Ranting SembahHutan ini adalah hutan keramat yang terletak di pinggiran ujung dimensi. Tak jauh dari benteng perbatasan. Antara hutan ini dan seputaran dasau dipisahkan oleh dataran rumput yang luas. Dari kejauhan dengan pandangan biasa, sudah tampak kabut-kabut putih yang menaungi tepian hutan.Meskipun suasana siang hari, tetapi Ranting Sembah dengan kabut berarak di sekitarnya, lebih terlihat seperti malam. Pepohonan pinus tinggi menjulang tampak hitam, di antara sela-sela kabut yang berbayang. Kabut yang berarak itu adalah kabut energi. Menutupi seluruh bibir hutan dari kiri dan kanan hingga sampai di penghujung bibir hutan yang dibatasi oleh gunung tinggi. Selain didominasi oleh pohon-pohon pinus yang menjulang, juga tampak pohon-pohon tak berdaun dipenuhi kabut tebal.Cahaya mentari berusaha memasuki pekatnya hutan yang rimbun dan pepohonan yang tumbuh rapat antara satu dengan lainnya. Tanah berwarna kecoklatan tua dipenuhi oleh berbagai lumut-lumut liar serta dedaunan yang
Ranting Sembah IIKedubrakkk!!!Terdengar suara nyaring seperti ada sesuatu yang jatuh berdentum. Sumber suara dari arah utara hutan. Sepertinya, ada perkelahian yang melibatkan beberapa makhluk mistik. Saat ini kita kembali berjalan ke arah sumber suara. Ternyata! Seekor elang berkepala sembilan baru saja menghempaskan tubuh seekor kadal coklat. Inilah sumber suara tersebut. Tubuh kadal coklat jatuh menukik ke bumi dengan keadaan salah satu kakinya yang patah. Paruh elang berkepala sembilan memang terkenal tajam. Tak segan mencabik mangsanya seperti sayatan penjagal di tempat penjualan daging.Ekor kadal ini bercabang dua di belakang tubuhnya. Sedikit erangan keluar dari mulutnya dengan lidah menjulur. Naas bagi kadal ini karena berpapasan dengan elang pejantan yang sedang galau memikirkan sang betinanya. Dengan susah payah ia mencoba melarikan diri, bersembunyi di antara rerumputan di dekat rawa. Di bagian utara Ranting Sembah terdapat sebuah rawa isap. Yah, tepatnya rawa berlumpu
Mutiara Penyerap EnergiDi sudut bagian portal yang lain….Tepatnya di sebuah dimensi berbatu yang tampak gersang. Tempat ini didominasi oleh hawa panas yang membuat dedaunan sekitarnya berbentuk kecil, jarang dan kecoklatan tua. Jenis tanaman yang cukup menggambarkan bagaimana daya hidup di tempat ini.Seorang wanita bungkuk menyeret kakinya satu-satu. Memasuki tanjakan berbatu terjal menuju ke tepian bagian dalam.Ada sebuah lorong tertutup di sana. Wanita bungkuk ini memiliki tanduk kecil di atas kepalanya. Mukanya merah terang dengan rambut kekuningan dan bertumbuh jarang. Tenang dia bukanlah nenek sihir seperti yang kamu bayangkan! Wanita ini salah satu budak bangsa bertanduk yang melarikan diri waktu dulu terjadi kerusuhan besar di dimensi asalnya. Ketika itu, terjadi kudeta internal di dalam hierarki pemerintahan bangsa Lor. Kejadian itu membuatnya terdampar di tempat ini. Duduk di antara salah satu bebatuan itu. Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan. Matanya terpejam.
Biak Peripun DimulaiHari ini, tepat dimulainya ajang Biak Peri yang telah lama ditunggu-tunggu. Berbagai persiapan telah dilakukan sebelumnya hanya untuk menyambut event ini.Turnamen tersebut akan dibuka langsung oleh Pemimpin Tertinggi Dimensi. Dan disaksikan oleh hampir semua Ashokans. Mereka selain melepas kepergian para anggota keluarganya memasuki Ranting Sembah dan memberi dukungan, tetapi juga menyaksikan semaraknya acara pembukaan turnamen.Tak jauh dari depan bibir hutan Ranting Sembah, telah dibangun panggung untuk perhelatan ini. Dengan susunan kursi-kursi terbuat dari batu yang disusun tinggi melingkar untuk para Tetua Dimensi yang akan melepas para Ashokans muda. Di bagian tengah, terdapat kursi utama terukir dari batu pualam murni. Ini adalah kursi Pemimpin Tertinggi yang sekaligus akan membuka turnamen dengan upacara tertentu.Pada saat pembukaan dan selama Biak Peri berlangsung, Pemimpin Dimensi akan mengadakan ritual khusus dengan kekuatan Agra tertinggi untuk meni
Langkah Pertama Nanzu tak dapat mengungkapkan perasaan sedih yang menderanya. Entah kenapa, bukankah seharusnya ia merasa tertantang dalam meraih mimpinya. Namun, yang terjadi adalah berbanding terbalik. Apakah ini pertanda bahwa selama ini dirinya terlalu berada di zona nyamankah? Terlalu larut dalam balutan kasih sayang Garde dan Marde serta keluarga kecil mereka yang bahagia hingga menyadarkan bahwa dirinya tak lebih sosok yang manja? Mungkin inilah alasannya. Nanzu tak ingin mempercayai intuisinya saat ini. Mungkin dirinya terlalu melekat pada kasih sayang mereka hingga ketika berpisah seperti saat ini, Nanzu akan merasa sangat kehilangan. Nanti, ketika dirinya telah menyelesaikan Biak Peri dan menjadi Asta, bukankah dirinya pun akan segera kembali pada mereka? Nanzu mencoba menenangkan setiap detak jantungnya yang tak biasa. Entah mengapa, perasaan berpisah ini seperti menghantui. Menjelma menjadi ketakutan nakal yang ingin mengusik ketenangannya saat ini. Ketakutan yang men
Terpisah dari KelompokUntuk beberapa saat Tuba Lilin, Minak Hijau dan Pancah Ungu terdiam. Seolah mereka baru saja dihadapkan pada mimpi yang sedikit menguras emosi. Terlebih Tuba Lilin, dirinya merasa paling bersalah saat ini. Jika bukan karena hendak menyelamatkan nyawanya, Sunan Zunungga takkan mungkin melakukan hal gila dengan melompat ke punggung elang berkepala sembilan. Tetapi perbuatan nekad itu tetap dilakukan Nanzu. Sedangkan mereka bahkan terlalu sering berkata ketus kepadanya. Hanya saja Nanzu, bukanlah tipikal pendendam. Ia bahkan sosok yang setia kawan dan bertanggung jawab. Mereka bertiga saat ini, duduk dan mengatur nafas masing-masing. Setelah pertarungan yang begitu sengit, mereka membutuhkan jeda untuk memulihkan tenaga dan mental mereka. Khususnya Pancah Ungu. Sewaktu ia mencoba memecut leher burung besar itu tetapi ia malah terkena lemparan cadas dan membuatnya muntah darah. Bahkan saat ini, dadanya masih terasa sesak. Ia tak lupa memanfaatkan momen ini untuk
Tersesat“Akhirnya kita sama-sama terjatuh, elang besar!” Sunan Zunungga mendudukkan tubuhnya yang kepayahan bersandar di bawah pohon. Satu depa di sampingnya, tergeletak elang berkepala sembilan yang hampir sekarat. Nafasnya megap-megap. Saat ini sebenarnya adalah kesempatan terbaik bagi dirinya untuk membunuh elang besar ini dan melarikan diri. Tetapi, entah kenapa ada sesuatu dalam jiwanya yang menahan perbuatan ini.Rasa iba! Sebuas-buasnya seekor makhluk elang berkepala sembilan, nyatanya ia tak lebih makhluk hutan yang mengikuti instingnya untuk makan dan bertahan hidup.Yah walaupun makhluk ini harus membunuh mangsanya agar tetap dapat bertahan di siklus rantai makanan Ranting Sembah. Tetapi saat ini, makhluk buas tersebut hanyalah seonggok daging tak berdaya dan pasrah.Jika kita merasa kuat, haruskah kita menyakiti mereka yang lemah?Kali ini Nanzu menatap ke arah burung itu.“Hei, elang! Gara-gara dirimu, sekarang aku terpisah dari kelompokku. Entah kita berada di mana sa
Musuh yang Menjadi TemanTak terasa saat ini Sunan Zunungga telah memasuki kawasan Tirta Amerta. Tampak di muka, kolam kehidupan berkilau dengan air berwarna bening seperti kristal tatkala tepercik pantulan surya.Sunan memperhatikan sekelilingnya, ada banyak air mancur kecil di kolam ini dengan tumbuhan dan bunga-bunga liar. Serta merta, langkahnya mulai mendekati pelataran kolam dan meminum air bening dari mulut air mancur kecil yang mengalir. Sungguh terasa sejuk di kerongkongannya yang kering. Perutnya yang lapar telah terisi dengan air Tirta Amerta. Secara ajaib, rasa lapar itu juga berubah menjadi rasa kenyang yang nyaman. Apakah air ini memang benar-benar seperti yang dilegendakan?Tetapi inilah yang terjadi. Rasa kenyang yang dirasakannya bukanlah rasa kenyang karena kembung lantaran dipenuhi oleh air. Tetapi memang benar-benar rasa kenyang yang natural. Syukurlah. Sunan pun teringat pada sosok elang yang terluka. Kasihan juga burung itu, pasti saat ini elang besar itu san