Ada satu hal yang tidak bisa seorang Joana Clarke lewatkan setiap harinya. Hal itu adalah hal yang paling ia sukai, hal yang selalu bisa membuatnya berdebar kendati hanya memikirkannya saja.
“Eliot ...!”
Iya, hal itu adalah menemui Eliot, seseorang yang sangat berharga dan satu-satunya orang yang menganggapnya berharga.
Joana mempercepat langkah kakinya, menghambur memeluk Eliot dengan gembira. Eliot membalasnya tak kalah erat, sembari hidung mancungnya menyerap baik-baik aroma memabukkan dari Joana. Sesaat setelah wanita itu melepas pelukannya, mereka bercumbu dengan mesra sebagai tanda cinta keduanya.
“Kau tampak senang, Joana. Apa tujuanmu tercapai?” tanya Eliot setelah tautan bibir itu terlepas. Joana mengangguk penuh antusias. Membenarkan apa yang Eliot tanyakan. “Kau bahkan datang sepagi ini, sangat ingin menceritakannya padaku?”
“Tidak,” jawab Joana, lalu meletakkan kepalanya ke dada bidang Eliot. Memeluk lelaki itu dengan lebih erat. “
Noah tidak berada di New Orleans saat ini. Seperti apa yang lelaki itu katakan sebelumnya, dia benar-benar bertolak menuju tempat kelahirannya dua hari lalu. Kala itu Sun langsung di antar pulang sesaat setelah Noah selesai bersiap. Setelah mengantar Sun pun, dia langsung pergi ke bandara. Dan seperti ucapannya, dia membawa Lovana. “Dia patuh juga, padahal aku hanya bercanda saat berkata akan jadi ibunya,” gumam Sun sambil menyisir rambutnya. Dia tertawa, menganggap lucu hal yang sebelumnya tak dia pikirkan akan dilakukan oleh seorang Noah Bellion. Dia mematuhi ucapan Sun untuk membawa seorang dokter bersamanya.
Setibanya di New York, Noah tak menyempatkan diri untuk pergi istirahat ke hotel atau apartemen. Dia menyerahkan urusan itu pada Lovana, sementara dirinya saat ini bersiap dengan mobilnya menuju suatu tempat. Ada hal penting yang ingin Noah lakukan di New York, tidak ada yang bisa melakukan itu kecuali dirinya. Tapi selain itu, dia juga ingin memberi salam pada yang sudah lama tak dijumpa. Noah mungkin rindu, atau mungkin hanya ingin memastikan bahwa kejayaan yang telah direnggut paksa itu tidak runtuh. Gedung hotel bintang lima dengan
[Warning. Bab ini mengandung konten kekerasan, gangguan kejiwaan dan darah.] Noah membuka pintu yang lebar itu dengan kedua tangan kecilnya. Tubuhnya kurus, kantong matanya besar dan agak gelap. Dari segi fisik saja itu jelas bukan pertanda dirinya sedang baik-baik saja. Terlebih dengan langkah yang diseret dan tertatih, penampilannya sudah cukup untuk mengundang iba siapa saja yang melihatnya. Tapi sepertinya, lelaki dengan sorot mata tajam yang menatapnya dari atas mej
Noah membuka matanya di suatu pagi dengan tergesa-gesa. Lagi-lagi, bukan suara alarm yang membangunkannya, melainkan mimpi buruk yang selalu ingin dia akhiri dengan segera. Dia menyentuh kepalanya, memastikan apakah ada darah yang mengalir dari sana. Tentu saja, tidak ada. Yang dia alami benar-benar sebuah mimpi, tapi rasa nyeri disekujur tangannya terasa nyata ketika ia memegang lengan kurus itu. Noah terdiam beberapa saat, berusaha menormalkan napasnya yang masih terengah-engah.“Noah ...!” Atensinya beralih menuju sumber suara. Sosok wanita tinggi dengan tubuh seksinya, berjalan cepat menghampiri Noah hanya dengan memakai bikini saja. Noah memijat kepalanya lalu beranjak turun dari kasur.Wanita itu adalah Lovana, yang saat ini merangkul leher Noah. “Kau tidak mengatakan padaku kalau kau akan berkunjung ke sana!” ujar Lovana dengan menggebu dan nada kecewa. Dia sudah merasa sangat senang hanya karena Noah mengajaknya untuk pergi ke New
Pintu itu dibuka dengan kasar lalu ditutup dengan keras. Suaranya memekakkan telinga, menandakan si pemilik ruangan sedang dalam kondisi emosi yang tak stabil.Itu bukan hal yang aneh jika dia merasa amat tersulut hanya dengan kehadiran keponakannya yang sudah lama tak dia jumpai itu. Anak cengeng yang dulu hanya bisa merangkak di kakinya, memohon sebuah kemurahan hati darinya yang sama sekali tidak peduli. Anak ingusan itu kembali ke hadapannya dengan penampilan yang tak pernah dia duga sebelumnya.“Mafia ...,” gumamnya deng
Sudah empat hari berlalu sejak kembalinya Noah ke New Orleans, tapi Sun belum melihat batang hidungnya sedikit pun. Sun tidak menghubunginya, karena terakhir kali Noah menghubungi ketika lelaki itu sedang bergegas pulang, dia berkata kalau akan ada beberapa urusan yang harus dia selesaikan setibanya di New Orleans. Sun tidak mau mengganggu Noah, jadi dia tidak menghubungi lelaki itu lebih dulu.Hari ini seperti biasa, Sun menghabiskan paginya setelah minum teh untuk melakukan kegiatan di dalam mansion. Dia tidak lagi keluar untuk bertemu dengan informan, terakhir kali dia berkomunikasi dengan informan baik bernama Joana Clarke dan berakhir kehilangan kontak sejak hari terakhir mereka bertemu. Sun menyayangkannya ... dia berharap dia bisa bertemu lagi dengan Joana dan mengobrol layaknya dua teman yang sangat akrab.Pertanyaan Sun tentang apa yang Noah lakukan di kampung halamannya belum terjawab. Sun tidak tahu harus ke mana dia mencari tahu, sedangkan dia sudah sangat
“Aku tidak memiliki keberanian untuk menemui Noah di markas kelompoknya dengan membawa Emily, sedangkan mau ke mana pun, aku harus membawa Emily bersamaku. Aku dengar jika tempat ini adalah tempat para wanita Little Boy, dan salah satu wanita yang ada di tempat ini adalah wanita milik Noah. Aku pikir akan lebih mudah untuk memanggil Noah melalui dirimu.” Jack berusaha menjelaskan maksud kedatangannya dengan lebih jelas. Tapi raut Sun yang tak kunjung membaik membuat Jack berpikir jika gadis itu sudah terlanjur salah paham dengannya. “Maafkan aku, Nona McRay. Tapi ini keadaan yang mendesak dan sangat penting. Ini menyangkut keselamatan Emily.”Setelah Jack berkata demikian, bukannya paham, Sun malah makin dibuat bingung akan maksud dari ‘menyangkut keselamatan Emily’ yang Jack katakan. Tapi satu hal yang dia pahami, setidaknya apa yang akan Jack ucapkan bukan hal yang bisa dibicarakan di dalam mansion. “Apa kita bisa berbicara di luar?
Noah masih bertahan pada posisinya. Diam membatu selagi netranya lurus menatap mata Sun. Bahkan setelah sekian detik berlalu, Noah masih tidak bereaksi apa pun di hadapan pengakuan cinta yang Sun ucap di depan matanya. Hal itu membuat Sun menunggu dengan perasaan cemas. Noah memang terlalu pasif dalam merespons segala hal di luar pekerjaannya, tapi untuk hal yang besar bagi Sun seperti ini, setidaknya dia bisa ucapkan satu patah kata saja.“Kau tidak akan mengatakan apa pun?” tanya Sun pada akhirnya. Dia mengaku kalah dan memutuskan buka suara lebih dulu.Noah akhirnya bersuara, meski itu harus menggunakan pancingan dulu dengan lebih dulu ditanya. “Kau ingin aku mengatakan apa?”“Aku ingin kau menjawab ‘Aku mencintaimu’ juga.”“Aku mencintaimu.” Sun membatu. Matanya terpaku pada sosok Noah yang membalas tatapannya tak kalah lekat. Jantungnya berdegup kencang, seakan-akan itu bisa meledak kalau ta
Sun kehilangan alas kaki entah di langkah ke berapa dalam perjalanannya untuk sampai ke tempat ini.Ia berhenti untuk sejenak mengambil napas, sembari mengedarkan pandangan dan berharap dia bisa bertemu dengan Noah.Jika laki-laki bermata abu-abu dengan rambut coklatnya itu benar-benar Noah, maka seharusnya dia tidak perlu melakukan permainan kejar-kejaran seperti ini, kan? Kenapa dia tidak langsung menemui Sun saja?Kenapa dia harus membuat Sun sampai berlari sejauh ini ke pusat desa hanya untuk menemukannya di antara banyaknya manusia?"Noah ...."Sun mengedarkan pandangannya seperti orang linglung, dia berusaha mengidentifikasi setiap wajah dan menyamakannya dengan bayangan sosok yang ada dalam ingatannya.Rambut coklat dan tubuh tinggi kurusnya, dia berjalan tegak dan dia terlihat paling bersinar dari siapa saja yang ada. Seharusnya mudah menemukan Noah di tempat ini, tapi kenapa Sun tidak bisa melakukannya? Apa karena Noah memang tidak ada?Apa Shawn salah lihat? Apakah Sun hanya
Sun tidak tahu sudah berapa lama dia terduduk di bawah pohon rindang itu; dia merenung dan mengingat kembali tentang apa saja yang terjadi yang sempat ia lupakan karena insiden malam itu.Tapi yang ada, dia malah merasa menyesal dan kesal pada dirinya sendiri yang sempat hampir melupakan siapa itu Noah Bellion. Nyatanya, lelaki itu adalah orang yang membuat Sun tidak bisa hidup sedetik saja tanpa dirinya."Dasar bodoh ... bagaimana bisa kau melakukan ini pada Noah?" ujar Sun, memarahi dirinya sendiri dalam penyesalan. Ia menghapus air matanya, tapi itu tetap tidak membuat Noah muncul di hadapannya.Sun kembali bersandar dan menangis. "Kau di mana Noah ...? Kau tidak mau kembali?" ujarnya, "kenapa tidak mau kembali? Aku tidak akan marah karena kau telah berbohong. Nyonya Ash bilang kalau Eliot sudah mati, tapi kenapa kau masih tidak kembali ...?"Sun menundukkan kepala, menutup wajahnya yang pasti terlihat sangat jelek karena menangis tersedu-sedu.Saat ini dia sangat takut untuk berpr
[2 BULAN KEMUDIAN]"Nona Fleurry! Nona ...!"Seorang gadis dengan rambut pirang keemasan menoleh segera ketika seseorang memanggil namanya. Rambut panjang bergelombang milik wanita itu tersapu oleh angin ladang yang bertiup sepoi-sepoi, menjadikannya bak kain tergantung yang menari dengan cantiknya."Selamat pagi Paman, ada apa?" tanya gadis itu, tersenyum ramah dengan cantiknya."Kabar baik untukmu, Nona; lima domba kita berhasil melahirkan hari ini!""Oh, benarkah? Ada berapa anak domba yang lahir?""Ada 17 anak domba, Nona! Dan mereka semua sehat!"Senyum Sun Fleurry McRay tak bisa ia tahan ketika mendengar kabar bahagia di hari yang cerah ini. Ibu domba yang ada di peternakannya berhasil melahirkan bayi domba yang sehat; mereka pasti akan jadi anak domba yang lucu dan gemuk-sehingga membuat Sun tidak sabar untuk melihatnya."Apa kau akan melihatnya sekarang, Nona?" tawaran itu jelas tidak Sun tolak; gadis itu mengangguk lalu bergegas pergi dari tengah ladang bunga matahari yang su
Seorang perawat wanita memasuki kamar rawat Sun Fleurry McRay untuk melakukan pengecekan rutin; dia memeriksa setiap aspek perawatan Sun untuk memantau perkembangan sekaligus melakukan apa yang perlu ditindak lanjut.Tak lupa ia mencatatnya di kertas yang ia bawa, tapi tiba-tiba ...JDERRR!"Ah!" Suara petir yang menggelegar membuatnya terkejut dan tak sengaja menjatuhkan pena miliknya. "Astaga, membuatku kaget saja," ujarnya, lalu memungut pena.Ia melihat ke luar dinding kaca di kamar itu; memperlihatkan langit malam yang gelap tertutup awan mendung. Sudah begitu, terdengar petir beberapa kali dan menandakan sebentar lagi akan turun hujan besar."Apa akan ada badai?" tanyanya, menatap pemandangan langit dengan raut cemas. Tapi dia tidak punya waktu untuk itu, sehingga segera ia tutup tirai ruangan itu dan melanjutkan pekerjaannya. Ia selesai mencatat perkembangan, tapi perhatiannya sejenak jatuh pada Sun yang masih terpejam dengan alat rumah sakit mengitarinya-berusaha mempertahanka
Eliot terdiam, memperhatikan Noah yang berusaha berdiri tegak di atas sana. Tatapannya tajam, Eliot bisa merasakan itu; tapi tiba-tiba Noah tersenyum tipis dan berkata, "Atau jika kau ingin sekali bertemu dengan Joanne? Aku akan dengan senang hati mengantar?"Eliot tertawa; meski ia kesal luar biasa. Noah masih menantangnya dengan angkuh padahal lelaki itu terlihat akan mati sebentar lagi.Sebagian wajahnya ditutupi darahnya sendiri, kemeja putihnya lusuh dan ada banyak noda darah; pakaiannya compang-camping memperlihatkan sebanyak apa luka yang dia dapatkan. Dan yang lebih seru adalah ... tangannya yang erat memegang pistol rusak itu, sepertinya patah.Noah melihat ke arah pandang Eliot, dan ya-dia juga sadar apa yang terjadi pada tangan kanannya saat ini. Ia melempar pistolnya yang sudah rusak karena tertimpa reruntuhan, lalu kembali menatap Eliot dan berkata, "Ayo selesaikan ini ...."Eliot menahan tawa, sembari membuka telapak tangannya menghadap Noah; ia bermaksud menolak. "Kau y
"Akh!"Noah tersungkur, tapi rentetan peluru tak berhenti sehingga ia terpaksa merangkak dengan rasa sakitnya menuju ke tempat yang bisa melindunginya.Ia menarik kekinya yang seakan mati rasa untuk sejenak, dan menyadari peluru Eliot berhasil menyayat pergelangan kakinya lumayan dalam."Sial!" ujarnya, mengernyitkan kening tajam sembari merobek sebagian celananya untuk menghentikan pendarahan. Perjalanan masih jauh, dia tidak boleh lemas karena kehabisan darah untuk luka kecil seperti ini.Sementara dirinya sudah lusuh dan berdarah, Eliot masih berdiri di tempatnya seolah tak tersentuh. Jika saja Eliot hanya membawa satu pistol, pasti Noah bisa mengimbangi permainannya. Tapi bahkan dia memiliki pistol lain setelah dua pistolnya kehabisan amunisi.Noah berusaha mengatur napas sembari mendengarkan Eliot."Kau tahu, setelan yang aku pakai malam ini adalah hadiah dari kekasihku. Dia memberiku benda ini sebagai hadiah. Aku tidak suka, aku sempat membuangnya. Tapi kemudian aku ingat; kalau
Noah berjalan menyusuri tangga beton dalam bangunan tua yang mangkrak pembangunannya. Dengan langkah lesu dan raut biru, ia tidak menengadahkan wajah dan terus memperhatikan langkahnya sampai ia tiba ti tempat tujuan.Hari ini sesuai dengan perkataannya; dia akan datang menemui Eliot di mana pun lelaki itu berada. Ini tidak seperti pertemuan yang direncanakan untuk melepas rindu satu sama lain, mereka datang untuk tujuan masing-masing; membunuh satu sama lain.Tentu saja perasaan Noah tidak akan baik-baik saja. Dia meminta izin pada ibu kandung Eliot untuk membunuh anaknya, bukankah ini tragis? Ibu mana yang tidak akan terluka saat buah hatinya berada di ambang bahaya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa?"Oh, kau sudah datang, Noah ...?"Tatapan mata Noah terarah lurus ke depan; menuju tempat Eliot yang berdiri memunggunginya sembari merokok santai bersandar pada pilar tak bertembok. Dari lantai empat, angin semakin kencang bertiup; malam juga tidak terlihat cerah. Hal itu membuat
Sebuah pemakaman keluarga yang sepi, seorang lelaki datang sembari menenteng buket bunga dengan langkah yang lamban.Ketika ia tiba di depan sebuah nisan bertuliskan nama William Odolf, lantas ia meletakkan buket bunga itu dan membuka kaleng bir untuknya.Noah Bellion duduk di depan nisan, ia meminum bir kalengan yang dibawa sembari menatap dingin nisan William di hadapannya. Meski ia tampak dingin dan tak memiliki simpati, tapi jika dilihat saksama, terdapat guratan sendu di mata dinginnya yang tertunduk lesu.Noah terdengar beberapa kali menghela napas, rasanya masih belum bisa dipercaya jika William sudah tiada. Semua terjadi begitu cepat dan kacau luar biasa; bahkan Noah tak memiliki waktu untuk berbelasungkawa atas kematian ayah angkatnya ketika kekacauan lain datang dan hampir merenggut sang kekasih darinya.“Kacau sekali,” ujarnya, bermonolog, “mungkin aku tidak akan pernah hidup dengan tenang; aku sudah terlahir untuk hidup di dunia yang kacau.”Noah memikirkan kembali masa la
Sudah lebih dari seminggu lamanya Sun terbaring di ranjang rumah sakit, dan selama itu pula Noah tidak pernah absen sehari saja untuk mengunjunginya.Setelah kecelakaan itu, Sun mengalami luka yang sangat parah. Benturan di kepalanya mengakibatkan trauma yang belum bisa dideteksi oleh medis, dan beberapa tulangnya mengalami patah. Mereka bilang; Sun bisa melewati masa kritis saja merupakan suatu hal yang mengejutkan. Sebab dengan luka separah itu, jika dia mati maka bukanlah hal yang mustahil.Mereka bisa mengatakannya, maka Noah hanya akan bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan yang selama ini tak ia percaya. Noah setelah sekian lama, akhirnya kembali berdoa pada Tuhan yang lama tak dia gaungkan namanya, bahkan untung-untungan dia masih ingat nama Tuhannya. Tapi doa Noah kali ini dikabulkan; Sun berhasil melewati masa kritis. Namun, itu bukan berarti dirinya sudah bertemu jalan yang mulus.Mengingat dia memiliki trauma pada syaraf kepalanya dan medis belum bisa mendeteksi sebelum ef