Gavin kembali menghadap Haris, "hubungan saya dan Abrina itu jelas, Om. Kami berteman baik.""Bukan sekedar teman baik, tapi lebih dari itu," timpal Gibran menambahkan, "karena saat ini Abrina terikat sebagai asisten pribadinya Gavin sampai tahun depan. Dan saya sebagai kakak gak membenarkan adik saya memperkerjakan anak di bawah umur."Geram membuat Gavin mendeliki Gibran. "Jadi Abrina bekerja pada Gavin? Sebagai apa?" tanya Haris ingin tahu. "Ngomong, Bi," suruh Gavin pada Abrina. Abrina mengangguk. Dia pun mulai bertutur sesuai perintah Gavin dari mulai ajakan Eza yang membawanya bekerja di Butter Karaoke. Pelecehan yang ia dapat dari Pak kumis. Pertolongan dari Gavin, hingga kesepakatan antara dirinya dengan pemuda itu. "Bina, senang kerja jadi asisten pribadinya Gavin?" tanya Haris serius. Abrina membasahi bibirnya. "Sebenarnya aku bingung mau jawab apa, tapi kalau disuruh jujur ... Pastinya aku males kerja jadi asistennya Gavin."Gavin yang terkesiap mendengar kejujuran Abr
Lusi bergeming. Sungguh dia syok pada foto yang Haris tunjukkan. Perempuan itu tidak menyangka kalau suaminya bisa mendapatkan foto-foto kebersamaannya dengan Arman."Dari mana Mas Haris mendapatkan foto-foto ini?" batin Lusi masih terus memperhatikan gambar kebersamaannya dengan Arman. "Jangan-jangan dia nyuruh orang buat ngebuntutin aku," tebaknya menjadi panik."Kenapa diam? Gak bisa jawab?" tegur Haris datar. Laki-laki itu sudah mati rasa dengan Lusi. Andai tidak ada Alsaki mungkin sudah Haris tinggalkan."Ini tuh gak seperti yang kamu lihat, Mas," ujar Lusi membela diri, "aku kan emang janjian ketemuan dengan Arman di super market buat balikin tuh duit bengkel dia. Habis aku ngasih duit, ternyata Arman juga mau belanja," kilahnya membuat karangan."Jadi kalian lagi sama-sama belanja?" cecar Haris tenang."Iya." Lusi mengangguk cepat."Harus gitu, suap-suapan di tempat umum dengan orang lain yang bukan suami kamu?"Sindiran telak dari Haris membuat Lusi tertohok. Perempuan itu pun
"Makanya kita harus hati-hati," pesan Lusi serius, "ingat jangan sekali-kali menghubungi aku dulu!"Tanpa menunggu balasan dari Arman, Lusi segera memutus panggilan. Wanita itu juga buru-buru memblokir nomornya Arman dari daftar kontak. Usai menaruh gadgetnya ke buffet, dirinya merebahkan tubuhnya di ranjang.Lusi menghela napas berat. Jujur dia sangat ingin lepas dari jeratannya Arman. Namun, beberapa upayanya selalu gagal. Hingga akhirnya perempuan itu hanya bisa pasrah dijadikan ATM berjalan serta boneka pemuasnya Arman.Sementara itu Haris di kamar atas terlihat sedang berdiri di balkon kamar. Pandangannya tertuju pada langit malam yang bertabur bintang. Saat ini otaknya sedang memikirkan perihal foto-fotonya Arman dan Lusi.Laki-laki itu sangat yakin jika Lusi tengah menyembunyikan sesuatu. Tiba-tiba Haris teringat tentang kontak di nomor Lusi dengan nama Mando."Bukannya nama panjang Arman itu Armando?" gumam pria itu begitu ingat, "gak salah lagi. Mereka ada hubungan," tebakny
Waktu bergulir. Sudah lepas tiga hari dari drama di hotel yang menimpa Abrina dan Gavin. Meski membenci sang ayah, hati Abrina menginginkan kepastian janji Haris.Di hadapan Gibran dan Pak Min sang ayah berikrar akan membebaskan Abrina dari kontraknya Gavin. Jika dulu Abrina tidak sudi ditolong Haris sewaktu masih di Butter Karaoke, sekarang berbeda.Abrina sudah merasa jenuh menjadi asisten pribadinya Gavin. Kendati sebenarnya pemuda itu jarang meminta pelayanan yang aneh-aneh. Tetap saja Abrina ingin merasa bebas.Terlebih Abrina merasa akhir-akhir ini Anggini jadi dingin padanya. Meski sang kawan tidak pernah cerita, namun gadis itu yakin kalau Anggini ada perasaan pada Gavin.Pagi itu seperti biasa Abrina tengah sibuk memasukkan donat dan kue-kue buatan ibunya ke dalam wadah. Dirinya baru selesai sarapan. Tinggal menunggu kedatangan Gavin.Selama menjadi asisten pribadi Gavin, pemuda itu selalu datang untuk menjemput dan mengantarnya pulang. Sebenarnya lebih banyak Abrina yang mer
Abrina menatap Gavin. "Eum kamu mau gak kita melakukan investigasi lagi kayak kemarin? Aku pengen tahu apa hubungannya si kumis itu dengan Leon dan Mas Arman."Mulut Gavin terbuka senang. "Gue mah kalau diajak bolos sekolah mau banget, Bi. Emang lupa gak papa bolos sekolah hari ini?"Abrina menarim nafasnya dengan berat. Jujur dia sebenarnya enggan untuk membolos. Namun, rasa penasarannya pada si kumis membuatnya menganggukan kepala.Lagi-lagi Gavin tersenyum. "Oke gue akan antar kemanapun tempat yang pingin lu tuju."Abrina mencibir. "Nggak usah lebay, aku hanya mau kita ngikutin mereka kok.""Siap, Calon ibu dari anak-anak gue.""Cihhh!"Abrina langsung mendecih begitu mendengar gombalan Gavin. Meski begitu pipi tetap merah karenanya.Gavin sendiri segera membayar pesanan begitu Arman dan si kumis meninggalkan kedai. Di halaman kedai kedua orang itu tampak berpencar. Arman menuju mobil Pajeronya, sedangkan si kumis menuju mobil Avanza silver."Siapa yang mau elu ikutin, Bi?" tanya G
"Kenapa, Non?" tanya Pak Nono begitu melihat ekspresi wajahnya Abrina yang tampak terkaget. Abrina hanya menggeleng. "Kok Papah bisa mempekerjakan Pak Bondan ini sih, Pak Nono?" tanya ingin tahu. "Ibu Lusi yang rekomendasi, Non," jawab Pak Nono usai menyeruput teh manisnya. "Kayaknya baru setahun sih Pak Bondan ini kerja di tempatnya Bapak.""Bisa-bisanya Papah mempekerjakan orang kek gini," kaluh Abrina tidak habis pikir. "Memangnya kenapa, Non?" tanya Pak Nono penasaran. "Ni orang pernah gak sopan sama Bina, Pak Nono." Gavin yang menjawab. "Oh iya? Kok bisa? Kapan itu?" Pak Nono makin penasaran. Ketika Gavin akan menerangkan, Abrina langsung melarang dengan gelengan. "Ya udah Pak Nono, makasih ya udah mau ngobrol sama aku," ucap Abrina memungkas obrolan. "Oh sudah gak ada yang mau ditanyakan lagi?" tanya Pak Nono perhatian. Abrina menggeleng. "Takut Papah nyariin Pak Nono nanti.""Kalo Bapak nyari kan deket, Non."Abrina tersenyum. "Udah cukup kok aku nanyanya.""Ya sudah k
"Cekoki Leon dengan alkohol. Nanti pada saat dia mabok, kita korek dalam-dalam keterangan dia." Gavin menatap Abrina begitu sang gadis menjauhkan bibir di telinganya. "Sekarang?" tanya pemuda itu meminta kepastian. Abrina melihat waktu di layar ponselnya. Baru pukul sebelas siang. "Nanti aja pas mereka istirahat siang. Kalian udah biasa bolos sekolah kan? "Enggak, ini seumur-umur gue bolos karena diajak elu." "Hedehhh ... gak percaya aku." "Gak percaya ya udah," timpal Gavin sambil membuang muka. "Udah ah, Vin, becandanya." "Siapa juga yang becanda? Emang kenyataannya gue bolos sekolah ya baru kali ini karena diajak sama elu." Abrina memiringkan bibirnya. Sebenarnya dia ingin mendebat, namun diurungkan. Karena berdebat dengan Gavin itu harus butuh waktu yang panjang. "Udah deh balik ke topik lagi ya, Vin." "Hem!" sahut Gavin masih jual mahal. "Sekarang sebaiknya kamu chat Eza. Suruh dia buat datang ke rumah kamu, sama si Leon juga. Nah habis itu baru kita belanja," per
"Kok bawa-bawa Om Haris dan papah sih, Bang?" tegur Gavin tidak habis pikir, "nggak usah ngadi-ngadi deh, Bang!" omelnya cukup kesal. "Kalo pergaulan kamu wajar-wajar saja, Abang juga gak akan ngubungin Papah," sahut Gibran membela diri. "Makanya kalau ada orang ngomong dengerin dulu!" Emosi membuat Gavin meninggikan suaranya. "Bi, coba lu deh yang ngomong. Sapa tau Abang gue mau dengerin cerita elu. Kan pawangnya dia cuma elu," suruhnya pada Abrina. Gibran yang paham tengah disindir segera menatap Abrina. "Oke, coba Bina ngomong gitu sama kakak," pintanya dengan gesture yang santai. "Jadi gini, Kak." Abrina menatap Gibran yang juga menunduk untuk balas memandangnya, "aku dan Gavin lagi mau menyelesaikan misi."Gibran langsung mendesah pelan. "Masih pake istilah misi untuk mengganti kata kencan," gumamnya tidak percaya. "Ini serius kita mau menyelesaikan misi, Kak," timpal Abrina begitu mendengar gumamnya Gibran, "Kak Gibran tahu adik laki-lakinya Mbak Livia?"Gibran mengangguk p