Agra PertamaDi hadapan Kucul Rinci, seekor burung merak bermahkota biru mengepakkan sayapnya. Dari hembusan kepak tersebut juga memendarkan warna biru bercahaya. Auranya memancar setengah pekat keunguan berwarna nila. Agra merak biru berusia 3000 tahun!Tanpa diduga, ketakutan yang menjelma di depan Kucul Rinci bukanlah naga atau hantu. Melainkan seekor makhluk mistik pendamping!Tak percaya dengan penglihatannya saat ini, Kucul Rinci menampar pipi kirinya hingga kemerahan.“Awww… ternyata aku benar-benar sedang tak bermimpi!”Agra merak biru itu hanya berjarak setengah depa dari dirinya. Tak terlihat liar tapi juga tak nampak jinak! Matanya memperhatikan Kucul Rinci yang lebih mirip penghuni gua dengan pandangan mencibir.“Burung cantik, kemarilah….” Dengan konyolnya Kucul Rinci mencoba memeluk burung bercahaya itu tapi tindakan ini hanya membuatnya terjerambab jatuh ke permukaan tanah keras di depannya.Seolah mengejek merak biru berpaling dan masih mengepakkan sayapnya dengan ang
Agra KeduaPada dasarnya, sewaktu pelatihan Biak Peri di benteng perbatasan, para Ashokans telah dibekali pedoman mengenai hal-hal penting apa saja yang harus dilakukan selama berada di Ranting Sembah. Termasuk pengenalan hutan dan cara-cara dalam menaklukkan para makhluk mistik. Tetapi yang menjadi persoalan, panduan yang tertuang dalam buku dasar itu hanya garis besar saja. Tidak secara sempurna dan menyeluruh menjelaskan metode sebenarnya dalam menaklukkan Agra.Bahkan, cara menaklukkan makhluk mistik pemangsa yang dimaksud lebih bersifat defensif. Lebih kepada cara bagaimana mempertahankan diri. Karena alasan ini pulalah, sewaktu Kucul Rinci berhadapan langsung dengan Agra merak biru, dirinya menjadi sangat kebingungan. Satu-satunya alasan utama kenapa tidak ada petunjuk yang jelas selama pelatihan adalah karena pengalaman menaklukkan Agra berbeda-beda antara Ashokans satu dengan lainnya. Jadi, tak ada petunjuk baku mengenai hal tersebut dalam literatur dimensi. Setelah mera
Rasa Itu“Awasss di depanmu!!!”Teriakan salah satu Asta penjaga mengoyak langit siang itu. Tampak gadis Cabi terlihat sedikit tersentak. Hampir saja…Sebuah mata tombak lembing mengenai tubuhnya yang hanya sehasta itu. Kakinya gontai seolah tak peduli dan meneruskan langkahnya ke salah satu pondok tempat ia menetap sementara.Saat ini, dirinya bernaung di dalam benteng perbatasan di dimensi Ashok. Entah sampai kapan, Cabi tak ingin peduli lagi.“Huh… hampir saja. Gadis Tredor itu seperti kelinci liar yang muncul dengan tiba-tiba. Ini tak bisa dibiarkan seperti ini terus. Kita harus membuat laporan segera kepada Tetua Utara.”“Aku setuju, Komang. Lagipula benteng ini bukan tempat untuk menampung para gadis dimensi!”Para Asta yang sedang berlatih itu sepakat untuk mengadukan keberadaan Cabi yang mereka rasa cukup mengganggu latihan para penjaga. Menurut mereka, Cabi lebih mirip boneka Annabele yang berkeliaran seperti bayangan. Tidak siang, tidak malam!Bahkan beberapa kecelakaan
Rasa itu IIDulu, di zaman permulaan penciptaan seluruh dimensi di belahan galaksi dewa. Ada sebuah cahaya suci yang meleburkan diri menjadi beberapa anasir.Anasir-anasir ini pada akhirnya akan menjelma dan menjadi sumber penciptaan para dimensi dan makhluk-makhluk di dalamnya.Seperti anasir tanah yang menjadi asal penciptaan manusia di bumi, dan para Ashokans di dimensi Ashok. Api biru yang menjadi dasar penciptaan para Agra. Dan anasir-anasir lainnya yang membentuk penciptaan yang berbeda.Sang Pemilik Cahaya Suci!Setiap keberadaan makhluk di belahan dimensi manapun, memiliki keterikatan dengan Sang Pemilik Cahaya Suci. Karena dengan kuasa dan cinta Sang Pemilik Cahayalah, tercipta berbagai rupa dan bentuk aneka penghuni dan alam dimensi yang berbeda-beda. Terlahir dan kembali! Sebagaimana tercipta dari anasir yang berbeda, setiap makhluk memiliki ruh dan jiwanya masing-masing. Dan suatu masa, juga adalah ketetapan, seluruh penciptaan itu akan dikembalikan ke asal mereka.Wal
Agra KetigaSetelah beberapa lama, Minak Hijau menemukan kembali kesadarannya. Energi tubuh yang telah menyatu sempurna dengan Agra ular bertanduk perak berusia 7000 tahun.“Keke, akhirnya kau telah siuman.” Pancah memeluk Minak Hijau yang tersadar dan masih terbaring. “Selamat, Keke Minak, dirimu telah mendapatkan Agra pendamping yang luar biasa.” Sunan Zunungga tersenyum.“Keke Minak, Tuba bangga padamu! Jika nanti kita kembali ke Dasau Merak Buluh, Ayahanda pasti akan memberimu hadiah, hahaha.”“Terima kasih kalian semua… Hemm, aku juga sebenarnya tak menyangka. Semua terjadi begitu tiba-tiba…” Minak menjawab terbata sembari memegang sudut kepalanya yang terasa sedikit berputar.“Jika begitu, tempat ini harusnya sangat aman, kita tak perlu takut lagi, teman-teman.”“Rinci, kita sudah bermalam di sini beberapa hari, sepertinya sedikit terlambat jika baru membahas rasa takut itu sekarang.” “Keke Tuba benar, Rinci. Sebaiknya kau harus belajar untuk mengesampingkan rasa takutmu itu…”
Agra Lili PutihSudah hampir menginjak tiga jam berjalan, Pancah Ungu belum juga kembali. Hal ini membuat keempat Ashokans lainnya mulai khawatir.“Kenapa Pancah belum juga kembali ya, Keke? Apa perlu kita menyusulnya?” “Hemm, kita tunggu sebentar lagi. Hal seperti ini juga pernah terjadi sebelumnya. Anak itu memang suka menyendiri jika ada hal yang membuatnya kesal.”“Benarkah, Keke Tuba?” “Iya. Tanya saja pada Keke Minak jika tak percaya.”“Minak, kamu masih ingatkan waktu Pancah kesal saat kalah dari Tarkam?”“Hemm… Kejadian waktu itu sebenarnya cukup lucu. Dulu sewaktu kami masih di dasau Merak Buluh, kami bertiga ditempatkan Ayahanda untuk belajar di perguruan bela diri. Saat itu, Pancah bernafsu sekali ingin memenangkan tanding audisi supaya aku dan Tuba, memanggilnya Keke, hahaha.” “Tetapi yang terjadi, Pancah malah dikalahkan oleh Tarkam yang berusia jauh lebih muda darinya. Justru ia yang harus memanggil Tarkam dengan sebutan Keke seperguruan. Dan ini membuatnya kesal. Ter
Pencarian Pancah UnguKeempat Ashokans remaja mulai melakukan pencarian Pancah Ungu yang tak kunjung kembali. Mereka seperti mencari jarum di seantero hutan. Karena sama sekali tak ada penanda ataupun jejak yang ditinggalkan. “Hah, kemana kita harus mencarinya. Bocah ini benar-benar membuat repot saja.” “Sabar, Keke Tuba. Kita pasti menemukannya.” Sambung Minak Hijau. Setelah bersepakat, mereka mulai menelusuri jalan lurus di bagian timur jika ditarik dari arah gua tempat mereka berdiam.Cukup lama mereka berjalan, namun masih tak tampak tanda khusus yang ditinggalkan oleh Pancah Ungu.Akhirnya, mereka memutuskan untuk beristirahat beberapa waktu. Sambil memikirkan rencana-rencana pencarian selanjutnya.“Kau sudah membuat penandanya, Rinci?” “Sudah, Nanzu. Jika Pancah melihat penanda yang kutinggalkan, ia pasti dapat menyusurinya.”“Bagus sekali, Rinci. Aku juga sudah membuat beberapa penanda di bagian lain. Cepat atau lambat, Pancah pasti dapat menemukannya.”“Bocah ini, bahkan
Hal tak Terduga!Tubuh Pancah Ungu yang saat ini masih terbalut akar-akar lili putih, bergerak berayun seiring kesadaran jiwanya yang telah kembali ke tubuh fana itu.Saat terjadi penyatuan energi Agra lili putih, kokon akar yang berisi tubuh Pancah terlihat berkilau terang. Sinar ungu pekat dengan lapisan-lapian energi menyelimuti kokon itu. Seperti cahaya bunga lotus yang tertimpa cahaya matahari pagi. Menyilaukan.Namun, di balik balutan kokon akar kembang berwarna putih itu, Pancah merasakan siksaan yang teramat menyakitkan.Apakah ini balasan untuk semua penyakit kalbunya? Ataukah penyatuan energi Agra memang seperti siksaan di neraka dimensi? Pancah hanya bisa merasakan setiap denyut jantungnya seolah ditarik satu per satu, dan tulang-tulang di tubuh fisiknya serasa diremukkan untuk dibentuk ulang.Kokon itu semakin menipis dan terhimpit. Begitu juga halnya dengan jiwa dan raga seorang Pancah Ungu. Dileburkan!Lalu…Sebuah ledakan dahsyat terdengar cukup kencang di sekitar ra