Labirin Ilusi
Sunan Zunungga memenangkan pertandingan di babak pertama dan Tuba Lilin di babak kedua. Siapapun yang menjadi ketua regu akan ditentukan oleh babak selanjutnya. Tetapi, mereka masih belum sepakat untuk menentukan jenis tanding final tersebut. Akhirnya, setelah saling berembuk, pertandingan final adalah adu strategi berupa permainan kotak labirin.
Di dimensi Ashok, kotak labirin adalah salah satu permainan yang cukup populer terutama di kalangan para Asta penjaga, para jenderal tinggi dan komandan dasau. Permainan untuk mengisi waktu senggang sekaligus mengasah kemampuan otak dalam menyusun strategi.
Dalam permainan ini, terdapat kotak papan kecil seperti catur dengan pilihan batu berwarna hitam dan putih. Hanya bedanya, kotak labirin memiliki ruang ilusi yang hanya bisa dimasuki oleh para pemainnya.
Papan kotak hitam putih tersebut, setelah terbuka, ia akan membesar dan menarik para pemain untuk memasuki labirin-labirin kecil dan memecahkan sekumpulan teka-teki di dalamnya. Mereka akan dapat dilihat oleh Ashokans lainnya, karena kotak labirin akan membentang di udara seperti tampilan layar monitor besar.
Siapapun yang tercepat dalam menaklukkan tantangan ini akan segera terlempar keluar dari dalam ruang ilusi. Tetapi, jika tak ada satupun yang berhasil, maka setelah tiga jam, ruang ilusi akan hancur dan para pemain akan keluar dengan sendirinya.
Nampak Pancah Ungu memegang kotak labirin di tangannya. Sunan Zunungga dan Tuba Lilin saling bersiap. Sunan memegang batu berwarna hitam sementara Tuba Lilin memilih batu putih. Dalam hitungan ketiga, kotak labirin dilempar ke udara. Ruang ilusipun terbuka, menarik para pemain memasuki ruang labirin sesuai pilihan batu mereka.
Labirin putih dan hitam memiliki ruang tak beraturan yang dapat berubah berkala. Saat pemain terjebak, yang terlihat oleh mereka hanyalah labirin panjang tak berujung dengan celah yang membingungkan. Pada dasarnya, celah ini memiliki pola yang dapat dipecahkan. Dan inilah tantangan bagi para pemain agar dapat keluar dari ruang labirin ilusi di mana hanya memiliki satu pintu keluar yang sama baik formasi labirin hitam maupun putih.
Sunan Zunungga telah memasuki pintu labirin pertama. Batu hitam di tangannya membentuk sebuah gua besar berukuran beberapa meter. Dinding gua berkerak hitam dengan batu-batu cadas tak simetris. Kedalaman gua tersebut selintas terlihat tak berujung. Padahal, setelah berjalan beberapa langkah ke depan, akan ada persimpangan-persimpangan dan belokan yang cukup membuat pusing. Setiap beberapa depa akan terdapat jalur yang berbeda. Jika para pemain membaca pola yang salah, maka otomatis mereka akan terjebak jalur yang menggiring mereka kembali ke pintu masuk pertama.
Sebenarnya ruang ilusi adalah formasi kuno yang diciptakan pertama kali oleh Asta tertinggi sekaligus pemimpin terdahulu di dimensi Ashok. Penciptaan permainan ini adalah untuk melatih ketajaman para Asta melihat celah dan perbedaan seteliti mungkin. Jadi yang menjadi dasar permainan kotak labirin, tidak hanya mengandalkan ketajaman berpikir, tetapi juga melatih fokus seorang Ashokans untuk membaca sebuah pola. Meski awalnya tampak membingungkan, pada dasarnya kotak labirin hanyalah pola formasi sederhana saja. Menggunakan deret perhitungan aritmatika untuk menentukan setiap jalur yang pada akhirnya akan menuntun pada pintu muara.
Sementara Tuba Lilin yang memilih batu putih, kini berada di depan pintu masuk labirin dengan dinding kokoh pucat di sekelilingnya. Labirin tersebut berwarna putih tulang dengan tampilan ujung lorong yang seolah menukik sempit.
Perlahan Tuba Lilin berjalan sambil memperhatikan sekelilingnya, tak nampak apapun selain dinding-dinding pucat yang berjalur-jalur aneh. Di mana setiap jalur seolah semakin sempit hingga terkadang membuat nafasnya sedikit sesak.
Kepala botaknya serasa berputar saat dihadapkan pada warna putih tulang yang hanya memberi kebuntuan. Sudah berkali-kali dirinya mencoba memecahkan formasi dinding putih ini, tetapi pada akhirnya tetap saja membawa langkahnya kembali ke pintu masuk pertama.
Perjuangan dua Ashokans ini sepertinya banyak menarik minat para Asta yang berada tak jauh dari arena pertandingan. Bahkan beberapa Ashokans muda yang melewati tempat itu seakan tergelitik menyaksikan perjuangan Sunan Zunungga dan Tuba Lilin dalam memecahkan ruang ilusi. Termasuk beberapa Asta senior yang sedang bertugas. Mengingat kotak labirin bukanlah permainan yang mudah untuk dimainkan. Sehingga saat kotak labirin terbuka, perjuangan mereka yang terjebak adalah tontonan yang sangat memainkan emosi.
Pertandingan yang awalnya hanya disaksikan oleh beberapa Ashokans saja, kini mengundang kerumunan sekelompok Asta. Layar ilusi yang membentang lebar menampilkan Tuba Lilin berkali-kali menepuk jidat kepalanya yang licin. Sebagian ada yang tertawa, sebagian masih sibuk memperhatikan dengan celoteh masing-masing.
“Coba perhatikan bocah yang berada di gua hitam! Kenapa dia belum juga beranjak?” Salah seorang Asta menunjuk Sunan kepada beberapa temannya. Tak seperti Tuba Lilin yang sudah berkali-kali kembali pada pintu masuk, Sunan bahkan belum memulai langkahnya. Dirinya masih tetap berpijak di depan pintu masuk labirin.
Sunan Zunungga pernah mendengar dari Garde Manta, bahwa formasi kuno yang dibuat dalam kotak labirin menggunakan pola perhitungan dasar. Formasi di dua jalur pertama akan menentukan pemetaan pola selanjutnya. Sehingga jika para pemain gagal menentukan pola di permulaan, maka formasi di ruang ilusi akan terus berubah. Hal sekecil apapun tak lepas dari jangkauannya. Menurut Sunan, kunci kotak labirin adalah membaca setiap tanda.
Labirin gua tempat Sunan berpijak, terbuka lebar, dinding berkerak hitam tak simetris itu tak ubahnya seperti gua nyata pada umumnya. Perlahan, akhirnya Sunan melangkahkan kaki memasuki mulut gua.
Sorak sorai para penonton di luar sama sekali tak terdengar oleh para pemain. Labirin ilusi dibatasi oleh ruang kedap sehingga baik Sunan Zunungga maupun Tuba Lilin seolah berada pada dunianya sendiri. Terjebak pada ruang keheningan dengan dinding kokoh tak berujung.
Tuba Lilin memperhatikan seluruh permukaan dinding. Kali ini dirinya benar-benar sedikit frustasi. Setiap beberapa langkah dirinya akan dihadapkan pada jalur-jalur aneh yang berbeda. Pola ini begitu rumit untuknya. Seorang Tuba lebih memilih bertarung melawan elang berkepala sembilan daripada terjebak dalam ruang ilusi dan menderita malu karena kebodohannya memecahkan formasi sebuah permainan.
“Sial! Tempat ini benar-benar rumit dan membuatku gila!”
Sementara di formasi hitam, Sunan melangkah dengan perlahan. Ashokans yang menyaksikan hanya mendapati bahwa dirinya seolah terlalu berhati-hati, padahal tak ada yang benar-benar memperhatikan bahwa sebenarnya Nanzu memperhitungkan setiap langkahnya dengan seksama.
Setelah langkah yang kelima, dirinya mendapati sebuah jalur ke kanan dengan lorong panjang menurun. Sedikit licin hingga terpaksa ia menapak demi setapak saja. Selain memang tak ingin terburu-buru, Sunan tak ingin terpeleset hingga mengacaukan pola yang ingin dibacanya. Kali ini lorong tersebut terasa lebih panjang dan dalam. Namun, setelah langkah yang kelima belas, turunan itu berhenti pada dua belokan. Untuk sejenak Sunan tak bergeming. Menatap dinding di depannya yang buntu. Sementara rasa penasaran menyelimuti para Ashokans yang menyaksikan dari layar ilusi.
“Menurutmu persimpangan mana yang akan dipilih bocah itu?”
“Entahlah, pikiran bocah itu sulit ditebak.”
Namun, tak selang beberapa lama, Sunan memilih persimpangan di sebelah kirinya. Persimpangan itu sedikit menanjak. Dan setelah berjalan lima langkah lagi, Sunan kembali dihadapkan pada dua jalur. Hanya saja kali ini, di depannya masih terdapat lorong dalam tak seperti sebelumnya yang tertutup dinding gua.
Di luar kembali ricuh. Masing-masing penonton berkutat ikut berusaha menduga arah yang akan diambil oleh dua Ashokans yang berjuang di labirin ilusi. Pergerakan keduanya tak lepas dari pengamatan para Ashokans bahkan para Asta senior.
“Aneh, kenapa bocah itu tak tampak kebingungan seperti di awal? Ia samasekali terlihat tak terpengaruh oleh banyaknya jalur di kiri maupun di kanan. Lihat, kali ini ia malah mengambil jalur lurus!”
“Kau benar, apa yang sebenarnya dipikirkan bocah itu?”
Hal ini pula tak luput dari pengamatan salah seorang Asta senior yang berdiri di antara kerumunan penonton. Dalam hati ia mengagumi ketenangan dan ketangkasan Sunan Zunungga membaca formasi.
Tiba-tiba Sunan Zunungga menghentikan langkahnya. Dalam hati ia telah menghitung langkahnya tepat berhenti di pijakan ke duapuluhlima. Di depannya masih tampak jalur lurus, dan dua jalur datar di kiri kanannya. Ada tiga pilihan yang harus ditentukan olehnya, yaitu jalur kiri, kanan, atau kembali berjalan di jalur lurus. Dan akhirnya, Sunan kembali mengambil jalur di sebelah kanannya.
“Bocah itu, kupikir akan mengambil jalur lurus seperti sebelumnya, kenapa sekarang ia mengambil jalur kanan? Padahal tadi ia seolah tak terpengaruh dengan banyaknya jalur. Menurutmu apa yang membuatnya terlihat tampak yakin dengan pilihannya? Apa dia benar-benar dapat memecahkan ruang ilusi? Atau ia hanya mencoba-coba keberuntungan saja?”
“Entahlah, tapi sejauh ini ia tak pernah kembali di pintu masuk. Tak seperti peserta yang lain. Mungkin hanya sedikit yang seperti dirinya. Kita lihat saja.”
Sementara Tuba Lilin sudah lebih dari belasan kali berakhir di pintu masuk labirin dan ini benar-benar membuatnya kesal. Perhatian para Asta dan seluruh penonton kini terpusat pada Sunan Zunungga.
Di jalur sebelah kanan, setiap beberapa depa ke depan, terdapat persimpangan-persimpangan baru. Namun, Sunan terus melangkah dan hal ini semakin membuat penasaran para Ashokans dari luar layar. Kenapa tak tampak kebingungan di diri bocah tersebut. Padahal, sangat sedikit peserta yang dapat memecahkan formasi di ruang ilusi. Tak ada yang benar-benar tahu bahwa sebenarnya Sunan sibuk menghitung setiap langkahnya, dan kini ia kembali berhenti setelah menapak di hitungan ke tigapuluhlima.
Kembali ia dihadapkan pada jalur kiri dan kanan. Tak menunggu lama, Sunan mengambil jalur kiri kembali. Jalur ini tak seperti sebelumnya, tak menanjak ataupun menurun, tapi dipenuhi petakan batu tersusun dari cadas-cadas hitam. Selang beberapa menit melintasi petakan batu itu, Sunan akhirnya menemukan pintu yang menjadi muara ruang ilusi. Dengan cepat ia membukanya, seketika baik dirinya maupun Tuba Lilin terlempar keluar dari kotak labirin.
“Wow, luar biasa…!”
Gemuruh tepuk tangan memenuhi udara. Para Ashokans tampak puas dengan tontonan mereka. Sangat jarang ada Ashokans yang menyelesaikan permainan kotak labirin. Kebanyakan dan acapkali, para pemain lebih sering terjebak dan keluar dengan sendirinya setelah ruang ilusi pecah. Namun, Sunan Zunungga berhasil menaklukkan tantangan labirin ilusi hanya dalam tempo yang singkat. Sungguh mencengangkan bagi sebagian Asta mengingat, para Ashokans muda hanyalah seorang remaja yang mulai beranjak dari masa cilik mereka.
“Nanzu, kami sekarang mengakui, kau pantas menjadi ketua regu kita!” Pancah Ungu akhirnya bersuara. Mau tau mau, diam-diam ia juga turut mengagumi ketenangan dan ketajaman berpikir seorang Sunan Zunungga. Bahkan, jika itu dirinya, ia sadar ia tak akan menyelesaikan kotak labirin secepat Nanzu.
“Terimakasih atas kepercayaan kalian. Aku akan berusaha menjaga kelompok kita dengan baik.” Sunan hanya tersenyum seraya menjabat tangan Tuba Lilin, Minak Hijau, Pancah Ungu dan Margo sahabat kecilnya.
“Bocah, tunggu!” Seorang Asta senior memanggil Sunan yang hendak kembali ke kamar padepokannya. Langkah Sunan terhenti, ia menoleh dan melihat seorang Asta senior menghampirinya.
“Ada gerangan apa, Senior?”
“Apa yang membuatmu bisa menyelesaikan kotak labirin dengan mudah?”
“Maaf Senior, mungkin hanya keberuntunganku saja,” Sunan menjawab. Namun, yang bertanya merasa tak puas dengan sikap Nanzu.
“Tak perlu merendah bocah, aku tahu kau sudah memecahkan pola ini sejak awal, lalu apa bisa kau jelaskan padaku kenapa kau memilih jalur kanan dan kiri secara bergantian setelah jeda yang kau ambil.”
“Begini Senior, karena saya pernah mendengar bahwa kotak labirin disusun berdasarkan formasi sederhana sebuah penghitungan aritmatika. Tentu di dalamnya juga akan ada keseimbangan. Karena itulah, aku mengambil jalur kanan dan kiri secara bergantian, setelah penghitungan langkah yang kubuat.”
“Hahahaha, bagus sekali bocah, siapa namamu?!”
“Sunan Zunungga, Senior, itu namaku, panggilanku Nanzu.”
*******************************************************************
Pembangkitan Titik EnergiBerita tentang Sunan Zunungga yang berhasil menyelesaikan permainan kotak labirin dalam waktu singkat ternyata menjadi buah bibir para Ashokans muda yang akan mengikuti Biak Peri. Ada yang merasa kagum, tapi tak sedikit pula yang mencibir. Termasuk Bading dan Badang Selatan.“Menyebalkan, hanya karena Nanzu berhasil keluar dari ruang ilusi kini ia sudah jadi pahlawan di tempat ini!” “Benar Keke… Apa mereka sudah lupa bagaimana lemahnya si Nanzu, kau masih ingat waktu dulu ia mengelilingi lapangan benteng, lima putaran saja dia sudah megap-megap.” “Kau benar, dia cuma beruntung saja tapi semua orang terlalu melebih-lebihkan kemampuannya. Hemmm, lihat itu bocah itu sudah datang.” Badang menunjuk Nanzu yang kini memasuki aula utama benteng bersama rekan sekamarnya. Kali ini, sikap dan perlakuan para peserta Biak Peri lainnya tampak berubah terhadap Sunan Zunungga. Mereka tak lagi melihat Sunan sebelah mata ataupun dengan tatapan merendahkan. Tak sedikit pula
Pembangkitan Titik Energi IITunggu, ada yang aneh dengan semua ini…Nanzu memang merasakan sebuah energi besar dari telapak tangan Tetua Utara. Energi itu menyengat seolah berlarian di setiap aliran darah dan jaringan tubuhnya. Tetapi, anehnya tubuh Nanzu seolah tak asing dengan sensasi ini. Tubuhnya bahkan tak memberikan reaksi penolakan sama sekali seperti yang dialami oleh Ashokans muda lainnya. Kenapa?Alih-alih memberikan reaksi hebat, yang dirasakan Nanzu justru sebaliknya. Energi yang masuk ke dalam tubuhnya terasa seperti menghangatkan dan memberi kekuatan unik. Semakin lama semakin besar, membuat sebuah cahaya bersinar keluar dari ujung-ujung porinya. Pada saat proses pembangkitan titik energi, Asta yang menselaraskan energi inti para Ashokans dengan kekuatan energi kuno kabut energi, hanya berlaku sebagai perantara dan medium pembuka. Tetapi untuk hal ini hanya dapat dilakukan oleh seorang Asta tingkat tinggi yang memilki kekuatan internal luar biasa. Di dimensi Ashok, ha
Sebuah RahasiaSemingggu lagi ajang Biak Peri akan resmi dimulai dan dibuka oleh Pemimpin Tertinggi dimensi. Saat ini seluruh Ashokans muda yang menjadi peserta hanya dibiarkan beristirahat agar dapat menyerap dan menyesuaikan kondisi tubuh mereka dengan energi kuno setelah diselaraskan. Tetua Utara yang merasa terkejut dengan energi inti yang berada di tubuh Sunan Zunungga memutuskan untuk mencari tahu hal ini lebih lanjut. Saat ini dirinya berada di sebuah gazebo dengan pelataran batu-batu granit yang dikelilingi tanaman mawar warna warni. Nampak dirinya sedang berbincang dengan seseorang...“Begitulah yang terjadi…” Lawan bicara Tetua Utara hanya membisu untuk sesaat. Dia adalah Garde Manta, paman penjaga Sunan Zunungga. Saat ini Tetua Utara sengaja menemui khusus Garde Manta di kediamannya.“Bocah itu… memang berbeda…” Akhirnya Garde Manta membuka sebuah rahasia…“Apa maksudmu, Manta?” Tetua Utara bertanya karena rasa penasarannya.“Aku tak tahu apakah ini hal yang perlu menjad
Ranting SembahHutan ini adalah hutan keramat yang terletak di pinggiran ujung dimensi. Tak jauh dari benteng perbatasan. Antara hutan ini dan seputaran dasau dipisahkan oleh dataran rumput yang luas. Dari kejauhan dengan pandangan biasa, sudah tampak kabut-kabut putih yang menaungi tepian hutan.Meskipun suasana siang hari, tetapi Ranting Sembah dengan kabut berarak di sekitarnya, lebih terlihat seperti malam. Pepohonan pinus tinggi menjulang tampak hitam, di antara sela-sela kabut yang berbayang. Kabut yang berarak itu adalah kabut energi. Menutupi seluruh bibir hutan dari kiri dan kanan hingga sampai di penghujung bibir hutan yang dibatasi oleh gunung tinggi. Selain didominasi oleh pohon-pohon pinus yang menjulang, juga tampak pohon-pohon tak berdaun dipenuhi kabut tebal.Cahaya mentari berusaha memasuki pekatnya hutan yang rimbun dan pepohonan yang tumbuh rapat antara satu dengan lainnya. Tanah berwarna kecoklatan tua dipenuhi oleh berbagai lumut-lumut liar serta dedaunan yang
Ranting Sembah IIKedubrakkk!!!Terdengar suara nyaring seperti ada sesuatu yang jatuh berdentum. Sumber suara dari arah utara hutan. Sepertinya, ada perkelahian yang melibatkan beberapa makhluk mistik. Saat ini kita kembali berjalan ke arah sumber suara. Ternyata! Seekor elang berkepala sembilan baru saja menghempaskan tubuh seekor kadal coklat. Inilah sumber suara tersebut. Tubuh kadal coklat jatuh menukik ke bumi dengan keadaan salah satu kakinya yang patah. Paruh elang berkepala sembilan memang terkenal tajam. Tak segan mencabik mangsanya seperti sayatan penjagal di tempat penjualan daging.Ekor kadal ini bercabang dua di belakang tubuhnya. Sedikit erangan keluar dari mulutnya dengan lidah menjulur. Naas bagi kadal ini karena berpapasan dengan elang pejantan yang sedang galau memikirkan sang betinanya. Dengan susah payah ia mencoba melarikan diri, bersembunyi di antara rerumputan di dekat rawa. Di bagian utara Ranting Sembah terdapat sebuah rawa isap. Yah, tepatnya rawa berlumpu
Mutiara Penyerap EnergiDi sudut bagian portal yang lain….Tepatnya di sebuah dimensi berbatu yang tampak gersang. Tempat ini didominasi oleh hawa panas yang membuat dedaunan sekitarnya berbentuk kecil, jarang dan kecoklatan tua. Jenis tanaman yang cukup menggambarkan bagaimana daya hidup di tempat ini.Seorang wanita bungkuk menyeret kakinya satu-satu. Memasuki tanjakan berbatu terjal menuju ke tepian bagian dalam.Ada sebuah lorong tertutup di sana. Wanita bungkuk ini memiliki tanduk kecil di atas kepalanya. Mukanya merah terang dengan rambut kekuningan dan bertumbuh jarang. Tenang dia bukanlah nenek sihir seperti yang kamu bayangkan! Wanita ini salah satu budak bangsa bertanduk yang melarikan diri waktu dulu terjadi kerusuhan besar di dimensi asalnya. Ketika itu, terjadi kudeta internal di dalam hierarki pemerintahan bangsa Lor. Kejadian itu membuatnya terdampar di tempat ini. Duduk di antara salah satu bebatuan itu. Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan. Matanya terpejam.
Biak Peripun DimulaiHari ini, tepat dimulainya ajang Biak Peri yang telah lama ditunggu-tunggu. Berbagai persiapan telah dilakukan sebelumnya hanya untuk menyambut event ini.Turnamen tersebut akan dibuka langsung oleh Pemimpin Tertinggi Dimensi. Dan disaksikan oleh hampir semua Ashokans. Mereka selain melepas kepergian para anggota keluarganya memasuki Ranting Sembah dan memberi dukungan, tetapi juga menyaksikan semaraknya acara pembukaan turnamen.Tak jauh dari depan bibir hutan Ranting Sembah, telah dibangun panggung untuk perhelatan ini. Dengan susunan kursi-kursi terbuat dari batu yang disusun tinggi melingkar untuk para Tetua Dimensi yang akan melepas para Ashokans muda. Di bagian tengah, terdapat kursi utama terukir dari batu pualam murni. Ini adalah kursi Pemimpin Tertinggi yang sekaligus akan membuka turnamen dengan upacara tertentu.Pada saat pembukaan dan selama Biak Peri berlangsung, Pemimpin Dimensi akan mengadakan ritual khusus dengan kekuatan Agra tertinggi untuk meni
Langkah Pertama Nanzu tak dapat mengungkapkan perasaan sedih yang menderanya. Entah kenapa, bukankah seharusnya ia merasa tertantang dalam meraih mimpinya. Namun, yang terjadi adalah berbanding terbalik. Apakah ini pertanda bahwa selama ini dirinya terlalu berada di zona nyamankah? Terlalu larut dalam balutan kasih sayang Garde dan Marde serta keluarga kecil mereka yang bahagia hingga menyadarkan bahwa dirinya tak lebih sosok yang manja? Mungkin inilah alasannya. Nanzu tak ingin mempercayai intuisinya saat ini. Mungkin dirinya terlalu melekat pada kasih sayang mereka hingga ketika berpisah seperti saat ini, Nanzu akan merasa sangat kehilangan. Nanti, ketika dirinya telah menyelesaikan Biak Peri dan menjadi Asta, bukankah dirinya pun akan segera kembali pada mereka? Nanzu mencoba menenangkan setiap detak jantungnya yang tak biasa. Entah mengapa, perasaan berpisah ini seperti menghantui. Menjelma menjadi ketakutan nakal yang ingin mengusik ketenangannya saat ini. Ketakutan yang men
Portal Legenda II Sementara itu…Di salah satu sudut portal yang lain. Tepatnya di bagian barat gerbang portal. Ada sebuah dasau yang sedikit berbeda. Letaknya sangat tersembunyi nan terasing. Tertutup tebal oleh kabut-kabut berwarna darah. Tak menyatu dengan keberadaan lainnya. Bahkan, aura yang melintas terasa kental dan menusuk. Menyisakan bayang-bayang kehampaan. Seperti keheningan yang beraroma mistik. Meskipun dasau tersebut adalah bagian dari portal, namun kepekatan udara yang mengalir di dalamnya mengandung esensi dan sensasi yang sulit dijabarkan. Menghentak berat dengan tekanan asing yang membuat sesak. Gravitasi mengikat berkali lipat hingga menghunjam langkah siapapun seperti menarik beban ratusan kilo! Anehnya lagi, lapisan udara maupun aura yang memancar dari dasau portal seperti tak menyatu dan terhalang dinding sekat transparan. Seolah satu tapi terpisah. Satu bagian tapi berbeda. Dari kejauhan, di balik kabut berwarna darah, dasau ini terlihat rimbun dengan kulat-
Portal LegendaPortal di dalam portal. Inilah portal legenda tempat bersemayam kekuatan kuno sejati Ashok. Sebuah lembaran rahasia yang tak terpetakan. Di mana ruang dimensi waktu seolah tertahan. Bergerak mengaliri siklus keajaiban yang eksentrik.Tepat di antara ruang tersembunyi tersebut, ada sebuah gerbang berlapis membentuk jejaring. Menyerupai mulut gua dengan ikatan kokoh yang bersinergi. Semakin merambah ke arah dalam, para ksatria akan mendapati rimbunan hutan yang berbeda dari hutan yang pernah ada. Sama sekali tak ada pepohonan besar dengan dedaunan yang rindang dan menghijau. Hutan apakah ini? Tak ada cicitan burung ataupun gemerisik liar kaki-kaki rusa dan kelinci. Juga tak ada hentakan kasar kepak elang besar yang berkuasa. Penuh keheningan!Namun, ketika kaki menapak lebih jauh, mulai terdengar gemericik berupa tetesan-tetesan air yang menggumpal deras. Jatuh berhamburan membentuk irama simfoni dalam kesejukan. Sementara, langit yang menjadi tempat bernaung dikelilin
Puing-puingBeberapa waktu setelah penyerangan bangsa Lor.Pada akhirnya, yang tersisa dari sebuah peperangan hanyalah reruntuhan dan luka. Fisik dan mental. Puing-puing kesedihan yang tak dapat diwakilkan oleh apapun. Bahkan tidak oleh ratapan air mata! Karena rasa kehilangan itu, kehancuran itu, amarah itu, dan kesakitan itu terlalu dalam menoreh trauma yang tak bisa dipulihkan. Terkadang mata hanya bisa memandang, namun hati lebih terasa mati tatkala keserakahan makhluk mengalahkan nurani! Seperti mereka! Ya mereka! Bangsa-bangsa penjajah yang merasa menjadi bangsa pilihan dan penakluk atas yang lemah! Bangsa yang tak mengenal hakikat kebaikan apalagi hati nurani. Ketika pihak lain hanya dianggap sebagai binatang, penghalang ataupun kasta terendah maka seberapapun kehancuran dan pengambilan paksa hak mereka yang tertindas adalah sesuatu yang lumrah bahkan patut untuk diperjuangkan. Sebuah krisis ekstrem pemahaman akibat ideologi buta. Inilah pencerminan bangsa pilihan yang narsis
Kembalinya Tuba LilinMasih di hutan hujan…Sudut rahasia hutan pelangi terbelenggu oleh gerimis yang menitik satu-satu. Jauh dari hiruk pikuk pertempuran. Tak lebih suasana hutan alami yang misterius dengan segala rahasianya.“Aku ingin kembali pada saudara-saudaraku...”Sebuah gumaman pelan terdengar sedikit lirih. Tuba Lilin yang telah menyatu dan mendapat kekuatan Agra dari makhluk mistik bertaring macan perak 10.000 tahun saat ini sedang berkomunikasi secara intens dengan Agra pendampingnya. Jika seorang Asta dinaungi oleh makhluk mistik pendamping berusia setidaknya 10.000 tahun, mereka mampu melakukan komunikasi satu sama lainnya, di mana hal ini tidak dapat dilakukan oleh Agra pendamping di bawah usia tersebut. Sehingga para Agra pada tingkatan ini juga dapat bertindak sebagai pembimbing sejati bagi para Asta mereka. Demikian juga yang berlaku terhadap Tuba Lilin. Dirinya dan Agra macan perak dapat berbicara satu sama lain tak ubahnya percakapan antar teman, bahkan pula seora
Penyerangan Mendadak VI“Kau!”Hans Muda berdiri tak jauh sembari memperhatikan puluhan bahkan ratusan pisau apinya yang melesat deras. Namun, kesiagaan penuh Ratu Violet Saga benar-benar sempurna. Sehingga tubuh gemulainya secara spontan berkelit dengan lincah. Tatapan tajam Ratu Ungu terlihat nanar. Pada saat bersamaan sebuah trisula angin tercipta dari telapak tangannya dan menancap tepat ke salah satu jantung pasukan Rhoaa yang mencoba menyerangnya dari arah belakang dengan membabi buta.Tak cukup sampai di sini, mengetahui serangan beruntunnya dapat dipatahkan, Hans Muda segera melompat ke udara dan membentuk pusaran merah berkilau. Sebuah tendangan berlapis yang dialiri oleh inti api merah! Seketika debu-debu berhamburan. Partikel debu terapung yang terbentuk berhawa panas menyengat. Terasa padat di udara. Mengincar setiap kesempatan untuk melakukan serangan telak mematikan. Ratu Violet Saga, dengan kekuatan sihir ungu mencabik udara Ashok dengan pusaran angin ungu yang dialir
Penyerangan Mendadak VTubuh Asta Manta beterbangan menjadi abu putih yang melayang. Nyatanya kekuatan Agra kenari bermahkota emas tak mampu menahan serangan penuh Hans Muda dari jarak dekat. Kini, setengah dari kekuatan Agra milik Asta Manta perlahan menyatu dengan dinding portal dimensi. Hal ini disebabkan, setiap Asta yang melepas jiwa, maka ikatan sumpah dengan para Agra mereka pun akan terlepas. Tampak di udara Ashok dan terus mencuat ke atas langit tosca yang teduh, siluet Agra kenari emas mewujud bayangan untuk terakhir kalinya sebagai bentuk penghormatan tertinggi dan perpisahan terakhir terhadap ksatria Asta pemiliknya. Siluet itu berwarna keunguan bercampur rona keemasan. Dari balik dinding kabut energi Ranting Sembah, Tetua Utara yang menyaksikan ini hanya bisa tersedu. Nyatanya, menangis bukanlah bentuk kelemahan, melainkan kekuatan untuk mengungkapkan perasaan terdalam seseorang. Bora, merasakan relung dadanya sesak, bukan karena oleh luka dalam yang dideritanya tapi mur
Penyerangan Mendadak IVDari arah depan, Asta Selatan yang juga merangkap sebagai Komandan Asta Penjaga kini berhadapan langsung dengan salah satu Komandan Tinggi bangsa Lor. Aura pekat Agra beruang coklat menggelegar. Langit dimensi dipenuhi oleh siluet keunguan yang memancarkan tingkatan energi berlapis. Begitupun dengan cakaran dan tendangan maut Komandan bangsa Lor yang terkenal gesit. Serangan demi serangan bertukar hebat satu sama lain. Keduanya saling mencoba membaca arah dan mencari celah. Seimbang! Sementara di sebelah sisi barat dan timur benteng, Asta senior Timur dan Asta Barat juga tak kalah sibuk menghadang masing-masing Komandan Tinggi bangsa Lor yang menggempur dengan sengitnya. Hal yang sama juga terjadi dengan Asta Tenggara. Tetapi, Asta Timur sepertinya sedikit terdesak. Kekuatan musuh mulai merangsak masuk dengan cepat. Banyak korban berjatuhan dari prajurit Asta penjaga tingkat rendah. Kebanyakan dari mereka adalah Asta dengan Agra berusia 2000 dan 3000 tahun. D
Penyerangan Mendadak IIIDari atas benteng, Pemimpin Utama dimensi menatap tajam pemandangan di bawahnya dengan geram. Asta Selatan yang berjarak paling dekat dengan sisi gapura depan segera melompat turun. Sebuah tendangan keras menghambur dan mengenai beberapa kepala pasukan Rhoaa sekaligus yang sedang berjejer di muka gapura. “Kaum Lor terkutuk! Aku Asta Selatan yang akan melawanmu!”Asta Selatan sendiri adalah salah seorang Komandan Tinggi di dimensi Ashok dengan kekuatan Agra mistik bertaring beruang coklat berusia 6000 tahun. Kemampuannya sebagai Komandan tinggi Asta penjaga tak bisa diragukan lagi. Tak heran, karena menyandang nama besar inilah yang membuat Bading dan Badang Selatan seringkali bertingkah arogan di hadapan para Ashokans muda lainnya. Bola-bola api Hans Muda mulai meratakan beberapa Asta yang berjaga di garis depan. Tubuh mereka serta merta terbakar dan hangus dilahap inti api merah menyala dari elemen makhluk setengah vampir dan bangsa Coron tersebut. Menyaksi
Penyerangan Mendadak IIAaww!Ketika dirinya sedang sibuk merakit beberapa perangkap, tiba-tiba saja Nanzu secara spontan menarik telunjuk kirinya, sebuah cabang kecil menusuk jari itu hingga sedikit mengeluarkan darah.“Ada apa, Nanzu?”“Tidak apa-apa, Keke Minak. Aku saja yang kurang berhati-hati, entah mengapa beberapa waktu ini perasaanku sedikit tidak nyaman.”“Apa karena kita yang baru saja kehilangan Keke Tuba?”“Mungkin juga, Keke. Hanya saja, belakangan ini diriku sering teringat dengan keluarga di sentral dasau. Tiba-tiba saja, wajah Garde Manta selalu membayang di benakku, Keke.”“Hemmm, setelah apa yang kita lalui, sangat wajar jika kau merindukan kampung halaman di sentral dasau, Nanzu. Kitapun demikian.”“Semoga mereka dalam keadaan baik-baik saja, Keke.”“Iya...Kita juga berharap hal yang sama, Nanzu.”Sementara itu, di sentral dasau dimensi Ashok. Tepian perbatasan terasa lengang meskipun penjagaan portal tetap berjalan seperti biasa. Beberapa Asta penjaga bergantian