Noah tidak berada di New Orleans saat ini. Seperti apa yang lelaki itu katakan sebelumnya, dia benar-benar bertolak menuju tempat kelahirannya dua hari lalu. Kala itu Sun langsung di antar pulang sesaat setelah Noah selesai bersiap. Setelah mengantar Sun pun, dia langsung pergi ke bandara. Dan seperti ucapannya, dia membawa Lovana.
“Dia patuh juga, padahal aku hanya bercanda saat berkata akan jadi ibunya,” gumam Sun sambil menyisir rambutnya. Dia tertawa, menganggap lucu hal yang sebelumnya tak dia pikirkan akan dilakukan oleh seorang Noah Bellion. Dia mematuhi ucapan Sun untuk membawa seorang dokter bersamanya.
Setibanya di New York, Noah tak menyempatkan diri untuk pergi istirahat ke hotel atau apartemen. Dia menyerahkan urusan itu pada Lovana, sementara dirinya saat ini bersiap dengan mobilnya menuju suatu tempat. Ada hal penting yang ingin Noah lakukan di New York, tidak ada yang bisa melakukan itu kecuali dirinya. Tapi selain itu, dia juga ingin memberi salam pada yang sudah lama tak dijumpa. Noah mungkin rindu, atau mungkin hanya ingin memastikan bahwa kejayaan yang telah direnggut paksa itu tidak runtuh. Gedung hotel bintang lima dengan
[Warning. Bab ini mengandung konten kekerasan, gangguan kejiwaan dan darah.] Noah membuka pintu yang lebar itu dengan kedua tangan kecilnya. Tubuhnya kurus, kantong matanya besar dan agak gelap. Dari segi fisik saja itu jelas bukan pertanda dirinya sedang baik-baik saja. Terlebih dengan langkah yang diseret dan tertatih, penampilannya sudah cukup untuk mengundang iba siapa saja yang melihatnya. Tapi sepertinya, lelaki dengan sorot mata tajam yang menatapnya dari atas mej
Noah membuka matanya di suatu pagi dengan tergesa-gesa. Lagi-lagi, bukan suara alarm yang membangunkannya, melainkan mimpi buruk yang selalu ingin dia akhiri dengan segera. Dia menyentuh kepalanya, memastikan apakah ada darah yang mengalir dari sana. Tentu saja, tidak ada. Yang dia alami benar-benar sebuah mimpi, tapi rasa nyeri disekujur tangannya terasa nyata ketika ia memegang lengan kurus itu. Noah terdiam beberapa saat, berusaha menormalkan napasnya yang masih terengah-engah.“Noah ...!” Atensinya beralih menuju sumber suara. Sosok wanita tinggi dengan tubuh seksinya, berjalan cepat menghampiri Noah hanya dengan memakai bikini saja. Noah memijat kepalanya lalu beranjak turun dari kasur.Wanita itu adalah Lovana, yang saat ini merangkul leher Noah. “Kau tidak mengatakan padaku kalau kau akan berkunjung ke sana!” ujar Lovana dengan menggebu dan nada kecewa. Dia sudah merasa sangat senang hanya karena Noah mengajaknya untuk pergi ke New
Pintu itu dibuka dengan kasar lalu ditutup dengan keras. Suaranya memekakkan telinga, menandakan si pemilik ruangan sedang dalam kondisi emosi yang tak stabil.Itu bukan hal yang aneh jika dia merasa amat tersulut hanya dengan kehadiran keponakannya yang sudah lama tak dia jumpai itu. Anak cengeng yang dulu hanya bisa merangkak di kakinya, memohon sebuah kemurahan hati darinya yang sama sekali tidak peduli. Anak ingusan itu kembali ke hadapannya dengan penampilan yang tak pernah dia duga sebelumnya.“Mafia ...,” gumamnya deng
Sudah empat hari berlalu sejak kembalinya Noah ke New Orleans, tapi Sun belum melihat batang hidungnya sedikit pun. Sun tidak menghubunginya, karena terakhir kali Noah menghubungi ketika lelaki itu sedang bergegas pulang, dia berkata kalau akan ada beberapa urusan yang harus dia selesaikan setibanya di New Orleans. Sun tidak mau mengganggu Noah, jadi dia tidak menghubungi lelaki itu lebih dulu.Hari ini seperti biasa, Sun menghabiskan paginya setelah minum teh untuk melakukan kegiatan di dalam mansion. Dia tidak lagi keluar untuk bertemu dengan informan, terakhir kali dia berkomunikasi dengan informan baik bernama Joana Clarke dan berakhir kehilangan kontak sejak hari terakhir mereka bertemu. Sun menyayangkannya ... dia berharap dia bisa bertemu lagi dengan Joana dan mengobrol layaknya dua teman yang sangat akrab.Pertanyaan Sun tentang apa yang Noah lakukan di kampung halamannya belum terjawab. Sun tidak tahu harus ke mana dia mencari tahu, sedangkan dia sudah sangat
“Aku tidak memiliki keberanian untuk menemui Noah di markas kelompoknya dengan membawa Emily, sedangkan mau ke mana pun, aku harus membawa Emily bersamaku. Aku dengar jika tempat ini adalah tempat para wanita Little Boy, dan salah satu wanita yang ada di tempat ini adalah wanita milik Noah. Aku pikir akan lebih mudah untuk memanggil Noah melalui dirimu.” Jack berusaha menjelaskan maksud kedatangannya dengan lebih jelas. Tapi raut Sun yang tak kunjung membaik membuat Jack berpikir jika gadis itu sudah terlanjur salah paham dengannya. “Maafkan aku, Nona McRay. Tapi ini keadaan yang mendesak dan sangat penting. Ini menyangkut keselamatan Emily.”Setelah Jack berkata demikian, bukannya paham, Sun malah makin dibuat bingung akan maksud dari ‘menyangkut keselamatan Emily’ yang Jack katakan. Tapi satu hal yang dia pahami, setidaknya apa yang akan Jack ucapkan bukan hal yang bisa dibicarakan di dalam mansion. “Apa kita bisa berbicara di luar?
Noah masih bertahan pada posisinya. Diam membatu selagi netranya lurus menatap mata Sun. Bahkan setelah sekian detik berlalu, Noah masih tidak bereaksi apa pun di hadapan pengakuan cinta yang Sun ucap di depan matanya. Hal itu membuat Sun menunggu dengan perasaan cemas. Noah memang terlalu pasif dalam merespons segala hal di luar pekerjaannya, tapi untuk hal yang besar bagi Sun seperti ini, setidaknya dia bisa ucapkan satu patah kata saja.“Kau tidak akan mengatakan apa pun?” tanya Sun pada akhirnya. Dia mengaku kalah dan memutuskan buka suara lebih dulu.Noah akhirnya bersuara, meski itu harus menggunakan pancingan dulu dengan lebih dulu ditanya. “Kau ingin aku mengatakan apa?”“Aku ingin kau menjawab ‘Aku mencintaimu’ juga.”“Aku mencintaimu.” Sun membatu. Matanya terpaku pada sosok Noah yang membalas tatapannya tak kalah lekat. Jantungnya berdegup kencang, seakan-akan itu bisa meledak kalau ta
Connor Grayson segera bertolak menuju tempat yang diminta oleh orang yang akan membantunya untuk mengalahkan Noah setelah orang itu menyetujui permintaannya untuk bertemu. Dengan perasaan senang dan antusias, Connor berjalan menuju salah satu ruangan yang orang itu setujui untuk bertemu.Dia dipandu dan dijaga oleh beberapa orang yang diperintahkan langsung oleh calon rekannya, menunjukkan kalau Connor diterima dengan baik. Itu membuat Connor merasa kalau negosiasinya akan berjalan lancar sesuai keinginannya. Terlebih ketika dia memasuki ruangan itu, membuatnya mampu mencium bau keberhasilan dari sana.“Selamat datang, Tuan Connor Grayson.” Grayson menoleh ke sumber suara, mendapati sosok lelaki dengan rambut hitam pekatnya tengah duduk santai sembari menggoyangkan gelas kacanya yang sudah diisi dengan anggur. Grayson tersenyum, dia seperti bisa melihat aura menguntungkan dari lelaki yang tampak masih sangat muda itu.Lelaki itu bangkit dari duduknya