"Makanya kita harus hati-hati," pesan Lusi serius, "ingat jangan sekali-kali menghubungi aku dulu!"Tanpa menunggu balasan dari Arman, Lusi segera memutus panggilan. Wanita itu juga buru-buru memblokir nomornya Arman dari daftar kontak. Usai menaruh gadgetnya ke buffet, dirinya merebahkan tubuhnya di ranjang.Lusi menghela napas berat. Jujur dia sangat ingin lepas dari jeratannya Arman. Namun, beberapa upayanya selalu gagal. Hingga akhirnya perempuan itu hanya bisa pasrah dijadikan ATM berjalan serta boneka pemuasnya Arman.Sementara itu Haris di kamar atas terlihat sedang berdiri di balkon kamar. Pandangannya tertuju pada langit malam yang bertabur bintang. Saat ini otaknya sedang memikirkan perihal foto-fotonya Arman dan Lusi.Laki-laki itu sangat yakin jika Lusi tengah menyembunyikan sesuatu. Tiba-tiba Haris teringat tentang kontak di nomor Lusi dengan nama Mando."Bukannya nama panjang Arman itu Armando?" gumam pria itu begitu ingat, "gak salah lagi. Mereka ada hubungan," tebakny
Waktu bergulir. Sudah lepas tiga hari dari drama di hotel yang menimpa Abrina dan Gavin. Meski membenci sang ayah, hati Abrina menginginkan kepastian janji Haris.Di hadapan Gibran dan Pak Min sang ayah berikrar akan membebaskan Abrina dari kontraknya Gavin. Jika dulu Abrina tidak sudi ditolong Haris sewaktu masih di Butter Karaoke, sekarang berbeda.Abrina sudah merasa jenuh menjadi asisten pribadinya Gavin. Kendati sebenarnya pemuda itu jarang meminta pelayanan yang aneh-aneh. Tetap saja Abrina ingin merasa bebas.Terlebih Abrina merasa akhir-akhir ini Anggini jadi dingin padanya. Meski sang kawan tidak pernah cerita, namun gadis itu yakin kalau Anggini ada perasaan pada Gavin.Pagi itu seperti biasa Abrina tengah sibuk memasukkan donat dan kue-kue buatan ibunya ke dalam wadah. Dirinya baru selesai sarapan. Tinggal menunggu kedatangan Gavin.Selama menjadi asisten pribadi Gavin, pemuda itu selalu datang untuk menjemput dan mengantarnya pulang. Sebenarnya lebih banyak Abrina yang mer
Abrina menatap Gavin. "Eum kamu mau gak kita melakukan investigasi lagi kayak kemarin? Aku pengen tahu apa hubungannya si kumis itu dengan Leon dan Mas Arman."Mulut Gavin terbuka senang. "Gue mah kalau diajak bolos sekolah mau banget, Bi. Emang lupa gak papa bolos sekolah hari ini?"Abrina menarim nafasnya dengan berat. Jujur dia sebenarnya enggan untuk membolos. Namun, rasa penasarannya pada si kumis membuatnya menganggukan kepala.Lagi-lagi Gavin tersenyum. "Oke gue akan antar kemanapun tempat yang pingin lu tuju."Abrina mencibir. "Nggak usah lebay, aku hanya mau kita ngikutin mereka kok.""Siap, Calon ibu dari anak-anak gue.""Cihhh!"Abrina langsung mendecih begitu mendengar gombalan Gavin. Meski begitu pipi tetap merah karenanya.Gavin sendiri segera membayar pesanan begitu Arman dan si kumis meninggalkan kedai. Di halaman kedai kedua orang itu tampak berpencar. Arman menuju mobil Pajeronya, sedangkan si kumis menuju mobil Avanza silver."Siapa yang mau elu ikutin, Bi?" tanya G
"Kenapa, Non?" tanya Pak Nono begitu melihat ekspresi wajahnya Abrina yang tampak terkaget. Abrina hanya menggeleng. "Kok Papah bisa mempekerjakan Pak Bondan ini sih, Pak Nono?" tanya ingin tahu. "Ibu Lusi yang rekomendasi, Non," jawab Pak Nono usai menyeruput teh manisnya. "Kayaknya baru setahun sih Pak Bondan ini kerja di tempatnya Bapak.""Bisa-bisanya Papah mempekerjakan orang kek gini," kaluh Abrina tidak habis pikir. "Memangnya kenapa, Non?" tanya Pak Nono penasaran. "Ni orang pernah gak sopan sama Bina, Pak Nono." Gavin yang menjawab. "Oh iya? Kok bisa? Kapan itu?" Pak Nono makin penasaran. Ketika Gavin akan menerangkan, Abrina langsung melarang dengan gelengan. "Ya udah Pak Nono, makasih ya udah mau ngobrol sama aku," ucap Abrina memungkas obrolan. "Oh sudah gak ada yang mau ditanyakan lagi?" tanya Pak Nono perhatian. Abrina menggeleng. "Takut Papah nyariin Pak Nono nanti.""Kalo Bapak nyari kan deket, Non."Abrina tersenyum. "Udah cukup kok aku nanyanya.""Ya sudah k
"Cekoki Leon dengan alkohol. Nanti pada saat dia mabok, kita korek dalam-dalam keterangan dia." Gavin menatap Abrina begitu sang gadis menjauhkan bibir di telinganya. "Sekarang?" tanya pemuda itu meminta kepastian. Abrina melihat waktu di layar ponselnya. Baru pukul sebelas siang. "Nanti aja pas mereka istirahat siang. Kalian udah biasa bolos sekolah kan? "Enggak, ini seumur-umur gue bolos karena diajak elu." "Hedehhh ... gak percaya aku." "Gak percaya ya udah," timpal Gavin sambil membuang muka. "Udah ah, Vin, becandanya." "Siapa juga yang becanda? Emang kenyataannya gue bolos sekolah ya baru kali ini karena diajak sama elu." Abrina memiringkan bibirnya. Sebenarnya dia ingin mendebat, namun diurungkan. Karena berdebat dengan Gavin itu harus butuh waktu yang panjang. "Udah deh balik ke topik lagi ya, Vin." "Hem!" sahut Gavin masih jual mahal. "Sekarang sebaiknya kamu chat Eza. Suruh dia buat datang ke rumah kamu, sama si Leon juga. Nah habis itu baru kita belanja," per
"Kok bawa-bawa Om Haris dan papah sih, Bang?" tegur Gavin tidak habis pikir, "nggak usah ngadi-ngadi deh, Bang!" omelnya cukup kesal. "Kalo pergaulan kamu wajar-wajar saja, Abang juga gak akan ngubungin Papah," sahut Gibran membela diri. "Makanya kalau ada orang ngomong dengerin dulu!" Emosi membuat Gavin meninggikan suaranya. "Bi, coba lu deh yang ngomong. Sapa tau Abang gue mau dengerin cerita elu. Kan pawangnya dia cuma elu," suruhnya pada Abrina. Gibran yang paham tengah disindir segera menatap Abrina. "Oke, coba Bina ngomong gitu sama kakak," pintanya dengan gesture yang santai. "Jadi gini, Kak." Abrina menatap Gibran yang juga menunduk untuk balas memandangnya, "aku dan Gavin lagi mau menyelesaikan misi."Gibran langsung mendesah pelan. "Masih pake istilah misi untuk mengganti kata kencan," gumamnya tidak percaya. "Ini serius kita mau menyelesaikan misi, Kak," timpal Abrina begitu mendengar gumamnya Gibran, "Kak Gibran tahu adik laki-lakinya Mbak Livia?"Gibran mengangguk p
Eza mengambil ponsel dari saku jaket Jeans. Dia mengetik ide Gavin, lalu mengirim pesan tersebut ke nomor dua temannya. Cuma beberapa detik pesannya langsung centang dua. Karena mereka memang sedang online. Kedua kawan esai juga kompak menjawab oke. Eza lantas menunjukkan chatnya pada sang bos. Gavin manggut-manggut melihat isi chat. Setelah itu keduanya keluar lagi. Mereka menemui Leon dan yang lainnya di ruang keluarga. Pesta-pestaan Gavin dimulai. Pemuda itu mengajak Abrina untuk berduet. Lagi-lagi dia sengaja memancing kecemburuan sang kakak. Abrina sendiri juga tidak bisa menolak. Terlebih dia ingin rencananya berhasil. Sehingga gadis itu harus total dalam berakting menjadi pacarnya Gavin. "Mau nyanyi lagu apa sih, Vin?" tanya Abrina ogah-ogahan. "Jodohku lagunya Anang Hermansyah.""Ya Allah Vin itu lagu jadul banget. Ogah ah!" Penolakan langsung dari Abrina membuat Gibran dan teman-teman Gavin tersenyum geli. "Ya udah kalau gitu Kaulah Takdirku punya Raffi Gigi. Dan gue
"Permintaan Bang Arman? Maksudnya apa sih, Le?" cecar Abrina cukup penasaran. Leon tidak menyahut. Pemuda itu kembali menaruh kepalanya di meja. Dirinya mulai merasa mengantuk. "Ayo jawab dong, Le!" Kesal membuat Abrina menggoyangkan tubuh Leon. "Biar gue aja," ujar Gavin mencegah Abrina menarik tangannya Leon. Abrina menurut. Gadis itu melepas pegangan tangannya pada Leon. "Le, emang ada hubungan apa antara kakak lu dengan si Arman itu?" korek Gavin pelan. Leon masih tidak menjawab. Pemuda itu justru memejamkan mata. "Leon!" Kini Gavin yang menarik tangannya Leon. "Apa sih, Vin?" Leon menggeliat, "gue pengen molor nih," balasnya masih terpejam. "Jangan dulu molor dong! Kan kita belum selesai ngomong," cegah Gavin sambil menepuk pundak Leon. "Emang mau ngomongin apa sih, Vin? Gue udah ngantuk berat nih," rengek Leon seraya memukul meja. "Nih makan pizza nih biar gak ngantuk," tawar Gavin langsung menyodorkan sekotak pizza. "Gak mau!" Leon langsung menyingkirkan kotak terse