Abrina kembali mengarahkan pandangan pada Arman dan Lusi. Kedua sejoli itu sedang berada di rak parfum. Arman sendiri tampak tengah menggoda Lusi. Pria itu beberapa kali menyemprotkan parfum tersebut ke arah Lusi. Gayung bersambut. Lusi yang sedari tadi datar mulai merasa kesal dan gemas. Wanita itu mencubit keras perutnya Arman. Alhasil Arman pun menjerit kesakitan. Hal tersebut memancing kebahagiaan pada diri Lusi. Perempuan itu pun terbahak. "Asli ... kok mereka kayak orang lagi pacaran ya, Bi?" ujar Gavin sambil terus memperhatikan Arman dan Lusi dari tempatnya. Abrina tidak menyahut. Gadis itu sedang mengabadikan momen kebersamaan Arman dan Lusi. Dia lantas melihat hasil jepretannya. "Mau kamu kirim itu foto ke Papa kamu?" tanya Gavin lagi. "Wanita itu pintar banget ngomong, aku harus ngumpulin banyak bukti biar Papa percaya," jawab Abrina serius. Gadis itu lantas menatap Gavin. "Kamu bisa bantu aku gak, Vin?" tanyanya kemudian. Gavin yang memang selalu ingin direpotkan ole
"Eh mau ke mana, Vin?" cegah Abrina melihat Gavin mengayunkan langkah. "Gue mau nyari daleman," sahut Gavin dengan entengnya. "Dih gimana sih? Tadi di luar bilangnya mau beli hoodie, kenapa ganti jadi pakaian dalam?" Meski heran, Abrina mengikuti langkahnya Gavin. Tentu dia harus selalu berlindung di belakang tubuhnya pemuda itu. Karena dirinya tidak mau penyamarannya terbongkar. Sayangnya gadis itu dibuat merah padam saat Gavin justru menuju area pakaian dalam perempuan. "Coba dong pilihin satu lingerie yang paling bagus!" suruh Gavin dengan santainya. "Mau buat siapa?" tanya Abrina dengan menahan malu. "Buat cewek gue," jawab Gavin asal. Sebenarnya bukan asal, pemuda itu memang ingin membelikan Abrina pakaian dalam. Dia ingin tahu reaksi Abrina jika tahu nanti. "Oh jadi kamu sudah punya cewek?" Mulut Abrina membulat tidak percaya. "Kenapa? Cemburu ya?" Gavin tampak penasaran dengan perasaan Abrina. "Kenapa mesti cemburu? Malah seneng akunya," balas Abrina jujur, "tapi kayak
"Ah sudahlah ... bagaimana pun aku harus jujur ke Mas Gibran," putus Pak Min setelah berpikir panjang. "Tapi nanti Mas Gavin bakalan marah."Pak Min kembali dibuat bimbang. "Ahhh sapa tahu Mas Gavin check-in hotelnya gak cuma sama Mbak Abrina saja. Mungkin ada Anggi dan yang lain," tuturnya berbicara sendiri. Dirinya mencoba untuk berpikir positif. Pria itu pun beranjak dari duduknya di pantry kantor. Pak Min mulai menuju ruang kerjanya Gibran. Kebetulan Livia masih belum berangkat kerja karena masih tidak enak badan. Sehingga Pak Min langsung mengetuk ruang kerja Gibran. "Masuk!" perintah Gibran dari dalam. Pak Min pun membuka pintu dengan hati-hati. Dirinya pun mendekati sang bos yang masih terlihat sibuk dengan berbagai laporan. "Eh ada Pak Min, ada apa nih?" tanya Gibran begitu menyadari kedatangan sang sopir. "Eh ini Mas, saya tadi habis ditelpon sama Mas Gavin. Suruh nemuin dia," jawab Pak Min seadanya."Oh." Gibran mengangguk, "memang mau nemuin di mana?" tanyanya sembari
"Ya udah yuk, Vin, kita cepat ke kamar! Biar misi kita cepat selesai."Pak Min meneguk ludahnya mendengar ajakan Abrina pada Gavin. "Pak Min, nunggu aja di mobil dulu, ya. Kita gak akan lama kok," suruh Gavin mengulangi omongannya. Sebelum Pak Min menjawabnya pemuda itu sudah ditarik tangannya oleh Abrina. "Misi apa sih sebenernya mereka?" gumam Pak Min resah. Tatapan Pak Min terus tertuju pada kedua anak muda yang sedang berjalan itu. Abrina yang biasanya selalu cuek pada Gavin terlihat menggandeng tangan pemuda itu terus. Seolah tidak mau berjauhan. Si pemuda pun mengiringi langkah sang gadis dengan tegap sambil menenteng tas kertas berisi under wear. Pak Min beranjak keluar lobby setelah Abrina dan Gavin memasuki lift. Sesuai perintah Gavin, pria itu menunggu kedua bocah tersebut di dalam mobil. "Semoga saja misi mereka bukan hal yang buruk," doanya menenangkan hati. Sementara itu Gavin sedang menuju kamar dengan nomor 315. Sesuai dengan nomor yang tertera di kunci kamar. Beg
"Pak Min jangan bercanda, ya!" Baru kali ini Gibran meninggikan suaranya pada sang sopir, "ini serius Pak Min disuruh beli kon dom?" cecar Gibran dengan perasaan campur aduk. Kaget, marah, dan tidak percaya.Gibran tahu adiknya anak yang badung dan urakan. Namun, dia percaya Gavin tahu batasan. Karena selama ini sang adik tidak pernah berbuat hal yang aneh-aneh."Ya serius, Mas Gibran, sejak kapan saya suka berbohong," timpal Pak Min meyakinkan. "Gak ada untungnya, Mas.""Oke-oke," sahut Gibran cepat, "terus siapa yang Gavin ajak check-in itu?""Neng Abrina.""Apaaah?" Lagi-lagi Gibran tersentak, "Abrina? Pak Min jangan bercanda!""Ya ampun, Mas Gibran, sudah dibilang gak ada untungya saya berbohong sama Mas Gibran.""Mereka cuma berdua doang?" tanya Gibran terus menggali informasi."Iya, mana Neng Binanya kelihatan agresif banget.""Apaaah?" Gibran kembali dibuat tercekat, "nggak mungkin," sangkalnya yakin, "yang aku lihat selama ini Bina itu justru jutek banget sama Gavin.""Maaf ya
"Menurut lu itu suara Tante Lusi bukan?" tanya Gavin saat Abrina menjauhkan kupingnya dari dinding."Aku gak tahu, suaranya gak jelas," jawab Abrina menggunakan suara lirih."Ya coba pertajam pendengaran elu," suruh Gavin sembari menempelkan kepala Abrina ke tembok kembali."Ouhhhh ... lebih dalam lagi, Mas!"Lagi-lagi Abrina jengah mendengarnya. Sebagai gadis baik-baik tentu dia malu mendengarnya."Gimana mau kita labrak sekarang? Terus elu videoin mereka?" tanya Gavin cukup bar-bar.TOK TOK TOK!Belum juga Abrina menjawab terdengar pintu diketuk orang. Gavin dan Abrina saling pandang. Tanpa berkata keduanya mendekat pintu karena yakin jika yang mengetuk adalah Pak Min.Sayang dugaan mereka salah. Memang ada Pak Min di luar, tapi Gibran yang berada di depan sopir itu. Muka Gibran yang biasa terlihat kalem kini tampak dingin."Abang? Ngapain ke sini?" tegur Gavin merasa tidak senang."Justru Abang yang mau tanya, lagian ngapain kalian berdua-duaan di kamar hotel seperti ini?" cecar Gi
Gavin dan Abrina lagi-lagi saling melempar pandang. Keduanya cukup tercekat mendengar ketegasan dari Gibran. "Kenapa Kak Gibran mau menghubungi Papah aku?" protes Abrina keberatan, "dia gak ada hubungannya dengan masalah ini lho, Kak.""Bener, Bang Gibran semakin ngaco!" timpal Gavin ikut sebal, "udah deh lu mending balik, Bang."Gibran tidak menggubris protes dari Gavin dan juga Abrina. Dirinya mengambil ponsel di saku celana. Tidak main-main nomor Haris ia hubungi. "Ya, Gibran?" sahut Haris di seberang sana. "Ada apa nih?" tanyanya santai. "Begini ... Pak Haris ada waktu gak?" tanya Gibran sopan. "Ini sudah mau pulang," balas Haris sambil melihat jam di pergelangan tangannya, "ada apa memangnya?""Ada hal penting yang ingin saya bicarakan," jawab Gibran dengan mimik serius, "ini mengenai hubungan pertemanan antara adik saya dengan Abrina.""Bang!" Gavin mau interupsi. Pemuda itu mencoba untuk merebut ponsel yang menempel di telinga Gibran. Sayangnya sang kakak sigap menghindar.
Gavin kembali menghadap Haris, "hubungan saya dan Abrina itu jelas, Om. Kami berteman baik.""Bukan sekedar teman baik, tapi lebih dari itu," timpal Gibran menambahkan, "karena saat ini Abrina terikat sebagai asisten pribadinya Gavin sampai tahun depan. Dan saya sebagai kakak gak membenarkan adik saya memperkerjakan anak di bawah umur."Geram membuat Gavin mendeliki Gibran. "Jadi Abrina bekerja pada Gavin? Sebagai apa?" tanya Haris ingin tahu. "Ngomong, Bi," suruh Gavin pada Abrina. Abrina mengangguk. Dia pun mulai bertutur sesuai perintah Gavin dari mulai ajakan Eza yang membawanya bekerja di Butter Karaoke. Pelecehan yang ia dapat dari Pak kumis. Pertolongan dari Gavin, hingga kesepakatan antara dirinya dengan pemuda itu. "Bina, senang kerja jadi asisten pribadinya Gavin?" tanya Haris serius. Abrina membasahi bibirnya. "Sebenarnya aku bingung mau jawab apa, tapi kalau disuruh jujur ... Pastinya aku males kerja jadi asistennya Gavin."Gavin yang terkesiap mendengar kejujuran Abr
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar