Persiapan
Tinggal satu purnama ke depan, turnamen Biak Peri akan berlangsung. Para Ashokans muda sibuk mempersiapkan diri mereka. Mulai dari latihan fisik hingga olah strategi. Setiap Ashokans muda bermimpi untuk mendapatkan Agra yang terhebat.
Semenjak Sunan Zunungga mengutarakan niatnya untuk turut serta dalam turnamen. Garde Manta, paman Nanzu telah mulai membimbingnya jauh lebih keras dari sebelumnya. Sejak Nanzu kecil, meski ia terlahir lemah, Garde Manta telah membekali Nanzu dengan berbagai ilmu dan keterampilan yang dimilikinya. Hanya saja sejak ia mendengar putranya akan bergabung dengan Biak Peri, jiwa Astanya menggelora seiring sifat pelindungnya sebagai sosok ayah penjaga.
“Ayo Nanzu, lakukan lagi, masih tinggal beberapa putaran. Kau bisa Nak.” Peluh mengucur dari sela pori Nanzu yang kecoklatan terbakar matahari siang. Garde Manta mewajibkan Nanzu melakukan serangkaian latihan dasar fisik. Salahsatunya dengan mengelilingi halaman arena rumah mereka sebanyak seratus putaran setiap harinya.
Hal ini tentu bukanlah perkara sulit bagi para Ashokans muda lainnya. Tetapi Nanzu berbeda, terlahir prematur menjadikan organ dalam tubuhnya belum matang sempurna, sehingga aktifitas fisik yang berat sangatlah menguras energi. Detak jantung berirama forte berpacu di aliran darahnya yang seolah menguap.
Di kejauhan, dekat gazebo halaman belakang rumah mereka, Marde Linda dan kedua putri kecil tampak menyemangati Nanzu yang sedang kepayahan. Kedua bocah mungil itu bersorak riang.
“Keke...Keke Nanzu…!”
Keke adalah panggilan untuk menyebut kakak dan saudara yang lebih tua. Wajah-wajah imut mereka dengan pancaran bola mata sebening salju menyejukkan hati Nanzu.
Tinggal beberapa putaran lagi. Ingin rasanya tubuh itu menghempaskan diri di rerumputan sekedar mencari nafas sesaat. Tetapi ia tahu, ia tak boleh mengecewakan harapan kedua malaikat kecil di sana. Nanzu ingin membuat kedua malaikat mungilnya bangga memanggil namanya, “ Keke Nanzu…”
Garde Manta sangatlah bijaksana, dirinya paling paham bagaimana kasih sayang Nanzu terhadap kedua adik mungilnya yang cantik. Harga diri seorang Keke sedang dipertaruhkan. Sengaja ia meminta istrinya, Marde Linda untuk membawa kedua putri kecil mereka menyaksikan langsung latihan Nanzu.
Halaman belakang rumah mereka sangatlah luas. Ada arena berlatih tak jauh dari halaman utama. Dan beberapa petak taman bunga-bunga segar di berbagai sisi. Hal ini karena Marde Linda sangatlah menyukai bunga. Keanggunannya seolah menyatu dengan varian bunga aneka warna dan jenis. Kelopak mawar yang merah seolah menggambarkan sisi kehangatan sosok sang Marde.
Agra kenari bermahkota emas berusia 3000 tahun membuat Garde Manta cukup disegani di kalangan Ashokans. Selain memiliki rumah yang indah dengan halaman yang luas. Tanggungjawabnya sangatlah besar terhadap kebutuhan primer penduduk Ashokans.
Setiap musim panen tiba, kekuatan Agra Kenari Emas yang menyatu dengan dirinya akan berpendar di setiap penjuru dimensi. Energi kubah dengan daya kesuburan menaungi setiap jiwa yang bernafas. Membuat hewan-hewan ternak memberikan susu terbaiknya dan hasil panen gandum yang melimpah ruah.
Setelah istirahat siang, latihan intens kembali dilanjutkan. Beberapa busur dan anak panah telah tersusun rapi di meja arena.
“Nanzu, perhatikan gerakan lengan dan kakimu.” Garde Manta mengambil sikap berdiri di samping Sunan Zunungga. Kaki tegapnya terbuka selebar bahu dan sejajar dengan garis tembak di depannya. Tatapan matanya tajam dan fokus. Seketika anak panah melesat dan mendarat sempurna di tengah target. Senyum puas terpancar di wajahnya.
“Kau lihat Nanzu, Gardemu ini tak kalah dengan para Asta pemanah di perbatasan. Bahkan dulu Garde sering adu tanding dengan Ayahmu.”
“Iya Garde, padahal Garde sudah lama tak memanah. Jika tak salah, mungkin sekitar setahun yang lalu.” Sebuah pujian tulus terucap dari Nanzu. Ia tahu Gardenya sudah lama tak memegang busur dan panahan. Namun, keterampilan Gardenya itu tak lekang oleh waktu. Dan kini ketika melihat Garde Manta memperagakan kembali kemampuan memanahnya yang istimewa, hal ini membuat Nanzu terpukau sekaligus bangga.
Menjelang malam tiba, beberapa buku bersampul kulit kecoklatan tergeletak di atas meja berkayu ulin tua. Kali ini Sunan Zunungga dijejali beberapa ilmu siasat tanding. Strategi dasar dalam bertahan. Kemampuan pola pikir yang ditingkatkan.
“Satu-satunya yang membuat kita bisa bertahan adalah kemampuan berpikir Nanzu, juga tidak gegabah dalam bertindak.”
“Iya Garde…”
“Tetapi untuk situasi yang sulit untuk kita memutuskan, gerak intuisi yang cepat dan insting juga sangat berperan penting.”
“Bagaimana melatih intuisi Garde?”
“Kau harus bisa membedakan panggilan dalam hati dan pikiranmu. Hatimu akan menggiring pada intuisi, namun pikiranmu sebaliknya. Ketajaman intuisi kadang dapat berbanding terbalik dengan logika.”
“Nanzu masih bingung Garde…”
“Semua membutuhkan proses Nanzu, semakin sering kau melatihnya, intuisi dan instingmu akan semakin tajam.”
“Insting yang paling terkuat adalah keinginan bertahan hidup Nanzu. Apalagi nanti yang akan kau hadapi adalah para makhluk mistik yang tak kenal ampun. Jangan biarkan ketakutan menutupi instingmu. Karena rasa takut hanya menciptakan kepanikan yang memperburuk pola pikir kita di saat situasi yang genting.”
“Nanzu paham Garde.”
“Sewaktu Garde mengikuti Biak Peri, makhluk mistik elang berkepala sembilan adalah yang paling buas di Ranting Sembah. Jika tak terpaksa, lebih baik menghindari makhluk ini.”
“Kau tahu jika tak ada kaum Ashokans yang memasuki Ranting Sembah kecuali pada saat turnamen Biak Peri saja? Ranting Sembah adalah hutan terlarang, hutan keramat yang didiami oleh banyak makhluk mistik. Ada tiga kelompok yang menjadi penghuni di sana. Tidak hanya makhluk mistik pendamping, tetapi ada juga makhluk mistik pemangsa, dan makhluk mistik level rendah yang menjadi sumber makanan utama di sana.”
“Juga terdapat bukit yang dikelilingi oleh rawa berlumpur isap dan beberapa jenis tanaman beracun. Ada pula pohon penyesat langkah. Ini yang harus kau perhatikan dengan seksama.”
“Garde, bagaimana membedakan makhluk mistik pendamping dan makhluk mistik pemangsa?”
Garde Manta tersenyum.
“Itu mudah Nanzu. Makhluk mistik pemangsa sesuai namanya, aura membunuh mereka akan segera tersulut ketika mencium bau daging dan darah makhluk bergerak yang hidup di sekitarnya. Baik keduanya juga memiliki aura membunuh yang kuat. Mereka makhluk buas yang tak kenal ampun. Namun, makhluk mistik pendamping akan diselimuti oleh energi aura keunguan berwarna nila. Sedangkan makhluk mistik pemangsa akan diselubungi aura hitam. Semakin pekat warna yang kau lihat, menandakan semakin tua dan ganas makhluk tersebut. Dan makhluk mistik level rendah, tak memiliki tekanan energi yang kuat. Biasanya mereka berselubung aura keabuan ringan.”
“Nanzu paham sekarang Garde.”
“Baiklah Garde akan membiarkanmu membaca beberapa buku Nanzu. Jika lelah kau bisa melanjutkannya besok. Tapi jangan lupa sebelum kau tidur untuk melatih titik fokus dan aliran nafas.”
“Baik Garde…”
Beberapa buku siasat tanding di hadapannya sudah bukan yang pertama kali dibacanya. Sunan Zunungga sedari kecil telah gemar membaca. Terlebih dengan kondisi fisiknya yang berbeda, membuat perhatiannya lebih mengutamakan daya kerja otak sehingga kemampuannya dalam mengolah strategi dan siasat telah menjadi salah satu keahlian khususnya.
Mulai dari trik-trik sederhana hingga membuat perakitan yang rumit telah dikuasainya sejak lama. Apa-apa yang tertuang dalam buku siasat tanding pada dasarnya telah melekat di otaknya. Hanya saja, membaca kembali buku-buku itu seperti menyegarkan memorinya.
Sunan memutuskan untuk melatih titik fokus dan aliran nafasnya. Ia memilih duduk di peraduan. Matanya terpejam. Di luar, semilir angin lembah menyelusup dari celah ventilasi kamar yang menghadap ke arah timur.
Nanzu menyadari dan seolah menyatu oleh setiap tarikan nafasnya yang keluar masuk. Berirama lembut dan menenangkan. Malampun semakin larut. Menggurat dingin senada udara dimensi Ashok yang berkabut.
********************
Sebelum PerburuanKini, para remaja yang ingin mengikuti Biak Peri dikumpulkan menjadi satu di sebuah lapangan luas tak jauh dari benteng perbatasan. Ada sekitar lima puluh orang peserta termasuk Sunan Zunungga. Mereka berkumpul membentuk sepuluh barisan dengan pembagian lima orang peserta untuk setiap baris.Sunan Zunungga berdiri di barisan paling belakang. Di depannya berdiri Margo, teman masa kecilnya. Sejak matahari terbit, mereka dikumpulkan dan dibiarkan tanpa arahan. Mereka hanya diminta berdiri dan menunggu. Sudah berjam-jam lamanya hingga matahari telah menanjak tepat di ubun-ubun. Meski dimensi Ashok adalah dunia kesuburan, tetapi juga memiliki fenomena alam yang unik. Di mana ketika pagi, angin semilir akan terasa sangat menyejukkan seperti guyuran salju di belahan kutub. Namun, menjelang siang ketika matahari tepat di atas kepala, tak ubahnya seperti musim panas yang menyala liar dalam kawanan serigala. Dan menjelang sore, langit akan kembali teduh dan nyaman hingga perp
Labirin IlusiSunan Zunungga memenangkan pertandingan di babak pertama dan Tuba Lilin di babak kedua. Siapapun yang menjadi ketua regu akan ditentukan oleh babak selanjutnya. Tetapi, mereka masih belum sepakat untuk menentukan jenis tanding final tersebut. Akhirnya, setelah saling berembuk, pertandingan final adalah adu strategi berupa permainan kotak labirin.Di dimensi Ashok, kotak labirin adalah salah satu permainan yang cukup populer terutama di kalangan para Asta penjaga, para jenderal tinggi dan komandan dasau. Permainan untuk mengisi waktu senggang sekaligus mengasah kemampuan otak dalam menyusun strategi. Dalam permainan ini, terdapat kotak papan kecil seperti catur dengan pilihan batu berwarna hitam dan putih. Hanya bedanya, kotak labirin memiliki ruang ilusi yang hanya bisa dimasuki oleh para pemainnya. Papan kotak hitam putih tersebut, setelah terbuka, ia akan membesar dan menarik para pemain untuk memasuki labirin-labirin kecil dan memecahkan sekumpulan teka-teki di dala
Pembangkitan Titik EnergiBerita tentang Sunan Zunungga yang berhasil menyelesaikan permainan kotak labirin dalam waktu singkat ternyata menjadi buah bibir para Ashokans muda yang akan mengikuti Biak Peri. Ada yang merasa kagum, tapi tak sedikit pula yang mencibir. Termasuk Bading dan Badang Selatan.“Menyebalkan, hanya karena Nanzu berhasil keluar dari ruang ilusi kini ia sudah jadi pahlawan di tempat ini!” “Benar Keke… Apa mereka sudah lupa bagaimana lemahnya si Nanzu, kau masih ingat waktu dulu ia mengelilingi lapangan benteng, lima putaran saja dia sudah megap-megap.” “Kau benar, dia cuma beruntung saja tapi semua orang terlalu melebih-lebihkan kemampuannya. Hemmm, lihat itu bocah itu sudah datang.” Badang menunjuk Nanzu yang kini memasuki aula utama benteng bersama rekan sekamarnya. Kali ini, sikap dan perlakuan para peserta Biak Peri lainnya tampak berubah terhadap Sunan Zunungga. Mereka tak lagi melihat Sunan sebelah mata ataupun dengan tatapan merendahkan. Tak sedikit pula
Pembangkitan Titik Energi IITunggu, ada yang aneh dengan semua ini…Nanzu memang merasakan sebuah energi besar dari telapak tangan Tetua Utara. Energi itu menyengat seolah berlarian di setiap aliran darah dan jaringan tubuhnya. Tetapi, anehnya tubuh Nanzu seolah tak asing dengan sensasi ini. Tubuhnya bahkan tak memberikan reaksi penolakan sama sekali seperti yang dialami oleh Ashokans muda lainnya. Kenapa?Alih-alih memberikan reaksi hebat, yang dirasakan Nanzu justru sebaliknya. Energi yang masuk ke dalam tubuhnya terasa seperti menghangatkan dan memberi kekuatan unik. Semakin lama semakin besar, membuat sebuah cahaya bersinar keluar dari ujung-ujung porinya. Pada saat proses pembangkitan titik energi, Asta yang menselaraskan energi inti para Ashokans dengan kekuatan energi kuno kabut energi, hanya berlaku sebagai perantara dan medium pembuka. Tetapi untuk hal ini hanya dapat dilakukan oleh seorang Asta tingkat tinggi yang memilki kekuatan internal luar biasa. Di dimensi Ashok, ha
Sebuah RahasiaSemingggu lagi ajang Biak Peri akan resmi dimulai dan dibuka oleh Pemimpin Tertinggi dimensi. Saat ini seluruh Ashokans muda yang menjadi peserta hanya dibiarkan beristirahat agar dapat menyerap dan menyesuaikan kondisi tubuh mereka dengan energi kuno setelah diselaraskan. Tetua Utara yang merasa terkejut dengan energi inti yang berada di tubuh Sunan Zunungga memutuskan untuk mencari tahu hal ini lebih lanjut. Saat ini dirinya berada di sebuah gazebo dengan pelataran batu-batu granit yang dikelilingi tanaman mawar warna warni. Nampak dirinya sedang berbincang dengan seseorang...“Begitulah yang terjadi…” Lawan bicara Tetua Utara hanya membisu untuk sesaat. Dia adalah Garde Manta, paman penjaga Sunan Zunungga. Saat ini Tetua Utara sengaja menemui khusus Garde Manta di kediamannya.“Bocah itu… memang berbeda…” Akhirnya Garde Manta membuka sebuah rahasia…“Apa maksudmu, Manta?” Tetua Utara bertanya karena rasa penasarannya.“Aku tak tahu apakah ini hal yang perlu menjad
Ranting SembahHutan ini adalah hutan keramat yang terletak di pinggiran ujung dimensi. Tak jauh dari benteng perbatasan. Antara hutan ini dan seputaran dasau dipisahkan oleh dataran rumput yang luas. Dari kejauhan dengan pandangan biasa, sudah tampak kabut-kabut putih yang menaungi tepian hutan.Meskipun suasana siang hari, tetapi Ranting Sembah dengan kabut berarak di sekitarnya, lebih terlihat seperti malam. Pepohonan pinus tinggi menjulang tampak hitam, di antara sela-sela kabut yang berbayang. Kabut yang berarak itu adalah kabut energi. Menutupi seluruh bibir hutan dari kiri dan kanan hingga sampai di penghujung bibir hutan yang dibatasi oleh gunung tinggi. Selain didominasi oleh pohon-pohon pinus yang menjulang, juga tampak pohon-pohon tak berdaun dipenuhi kabut tebal.Cahaya mentari berusaha memasuki pekatnya hutan yang rimbun dan pepohonan yang tumbuh rapat antara satu dengan lainnya. Tanah berwarna kecoklatan tua dipenuhi oleh berbagai lumut-lumut liar serta dedaunan yang
Ranting Sembah IIKedubrakkk!!!Terdengar suara nyaring seperti ada sesuatu yang jatuh berdentum. Sumber suara dari arah utara hutan. Sepertinya, ada perkelahian yang melibatkan beberapa makhluk mistik. Saat ini kita kembali berjalan ke arah sumber suara. Ternyata! Seekor elang berkepala sembilan baru saja menghempaskan tubuh seekor kadal coklat. Inilah sumber suara tersebut. Tubuh kadal coklat jatuh menukik ke bumi dengan keadaan salah satu kakinya yang patah. Paruh elang berkepala sembilan memang terkenal tajam. Tak segan mencabik mangsanya seperti sayatan penjagal di tempat penjualan daging.Ekor kadal ini bercabang dua di belakang tubuhnya. Sedikit erangan keluar dari mulutnya dengan lidah menjulur. Naas bagi kadal ini karena berpapasan dengan elang pejantan yang sedang galau memikirkan sang betinanya. Dengan susah payah ia mencoba melarikan diri, bersembunyi di antara rerumputan di dekat rawa. Di bagian utara Ranting Sembah terdapat sebuah rawa isap. Yah, tepatnya rawa berlumpu
Mutiara Penyerap EnergiDi sudut bagian portal yang lain….Tepatnya di sebuah dimensi berbatu yang tampak gersang. Tempat ini didominasi oleh hawa panas yang membuat dedaunan sekitarnya berbentuk kecil, jarang dan kecoklatan tua. Jenis tanaman yang cukup menggambarkan bagaimana daya hidup di tempat ini.Seorang wanita bungkuk menyeret kakinya satu-satu. Memasuki tanjakan berbatu terjal menuju ke tepian bagian dalam.Ada sebuah lorong tertutup di sana. Wanita bungkuk ini memiliki tanduk kecil di atas kepalanya. Mukanya merah terang dengan rambut kekuningan dan bertumbuh jarang. Tenang dia bukanlah nenek sihir seperti yang kamu bayangkan! Wanita ini salah satu budak bangsa bertanduk yang melarikan diri waktu dulu terjadi kerusuhan besar di dimensi asalnya. Ketika itu, terjadi kudeta internal di dalam hierarki pemerintahan bangsa Lor. Kejadian itu membuatnya terdampar di tempat ini. Duduk di antara salah satu bebatuan itu. Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan. Matanya terpejam.