"Eh mau ke mana, Vin?" cegah Abrina melihat Gavin mengayunkan langkah. "Gue mau nyari daleman," sahut Gavin dengan entengnya. "Dih gimana sih? Tadi di luar bilangnya mau beli hoodie, kenapa ganti jadi pakaian dalam?" Meski heran, Abrina mengikuti langkahnya Gavin. Tentu dia harus selalu berlindung di belakang tubuhnya pemuda itu. Karena dirinya tidak mau penyamarannya terbongkar. Sayangnya gadis itu dibuat merah padam saat Gavin justru menuju area pakaian dalam perempuan. "Coba dong pilihin satu lingerie yang paling bagus!" suruh Gavin dengan santainya. "Mau buat siapa?" tanya Abrina dengan menahan malu. "Buat cewek gue," jawab Gavin asal. Sebenarnya bukan asal, pemuda itu memang ingin membelikan Abrina pakaian dalam. Dia ingin tahu reaksi Abrina jika tahu nanti. "Oh jadi kamu sudah punya cewek?" Mulut Abrina membulat tidak percaya. "Kenapa? Cemburu ya?" Gavin tampak penasaran dengan perasaan Abrina. "Kenapa mesti cemburu? Malah seneng akunya," balas Abrina jujur, "tapi kayak
"Ah sudahlah ... bagaimana pun aku harus jujur ke Mas Gibran," putus Pak Min setelah berpikir panjang. "Tapi nanti Mas Gavin bakalan marah."Pak Min kembali dibuat bimbang. "Ahhh sapa tahu Mas Gavin check-in hotelnya gak cuma sama Mbak Abrina saja. Mungkin ada Anggi dan yang lain," tuturnya berbicara sendiri. Dirinya mencoba untuk berpikir positif. Pria itu pun beranjak dari duduknya di pantry kantor. Pak Min mulai menuju ruang kerjanya Gibran. Kebetulan Livia masih belum berangkat kerja karena masih tidak enak badan. Sehingga Pak Min langsung mengetuk ruang kerja Gibran. "Masuk!" perintah Gibran dari dalam. Pak Min pun membuka pintu dengan hati-hati. Dirinya pun mendekati sang bos yang masih terlihat sibuk dengan berbagai laporan. "Eh ada Pak Min, ada apa nih?" tanya Gibran begitu menyadari kedatangan sang sopir. "Eh ini Mas, saya tadi habis ditelpon sama Mas Gavin. Suruh nemuin dia," jawab Pak Min seadanya."Oh." Gibran mengangguk, "memang mau nemuin di mana?" tanyanya sembari
"Ya udah yuk, Vin, kita cepat ke kamar! Biar misi kita cepat selesai."Pak Min meneguk ludahnya mendengar ajakan Abrina pada Gavin. "Pak Min, nunggu aja di mobil dulu, ya. Kita gak akan lama kok," suruh Gavin mengulangi omongannya. Sebelum Pak Min menjawabnya pemuda itu sudah ditarik tangannya oleh Abrina. "Misi apa sih sebenernya mereka?" gumam Pak Min resah. Tatapan Pak Min terus tertuju pada kedua anak muda yang sedang berjalan itu. Abrina yang biasanya selalu cuek pada Gavin terlihat menggandeng tangan pemuda itu terus. Seolah tidak mau berjauhan. Si pemuda pun mengiringi langkah sang gadis dengan tegap sambil menenteng tas kertas berisi under wear. Pak Min beranjak keluar lobby setelah Abrina dan Gavin memasuki lift. Sesuai perintah Gavin, pria itu menunggu kedua bocah tersebut di dalam mobil. "Semoga saja misi mereka bukan hal yang buruk," doanya menenangkan hati. Sementara itu Gavin sedang menuju kamar dengan nomor 315. Sesuai dengan nomor yang tertera di kunci kamar. Beg
"Pak Min jangan bercanda, ya!" Baru kali ini Gibran meninggikan suaranya pada sang sopir, "ini serius Pak Min disuruh beli kon dom?" cecar Gibran dengan perasaan campur aduk. Kaget, marah, dan tidak percaya.Gibran tahu adiknya anak yang badung dan urakan. Namun, dia percaya Gavin tahu batasan. Karena selama ini sang adik tidak pernah berbuat hal yang aneh-aneh."Ya serius, Mas Gibran, sejak kapan saya suka berbohong," timpal Pak Min meyakinkan. "Gak ada untungnya, Mas.""Oke-oke," sahut Gibran cepat, "terus siapa yang Gavin ajak check-in itu?""Neng Abrina.""Apaaah?" Lagi-lagi Gibran tersentak, "Abrina? Pak Min jangan bercanda!""Ya ampun, Mas Gibran, sudah dibilang gak ada untungya saya berbohong sama Mas Gibran.""Mereka cuma berdua doang?" tanya Gibran terus menggali informasi."Iya, mana Neng Binanya kelihatan agresif banget.""Apaaah?" Gibran kembali dibuat tercekat, "nggak mungkin," sangkalnya yakin, "yang aku lihat selama ini Bina itu justru jutek banget sama Gavin.""Maaf ya
"Menurut lu itu suara Tante Lusi bukan?" tanya Gavin saat Abrina menjauhkan kupingnya dari dinding."Aku gak tahu, suaranya gak jelas," jawab Abrina menggunakan suara lirih."Ya coba pertajam pendengaran elu," suruh Gavin sembari menempelkan kepala Abrina ke tembok kembali."Ouhhhh ... lebih dalam lagi, Mas!"Lagi-lagi Abrina jengah mendengarnya. Sebagai gadis baik-baik tentu dia malu mendengarnya."Gimana mau kita labrak sekarang? Terus elu videoin mereka?" tanya Gavin cukup bar-bar.TOK TOK TOK!Belum juga Abrina menjawab terdengar pintu diketuk orang. Gavin dan Abrina saling pandang. Tanpa berkata keduanya mendekat pintu karena yakin jika yang mengetuk adalah Pak Min.Sayang dugaan mereka salah. Memang ada Pak Min di luar, tapi Gibran yang berada di depan sopir itu. Muka Gibran yang biasa terlihat kalem kini tampak dingin."Abang? Ngapain ke sini?" tegur Gavin merasa tidak senang."Justru Abang yang mau tanya, lagian ngapain kalian berdua-duaan di kamar hotel seperti ini?" cecar Gi
Gavin dan Abrina lagi-lagi saling melempar pandang. Keduanya cukup tercekat mendengar ketegasan dari Gibran. "Kenapa Kak Gibran mau menghubungi Papah aku?" protes Abrina keberatan, "dia gak ada hubungannya dengan masalah ini lho, Kak.""Bener, Bang Gibran semakin ngaco!" timpal Gavin ikut sebal, "udah deh lu mending balik, Bang."Gibran tidak menggubris protes dari Gavin dan juga Abrina. Dirinya mengambil ponsel di saku celana. Tidak main-main nomor Haris ia hubungi. "Ya, Gibran?" sahut Haris di seberang sana. "Ada apa nih?" tanyanya santai. "Begini ... Pak Haris ada waktu gak?" tanya Gibran sopan. "Ini sudah mau pulang," balas Haris sambil melihat jam di pergelangan tangannya, "ada apa memangnya?""Ada hal penting yang ingin saya bicarakan," jawab Gibran dengan mimik serius, "ini mengenai hubungan pertemanan antara adik saya dengan Abrina.""Bang!" Gavin mau interupsi. Pemuda itu mencoba untuk merebut ponsel yang menempel di telinga Gibran. Sayangnya sang kakak sigap menghindar.
Gavin kembali menghadap Haris, "hubungan saya dan Abrina itu jelas, Om. Kami berteman baik.""Bukan sekedar teman baik, tapi lebih dari itu," timpal Gibran menambahkan, "karena saat ini Abrina terikat sebagai asisten pribadinya Gavin sampai tahun depan. Dan saya sebagai kakak gak membenarkan adik saya memperkerjakan anak di bawah umur."Geram membuat Gavin mendeliki Gibran. "Jadi Abrina bekerja pada Gavin? Sebagai apa?" tanya Haris ingin tahu. "Ngomong, Bi," suruh Gavin pada Abrina. Abrina mengangguk. Dia pun mulai bertutur sesuai perintah Gavin dari mulai ajakan Eza yang membawanya bekerja di Butter Karaoke. Pelecehan yang ia dapat dari Pak kumis. Pertolongan dari Gavin, hingga kesepakatan antara dirinya dengan pemuda itu. "Bina, senang kerja jadi asisten pribadinya Gavin?" tanya Haris serius. Abrina membasahi bibirnya. "Sebenarnya aku bingung mau jawab apa, tapi kalau disuruh jujur ... Pastinya aku males kerja jadi asistennya Gavin."Gavin yang terkesiap mendengar kejujuran Abr
Lusi bergeming. Sungguh dia syok pada foto yang Haris tunjukkan. Perempuan itu tidak menyangka kalau suaminya bisa mendapatkan foto-foto kebersamaannya dengan Arman."Dari mana Mas Haris mendapatkan foto-foto ini?" batin Lusi masih terus memperhatikan gambar kebersamaannya dengan Arman. "Jangan-jangan dia nyuruh orang buat ngebuntutin aku," tebaknya menjadi panik."Kenapa diam? Gak bisa jawab?" tegur Haris datar. Laki-laki itu sudah mati rasa dengan Lusi. Andai tidak ada Alsaki mungkin sudah Haris tinggalkan."Ini tuh gak seperti yang kamu lihat, Mas," ujar Lusi membela diri, "aku kan emang janjian ketemuan dengan Arman di super market buat balikin tuh duit bengkel dia. Habis aku ngasih duit, ternyata Arman juga mau belanja," kilahnya membuat karangan."Jadi kalian lagi sama-sama belanja?" cecar Haris tenang."Iya." Lusi mengangguk cepat."Harus gitu, suap-suapan di tempat umum dengan orang lain yang bukan suami kamu?"Sindiran telak dari Haris membuat Lusi tertohok. Perempuan itu pun