Setelah mereka selesai makan, karena masih ada waktu empat puluh lima menit lagi untuk istirahat, Syamsul mengajak Bagas dan juga Roni untuk minum kopi disebrang hotel, sekalian santai - santai sejenak.
Mereka bertiga melangkah keluar kantin karyawan, menuju warung kopi disebrang jalan, saat Syamsul akan memesan kopi kepada pemilik warung, Bagas seraya berkata. "Syam, saya lagi gak pengen ngopi, pesen es milo ada nggak disini?"
"Bentar aku tanya dulu," ucap Syamsul.
Setelah bertanya kepada pemilik warung, ternyata es milo juga tersedia, Syamsul memesan dua gelas kopi hangat dan satu es milo, Bagas merasa senang karena di warung ada es milo, jadi tidak perlu menunggu sampai pulang kerja, tidak berapa lama minuman mereka sudah tersedia di meja, sembari memakan gorengan mereka menikmati setiap tegukan kopi, Bagas sendiri begitu menikmati es milonya, dalam hatinya berbicara sendiri. Rasanya tidak terlalu jauh beda sama buatan si mbok, akhirnya kesampaian juga ingin
Bagas sudah berada diruangan Ali, berdiri didepan Ali yang sedang duduk, lalu Ali mulai berbicara kepada Bagas."Kamu tahu? mengapa saya memanggil kamu lagi.""Tidak, Pak," jawab Bagas."Tenang saja, kali ini saya memanggil kamu, bukan karena kamu bermasalah lagi, saya hanya ingin menyampaikan bahwa, masalah yang kamu buat tadi siang sudah tidak akan diperpanjang, Saya sebagai atasan kamu sudah berusaha mempertahankan kamu didepan Pak Raymond, jadi saya minta kedepannya, kerja yang benar, ada hal - hal yang tidak kamu mengerti segera tanyakan jangan diam saja, paham!""Iya, Pak terima kasih atas bantuan Bapak, sehingga saya masih di ijinkan tetap bekerja disini.""Ya sudah, karena sekarang sudah waktunya jam pulang, kamu bisa kembali.""Iya, pak, kalau begitu saya permisi, Pak.""Iya."Sebenarnya Ali kurang suka terhadap Bagas, semenjak Bagas masuk kerja sudah telat belum lagi masalah yang ditimbulkannya dengan Saras, ditambah
Mereka berdua sudah tiba diwarung si ema, seperti biasa Syamsul yang memesan kopi hitam kesukaannya, dan Bagas es milo, Bagas memang tidak terlalu menyukai kopi, mungkin karena aromanya yang begitu menyengat baginya, lidahnya lebih enak meminum es milo, Saat sedang asik menikmati minumannya masing - masing, ponsel Syamsul berdering, Syamsul langsung mengangkatnya, itu dari Winda, Winda meminta tolong kepada Syamsul untuk membelikannya obat sakit kepala di apotek, Winda merasa sangat pusing sekali, sehingga Syamsul dengan cepat menutup telepon dan menjelaskan kepada Bagas kalau ia akan ke apotek dulu, kasihan Winda, takutnya sakit kepalanya berlarut dan mengganggu pekerjaannya, Syamsul bergegas ke parkiran karyawan, untuk mengambil motornya, sementara Bagas yang tidak enak minum sendirian diwarung, meminta si ema membuatkan es milo lagi, karena merasa masih kurang satu gelas es milo baginya, rencananya ia akan meminumnya di ruangan kerjanya, Bagas melangkah menuju hotel dengan membaw
Tak berapa lama mereka berempat sudah tiba diwarung si ema, Bagas mempersilakan Adelia dan Sinta untuk duduk, dengan segera Bagas memesan es milo tiga gelas dan kopi hitam hangat satu gelas, Samsul sendiri dari tadi malah duduk dengan mata yang curi - curi pandang ke arah Adelia, karena takut kepergok oleh Adelia dan memang tak berani menatap secara langsung, Bagas melihat gerak - gerik Syamsul langsung menyikutnya berulang kali, memberi kode dengan matanya agar Syamsul jangan bersikap seperti itu. Adelia tengah sibuk dengan ponselnya, wajahnya yang begitu cantik memiliki aura yang sangat memukau mata pria yang melihatnya, buktinya beberapa pelanggan si ema hampir jatuh kesandung karena melihat wajah Adelia. Sinta menoleh ke Adelia seraya bertanya. "Del, kita pulang kapan?" "Sebetahnya aja,"jawab Adelia dengan jari yang masih sibuk mengetik tanpa menoleh Sinta. "Serius amet, jangan bilang sedang sibuk chating orang gila." Sinta sebenar
Untung saja dengan cepat Bagas menghalanginya dan mulai berbicara dengan nada yang sopan kepada Tony"Pak Tony, tolong jangan kasar terhadap wanita."Tony dengan wajah yang marah menatap Bagas dengan tajam, merasa tidak suka dihalangi orang rendahan seperti Bagas, dengan cepat mulai mendorong Bagas sangat kencang, hingga jatuh, Adelia yang melihat itu segera menghampiri Bagas meraih tangan Bagas untuk membantunya berdiri, Syamsul yang melihat Tony, perlakukan Bagas seperti itu segera berlari menghampiri Bagas dan mulai mengajaknya pergi." Kamu baik - baik saja, kan? Lebih baik kita pergi saja, kita gak akan menang melawannya, percuma saja, ia orang kaya yang punya kekuasaan sementara kita cuma pekerja biasa."Bagas menahan emosinya yang sebenarnya hampir meledakan isi kepalanya, ia tidak mau kalau sampai Adelia terancam bahaya, Tony benar - benar laki - laki gila, buat apa banyak uang dan memiliki jabatan tinggi seperti ucapan Syamsul tempo hari kalau To
"Begini Bagas...aku pernah bilang ingin diantar oleh kalian, jalan - jalan melihat pemandangan yang asri disekitar sini," ucap Adelia."Oh, iya, ayo saja, kapan memang maunya, bukankah dihotel juga ada wisatanya dan suasananya asri sekali" ucap Bagas."Sudah pernah, memang bagus dan asri tapi aku ingin ketempat yang lain, dan menghindari Tony juga, takutnya balik lagi kesini.""Baiklah,"Terdengar oleh Bagas suara Sinta yang langsung berkomentar. "Del, gak usah jalan - jalan, bagaimana kalau kita camping saja, bermalam di alam bebas merasakan suasana malam.""Boleh, juga, pasti seru" ucap Adelia.Adelia kembali berbicara ditelpon dengan Bagas. "Bagas...kalau kita camping, kamu sama Syamsul mau tidak? kalau perlu ajak saja cewek kamu, sekalian ceweknya Syamsul juga, biar gak ada salah paham, kalau banyakan pasti ramai, sehari saja kita bermalamnya."Bagas menoleh ke Syamsul, dengan menutup speaker telpon, bertanya kepada Syamsul." Syam
"Maaf, bu Saras, bukan saya tidak sopan dan bengong didepan bu Saras, saya lagi ngerasain sakit kepala, jdi kebetulan, memang ada ibu, sekali lagi maaf, ya bu?" Bagas mencoba menjelaskan agar tidak terjadi salah paham, sebenarnya itu bukan alasan Bagas, untung saja Bagas bisa beralibi, membuat Saras tak curiga."Miris banget hidup lo, udah miskin penyakitan lagi, ya udah kalau begitu gw pergi, tapi kalau lo bohong, gw gak segan - segan laporin lo ke pak Ali." Dengan jari manis menunjuk muka Bagas.'Iya bu,' ucap Bagas.Saras
Mereka telah tiba di Capolaga, setelah membayar tiket masuk, dan mendatangi tempat penyewaan Tenda serta perlengkapan lainnya, mereka segera memilih tempat untuk mendirikan Tenda, Bagas dan Syamsul segera memasang Tenda, dua Tenda telah selesai, dengan posisi tidak jauh dari aliran sungai, Para cewek segera memasukan tas dan perlengkapan serta perbekalan ke tenda, Tenda Adelia lebih besar karena untuk berempat, setelah semua beres, Bagas dan Syamsul mencari kayu bakar, sementara para cewek, membuka perbekalan, menyiapkan bahan untuk dimasak, juru masaknya adalah Winda.Adelia, Sinta cepat akrab dengan Winda dan Heni sehingga mereka tidak terasa canggung, saling mengobrol dan bercanda.Bagas dan Syamsul sudah kembali, mereka langsung menyalakan kayu bakar untuk menghangatkan tubuh, karena suasana disana cukup dingin, tak berapa lama masakan sudah selesai, dengan tikar yang disewa, mereka duduk saling berhadapan mengitari api, dan memakan apa yang sudah dimasak oleh Wind
Bagas memang merasa lelah, tapi Bagas tidak mungkin membiarkan Adelia sendirian, Bagas tahu, ada sesuatu yang disembunyikan Adelia, makanya seperti kurang bersemangat, Bagas ingin mencoba mengobrol lebih dekat, siapa tahu Adelia mau mengutarakan apa yang menjadi beban fikirannya.Bagas menjawab pertanyaan Adelia. "Saya belum mengantuk, nanti kalau sudah ngantuk, saya ke tenda."Mereka saling terdiam, sibuk dengan fikirannya masing - masing, seakan malam menjadi saksi bisu diamnya dua insan, hanya angin malam yang terasa menembus kulit begitu dingin, malam yang gelap gulita ditengah hutan menambah suasana semakin diselimuti kesunyian, air yang mengalir dari celah - celah bebatuan di sungai seakan sedang bersenda gurau dalam gemericiknya yang terdengar menenangkan jiwa, ditambah pemandangan langit yang dipenuhi bintang berkelip sekan menjadi simbol langit yang bahagia.Bagas menoleh kearah Adelia, dilihatnya merasa kedinginan, tanpa harus diminta, Bagas segera ber
“Adelia, kamu marah sama aku?” tanya Bagas menatap Adelia yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Enggak,” ucap Adelia singkat, tanpa menatap Bagas.“Kita baru saja baikan, masa harus berjarak lagi, sini duduknya, dekat aku.”“Iya nanti,” tetap menunduk fokus dengan ponselnya.Cindy hanya menggelengkan kepala, melihat Adelia yang sebenarnya jelas ketara kalau sedang cemburu gara – gara tamu wanita yang sebenarnya tidak perlu di besar – besarkan masalahnya, karena Bagas sudah dengan tegas menolak kehadiran mereka.Sinta berjalan dengan perlahan menuju ruang tamu, di ikuti tamu yang bukannya di suruh pergi namun di bawa masuk oleh Sinta. Bagas menatap kearah tamu, bibirnya mengulas senyum, baru saja akan membuka mulutnya untuk menyapa mereka, salah satu dari tamu memberi isyarat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, sebagai tanda untuk jangan bersuara, begitu juga Cindy untuk jangan bersuara dan tetap tenang seperti sebelumnya. Salah satu tamu wanita menyapa Bagas dengan sedikit manja.“
Adam sudah berada di kamar Bagas, memapah Bagas duduk di kursi ruang tamu kamar. Adam duduk di depan Bagas mendengarkan dengan wajah serius.“Om, saya belum memberitahu Adelia tentang si pengemudi tersebut, saya hanya takut perkataan saya akan membuat Adelia merasa tidak nyaman, bahwa orang itu adalah Angga, mantan tunangannya, saya baru berbaikan sama Adelia, tidak ingin merusak suasana hatinya, Om belum memberitahu Adelia, kan?”“Selamat Tuan Muda, saya sangat senang mendengar Tuan muda dan Adelia sudah berbaikan. Saya belum bertemu dengan Adelia, setelah mengurus Angga dengan pihak yang berwajib, saya langsung menemui Tuan Muda.”“Syukurlah kalau Adelia belum tahu, saya takut Adelia salah paham harus tahu dari Om dan bukan dari saya, yang jelas – jelas tadi kita berbicara di telepon, Adelia juga pasti menyadari kejanggalan tatapan saya tadi, hanya saja mencoba percaya dengan apa yang saya katakan, seperti tidak ingin merusak suasana hati saya. Saya yang akan memberitahukan langsung
Setibanya di kamar hotel. Syamsul menurunkan Bagas dengan hati – hati untuk berbaring di kasur. Adelia dengan sigap segera mengambil air hangat dan lap kering, membasuh luka – luka Bagas dengan perlahan. Tidak berapa lama Dokter Anwar sudah tiba di kamar Bagas dan segera memeriksa luka – luka Bagas, serta memberikan obat Pereda sakit. setelah selesai mengobati luka – luka Bagas, Dokter Anwar pamit untuk pulang, diantar Syamsul sampai ambang pintu.“Lebih baik kamu istirahat dan minum obatnya, biar nggak demam, aku balik ke ruanganku lagi, ya?” tukas Syamsul.“Terima kasih, Syam.”“Iya, lekas sembuh. nanti aku ke sini lagi sama Heni dan Winda, sekalian nginep nemenin kamu.”"Iya."Syamsul pamit kepada Adelia, Sinta dan Cindy, segera meninggalkan kamar Bagas menuju ruangan kerjanya.“Del, ayo balik kamar, Bagas butuh istirahat,” ucap Sinta.“Kalian balik saja duluan, aku masih ingin disini,” tukas Adelia.Sinta dan Cindy saling tatap, mendengar ucapan Adelia. Cindy memberi kode dalam is
Bagas menghelas napas Panjang dan menghembuskannya perlahan, diletakannya kembali es milo disebelahnya. Membuka kedua tangannya, merasakan tetesan air hujan yang turun perlahan di kedua telapak tangannya, pandangan matanya lurus kedepan, bibirnya tersenyum dalam kesedihan.Sementara di kafe tempat Adelia bersama kedua temannya tidak ada lagi perbincangan, ketiganya saling membisu, seakan larut dalam alunan musik yang mengiringi rintik hujan, gemericiknya seakan menyatu dalam suasana saat itu. Mata cindy tidak sengaja beberapa kali memergoki Adelia yang menengok terus ke arloji.“Adelia, temui saja Bagas,” ucap Cindy.“Maksudnya?”“Del, aku sudah mengenal kamu sangat lama, aku tahu saat ini kamu sedang gelisah. Sudahlah, Del jangan ikuti ego kamu, jangan sampai semuanya terlambat kamu mengerti dan pada akhirnya kamu yang akan menyesal.”“Aku masih belum menemukan jawaban dari keinginanku sendiri, pastinya Bagas juga sudah pergi. Di luar hujan, nggak mungkin dia terus menunggu kedatanga
Mentari pagi bersinar sangat terang, menyinari bumi yang basah akibat hujan semalam. Adelia bersama kedua sahabatnya sudah duduk santai di warung seberang hotel, menikmati sarapan ditemani secangkir es milo racikan si pemilik warung yang nikmatnya tiada duanya, bagi mereka.Mereka membahas prihal ACSMart yang akan membuka cabang lagi di Surabaya, setidaknya ada Reni dan Susi yang bisa di singgahi dan diajak kumpul – kumpul di kala kunjungannya nanti. Rencananya minggu depan mereka akan terbang ke Surabaya, mencari lokasi yang cocok dengan usaha mereka. Mereka bertiga memang berencana dari jaman dulu, membuka usaha bersama. Mendirikan usaha di berbagai kota, agar mereka bisa sekalian traveling juga.“Cin, untuk lokasinya, kita minta bantuan Susi atau Reni saja, mereka lebih hapal daerah sana. Tempat yang ramai tapi belum terlalu banyak pesaing dalam usaha kita,” ucap Adelia.“Boleh, tuh. By the way. Susi dan Reni pada kemana, ya? Aku kirim pesan belum di balas.”“masih tidur, kayaknya!
Adelia sudah berada di dalam kamar hotel, menyimpan sebuket bunga di meja sebelah televisi, diraihnya secarik kertas yang menyelip di tengah – tengah hiasan bunga.Adelia berjalan menuju kursi, duduk dengan menyilangkan kakinya, perlahan tanganya membuka secarik kertas tersebut.***Tahukah kamu…hari – hari yang kulalui, ‘Kesedihan dan kehampaan’.Tahukah kamu…berapa berat waktu yang kulalui, ‘Rindu dalam diam’.Tahukah kamu…Kesedihan, Kehampaan, dan Rindu, mengikat hatiku dalam namamu, ‘Adelia Maheswari’.Betapa bodohnya aku, mengatakan semua ini setelah menyakitimu sangat dalam.Aku datang bukan untuk memintamu memahamiku, tentang betapa rapuhnya aku tanpamu,Tapi, untuk cinta dan masa depan kita,Karena aku datang bukan untuk pergi, ingin menetap selamanya, sebagai rumah yang nyaman.Dan aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, begitu juga hatimu.Aku Tunggu di tempat pertama kali kita bertemu, di waktu yang sama.Entah menjadi saksi bisu yang sama atau saksi bisu tentang luka untukku.
Malam kian beranjak, hanya suara rintik hujan yang menemani kesunyian. Bagas memandang langit dari balkon kamarnya, tiada bintang, terselimut awan hitam pekat. Bagas begitu mendambakan kehadiran sosok Adelia, hatinya pilu membaur bersama kerinduan yang kerap menyelimuti setiap detak napasnya, mengalun dalam irama tak betepi, begitu dekat namun seakan jauh, karena Adelia seakan menutup jalan untuknya.Beberapa kali Bagas melihat layar ponselnya, pesan yang dari siang ia kirim kepada Adelia tiada kunjung balasan, hidupnya seakan terasa hampa.Bagas melangkah masuk ke dalam, duduk menghadap televisi yang terpampang lebar, pandangannya terus menatap layar televisi, dalam batinnya, ‘Hitam pekat membentang, seperti rusak tidak bergambar, hanya memantulkan sosok yang menatapnya’. Bagas terdiam seketika, seakan sedang berpikir dengan ucapannya.Wajahnya yang suram kembali tersenyum, batinnya kembali berkecamuk, ‘Bodohnya aku, sampai harus menyerah begitu saja, hanya karena sikap Adelia yang c
Setelah hampir tiga jam berada di rumah Heni, mereka berlima segera pamit untuk pulang. Danu sudah menghubungi Adelia, dikarenakan akan segera kembali ke Jakarta.Setibanya di hotel. Danu sudah menunggu Adelia di lobi hotel, dengan pakaian rapi, menenteng koper kecil di tangan kirinya.“Adelia, Ayah harus segera pulang. Ayah akan menghadiri rapat tentang hasil kontrak kerja baru dengan perusahaan Ivander Group yang sudah di Acc, sekaligus menyusun anggaran dan rancangan kerja bersama para staf Ayah. Adelia pulang bersama Sinta dan Cindy, ya? Atau mau beberapa hari di sini juga Ayah tidak keberatan, nanti Ayah yang bicara sama Ibu. Ayah juga sudah berbicara dengan Bagas, soal kamar yang kamu tempati, apabila kamu masih ingin di sini.”“Soal kamar, Adel bisa cek-in sekarang, tidak enak sama Bagas harus menginap gratis sampai beberapa hari.”“Bagas tidak keberatan! Kamu nggak usah mempermasalhkannya. Jangan menolak kebaikan seseorang. Nikmati saja waktumu, setelah melalui hal tidak menge
Bagas sudah berada di kamar hotel. Merebahkan badannya yang terasa lelah, matanya terus menatap foto Adelia di ponselnya. Satu notif pesan masuk, tertera nama Cindy. Bagas segera membuka pesan tersebut, dengan cepat membalas pesan Cindy. Bagas memandang langit – langit kamar hotel, bibirnya mengulas senyum ceria. Berguman lirih, ‘Setidaknya orang – orang yang dulu membenciku, kini mau mendukungku untuk kembali kepadamu, Adelia Maheswari. Semoga kamu bersedia membuka jalan untukku, menuju hatimu, aku janji, tidak akan membuatmu menangis lagi’. Perlahan mata Bagas mulai meredup dan melabuhkan diri dalam peraduan mimpi.Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi. Bagas bergegas menuju taman belakang hotel untuk menemui Cindy dan Sinta.“Maaf, sudah menunggu,” ucap Bagas yang masih ngos – ngosan mengatur napasnya, setelah berlari menuju taman belakang.“Santai saja, kita juga sambil menikmati udara pagi,” tukas Sinta.“Kalian sudah sarapan?” tanya Bagas.“Belum.” Sinta dan Cindy menjawab