Sungai itu lebar dan berkelok-kelok seperti ular raksasa. Musim kemarau airnya dangkal. Banyak endapan pasir bercampur lumpur. Biasanya ada aktivitas penambang pasir. Barangkali mereka tinggalkan karena airnya sudah tercemar.
Ada cairan kehitaman mengalir membentuk pita panjang, mungkin limbah zat kimia dari pabrik di hulu sungai, bercampur limbah rumah tangga.
"Beruntung kita lahir lebih awal," kata Rara. "Bisa berenang di kolam renang terpanjang di dunia."
Di jaman mereka dulu, sungai adalah barometer kenakalan anak-anak. Pulang sekolah langsung bermain di sungai sampai lupa waktu. Lomba menyelam. Balap renang. Adu ketangkasan menangkap ikan. Dan hanya mereka berdua yang berani memasuki daerah lubuk sungai yang konon ada buaya putihnya.
"Masih suka renang?" tanya Rara.
"Bukan di sungai."
"Bukan pula di kolam renang."
"Kok tahu?"
"Matamu terlalu terbuka untuk melihat yang tertutup."
"Dan matamu tidak tertutup untuk melihat yang terbuka."
"Aku tidak sebejat kamu."
"Tapi seorang betina."
"Surya cerita?"
"Untuk tahu perempuan aku tidak butuh cerita dari siapapun."
"Apa yang kau tahu?"
"Soal apa?"
"Kau bicara soal aku, kan?"
"Aku bicara soal perempuan."
"Aku perempuan! Memangnya ada laki-laki sangat seksi begini?"
"Di kota banyak."
"Tidak seseksi aku!" Rara menoleh seolah menantang. "Ngomong apa lagi? Banyak laki-laki cantik di kota? Mereka tidak secantik aku dan bukan perawan suci!"
"Kepingin banget dibilang sangat seksi, sangat cantik, dan perawan suci. Bukan ingin menaikkan nilai jual, kan?"
"Brengsek."
"Semut saja tidak percaya."
"Biarin."
"Tidak ada lagi yang perlu kutahu tentang kamu. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, aku sudah hapal lekuk-lekuknya."
"Dulu. Sekarang tentu beda."
"Beda apanya?"
"Apa-apanya."
"Apa-apanya itu apa?"
"Apa yang termasuk apa-apanya."
"Apa itu?"
"Menurut kamu apa?"
"Apa-apanya."
"Surya benar."
"Apa katanya?"
"Kau pejantan liar."
"Betina yang liar ke aku."
"Karena rayuan mautmu."
"Aku tidak pernah merayu perempuan. Mereka datang sendiri."
"Kayak loket stadion menerima siapa saja yang masuk," sindir Rara. "Tante-tante juga?"
"Aku lebih suka down grade."
Rara memandang tak percaya. "Gadis SMA? OMG! Aku harus menjaga adikku baik-baik."
Mantan Gilang kebanyakan gadis SMA. Anak kuliahan bisa dihitung dengan jari. Dia sangat menikmati manjanya gadis putih abu-abu. Biasanya cinta mereka tidak berumur panjang. Dia segera pindah berlabuh jika sudah puas menghisap sari madunya.
"Bokong tipis bukan seleraku."
"Jadi aku seleramu?"
"Jangan kepedean."
"Memangnya kamu saja yang boleh kepedean?"
"Aku bicara fakta. Mereka datang sendiri mengantarkan cintanya. Gadis seusiamu ada di antrian terakhir."
"Kamu bisa kena pasal perlindungan anak."
"Mereka sudah tujuh belas tahun."
"Kamu suka ABG karena mereka gampang ditipu."
"Tidak ada tipu-tipu dalam cintaku. Semua atas dasar suka sama suka."
"Tidak tahu malu."
"Kalau tahu malu, hidupku mungkin lurus-lurus saja. Tidak tahu dunia ini luas dan banyak kenikmatan yang bisa didapatkan."
"Sebejat apapun manusia rasa malu pasti ada. Manusia loh?"
"Jadi kau punya rasa malu dengan penampilan seperti ini? Kau suguhi mata-mata lugu dengan pemandangan yang tidak biasa. Kau tidak dengar tadi pas di jalan? Bapak-bapak sampai istighfar lihat kamu."
"Tidak ada yang salah dengan penampilan aku."
"Jangan jadikan kampung sebagai panggung catwalk."
"Maka itu banyak nonton teve biar tidak ketinggalan jaman."
"Mereka nonton teve bukan untuk itu."
Di kampung ini tidak semua rumah ada televisi. Perlu parabola untuk menangkap acaranya. Daripada boros biaya, mereka alokasikan uang yang ada untuk membeli alat pertanian. Ada yang nekat, uang buat beli parabola dipakai taruhan dalam nonton bareng Piala Dunia. Pak Marwan provokatornya.
"Mereka nonton teve untuk melihat acara yang sesuai dengan kearifan lokal."
Rara menatap tidak senang. "Kok kamu jadi membela mereka? Pak Kades bukan apa bukan."
Rara tampil modis karena kebiasaan di metropolis, disamping ingin membuka wawasan mereka tentang tren fashion. Tidak sedikit gadis kampung yang salah memilih gaya sehingga menutup pesona alami yang seharusnya menjadi sebuah kelebihan.
"Kalau jadi Pak Kades, aku malah dukung kamu jadi foto model. Untuk membuktikan tidak semua cewek kampung itu katrok."
"Itu profesi yang kujalani sekarang."
Tidak mengejutkan kalau Rara jadi foto model. Lagi pula tidak ada kabar perempuan yang membuat Gilang terkejut. Rara memiliki pesona alami yang sangat fotogenik. Teman kuliah Gilang sampai melakukan operasi plastik untuk tampil sempurna di depan kamera.
"Sales alat kecantikan juga."
"Separuh waktu?"
"Ya."
"Separuh waktu lagi sales om-om?"
"Ngarang."
"Abah bagaimana?"
Masalah terbesar Rara adalah ayahnya. Bukan cuma soal karir, dalam bergaul juga. Tidak sedikit pemuda yang mundur teratur karena kurang modal. Jadi pacar belum tentu, keluar duit sudah pasti. Kadang Surya juga kena pajak, padahal Rara yang menyuruh datang karena ada perlu. Kalau Gilang sudah menyerahkan duit satu gepok agar selama liburan diijinkan bertamu.
Bersyukur Abah mata duitan. Gilang jadi bebas bertemu kapan saja dengan anaknya. Urusan uang pelicin ini Rara tidak tahu. Kalau sampai tertangkap tangan, jangan harap bisa menemuinya lagi. Gilang suka perempuan yang memiliki harga diri.
"Sudah lama aku kehilangan figur seorang ayah. Dia terbuai mimpi yang disuguhkan kakakku. Aku tidak mau ikut terlena."
"Kartika saudara kandungmu."
"Tapi yang kaya suaminya."
"Sama saja."
"Tentu saja beda."
"Kau merasa jadi orang lain di depan kakakmu? Atau Kartika yang membuat kamu jadi orang lain?"
"Dia malah yang paling keras melarang aku kerja. Takut ganggu kuliah."
"Takut kena tipu om-om utamanya."
"Aku tak mau terus-terusan jadi beban. Ingin belajar mandiri."
"Kalau sudah belajar mandiri, ingin belajar apa lagi?"
"Belajar menjitak kepala kamu!"
"Bukan belajar namanya, balas dendam masa lalu."
Barangkali karena masa lalu juga kalau besoknya mereka kelihatan basah-basahan di air terjun. Kejar-kejaran di pematang sawah. Berperahu di telaga. Tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi waktu anak-anak.
Tapi pandangan ibu Gilang tidak hanya sampai di situ! Ini alamat bahaya. Sejak dini dia harus waspada sebelum segalanya terlanjur. Gilang kehilangan masa depan.
Gadis model begitu cuma pintar menggoda. Tak mampu membangun semangat belajar. Apa yang bisa diharapkan darinya?
Kecantikan memang dia kembangnya. Hidup di kota membuatnya tampil beda dengan gadis kebanyakan. Tahu fashion. Cara berdandan. Tapi cuma itu keunggulannya.
Di kampung ini, seorang gadis umumnya pacaran hanya satu kali sebelum melangkah ke pelaminan. Hanya mengenal satu laki-laki. Tapi dia, pemuda kampung mana yang belum mencicipi cintanya? Setiap minggu laki-laki hilir mudik ke rumahnya! Pulang ke desa cuma untuk tebar pesona!
Ayahnya pun membiarkan saja kelakuannya begitu. Memang itu yang diharapkan. Memilih-milih mana pemuda yang paling kaya. Paling banyak berkorban. Ayah dan anak sama bejatnya.
"Hati-hati kalau bergaul," tegur Umi ketika anaknya baru pulang dari rumah gadis itu. "Salah-salah nanti terjerumus."
Gilang menoleh tak mengerti. "Maksud Umi?"
"Jangan kira Umi tidak tahu kedekatan kamu dengan si Rarasapi."
"Rarasari."
"Peduli apa soal nama? Pokoknya bukan keturunan baik-baik!"
"Ayahnya mantan aparat desa."
"Biar mantan aparat, kalau tega menjual anaknya, jadi keparat!"
"Kartika bukan dijual."
"Lalu apa namanya menikah sama lelaki yang sudah bau tanah?" Wajah Umi membentuk lautan cemooh. "Jadi istri simpanan?"
"Kalau jodoh, mau bilang apa? Protes sama Tuhan?"
"Pintar omong kamu! Sudah mulai ketularan rupanya!"
"Pintar omong kamu! Sudah mulai ketularan si Rarasapi rupanya!"
"Rara gadis baik-baik," sahut Gilang sabar. "Tidak seburuk sangkaan Umi."
"Mata Umi belum buta!"
"Jangan lihat luarnya, lihat hatinya."
"Gadis seperti itu mana punya hati?" dengus Umi sinis. "Yang ada di kepalanya cuma bagaimana cara menjerat laki-laki! Menguras isi dompetnya!"
"Umi jadi miskin perasaan karena kebanyakan harta, selalu curiga dan penuh prasangka."
"Jangan salah paham!" sambar ibunya geram. "Umi bukan melarang pacaran! Tapi pilihlah gadis baik-baik! Bukan gadis yang jadi modal usaha!"
"Umi jangan kuatir. Aku tidak tertarik jadi pacar yang ketiga belas. Gadis cantik di kampus asal mau."
Gilang jadi berpikir. Baru kelihatan akrab saja ibunya sudah demikian sengit. Bagaimana kalau mereka benar-benar terjebak dalam jerat cinta?
Abah marah. "Kau ingin aku jajan di luar? Baik! Aku penuhi permintaanmu kalau kau tidak mau melayani!" "Kau tetap pergi ke janda langganan biar aku layani," geram Ambu sengit. "Kerjamu tiap hari cuma membuat malu keluarga. Mabuk, berjudi, main perempuan...." Abah menampar wanita itu sehingga berhenti bicara. "Aku tidak suka istri bermulut lancang. Kamu bisa pergi dari rumah ini kalau tidak suka denganku." Kemudian dia menarik tangan istrinya untuk bangkit dari sofa ruang tamu. Obat sudah mempengaruhi otaknya sehingga tidak ada pikiran apapun selain melampiaskan hasrat dengan segera. Ambu berusaha bertahan. "Aku kurang enak badan." "Aku sembuhkan dengan kenikmatan." "Nikmat bagimu sengsara bagiku!" Abah semakin tidak terkendali. "Kau ingin aku berbuat lebih kasar lagi?" Ambu bertahan di tempat duduknya. Abah jadi berubah pikiran. Dia berhenti memaksa istrinya untuk masuk kamar. Duduk di sampingnya. Ambu berontak
Esok paginya Gilang tidak muncul. Keesokan harinya pun menghilang entah ke mana. Percuma Rara menunggu sepanjang siang, pemuda itu tak datang-datang tanpa alasan yang jelas. Dia jadi uring-uringan dan majalah yang dibacanya kena sasaran. "Beraninya banting majalah," ledek Kartika sambil menonton acara televisi. "Banting saja cintamu." "Aku kesal sama penculik mahasiswi itu! Bukan koruptor saja diculik! Cuci otaknya! Biar bersih!" "Pura-pura! Kangen ya? Salah sendiri. Pulang dari Bali bukan bongkar hati, malah bongkar muatan." "Ngomong apaan sih?" Rara pura-pura mengambil majalah yang dibanting dan membacanya lagi. "Kayak baru pertama kali ke Bali saja. Heboh banget." "Biarin." "Gak kuat nahan rasa kangen ya? Mulut jadi dar der dor kayak petasan Lebaran?" "Sotoy." "Bagus orangnya sabar. Kalau aku, sudah dibakar rumah ini." "Bakar saja! Rumah Kak Tika ini!" "Kalau tidak mau kehilangan dia, sekarang
"Jangan sering-sering datang ke rumahnya." Suara Umi menghentikan langkah Gilang di pintu keluar. "Nanti ketularan." Gilang memutar tubuh dan memandang ibunya. "Aku mau ke rumah Surya." "Alasan." "Sejak kapan Umi tak percaya sama aku?" "Sejak kamu pacaran dengan begundal itu!" "Aku tidak pacaran." "Terus buat apa kamu datang ke rumahnya kalau tidak pacaran? Main judi sama ayahnya?" Gilang menghela nafas. Ibunya masih saja curiga, padahal kepikiran saja tidak untuk main ke rumah Rara. Kebersamaan mereka putus dengan sendirinya. "Umi cuma mengingatkan. Kalau sampai tergoda rayuannya, itu petaka buat masa depanmu. Bisa-bisa studimu putus di tengah jalan." "Aku sudah belajar baik-baik, dan mencapai hasil yang baik." "Nah, pilihlah gadis baik-baik! Agar masa depanmu baik!" "Kenapa sih Umi jadi peduli sama kuliah aku? Padahal dulu Umi memohon agar aku tidak melanjutkan sekolah. Kasihan Abi tidak ada ya
Umi mulai curiga. Anak sulungnya rajin sekali keluar malam. Minggu-minggu ini memang banyak acara siraman rohani, bulan baik untuk hajatan menurut hitung-hitungan. Tapi bukan berarti boleh pulang seenaknya. Bahkan pernah ayam sudah berkokok baru pulang. Dikasih kebebasan malah kebablasan. Wisnu yang dipercaya untuk memata-matai pun mulai meragukan. Setiap kali ditanya, jawabannya itu-itu saja. "Umi kan tahu si kakak calon mubaligh. Lebih suka dengar ceramah kyai daripada ceramah Umi." "Masa tiap malam?" "Tablighnya tiap malam." "Minggu ini cuma tiga." "Di desa sebelah." "Desa sebelah?" Umi terbelalak kaget. "Kalian pergi sejauh itu?" "Kan bawa mobil." Tapi Umi tetap sangsi. Gilang bisa dimengerti suka pengajian. Anak itu rajin ke mesjid. Tapi Wisnu sejak kapan suka tabligh? Biarpun cuma mengantar? Shalat saja menunggu perintah ayahnya! Dia tak pernah membantah setiap kali disuruh mengawal kakaknya. Kadan
"Habis shalat shubuh itu berzikir sampai terbit matahari biar rejeki lancar," kata Umi sambil duduk bersandar di tempat tidur menonton acara televisi. "Abi malah minta begituan." Abi duduk bersandar di sampingnya. Dia baru pulang dari masjid. "Aku tidak tahu lagi mau diapakan hartaku. Setiap tahun kita keliling Eropa. Bolak-balik ke Timur Tengah. Sedekah setiap hari. Anak sudah dikasih uang jajan melimpah. Hartaku malah semakin bertumpuk. Aku takut harta itu mendakwa aku di akhirat." "Nah, itu lagi dibahas sama ustadzah di televisi," kata Umi sambil membesarkan volume dengan remote. "Semakin banyak sedekah semakin bertambah harta kita." "Maka itu aku jadi bingung. Tidak bersedekah aku tidak dapat pahala. Bersedekah hartaku semakin bertumpuk. Aku tidak tahu bagaimana menghabiskannya. Apa aku ambil istri lagi biar kamu tidak cape melayani?" "Mendingan aku cape," sergah Umi geram. Dia singkapkan sarung suaminya dan duduk mengangkang di pangkuannya. "Jang
Sekali lagi Rara melayangkan pandang ke jalan yang membentang lurus itu. Hatinya kian gelisah. Gilang belum kelihatan dalam jarak yang jauh sekalipun. Dibel berkali-kali ponselnya tidak aktif. Mungkin takut ketahuan ibunya. Rara melihat jam tangan mungilnya. Hampir pukul tujuh pagi. Sebentar lagi bis berangkat. Hari ini mereka ikut acara tahun baruan bersama anak-anak kampung. Ke mana Gilang? Mengapa begitu lama? Apa tidak jadi pergi? Begini susahnya kalau pacaran backstreet. Setiap kali mau pergi mesti banyak akal, pintar cari alasan. Muda-mudi lain sudah tertawa-tawa di dalam bis, dia masih berdiri di sisi jalan seperti tawanan. Tinggal beberapa orang saja yang belum naik menunggu panggilan panitia lewat mikrofon. Bis satunya lagi sudah siap berangkat. Gilang baru muncul ketika kedua bis sudah mulai merayap pergi. Rara yang masih mengharap kedatangannya berteriak ke sopir, "Stop, Pir!" "Ada apa, Neng?" tanya sopir separuh menggerutu. "
Jantung Umi serasa mau lepas ketika motor ojek yang ditumpanginya berguncang keras. Pria separuh baya itu mencengkram setang kuat-kuat menjaga keseimbangan. Bukan pekerjaan mudah mengendarai motor di jalan berbatu sebesar kepala dan naik turun itu. Umi yang tahunya duduk saja merasa pegal-pegal seluruh tubuhnya, kepala pusing, perut mual. Nah, bisa dibayangkan bagaimana kuatnya laki-laki itu. "Dana desa dipakai apa saja, Pak?" gerutu Umi keki. "Kok jalannya masih begini-begini juga?" Tukang ojek cuma tersenyum. Dia tak peduli dengan segala macam urusan itu. Urusan perut anak istri saja sudah bikin pusing tujuh keliling. Diam-diam kejengkelan yang bersemayam di hati Umi sejak berangkat dari rumah kembali merebak. Kalau suaminya sedikit peduli, tak perlu repot begini. Mereka bisa lewat jalan tol dan keluarnya tak seberapa jauh dari kampung yang dituju. "Mau apa ke sana?" selidik suaminya sebelum pergi tadi. "Adikmu kan sudah pindah tugas? Minggu
Umi sebenarnya lelah habis melakukan perjalanan jauh. Tapi dia tidak menolak dan rela melayani karena tahu jika suaminya marah dan pergi malam, maka banyak gadis dan janda menunggu. Dia beruntung suaminya tidak pernah marah dan bertahan dengan satu istri, padahal banyak godaan di luar. "Abi tidak malu sama usia minta gaya spooning?" tanya Umi. "Kita tidak muda lagi." Abi tersenyum menggoda. "Kita baru menginjak kepala empat, masa tidak muda lagi? Lagi pula kita biasa kan?" "Malam ini posisi misionaris saja. Aku cape." "Jangan paksakan kalau cape, sakit nanti." Umi menahan suaminya yang hendak bangkit dari sisinya. "Mau ke mana?" "Pakai kimono." Umi tersenyum mesra. "Aku bercanda." Wanita itu berbaring miring memunggungi. Dia angkat kaki sebelah ke atas pinggang suaminya. Kemudian meraih bazoka dan mengarahkan. Dia mendesah nikmat saat bazoka bergerak masuk secara perlahan memenuhi terowongan gelap. A
Bulan-bulan pertama orang tua Gilang sulit melupakan kesalahan anaknya. Mereka benci pada anaknya yang durhaka itu. Tak peduli seandainya pergi ke dasar neraka sekalipun.Lebih-lebih Umi. Setiap kali mendengar gunjingan tetangga setiap kali pula kemarahannya berkobar. Kehormatan keluarga yang dibangun susah payah hancur berkeping-keping karena kedunguan anaknya.Karena tidak tahu ke mana harus menumpahkan kemarahan, Wisnulah yang jadi sasaran. Hampir tiap hari kena damprat. Apa-apa yang dilakukan seolah tidak ada yang benar. Semua salah. Kupingnya sampai bising.Pergaulan Wisnu pun dibatasi. Tidak boleh keluar malam. Apalagi nongkrong di mall pulang sekolah. Selesai sekolah selesai pula kebebasan yang dimilikinya. Kembali ke sangkar emas.Satu-satunya yang diperbolehkan adalah bepergian dengan Karlina. Selain itu, hanya boleh bergaul dengan Andini. Gadis itu masih memiliki secercah harapan untuk bersanding dengan pujaan hatinya. Umi memberi lampu hijau ke
Idyla berhasil diselamatkan. Dia terhindar dari cengkeraman maut yang hampir merenggutnya. Semua penderitaan berakhir di meja operasi. Tapi ketika tim dokter hendak melakukan operasi kedua, Bradley menolaknya. Padahal operasi itu adalah operasi yang paling penting untuk masa depan Idyla. Tentu saja Rara marah. "Kenapa?" tatapnya sengit. "Kamu tak mampu bayar?" "Satu-satunya yang tidak mampu kubayar adalah kamu," senyum Bradley tanpa mengalihkan pandangannya dari Idyla yang berbaring di kamar perawatan. "Aku ingin membawa anakmu ke Tokyo." "Kau yakin dokter Tokyo lebih baik?" "Aku tak mengatakan dokter Tokyo lebih baik. Mereka sudah biasa melakukan hal itu." "Biasa? Kau mau bawa anakku dalam keadaan seperti ini karena biasa? Kau dengar kata dokter Hengky tadi, kan? Dia bisa mengganti kuping anakku!" "Yang kuinginkan bukan sekedar bisa. Aku ingin memberikan yang terbaik buat anakmu karena dia pantas mendapatkannya." Rara
Gilang terkejut mendengar kabar itu. Kartika bercerai. Dan perceraian itu menimbulkan bencana bagi dirinya. Sejak awal Gilang sudah menduga Datuk Meninggi dan Sastro bukan orang baik-baik, seorang bandot tua yang berjiwa kambing muda. Sisa umurnya digunakan untuk menikmati perempuan. Mereka punya peluang buat melalap daun muda dengan ancaman nistanya itu. "Kenapa Kartika tidak menempuh jalur hukum?" tatap Gilang kelu. "Kartika tidak memiliki bukti surat apapun." "Surat gampang dibikin, sekarang banyak mafia tanah." "Satu-satunya orang yang dapat membuktikan surat itu asli atau palsu adalah Abah, dan dia tidak ketahuan di mana rimbanya." Atau boleh jadi Kartika sudah membunuh Abah, pikir Gilang kelu. Dia tahu surat itu palsu, tapi tidak berani mengadukan ke polisi karena akan membuatnya terjerat kasus hukum. Kartika sudah dihantui perasaan bersalahnya. Dia bisa saja menuntut mereka untuk membuktikan keabsahan surat itu dengan me
Wajah Rara masih kelihatan buram meski berada di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Kalau kebutuhan anaknya tidak habis, dia sebetulnya malas keluar rumah, kecuali pergi kerja saja. Mimin tidak bisa belanja. Dia sibuk membantu di toko. Bu Marto lagi kurang enak badan. Hiruk pikuk orang-orang di sekeliling seakan tak mampu menghalau kabut yang sejak beberapa waktu lalu hinggap di matanya. Dia hanya tersenyum pedih setiap kali mendengar celotehan Idyla yang berjalan dalam bimbingannya. Tidak lama lagi dia bukan cuma kehilangan celotehan Idyla, seluruh kehidupan puterinya akan berlalu dari sisinya! Rara sampai tak sadar saat berjalan menuju ke kasir ada seseorang yang berdiri terpukau melihatnya. Dia baru tersentak ketika sebuah seruan melecut telinganya: "Rara!" Seruan itu bukan hanya mengejutkan Rara, juga menghembuskan getaran yang entah sejak kapan sirna di hatinya. Lama tidak mendengar suara itu dan dia masih ingat baik-baik siapa pemilikn
Kartika menjalankan mobil lambat-lambat memasuki halaman rumah. Matanya yang bercahaya meredup dan menguncup. Senyum kepuasan yang menggantung sepanjang perjalanan langsung jatuh terpecah. Cerita mesra yang bersemayam indah di kepala terbang berhamburan. Datuk Meninggi dengan dua pengawal setianya berdiri menunggu kedatangannya. Kartika turun dari mobil dengan bertanya-tanya, wajahnya diselimuti rasa penasaran menggunung, kemudian menuangkan rasa ingin tahunya dalam sebentuk kalimat, "Ada apa ini?" "Dari mana kamu?" tanya Datuk Meninggi dengan sinar mata tajam dan dingin. "Latihan senam," sahut Kartika santai. "Di desa tetangga." "Habis senam?" "Shopping." "Habis shopping?" "Aku tidak perlu menjelaskan acara hari ini secara detail. Aku cape." Datuk Meninggi memandang jijik. "Dasar perempuan murahan!" Lelaki itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Kartika, seorang pengawal segera memegang tangannya dan mencob
Melihat wajah dokter Patologi Anatomi itu, Gilang sudah tahu bagaimana hasil biopsi Idyla. Air muka dokter itu bercerita dengan sendirinya. Ya Tuhan! Akhirnya petaka itu datang juga! "Puteri Anda kena kanker jenis langka," ujar dokter sambil menaruh berkas hasil penelitian di atas meja. "Berbahaya kalau tidak dioperasi secepatnya." "Kanker?!" cetus Rara histeris. Matanya mengawasi Idyla yang berada di pangkuan suaminya dengan nanar. Tidak! Tidak! Oh, Tuhan! Mengapa Kau limpahkan azab ini pada anakku? Aku yang berbuat dosa! Aku yang membuat dia ada! Mengapa bukan nyawaku yang Kau ambil? "Paru-parunya masih bersih," kata dokter. "Belum ada gambaran coin lesion. Masih besar harapan untuk dapat tertolong." Seluruh tubuh Gilang terasa dingin. Wajahnya pucat tak berdarah. Dia sudah bisa membaca ke mana arah pembicaraan dokter. Bukan sekedar operasi biasa, tapi opersi...ya Tuhan! Dia tak sanggup membayangkannya! "Dokter," desis Gilang bergetar. "Kala
Mula-mula Rara mengira benjolan kecil di daun telinga puterinya cuma benjolan biasa, akibat digigit serangga atau terkena sesuatu. Maklum Idyla sudah pandai berjalan. Sedang lucu-lucunya. Sedang nakal-nakalnya pula. "Aduh, kenapa, Sayang?" hibur Rara ketika Idyla menangis keras-keras seperti kesakitan. "Kupingnya kok dipegangi terus? Coba Mama lihat. Ah, tidak apa-apa. Masa anak Mama segitu saja nangis?" Bermacam cara Rara mencoba membujuknya. Usahanya berhasil. Idyla sudah bisa tertawa-tawa lagi dan kembali bermain. "Bantu aku periksa rumah, Min," kata Ambu. "Cucuku kayaknya digigit binatang kecil." Seharian mereka mencari sarang serangga dengan hasil nihil. Rumah ini sangat bersih, tidak ada barang berdebu. Lalat pun malu untuk bertamu. Malam harinya Idyla menangis lagi dengan masalah serupa. Dua hari kemudian pun begitu. Muncul rasa sakitnya tidak tentu. "Minggu ini anak kita sering sekali menangis," kata Gilang yang terbangun mende
Penghasilan Gilang sehari-hari sebenarnya cukup lumayan. Banyak orang yang tertarik dengan jasanya. Malah ada ibu-ibu berlangganan antar jemput puteranya ke sekolah, bayar bulanan. Anak orang kaya aneh-aneh. Dia merasa lebih keren naik Moge daripada diantar sedan mewah dengan sopir tua. Tidak seru katanya. Kalau bercerita, pasti tentang Jakarta tempo dulu, asal-usul tugu peringatan. Bosan. Asal-usul papinya saja, mereka tidak ingin tahu. Apalagi tampang Gilang tidak seperti berandalan, ramah, sopan, simpatik, dan satu lagi, sangat tampan. Tak heran pelanggan kebanyakan perempuan berumur dua puluh lima ke bawah. Kalau belanja, tidak kelihatan seperti pembantu dan tukang ojek. Gadis-gadis seksi itu merasa bagaikan pasangan romantis di film Bollywood. Lagi pula, motor bisa menyelinap dengan lincah di keramaian lalu lintas, lebih cepat sampai tujuan. Tapi hidup di kota besar sungguh mahal. Baru dapat penghasilan sedikit lebih besar, harga-harga membumbung naik, seolah in
Mata Rara tak dapat terpejam. Sudah jam sembilan malam Gilang belum pulang, padahal tak pernah pulang telat. Dia takut terjadi apa-apa dengan suaminya. Tidak mungkin masih mencari pekerjaan. Kantor tentu telah tutup. Sekalipun buka, bukan untuk urusan tenaga kerja. Handphone suaminya dihubungi tidak aktif. Mungkin lowbat. Untuk menyapu keresahan, Rara merubah posisi tidurnya. Matanya tertumpu ke sosok mungil yang berbaring di sampingnya. Idyla tampak terlelap. Pulas sekali. Tak sadar Rara tersenyum. Hatinya selalu terhibur melihat wajah yang polos itu. Idyla sudah mengerti bahasa isyarat. Sudah bisa diajak bercanda. Cuma Rara belum sempat mencarikan baby sitter untuknya. Belum ada waktu yang tepat buat mendiskusikan dengan suaminya. Dia cukup repot untuk bolak-balik ke tempat penitipan bayi, mendingan diurus dan dirawat oleh tenaga tersendiri. Gilang masih disibukkan dengan masalah pekerjaan. Dia masih terus mencari dan mencari. Entah kapan ditemukan. Mendapa