Embusan napas panjang meluncur dari bibir Bu Marni. Menjelang awal tahun begini ada satu hal yang tak pernah absen mengisi kepalanya. Terbayang lagi di benaknya sosok puteranya satu-satunya, anak lelaki sulungnya. Terhitung tahun ini, 5 tahun sudah dia merantau ke ibu kota, dan tak sekalipun dia menengok ibunya yang telah menjanda ini.
Bukannya ada tingkah Ramon yang mengecewakan hatinya, tidak demikian. Justru berkat Ramonlah kini Bu Marni punya berhektar-hektar sawah, kebun nanas, kebun kopi. Rumah yang dulu saat ditinggal suaminya tampak reot, kini berubah jadi rumah gedongan, bertingkat dua, berlantai keramik. Dua adik Ramon berhasil sekolah, si Delima baru tahun ini lulus Sekolah Menengah Atas baru membicarakan mau mendaftar Universitas, sedangkan si bungsu Cempaka baru naik kelas 3 Sekolah Menengah Pertama.
Semua berkat uang kiriman Ramon yang tak kurang dari puluhan juta tiap bulannya. Leher, pergelangan tangan, daun telinga, jari jemari Bu Marni pun berkilauan dengan perhiasan. Ke mana pun langkahnya pergi, ada mobil juga yang membuatnya tak payah kepanasan atau kehujanan. Tak ada yang kurang memang, semua dilengkapi oleh Ramon.
Namun, ada satu yang kurang, kehadiran Ramon itu sendiri. Walau kiriman uang lancar, dia jarang mengirim kabar. Bu Marni bahkan tak tahu pekerjaan apa yang dikerjakan Ramon di kota sampai dia bisa memiliki begitu banyak uang. Semua masih jadi misteri. Tahun ini Ramon telah menginjak usia 25, tapi dia tak pernah juga membahas soal pernikahan, atau kekasih. Kisah hidupnya di Jakarta sana sepenuhnya adalah kertas kosong bagi ibunya.
Hal ini tak bisa dibiarkan terus berlalu, Bu Marni harus berbuat sesuatu. Dia bertekad ingin menjemput Ramon pulang.
***
Sehabis makan malam, Bu Marni menjelaskan niatnya kepada Delima yang sedang larut bermain ponsel pintar keluaran terbaru yang baru bulan lalu dikirimkan Ramon.
"Ma, kamu jadi kan mau kuliah di Jakarta?" Bu Marni basa-basi lebih dulu.
"Belum tau juga sih, Bu. Soalnya Aiza katanya mau kuliah di Jogja."
Aiza yang dimaksud Delima adalah sahabatnya sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Keduanya tak pernah terpisahkan bagai amplop dengan perangko.
"Loh, kamu kok jadi bergantung sama Aiza, sih? Kalian kan sudah dewasa, udah semestinya mulai jalan sendiri-sendiri. Dia mau ke mana, kamu mau ke mana, harus mulai mandiri, Lima." Bu Marni menasehati.
"Iya, Bu ..., tapi Aiza itu bukan cuma sahabat buat aku, tapi juga udah kayak saudara. Aku takut kalau nggak ada dia. Aku takut kalau aku nggak bisa dapat sahabat kayak dia lagi."
"Berpegangan tuh harusnya cukup sama Tuhan aja, jangan sama manusia." Cempaka ikut menimpali.
"Heh! Bocah yang jangan ikut-ikutan omongan orang gede ya! Diam aja kamu!" Delima memang garang kepada Cempaka, sebabnya karena dia merasa Cempaka terlampau dimanjakan.
"Udah ..., jangan malah berantem, Ibu mau ngomong serius sama kamu, Delima. Ini tentang Mas-mu." Bu Marni lekas menengahi.
"Mas Ramon?! Kenapa, Bu?! Kenapa?!" Justru Cempaka yang lebih antusias.
Dengan geram, Delima memukul pelan kepala Cempaka. "Wes diam dulu, Bocah! Gendeng!"
Cempaka mengusap puncak kepalanya yang digebuk kakaknya. "Gini ..., kamu berhubung mau cari-cari kampus, sekalian aja temui Mas-mu, temui Mas Ramon. Suruh pulang nanti jelang tahun baru."
Delima langsung melongo, dia tak pernah berpikir ibunya akan meminta melakukan hal seperti itu. Pergi ke kampung sebelah untuk nonton dangdutan saja dia sering diomeli, ini malah diminta pergi ke Jakarta. Jakarta yang jauh, yang modern, yang tak pernah dia sentuh sebelumnya.
"Ibu lagi sakit ya? Masa Mbak Delima mau disuruh ke Jakarta, sih?" protes Cempaka, cemburu agaknya.
"Kamu nih jangan ikut-ikutan, Ka! Ini urusan Ibu sama Mbak-mu!" semprot Bu Marni. "Delima udah 18 tahun, dia sudah dewasa, dia pasti bisa jaga diri. Apalagi di Jakarta kan ada Mas Ramon, nanti dia yang jagain. Mau ya, Delima?" Mata Bu Marni memelas.
"Kenapa bukan Ibu aja?" Cempaka masih saja tak jera ikut campur.
"Ibu kan mesti jaga sawah kita, kalau ada hamah keong gimana? Yang jaga kamu juga siapa? Lagian, Delima pasti lebih cepat ngerti ketimbang Ibu, takutnya di sana Ibu malah nyasar!" jawab Bu Marni.
"Kalau gitu, biar Cempaka aja!"
"Hush! Jangan ngawur kamu ya! Mending pikirkan ujian sekolahmu!"
Sebetulnya Delima tak begitu peduli soal Ramon, yang dia pikirkan hanya satu: Jakarta. Kota impian yang sudah begitu lama ingin dia injak. Kapan lagi dia bisa ke Jakarta? Dia sudah bisa membayangkan liburan ke sana, jalan-jalan, melihat mal, pergi ke bioskop, pergi ke wahana dufan. Maka tanpa setitik ragu, Delima menjawab, "Ya aku siap, Bu! Tapi ...,"
Ada satu lagi yang dia pikirkan. Bu Marni bergumam, meminta Delima melanjutkan kalimatnya.
"Aku mau ajak Aiza ikut juga ya, Bu? Biar ada teman." Delima nyengir.
Bu Marni manyun, sudah dia duga pasti Aizalah syarat yang utama. "Kalian ini kayak Upin Ipin aja! Ke mana-mana mesti berdua! Ya udah, Ibu bakal ngomong sama Bu Raras dulu, minta izin!"
Delima langsung bersorak kegirangan, cuma Cempaka yang gigit jari karena tak bisa ikut pergi.
***
Di ruang tamu kediaman Bu Raras yang sederhana, Delima sudah heboh sendiri berbisik-bisik kepada Aiza mengungkap niat ajakannya memboyong Aiza ikut ke Jakarta. Namun Aiza menahan euforia, menunggu respons ibunya yang juga telah menjanda selama dua tahun.
"O ..., jadi mau menemui Ramon? Oalah, sudah lama memang dia nggak pulang, ya." Bu Raras berkomentar singkat setelah Bu Marni menerangkan maksud kedatangannya.
"Iya. Gitulah Bu, sekalian aja, kan Delima juga belum pernah ke Jakarta." Bu Marni menarik napas gugup.
Bu Raras melirik puterinya yang manis, si Aiza yang menunduk diam-diam berharap diberi izin.
"Tapi ..., soal ongkos, jujur saja, berat buat saya, Bu." Bu Raras mengeluh.
"Jangan khawatir, Bu Raras! Soal ongkos, biaya makan, jajan, semua pokoknya, dari saya, kok! Saya akan kasih uang saku buat Aiza juga."
Bu Raras langsung tersenyum lebar. "Kalau begitu boleh-boleh aja."
Delima langsung memeluk Aiza erat-erat, kedua remaja puteri sebaya itu kompak berseru gembira. Ini akan menjadi pengalaman pertama mereka jalan-jalan berdua, ke Jakarta, lagi!
Namun jauh di dalam lubuk hati Aiza, ada satu sebab utama mengapa dia begitu gembira. Semata-mata Ramon. Ramon yang telah lima tahun tak dia jumpai, Ramon yang dulu selalu misterius namun manis, Ramon yang seolah memiliki dunia sendiri. Memang di kampung ini, Ramonlah pemuda paling tampan, tinggi dengan pesona yang membuat para gadis kesengsem. Aiza teringat, dulu dia hanya anak kecil di mata Ramon, bagaimana sekarang? Aiza berbisik dalam hati, tunggu aku, cinta pertamaku ...
Sekali lagi Delima menyalim tangan ibunya lalu ikut masuk ke dalam Bis yang akan membawa dia dan Aiza ke stasiun kereta. Tak ada setetes pun air matanya mengalir, justru yang ada euforia gila-gilaan, tak sabar melihat wajah ibu kota. Beda dari Delima yang cuek bebek, Aiza justru berderai air mata, berat betul dia meninggalkan Bu Raras seorang diri di rumah.Namun keinginannya untuk berjumpa Ramon tak kalah kuat. Maka dia timbun rasa sedihnya sedalam-dalamnya, demi hari perjumpaan yang dia yakini akan lebih indah. Kesedihan ini akan segera terbayar bila mana dia telah melihat lagi wajah pria yang dia kagumi sejak kecil.Selama di dalam Bis, Delima cuma tidur saja, bangun sebentar lalu tidur lagi. Sementara Aiza selalu memasang mata. Sudah lama dia tak melihat pemandangan indah, hijaunya desa mereka dari kiri dan kanan. Terlebih tiap kali dia teringat akan wajah tampan Ramon. Hatinya berbunga tak sabar. Senyumnya terus mengembang, jantungnya terus meletup-letup bagai kemba
"Ka-kami nyari Mas Ramon, Pak ..." jawab Delima terbata-bata sambil sesekali melirik Aiza untuk mendapat dukungan.Sekuriti memasang muka galak, "Ada janji?!" tanyanya setengah membentak."I-ini kejutan, Pak. Kunjungan kejutan. Saya adik kandungnya," jawab Delima lagi. Aiza hanya mengangguk mengiyakan."Pak Ramones, ya? Biar saya hubungi dulu." Si sekuriti masuk ke dalam pos keamanan lalu menelepon seseorang. "Betul, Bu. Ini ada yang mencari Pak Ramones. Adiknya. O ..., baik sebentar." Dia melongokkan kepala keluar kaca jendela. "Nama kamu siapa?""Delima, Pak."Sekuriti kembali masuk ke dalam pos dan bicara dengan seseorang via telepon, lalu tak lama dia keluar dari pos keamanan. "Kalian naik aja ke lantai sepuluh, apartemen bernomor 103. Bu Sarah ada di sana."Delima dan Aiza saling pandang bingung. Siapa Sarah? Apakah Ramon sudah menikah diam-diam?Meski dalam posisi kebingungan, keduanya tetap menurut lalu naik ke dalam lift untuk
Kaki Aiza terlalu lemas, nyaris saja dia ambruk ke lantai. "Udah besar kamu sekarang ya!" kata Ramon dengan senyum lebar yang menunjukkan barisan gigi putihnya yang besar-besar. Kepalanya yang selebar muka Aiza menepuk-nepuk puncak kepala Aiza seolah Aiza adalah anak anjing kesayangannya. Pipi Aiza merah jambu memanas.Tak ada satu kata pun yang mampu terucap oleh bibir Aiza. Dia diam membeku, kehabisan kata-kata, larut dalam aroma parfum Ramon yang memabukkannya."Eh, kalian berdua sudah makan? Ayo kita makan malam. Di luar aja. Sekalian cerita-cerita." Ramon bersuara lagi.***Aiza dan Delima saling pandang entah untuk kesekian kali dalam satu hari ini. Bagaimana tidak, sekali lagi mulut mereka menganga. Ramon membawa mereka ke sebuah restoran jepang nan mewah, menyajikan hidangan laut yang bisa membuat kantong jebol. Sarah tidak ikut serta sebab dia ada janji dengan temannya malam ini, dia mesti bersiap-siap.Anehnya, Sarah masih tinggal di ruma
Kaki Aiza terlalu lemas, nyaris saja dia ambruk ke lantai. "Udah besar kamu sekarang ya!" kata Ramon dengan senyum lebar yang menunjukkan barisan gigi putihnya yang besar-besar. Kepalanya yang selebar muka Aiza menepuk-nepuk puncak kepala Aiza seolah Aiza adalah anak anjing kesayangannya. Pipi Aiza merah jambu memanas.Tak ada satu kata pun yang mampu terucap oleh bibir Aiza. Dia diam membeku, kehabisan kata-kata, larut dalam aroma parfum Ramon yang memabukkannya."Eh, kalian berdua sudah makan? Ayo kita makan malam. Di luar aja. Sekalian cerita-cerita." Ramon bersuara lagi.***Aiza dan Delima saling pandang entah untuk kesekian kali dalam satu hari ini. Bagaimana tidak, sekali lagi mulut mereka menganga. Ramon membawa mereka ke sebuah restoran jepang nan mewah, menyajikan hidangan laut yang bisa membuat kantong jebol. Sarah tidak ikut serta sebab dia ada janji dengan temannya malam ini, dia mesti bersiap-siap.Anehnya, Sarah masih tinggal di ruma
"Kamu beneran nih nggak mau ikut nonton, Za?" Untuk kesekian kalinya Delima bertanya hal yang sama, berharap sahabatnya itu berubah pikiran.Bukan Aiza namanya kalau tidak bisa konsisten dan berpegang teguh pada keputusan. "Nggak deh, bisa masuk angin aku malam-malam di gedung bioskop pakai AC sedingin itu.""Ck! Terserah kamu, deh. Aku pergi dulu, ya!"Lagi-lagi Aiza ditinggal sendiri. Itu cuma alasan yang dibuat-buat saja, seperti biasa dia menunggu kepulangan Ramon sebetulnya. Sayangnya, baru pulang selama sepuluh menit, Ramon sudah akan pergi lagi bersama Sarah, dengan pakaian cukup rapi serta parfum yang menguar begitu kuatnya sampai membuat hidung Aiza gatal."Ditinggal sendiri lagi?" Ramon bertanya.Aiza mengangguk pelan. "Kita ajak ajalah, Mon. Kasihan banget anak gadis cantik nganggur di rumah begini," usul Sarah."Janganlah, Mbak ..., masih kecil dia--""Emang mau ke mana? Aiza boleh ikut?" Aiza menyambar tiba-tiba, memotong
Lama duduk membisu, akhirnya Aiza tak tahan lagi untuk bertanya kepada pria flamboyan di depannya, "Mas ..."Belum selesai kalimatnya, pria itu langsung terbelalak, "Mas?!Emangnya aku nih keliatan kayak mas-mas apa, ya?! Mas dua puluh empat karat?! Panggil aku Kak! Kak Bio!" Dia akhirnya memperkenalkan diri."Ah iya, maaf ..., maaf Kak Bio, gini ..., aku mau tanya ..." Suara Aiza terputus-putus. "Emangnya Mas Ramon ada urusan apa ya di sini? Siapa yang Kak Bio sebut papa tadi?"Tangannya Bio bergerak gemulai seiring matanya mengerling heran, "Kamu nggak tau apa kerjaan Ramon?"Aiza mengangguk."Kamu nih siapanya dia? Masa itu aja nggak tau?" selidik Bio."Aku sahabat adiknya, tapi ... keluarga Mas Ramon juga nggak tau apa kerjaan Mas Ramon," jawab Aiza polos.Bio mengembuskan napas panjang ikut sekepul asap rokok yang terbang di udara. "Itu sih panjang urusannya, Cinta. Bukan perkara mudah. Kamu kayaknya terlalu dini un
Levi tersenyum puas lantaran sasarannya telah berada di depan, tinggal membidik saja. Dia membawa Ramon dan Aiza ke sebuah bilik makan di restoran tiongkok dengan meja makan bundar besar. Terlalu berlebihan untuk tiga orang, seolah-olah ini benar makan malam bisnis.Sejak awal melihat Aiza, mata Levi memang tak bisa berpaling. Belum pernah dia melihat sekuntum bunga mekar seperti Aiza. Wajahnya yang teduh dan ekspresinya yanginnocentmembuat sekujur tubuh Levi bergetar hebat.Dan sebagai putera sulung dari pemilik klub malam besar dengan puluhan gurita bisnis lainnya, mana mungkin dia tak bisa mendapat apa yang dia mau, sekalipun dia tahu bahwa Aiza adalah orang yang dibawa oleh Ramon, rivalnya sendiri.***"Dimakan, silakan dimakan ..., pesan lagi kalau kurang." Levi mendekatkan mangkuk-mangkuk ke dekat Aiza. Aiza melirik Ramon takut, berharap segera pergi dari tempat ini."Jadi sebetulnya mau ngomongin apa? Langsung aja. Saya
Sarah yang dalam kondisi setengah mabuk baru saja keluar dari toilet saat sebuah tangan menariknya dan membekap mulutnya, dia terhuyung, tak bisa melawan. Tak lama, tubuhnya didorong sampai terhempas ke atas tempat tidur yang dia sendiri tak tahu di mana. Kepalanya pening, pandangannya kabur."Aduh ..., siapa sih nih ...?" tanyanya sambil memegang kepala yang berat. "Kalau mau, jangan kasar dong ..., aku kasih dengan senang hati ..." ucapnya melantur.Dia bisa melihat bayangan bertubuh besar berdiri di depannya dengan tangan bertumpu pada pinggang. Di pergelangan tangan kiri pria besar itu melingkar sebuah gelang emas berkilauan. Sarah langsung tahu siapa orang yang ada di depannya."Levi ...? Tumben ..., tumben kamu mau sama aku. Kenapa? Sekarang seleramu yang seperti aku, ya? Ha ha ..."Plak!!!Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Sarah sampai tubuh bagian atasnya terpental lagi ke atas tempat tidur. "Jangan mimpi kamu, pelacur