Gavin dan Abrina lagi-lagi saling melempar pandang. Keduanya cukup tercekat mendengar ketegasan dari Gibran. "Kenapa Kak Gibran mau menghubungi Papah aku?" protes Abrina keberatan, "dia gak ada hubungannya dengan masalah ini lho, Kak.""Bener, Bang Gibran semakin ngaco!" timpal Gavin ikut sebal, "udah deh lu mending balik, Bang."Gibran tidak menggubris protes dari Gavin dan juga Abrina. Dirinya mengambil ponsel di saku celana. Tidak main-main nomor Haris ia hubungi. "Ya, Gibran?" sahut Haris di seberang sana. "Ada apa nih?" tanyanya santai. "Begini ... Pak Haris ada waktu gak?" tanya Gibran sopan. "Ini sudah mau pulang," balas Haris sambil melihat jam di pergelangan tangannya, "ada apa memangnya?""Ada hal penting yang ingin saya bicarakan," jawab Gibran dengan mimik serius, "ini mengenai hubungan pertemanan antara adik saya dengan Abrina.""Bang!" Gavin mau interupsi. Pemuda itu mencoba untuk merebut ponsel yang menempel di telinga Gibran. Sayangnya sang kakak sigap menghindar.
Gavin kembali menghadap Haris, "hubungan saya dan Abrina itu jelas, Om. Kami berteman baik.""Bukan sekedar teman baik, tapi lebih dari itu," timpal Gibran menambahkan, "karena saat ini Abrina terikat sebagai asisten pribadinya Gavin sampai tahun depan. Dan saya sebagai kakak gak membenarkan adik saya memperkerjakan anak di bawah umur."Geram membuat Gavin mendeliki Gibran. "Jadi Abrina bekerja pada Gavin? Sebagai apa?" tanya Haris ingin tahu. "Ngomong, Bi," suruh Gavin pada Abrina. Abrina mengangguk. Dia pun mulai bertutur sesuai perintah Gavin dari mulai ajakan Eza yang membawanya bekerja di Butter Karaoke. Pelecehan yang ia dapat dari Pak kumis. Pertolongan dari Gavin, hingga kesepakatan antara dirinya dengan pemuda itu. "Bina, senang kerja jadi asisten pribadinya Gavin?" tanya Haris serius. Abrina membasahi bibirnya. "Sebenarnya aku bingung mau jawab apa, tapi kalau disuruh jujur ... Pastinya aku males kerja jadi asistennya Gavin."Gavin yang terkesiap mendengar kejujuran Abr
Lusi bergeming. Sungguh dia syok pada foto yang Haris tunjukkan. Perempuan itu tidak menyangka kalau suaminya bisa mendapatkan foto-foto kebersamaannya dengan Arman."Dari mana Mas Haris mendapatkan foto-foto ini?" batin Lusi masih terus memperhatikan gambar kebersamaannya dengan Arman. "Jangan-jangan dia nyuruh orang buat ngebuntutin aku," tebaknya menjadi panik."Kenapa diam? Gak bisa jawab?" tegur Haris datar. Laki-laki itu sudah mati rasa dengan Lusi. Andai tidak ada Alsaki mungkin sudah Haris tinggalkan."Ini tuh gak seperti yang kamu lihat, Mas," ujar Lusi membela diri, "aku kan emang janjian ketemuan dengan Arman di super market buat balikin tuh duit bengkel dia. Habis aku ngasih duit, ternyata Arman juga mau belanja," kilahnya membuat karangan."Jadi kalian lagi sama-sama belanja?" cecar Haris tenang."Iya." Lusi mengangguk cepat."Harus gitu, suap-suapan di tempat umum dengan orang lain yang bukan suami kamu?"Sindiran telak dari Haris membuat Lusi tertohok. Perempuan itu pun
"Makanya kita harus hati-hati," pesan Lusi serius, "ingat jangan sekali-kali menghubungi aku dulu!"Tanpa menunggu balasan dari Arman, Lusi segera memutus panggilan. Wanita itu juga buru-buru memblokir nomornya Arman dari daftar kontak. Usai menaruh gadgetnya ke buffet, dirinya merebahkan tubuhnya di ranjang.Lusi menghela napas berat. Jujur dia sangat ingin lepas dari jeratannya Arman. Namun, beberapa upayanya selalu gagal. Hingga akhirnya perempuan itu hanya bisa pasrah dijadikan ATM berjalan serta boneka pemuasnya Arman.Sementara itu Haris di kamar atas terlihat sedang berdiri di balkon kamar. Pandangannya tertuju pada langit malam yang bertabur bintang. Saat ini otaknya sedang memikirkan perihal foto-fotonya Arman dan Lusi.Laki-laki itu sangat yakin jika Lusi tengah menyembunyikan sesuatu. Tiba-tiba Haris teringat tentang kontak di nomor Lusi dengan nama Mando."Bukannya nama panjang Arman itu Armando?" gumam pria itu begitu ingat, "gak salah lagi. Mereka ada hubungan," tebakny
Waktu bergulir. Sudah lepas tiga hari dari drama di hotel yang menimpa Abrina dan Gavin. Meski membenci sang ayah, hati Abrina menginginkan kepastian janji Haris.Di hadapan Gibran dan Pak Min sang ayah berikrar akan membebaskan Abrina dari kontraknya Gavin. Jika dulu Abrina tidak sudi ditolong Haris sewaktu masih di Butter Karaoke, sekarang berbeda.Abrina sudah merasa jenuh menjadi asisten pribadinya Gavin. Kendati sebenarnya pemuda itu jarang meminta pelayanan yang aneh-aneh. Tetap saja Abrina ingin merasa bebas.Terlebih Abrina merasa akhir-akhir ini Anggini jadi dingin padanya. Meski sang kawan tidak pernah cerita, namun gadis itu yakin kalau Anggini ada perasaan pada Gavin.Pagi itu seperti biasa Abrina tengah sibuk memasukkan donat dan kue-kue buatan ibunya ke dalam wadah. Dirinya baru selesai sarapan. Tinggal menunggu kedatangan Gavin.Selama menjadi asisten pribadi Gavin, pemuda itu selalu datang untuk menjemput dan mengantarnya pulang. Sebenarnya lebih banyak Abrina yang mer
Abrina menatap Gavin. "Eum kamu mau gak kita melakukan investigasi lagi kayak kemarin? Aku pengen tahu apa hubungannya si kumis itu dengan Leon dan Mas Arman."Mulut Gavin terbuka senang. "Gue mah kalau diajak bolos sekolah mau banget, Bi. Emang lupa gak papa bolos sekolah hari ini?"Abrina menarim nafasnya dengan berat. Jujur dia sebenarnya enggan untuk membolos. Namun, rasa penasarannya pada si kumis membuatnya menganggukan kepala.Lagi-lagi Gavin tersenyum. "Oke gue akan antar kemanapun tempat yang pingin lu tuju."Abrina mencibir. "Nggak usah lebay, aku hanya mau kita ngikutin mereka kok.""Siap, Calon ibu dari anak-anak gue.""Cihhh!"Abrina langsung mendecih begitu mendengar gombalan Gavin. Meski begitu pipi tetap merah karenanya.Gavin sendiri segera membayar pesanan begitu Arman dan si kumis meninggalkan kedai. Di halaman kedai kedua orang itu tampak berpencar. Arman menuju mobil Pajeronya, sedangkan si kumis menuju mobil Avanza silver."Siapa yang mau elu ikutin, Bi?" tanya G
"Kenapa, Non?" tanya Pak Nono begitu melihat ekspresi wajahnya Abrina yang tampak terkaget. Abrina hanya menggeleng. "Kok Papah bisa mempekerjakan Pak Bondan ini sih, Pak Nono?" tanya ingin tahu. "Ibu Lusi yang rekomendasi, Non," jawab Pak Nono usai menyeruput teh manisnya. "Kayaknya baru setahun sih Pak Bondan ini kerja di tempatnya Bapak.""Bisa-bisanya Papah mempekerjakan orang kek gini," kaluh Abrina tidak habis pikir. "Memangnya kenapa, Non?" tanya Pak Nono penasaran. "Ni orang pernah gak sopan sama Bina, Pak Nono." Gavin yang menjawab. "Oh iya? Kok bisa? Kapan itu?" Pak Nono makin penasaran. Ketika Gavin akan menerangkan, Abrina langsung melarang dengan gelengan. "Ya udah Pak Nono, makasih ya udah mau ngobrol sama aku," ucap Abrina memungkas obrolan. "Oh sudah gak ada yang mau ditanyakan lagi?" tanya Pak Nono perhatian. Abrina menggeleng. "Takut Papah nyariin Pak Nono nanti.""Kalo Bapak nyari kan deket, Non."Abrina tersenyum. "Udah cukup kok aku nanyanya.""Ya sudah k
"Cekoki Leon dengan alkohol. Nanti pada saat dia mabok, kita korek dalam-dalam keterangan dia." Gavin menatap Abrina begitu sang gadis menjauhkan bibir di telinganya. "Sekarang?" tanya pemuda itu meminta kepastian. Abrina melihat waktu di layar ponselnya. Baru pukul sebelas siang. "Nanti aja pas mereka istirahat siang. Kalian udah biasa bolos sekolah kan? "Enggak, ini seumur-umur gue bolos karena diajak elu." "Hedehhh ... gak percaya aku." "Gak percaya ya udah," timpal Gavin sambil membuang muka. "Udah ah, Vin, becandanya." "Siapa juga yang becanda? Emang kenyataannya gue bolos sekolah ya baru kali ini karena diajak sama elu." Abrina memiringkan bibirnya. Sebenarnya dia ingin mendebat, namun diurungkan. Karena berdebat dengan Gavin itu harus butuh waktu yang panjang. "Udah deh balik ke topik lagi ya, Vin." "Hem!" sahut Gavin masih jual mahal. "Sekarang sebaiknya kamu chat Eza. Suruh dia buat datang ke rumah kamu, sama si Leon juga. Nah habis itu baru kita belanja," per
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar