayang. Maaf, seharusnya ini sudah aku ceritakan sejak dulu."Bela mengangguk tak ada banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia begitu diam, sangat diam."Gladis sedang hamil." Pandu tertunduk menceritakan wanita itu, ber
Rahasia PanduPyar ….Gelas yang ingin Lastri raih dari atas meja mendadak jatuh. Entah itu karena Lastri menyentuhnya atau karena memang pertanda buruk."Ada apa, Mak?" Adit keluar dari kamar. Mencari sumber suara. Dia melihat Lastri membersihkan pecahan gelas di bawah meja. "Perasaan Emak nggak enak, Dit. Coba kamu telpon Mbakmu. Semoga dia sehat-sehat saja." Lastri menerawang jauh. Entah mengapa hatinya gelisah. Rasanya tidak tenang jika belum mendengar kabar dari putrinya. Putri yang kini jauh dari pandangannya."Iya, Mak. Ni aku telpon Mbak Bela." Adit sibuk memainkan benda pipih di tangannya. Sedangkan Lastri kini duduk bersandar."Nggak diangkat Mak," ucap Adit sembari melihatkan layar ponselnya yang sedang menghubungi Bela. Sekali, dua kali hingga tiga kali tanpa ada jawaban sama sekali. Membuat Lastri semakin gusar dan kepikiran. "Mak," panggil Sukino dari kamar. Sukino kini tengah sakit. Hanya sakit biasa, namun entah mengapa sudah seminggu tidak kunjung sembuh. Tenggoroka
Keguguran POV Bela Setelah kurasa badan ini terasa pegal. Kuputuskan pergi ke kamar. Melangkah dengan hati-hati berjalan menuju kamar. Melewati ruang tamu hingga ruang makan pun nampak biasa saja. Tak ada Irt saat ini, mereka tengah sibuk di belakang. Satu demi satu anak tangga aku lalui. Sembari tangan menyentuh lembut perut yang mulai menyembul. Indah dan juga sangat bahagia. Tapi ketika aku menjatuhkan kaki kanan, alangkah terkejutnya aku. Di anak tangga tersebut seakan licin penuh minyak. Seketika aku beristighfar lalu menyebut nama Allah. "Allahuakbar," ucapku spontan. Tanganku langsung mencari pegangan. Namun sayang lantai yang teramat licin membuat tubuhku tak sanggup menopang beban. Hingga tergelincir. Berguling ke bawah melalui anak tangga. Aku meringis kesakitan. Dibawah sana ada sesuatu yang terasa hangat keluar. "Oma," ucapku pelan. Karena aku sibuk memegangi perut yang terasa sakit luar biasa. "Bela, Bela. Astagfirullahaladzim, ini kamu kenapa? Bela, istighfar. B